• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Etika Hamka a. Biografi Hamka

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), lahir di sungai batang Maninjau Sumatera Barat pada hari Ahad, 17 Februari 1908 M/13 Muharam 1326 H dari keluarga yang taat agama. Ayahnya adalah Haji Abdul Karim Amarullah atau sering disebut Haji Rasul bin Syekh Muhammad Amarullah bin Tuanku Abdullah Saleh. Haji Rasul merupakan salah seorang ulama yang pernah mendalami agama di Mekkah, pelopor kebangkitan kaum muda dan tokoh Muhammadiyah di Minangkabau (Noer, 1985:46). Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria.

Dari genealogis ini dapat diketahui bahwa ia berasal dari keturunan yang taat beragama dan memiliki hubungan dengan generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX. Ia lahir dalam struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal. Oleh karena itu, dalam silsilah Minangkabau ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya (Nizar, 2008: 15-18).

commit to user commit to user

Hamka menikah dengan Siti Raham binti Endah Sutan, yang merupakan anak dari salah satu saudara laki-laki ibunya. Dari perkawinannya dengan Siti Raham, ia dikaruniai 11 orang anak. Mereka antara lain Hisyam, Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan, Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib. Setelah istrinya meninggal dunia, ia menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Hj. Siti Khadijah.

Sejak kecil Hamka menerima dasar-dasar agama dan membaca Al- Qur’an langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun tepatnya pada tahun 1914, ia dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian dimasukkan ke sekolah desa yang hanya dienyamnya selama 3 tahun. Pengetahuan agama, banyak ia peroleh dengan belajar sendiri (autodidak). Tidak hanya ilmu agama, Hamka juga seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Ketika Hamka mencapai usia 10 tahun, ayahnya mendirikan dan mengembangkan Sumatera Thawalib di Padang Panjang.

Ditempat itulah Hamka mempelajari ilmu agama dan mendalami ilmu bahasa arab.

Sumatera Thawalib adalah sebuah sekolah dan perguruan tinggi yang mengusahakan dan memajukan macam-macam pengetahuan berkaitan dengan Islam yang membawa kebaikan dan memajukan dunia dan akhirat.

Secara formal, pendidikan yang ditempuh Hamka tidaklah tinggi. Pada usia 8-15 tahun, ia mulai belajar agama di sekolah Diniyyah School dan Sumatera Thwalib di Padang Panjang dan Parabek, Engko Mudo Abdul Hamid, Sutan Marajo dan Zainuddin Labay el-Yunusy. Pelaksanaan pendidikan waktu itu masih bersifat tradisional dengan menggunakan system halaqoh. Pada tahun 1916, sistem klasikal baru diperkenalkan di Sumatera Thawalib Jembatan Besi. Materi pendidikan masih berorientasi pada pengajian kitab-kitab klasik, seperti nahwu, sharaf, manthiq, bayan, fiqh, dan yang sejenisnya. Pendekatan pendidikan dilakukan dengan menekankan pada aspek hafalan.

Diantara metode yang digunakan yang digunakan guru- gurunya, hanya metode pendidikan yang digunakan Engku Zainuddin Labay el Yunusy yang menarik hatinya.

Pendekatan yang dilakukan Engku Zainuddin, bukan hanya mengajar (transfer of knowledge), akan tetapi juga melakukan proses ‘mendidik’ (transformation of value).

commit to user commit to user

Melalui kemampuan bahasa sastra dan daya ingat yang cukup kuat, ia mulai berkenalan dengan karya-karya filsafat Aristoteles, Plato, Pythagoras, Plotius, Ptolomaios, dan ilmu lainnya. Tatkala berusia 16 tahun, tepatnya pada tahun 1924, ia sudah meninggalkan Minangkabau menuju Jawa, Yogyakarta. Di Yogyakarta Hamka mulai berkenalan dan belajar pergerakan Islam modern kepada H.O.S Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, R.M. Soerjopranoto, dan H. Fakhrudiin. Mereka semua mengadakan kursus-kursus pergerakan di Gedong Abdi Dharmo di Pakualaman, Yogyakarta. Dari mereka itulah Buya Hamka dapat mengenal perbandingan antara pergerakan politik Islam, yaitu Syarikat Hindia Timur dan gerakan sosial Muhammadiyah.

