• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR. A. Kajian Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR. A. Kajian Pustaka"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

13 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Pustaka

1. Pembelajaran Sejarah a. Pembelajaran

Pembelajaran merupakan suatu proses menciptakan konsisi yang kondusif agar terjadi interaksi komunikasi bekajar mengajar antara guru, peserta didik, dan komponen pembelajaran lainnya untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran merupakan suatu sistem, yang terdiri atas berbagai komponen yang saling berhubungan. Komponen tersebut meliputi, tujuan, materi, metode, dan evaluasi (Hosnan, 2014:18). Pembelajaran juga merupakan perubahan yang bertahan lama dalam perilaku, atau dalam kapasitas berperilaku dengan cara tertentu, yang dihasilkan dari praktik atau atau bentuk-bentuk pengalaman lainnya. Kriteria-kriteria dari pembelajaran itu sendiri adalah pembelajaran melibatkan perilaku, pembelajaran bertahan lama dengan waktu, dan pembelajaran terjadi melalui pengalaman (Schunk, 2012:5).

Menurut Narwanti dan Somadi (2012:26) pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Tidak berbeda dengan Sanjaya (2012:26) yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses kerjasama antara guru dan siswa dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber yang ada baik potensi yang bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri seperti minat, bakat dan kemampuan dasar yang dimiliki termasuk gaya belajar maupun potensi yang ada di luar diri siswa seperti lingkungan, sarana dan sumber belajara sebagai upaya untuk mencapai tujuan belajar tertentu.

Dari uraian pengertian tentang pembelajaran yang diutarakan para ahli di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran adalah suatu kondisi yang dibuat

commit to user commit to user

(2)

secara sadar yang pelaku utamanya adalah pendidik dan peserta didik untuk memberikan ilmu dan pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik. Selain proses transfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik, juga menggali kemampuan- kemampuan atau potensi-potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Dalam prosesnya, pembelajaran ini dapat menggunakan sesuatu yang bermanfaat untuk pembelajaran itu sendiri, semisal sarana, sumber belajar dan lain sebagainya.

b. Sejarah

Sejarah terdiri dari kumpulan fakta yang telah dipastikan (E.H. Carr, 2014: 5).

Fakta-fakta yang tersedia bagi sejarawan ada di dalam dokumen, prasasti, dan lainnya.

Sejarawan mengumpulkan fakta-fakta tersebut untuk diolah dan menyajikannya dengan gaya yang menarik. Dalam membuat sajian tersebut, sejarawan harus mampu menggunakan kebijaksanaan paripurna yaitu menggunakan pemikiran sejarah yang masuk akal dan empiris.

Definisi sejarah telah banyak dikemukakan oleh para ahli sebagai salah satu disiplin ilmu. Sejarah berasal dari bahasa Yunani, “kistoris” yang berarti pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dengan cara melihat dan mendengar. Dalam bahasa Prancis disebut “historie”, bahasa Jerman “geschihte”, dalam bahasa Belanda disebut

“geschiedenis”, dalam bahasa Ingris “history”. Selain itu berasal dari bahasa Arab,

“syajarah” atau “syajaratun” yang artinya pohon kehidupan, silsilah, asal-usul, atau keturunan (Isjoni, 2007: 17).

Pada dasarnya sejarah adalah ilmu pengetahuan (science). Sejarah berarti ilmu masa lampau (the past) terkait dengan kejadian masa lampau dan aktualitas masa lampau yang dilakukan manusia. dengan kata lain, sejarah mencakup aktivitas kelampauan manusia di masyarakat dan bersifat unik (Suhartono, 2010: 2).

Menurut Kartodirdjo (2014: 16) pengertian sejarah dapat dibagi menjadi dua yaitu pengertian sejarah secara subjektif dan objektif. Dalam arti subjektif yaitu sebagian orang memaknai sejarah sebagai cerita sejarah, pengetahuan sejarah, dan gambaran sejarah. Dengan kata lain sejarah dalam arti subjektif yaitu sebagai

commit to user commit to user

(3)

konstruksi yang disusun oleh penulis sebagai uraian atau cerita. Sedangkan dalam arti objektif menunjuk kepada kejadian atau peristiwa itu sendiri, yaitu proses sejarah dalam aktualitasnya.

Menurut pandangan Kuntowijoyo (2013: 13) bahwa sejarah adalah cara untuk memandang masa lampau. Terdapat dua sikap terhadap sejarah setelah orang mengetahui masa lampaunya yaitu melestarikan masa lampaunya atau menolaknya.