Setelah beberapa lama di Yogya, Buya Hamka berangkat menuju Pekalongan menemui guru sekaligus kakak iparnya AR. St. Mansur, seorang tokoh Muhammadiyah. Di pekalongan inilah Buya Hamka berkenalan dengan Citrosuarno, Mas Ranuwiharjo, Mas Usman Pujotomo, dan mendengar tentang kiprah seorang pemuda bernama Muhammad Roem.

Pada Juli 1925, Buya Hamka kembali ke Padang Panjang dan turut mendirikan Tabligh Muhammadiyah di rumah ayahnya di Gatangan Padang Panjang.

Pada akhir 1925 itu juga A.R. Sutan Mansur kembali ke Sumatera Barat, menjadi mubaligh dan penyebar paham Muhammadiyah di daerah itu. Sejak itu Buya Hamka menjadi pengiring A.R. Sutan Mansur dalam kegiatan Muhammadiyah. Pada Februari 1927 Hamka berangkat ke Mekkah untuk menunaikan Ibadah haji dan menetap beberapa bulan di sana dan baru pada Juli 1927 pulang ke Medan.

Hamka mengawali bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929.

Buya Hamka juga pernah menjadi pemimpin Majalah Pedoman Masyarakat dan terlibat dalam gerakan Muhammadiyah di Sumatera Timur. Buya Hamka juga menjabat sebagai Pemimpin Muhammadiyah di Sumatera Timur sampai jepang masuk ke Indonesia di tahun 1942. Pada Desember 1945 Buya Hamka pindah ke Sumatera

commit to user commit to user

Barat, dan pada bulan Mei 1946 terpilih menjadi ketua majelis Pemimpin Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat menggantikan kedudukan S.Y. Sutan Mangkuto. Pada Kongres Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto tahun 1953, Buya Hamka terpilih menjadi Anggota Pemimpin Pusat Muhammadiyah.

Pada 1950, Buya Hamka memulai karier sebagai Pegawai Kementerian Agama, yang kala itu menterinya dijabat oleh K.H. Wahid Hasyim. Buya Hamka bekerja sebagai pegawai negeri golongan F, yang bertugas mengajar di beberapa Perguruan Tinggi Islam, seperti Perguruan Tinggi Agama Islam negeri (PTAIN) Yogyakarta, Universitas Islam Jakarta, Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah di Padang Panjang, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, dan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU). Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.

Pada 1959 Buya Hamka berhenti sebagai Pegawai Negeri untuk mematuhi peraturan yang dikeluarkan oleh rezim Soekarno yang melarang pegawai golongan F merangkap sebagai anggota salah satu partai. Pada 1975, Buya Hamka menjadi Ketua Umum Majelsi Ulama Indonesia hingga Mei 1981. Namun, sampai akhir hanyat hidupmya Buya Hamka tetap duduk sebagai Penasihat Pemimpin Pusat Muhammadiyah. Hamka juga dikenal sebagai wartawan, penulis, editor, dan penerbit.

Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, juga pernah menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.

Terdapat banyak sekali karya Buya Hamka baik di bidang Agama, Filsafat, Sastra, Sejarah, Sosiologi dan Politik, baik Islam maupun Barat. Diantara karya-karya Buya Hamka yang terkenal yaitu: Khatibul Ummah, Si Sabariah, Adat Minangkabau

commit to user commit to user

dan Agama Islam, Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Kepentingan melakukan Tabligh, Hikmat Isra’ dan Mi’raj, Arkanul Islam, Majalah Al-Mahdi, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Merantau Ke Deli, Cemburu, Tashawuf Modern, Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, Lembaga Budi, Islam dan Demokrasi, Merdeka, Kenang-Kenangan hidup (terbit dalam 4 jilid), Sejarah Ummat Islam (terbit dalam 4 jilid), Pribasi, Agama dan Perempuan, 1001 Soal Hidup, Urat Tunggang Pancasila, Tafsir Al-Azhar.

b. Pemikiran Etika Hamka

Hamka menyebut terma etika kadang dengan istilah ilmu akhlak atau ilmu budi pekerti, sebagaimana dia mengatakan:

“Tetapi filsafat alam itu kemudiannya dikembalikan oleh Socrates kepada filsafat diri. Setelah engkau menengadah ke langit, sekarang sudah masanya engkau menilik dirimu sendiri. Timbullah permulaan dari jiwa (psikologi) dan ilmu akhlak (ilmu budi pekerti, etika)” (Hamka, 1996:6)

Istilah etika oleh hamka terkadang disamakan juga dengan istilah budi, sebagaimana dia mengatakan “Filsafat mengatakan bahwasanya timbangan baik dan buruk adalah budi (etika) (Hamka, 1996:183). Hamka menyamakan antara istilah etika dan budi sebagaimana dia mengatakan :

“Ahli-ahli akhlak islam yang besar-besar di zaman dahulu memperkatakan kenaikan budi atau keruntuhannya berpanjang lebar. Ibnu Maskawaih adalah pembahas Ethika (budi) dari segi filsafat. (Hamka, 1993:11)

Selain itu, Hamka melihat bahwa studi etika dapat ditinjau dari tiga sudut pandang. Pertama, dari sudut filsafat yang dilakukan oleh Ibnu Maskawaih dan Ibnu Arabi. Kedua, dari sudut diantara agama dan filsafat sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Hazm, seorang filosof dan ahli fiqh Andalusia. Ketiga, dari sudut tasawuf sebagaimana yang dilakukan oleh al- Ghazali.Hamka juga menyebut etika dengan istilah ilmu budi dan akhlak, sebagaimana dia mengatakan :

“Maka bertimpa-timpalah penyakit yang lain yang disebut di dalam

commit to user commit to user

pelajaran ilmu budi dan akhlak (etika) (Hamka, 1993:350).

Selain istilah-istilah sebagaimana yang telah disebut diatas, Hamka juga menggunakan istilah fisafat Akhlak dan istilah adab (Hamka, 1956: 11). Dengan demikian, istilah etika oleh Hamka disamakan dengan istilah ilmu budi pekerti, ilmu akhlak, dan filsafat akhlak.

Istilah Ilmu Budi Pekerti adalah gabungan dari tiga kata, Ilmu, Budi, dan Pekerti. Ilmu berarti pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan ) itu. Budi berarti alat batin yang merupakan perpaduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk. Sedangkan kata “pekerti” berarti perangai, tabiat, akhlak, dan watak serta dapat pula berarti perbuatan.

Dengan demikian dapat dipahami istilah Ilmu Budi Pekerti sebagai sebuah pengetahuan yang membahas masalah tabiat dan perbuatan manusia dari sisi baik dan buruk. Ini berarti ilmu budi pekerti yang dimaksud oleh Hamka itu adalah ekuevalen dengan istilah etika.

Hamka dalam mempergunakan istilah Akhlak dan ilmu Akhlak tampaknya juga yang dimaksud adalah etika, sebab istilah tersebut yaitu akhlak dan ilmu akhlak berarti pengetahuan yang membahas masalah laku perbuatan baik dan buruk manusia.

Akhmad Amin misalnya menggunakan istilah Akhlaq dalam pengertian ilmu akhlak atau etika. Dia memberi judul bukunya dengan “ Kitab al-Akhlaq” padahal yang dimaksud dengan istilah akhlaq di dalam buku itu adalah etika, karena dalam pembahasan isi bukunya tersebut membahas masalah-masalah etika. Hasbullah Bakry dalam bukunya Sistematika Filsafat juga menyamakan antara istilah etika dan akhlak.

Terkait dengan arti etika yang disamakan dengan akhlak, yang berarti juga sama dengan moral dapat dipahami dari pendapat K. Bertens. Menurutnya, etika ada yang bermakna praksis dan ada yang bermakna refleksi. Etika yang praksis menunjuk kepada apa yang dilakukan. Etika sebagai praksis sama dengan moral atau moralitas (Berten, 2004:162). Sedangkan etika sebagai refleksi adalah merupakan pemikiran

commit to user commit to user

tentang moral. Etika sebagai refleksi menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku moral (Berten, 2004: 163).