Melestarikan masa lampau berarti menganggap masa lampau itu penuh makna. Hal ini serupa dengan pendapat dari Sidi Gazalba (1966: 11) yang memaparkan bahwa sejarah adalah gambaran masa lalu tentang manusia dan sekitarnya sebagai makhluk sosial, yang disusun secara ilmiah dan lengkap, meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsir dan penjelasan, yang memberi pengertian dan kepahaman tentang apa yang sudah berlalu itu.

Sejarah adalah ilmu tentang manusia. Sejarah berkaitan dengan ilmu hanya apabila sejarah mengkaji tentang kerja keras manusia dan pencapaian yang diperolehnya. Sejarah mengkaji perjuangan manusia sepanjang zaman alam ruang lingkup dan waktu tertentu (Kochhar, 2008: 3). Sedangkan Moh. Ali (1965: 7-8), menjelaskan bahwa sejarah mengandung arti yang mengacu pada hal-hal sebagai berikut: (1) perubahan-perubahan, kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa dalam kenyataan sekitar; (2) cerita tentang perubahan- perubahan, kejadian-kejadian, dan peristiwa-peristiwa realitas tersebut; (3) ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan- perubahan, kejadian-kejadian dan peristiwa yang merupakan realitas tersebut.

Salah satu manfaat utama sejarah dalam pendidikan adalah ilmu ini berkembang dari tahap sangat dasar hingga mencapai tahap perbaikan terakhir berupa kematangan berpikir dan kebijakan untuk bersikap skeptis (A.L. Rowse, 2015: 153).

Hal ini disebabkan karena sejarah merupakan ilmu yang paling umum dan mampu menyatukan semua ilmu dengan pendidikan. A.L Rowse menyebut ini sebagai proses ganda.

commit to user commit to user

(4)

c. Pembelajaran Sejarah

Mata pelajaran sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah tentang asal usul dan perkembangan serta peranan masyarakat di masa lampau berdasarkan metode dan metodologi tertentu. Ditingkat sekolah menengah, sejarah di pelajari sebagai mata pelajaran tersendiri sambil membentuk diri sebagai bagian dari ilmu sosial (Kochar, 2008: 20- 21). Secara substantif, materi sejarah memiliki beberapa karakteristik, yaitu; (1) mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepelaporan, patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik; (2) memuat khasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa, termasuk peradaban bangsa Indonesia;

(3) menanamkan kesadaran persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi perekat bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa; (4) sarat dengan ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari- hari; (5) berguna untuk mengembangkan dan menanamkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian hidup (Aman, 2011:57).

Dari karakteristik mata pelajaran sejarah diatas, dapat disimpulkan bahwa mata pelajaran Sejarah memiliki arti penting dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Pesan moral yang terkandung didalamnya, melalui proses pembelajaran diharapkan dapat dijiwai oleh anak didik, sehingga mereka kelak bisa menjadi benteng- benteng tangguh yang dengan nasionalismenya siap mempertahankan negara menjadi negara besar dan berwibawa dimata dunia.

Dalam Kurikulum 2013, Mata pelajaran Sejarah di SMA bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan (1) membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya konsep waktu dan tempat/ruang dalam rangka memahami perubahan dan keberlanjutan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia; (2) mengembangkan kemampuan berpikir historis (historical thinking); (3) menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti

commit to user commit to user

(5)

peradaban bangsa Indonesia di masa lampau; (4) menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap diri sendiri, masyarakat, dan proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang; (5) menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air, melahirkan empati dan perilaku toleran yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat dan bangsa; (6) mengembangkan perilaku yang didasarkan pada nilai dan moral yang mencerminkan karakter diri, masyarakat dan bangsa; dan (7) menanamkan sikap berorientasi kepada masa kini dan masa depan.

Pada dasarnya tujuan pembelajaran sejarah mampu meningkatkan daya kritis peserta didik dan mengembangkan kemampuan berfikir sejarah dari peserta didik.

Peserta didik memiliki kesadaran waktu dan tempat, mampu memahami fakta sejarah dengan benar dengan kata lain bahwa peserta didik tidak hanya menghapal fakta-fakta yang ada, tetapi paham terhadap fakta tersebut.

Lebih lanjut menurut Muhammad Dimyati (1989: 91) menyatakan tujuan umum pembelajaran ilmu sosial termasuk mata pelajaran sejarah adalah membantu siswa untuk mengembangkan keterampilan mengambil keputusan rasional sehingga ia dapat memecahkan persoalan pribadi dan ikut berpartisipasi sosial. Zamroni (2001: 11) mengacu pada cakupan ilmu-ilmu sosial, arah pembelajaran ilmu-ilmu sosial adalah mengembangkan kemampuan berfikir kritis (critical thinking) dan kesadaran serta komitmen siswa terhadap perkembangan masyarakat, lewat pembahasan dan pemahaman hal ihwal yang terjadi dalam masyarakat, sehingga para siswa bisa berpikir rasional dan bertindak sesuai dengan pikiran tersebut demi untuk kebaikan dirinya dan masyarakatnya.