Hamka juga menggunakan istilah filsafat akhlak dalam arti etika. Istilah filsafat akhlak dalam arti etika banyak digunakan oleh penulis Arab dalam memberi judul buku-buku karya mereka. Etika sebagai bagian dari pembahasan filsafat adalah merupakan bagian dari filsafat atau kearifan praktis (hikmah alamiyah). Filsafat praktis (hikmah ‘amaliyah) adalah pengetahuan mengenai perilaku manusia yang tidak terpaksa, atau pengetahuan tentang tugas-tugas dan kewajiban manusia. Filsafat praktis ini membahas masalah-masalah yang terkait dengan pertanyaan- pertanyaan seperti:

sebaiknya bagaimana, apa yang harus saya lakukan? Sebaliknya, apakah perbuatan ini harusnya tidak saya lakukan?. Penganut filsafat praktis meyakini bahwa manusia memiliki sejumlah tugas maupun kewajiban, dan akal pikiran yang dapat menyingkapnya. Filsafat pratis terbagi menjadi tiga bagian yaitu masalah akhlak (etika), pengaturan rumah tangga, dan masalah sosial politik. Etika (Ilmu Akhlak) sebagai bagian dari filsafat praktis (hikmah ‘amaliyah) pada umumnya di definisikan sebagai ilmu tentang cara hidup atau bagaimana seharusnya hidup.

Etika adalah ilmu kesusilaan, masalah etika menurut Hamka berarti pembicaraan masalah baik dan masalah buruk. Sedangkan pembicaraan masalah indah dan jelek menjadi masalah estetika. Membicarakan masalah etika, berarti membicarakan masalah baik dan buruk dari perbuatan manusia. Berbicara baik dan buruk dari perbuatan manusia berarti membicarakan masalah nilai, yaitu nilai baik dan buruk. Penilaian baik dan buru menurut Hamka dapat diketahui oleh akal manusia.

Sebagaimana dia mengatakan bahwa :

“Dengan itu pulalah dia dapat mengenal mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang jelek dan mana yang indah” (hamka) (1956: 182-183) Dua kata pertama yaitu “dengan itu” pada kalimat di atas merujuk pada makna

“dengan akal”. Jadi menurutnya, etika adalah filsafat yang membicarakan masalah yang baik dan yang buruk. Hal yang senada juga dikatakan oleh Hasbullah Bakry dengan mendefinisikan etika hampir sama dengan Hamka. Dia mengatakan bahwa

commit to user commit to user

etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan melihat pada amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Sidi Gazalba juga mempunyai pemikiran yang sama dengan Hamka, ia menyebutkan bahwa etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia, dipandang dari nilai baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan akal.

Hamka mengingat persoalan moral dengan sangat jelas. Dia mengatakan hanya dengan moral yang dibangun di atas keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (agama yang kuat), maka manusia dapat diselamatkan dari kehancuran dan dapat menyelesaikan masalah-masalah moralitas bangsa, termasuk bangsa Indonesia.

Hamka sangat besar perhatiannya terhadap permasalahan moral. Hamka memiliki pandangan yang sangat religius dalam hal moralitas. Pandangan religiusitas Hamka inilah yang kemudian akan banyak mempengaruhi pandangan etikannya. Pandangan etikannya inilah juga yang menjadi dasar keprihatinan moral untuk bangsa Indonesia yang sangat dicintainya itu.

Etika yang dibangun oleh Hamka didasarkan di atas keyakinan agama (berbasis tauhid) tampaknya kemudian akan banyak dapat mencegah kemerosotan moral bangsa ini. Makna penting etika Hamka kemudian menjadi sesuatu yang sangat urgen, jikalau bangsa ini tetap berpegang pada pancasila, terutama sila pertama dan sila kedua, yang menjadi dasar Negara ini. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan Beradab, kedua sila ini adalah menjadi pondasi dari moralitas bangsa. Sila pertama menegaskan bahwa moralitas bangsa Indonesia adalah moralitas yang dibangun di atas keyakinan agama, bukan moralitas sekuler. Sila kedua menegaskan bahwa moralitas yang dibangun berdasar pada kemanusiaan dan peradaban.

Etika Hamka mempunyai makna yang penting bagi bangsa Indonesia yang sedang memperbaiki moralitasnya. Pemikiran etika Hamka lebih merupakan etika yang berbasis paham tauhid, dengan demikian, maka semua pemikiran etika Hamka lebih merupakan usaha menjadikan beriman kepada Allah sebagai intinya. Dengan demikian, maka sesungguhnya konsep etika Hamka dapat dimanfaatkan oleh bangsa

commit to user commit to user

Indonesia dalam rangka membangun bangsa yang bermartabat, sebagaimana bangsa-bangsa lain. Hamka memiliki misi, yakni mengisi moralitas bangsa-bangsa dengan ajaran agama.

Dokumen terkait