Hal serupa juga dikemukakan oleh Sarifudin (1989: 15) bahwa pembelajaran ilmu sosial bertujuan untuk mengembangkan (1) pengetahuan dasar atau basic knowledge; (2) proses berfikir atau thinking process; (3) sikap, perasaan, dan kepekaan;

(4) ketrampilan. Dalam hal ini, ketrampilan meliputi ketrampilan akademis seperti mengumpulkan, mengidentifikasi, mendeskripsikan, menganalisis data dan menarik

commit to user commit to user

(6)

kesimpulan serta ketrampilan untuk bekerjasama secara aktif dalam kelompok.

Fraenkel dalam (Sarifudin, 1989: 19 - 20) membedakan ketrampilan menjadi: (a) ketrampilan berfikir (thinking skill) yang meliputi berbagai kemampuan operasional, seperti memaparkan, mendefinisikan, mengklasifikasi, merumuskan hipotesis, memprediksi, membandingkan, membedakan dan menawarkan ide baru; b) ketrampilan akademis (academicskill) seperti membaca, mengamati, menulis, membaca peta, membuat garis besar, membuat grafik, dan membuat catatan; c) ketrampilan meneliti (research skill) yang meliputi merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mencari dan mengumpulkan data, menganalisis data, menguji hipotesis, menarik kesimpulan; d) ketrampilan sosial (social skill) yang meliputi:

berkomunikasi dengan orang lain, bekerjasama dengan orang lain dalam kelompok kecil dan kelompok besar, memberi tanggapan atas masalah yang dihadapi orang lain, mendukung pendapat orang lain yang benar, dan mendukung kepemimpinan yang ada.

2. Berpikir Historis (Historical Thinking)

a. Pengertian Berpikir Historis (Historical Thinking)

Menurut Seixas (2004: 109) berpikir historis (historical thinking) berarti memperoleh pemahaman yang mendalam tentang peristiwa sejarah dan proses melalui keterlibatan aktif dan teks sejarah. Berpikir historis (historical thinking) adalah kemampuan berpikir yang memungkinkan siswa untuk dapat (1) membedakan masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang; (2) membangun pertanyaan; (3) mencari dan mengevaluasi bukti- bukti; (4) membandingkan dan menganalisis kisah- kisah sejarah, ilustrasi-ilustrasi, dan catatan-catatan dari masa lalu; (5) menginterpretasikan catatan- catatan sejarah, dan (6) merekonstruksi sejarah menurut versi siswa masing-masing. Hal ini memberikan makna bahwa belajar sejarah tidak hanya mengetahui tentang fakta-fakta, tanggal, nama, tempat dan peristiwa yang di sajikan, namun lebih dari itu siswa dituntut untuk memahami makna dibalik unsur- unsur tersebut sehingga siswa mampu mengkonstruksi sejarah menurut versinya masing-masing. Keterampilan berpikir historis melibatkan urutan peristiwa, analisis

commit to user commit to user

(7)

waktu dan tempat kejadian peristiwa dalam konteks untuk membantu dalam pembangunan makna dan pemahaman.

Menurut Purwanta (2019:52) keterampilan berpikir historis secara sederhana dapat diartikan sebagai seperangkat keterampilan penalaran yang harus di pelajari dan dimiliki oleh peserta didik sebagai hasil dari proses belajar sejarah. Berdasarkan pengertian tersebut, peserta didik tidak hanya dituntut untuk mengingat peristiwa sejarah seperti apa yang terjadi, dimana, kapan, siapa tokohnya dan bagaimana proses terjadinya, tetapi juga mengembangkan keterampilan berpikir mereka.

b. The Six Concept of Historical Thinking

Seixas (2004:1-9) membagi keterampilan berpikir historis kedalam 6 elemen, yaitu :

1) Establish historical significance (keterampilan membangun arti sejarah).

Masa lalu adalah segala sesuatu yang pernah terjadi pada seseorang di waktu lampau. Namun tidak semua kejadian pada masa lampu dapat di ingat atau dipelajari.

Tidak semua kejadian masa lalu dianggap penting, masalah penting atau tidaknya suatu kejadian dimasa lalu tergantung pada perspektif dan tujuan. masalah penting atau tidaknya kejadian masa lalu dapat bervariasi dari waktu ke waktu dan dari kelompok ke kelompok. Pada bagian keterampilan membangun arti penting sejarah, siswa dituntut untuk dapat:

a) Menunjukkan bagaimana suatu peristiwa itu dianggap penting.,

b) Menunjukkan bagaimana peristiwa tersebut diintegrasikan ke dalam yang hal yang lebih besar.

c) Menunjukkan bagaimana menyoroti masalah yang muncul terus-menerus.

d) Menjelaskan bagaimana pentingnya sejarah yang bervariasi dari waktu ke waktu dan dari kelompok ke kelompok.

e) Mengidentifikasi dan menjelaskan perbedaan dalam arti dari waktu ke waktu atau antara kelompok.

commit to user commit to user

(8)

2) Use primary source evidence (keterampilan menggunakan sumber dan bukti sejarah)

Sumber sejarah adalah hal penting yang dibutuhkan dalam mencari informasi atau data yang diperlukan, karena ketersediaan sumber sejarah merupakan syarat mutlak untuk melukiskan masa lalu. Menggunakan atau membaca sumber sejarah memerlukan strategi yang berbeda dari membaca biasanya yang hanya sekedar untuk memperoleh informasi. Untuk mendapatkan arti atau makna dari dinformasi yang disampaikan oleh sumber sejarah, maka kita perlu untuk mengkontekstualisasikan dan membuat kesimpulan dari sumber tersebut. Pada bagian ini siswa dituntut untuk dapat:

a) Mencari sumber sejarah untuk menjawab pertanyaan sejarah

b) Merumuskan pertanyaan tentang sumber sejarah, sehingga jawaban dapat membantu untuk menjelaskan konteks historis.

c) Menganalisis sumber sejarah untuk tujuan, nilai-nilai dan pandangan dunia penulis.

d) Membandingkan pandangan dan kegunaan beberapa sumber sejarah

e) Menilai apa yang dapat dan tidak dapat dijawab oleh sumber-sumber sejarah.

f) Menggunakan sumber sejarah untuk membangun sebuah argumen atau narasi.

3) Identify continuity and change (keterampilan mengindentifikasi kesinambungan dan perubahan)

Kesinambungan dan perubahan adalah cara utama untuk mengatur kompleksitas masa lalu. Ada banyak hal yang terjadi pada satu waktu. Perubahan terjadi pada tingkat yang berbeda pada waktu yang berbeda dalam sejarah, dan bahkan secara serentak di berbagai aspek kehidupan. Pada bagian ini siswa dituntut untuk dapat:

a) Menjelaskan bagaimana beberapa hal berlangsung terus-menerus dan berubah dalam periode sejarah.

b) Mengidentifikasi perubahan dari waktu ke waktu dalam kehidupan yang berlangsung terus menerus.

commit to user commit to user

(9)

4) Analyze cause and consequence (keterampilan menganalisis sebab dan akibat) Pengetahuan tentang hubungan sebab-akibat sangat penting dalam pembelajaran sejarah, terutama untuk menjawab pertanyaan mengapa suatu peristiwa terjadi. Konsep kausalitas digunakan oleh sejarawan untuk menganalisa suatu peristiwa sejarah. Pada bagian ini, siswa dituntut untuk dapat:

a) Mengidentifikasi interaksi tindakan manusia yang disengaja dan kendala pada tindakan manusia dalam perubahan.

b) Mengidentifikasi berbagai jenis penyebab peristiwa tertentu, menggunakan satu atau lebih sumber sejarah.

c) Mempertimbangkan penyebab yang potensial untuk peristiwa terjadi sehari- hari.

d) Menganalisis penyebab dari peristiwa sejarah, dan mengidentifikasi jenis peristiwa (misalnya, politik, budaya, ekonomi, dan lain-lain).

e) Membuat skema penyebab sutau peristiwa dan menjelaskannya.

5) Take historical perspective (keterampilan mengambil informasi)

Mengambil perspektif historis berarti memhami pranata social, budaya, intelektual, dan emosional yang membentuk kehidupan dan tindakan orang di masa lampau. Pada suatu titik, pelaku sejarah yang berbeda mungkin bertindak atas dasar keyakinan dan ideologi yang saling bertentangan, sehingga memahami beragam perspektif juga merupakan kunci untuk mengambil perspektif sejarah. Mengambil perspektif historis menuntut pemahaman akan perbedaan besar antara kita di masa sekarang dann masa lampau (Purwanta, 2019:63). Bagian ini menuntu siswa untuk dapat:

a) Menggunakan bukti dan pemahaman tentang konteks historis, untuk menjawab pertanyaan.

b) Menulis surat, catatan harian berdasarkan sumber-sumber yang ada.

membandingkan sumber primer tertulis

commit to user commit to user

(10)

6) Understanding the moral dimension of historical interpretation (keterampilan memahami dimensi etika dari interpretasi sejarah)

Jika sejarah adalah penting, maka ada pertimbangan moral yang terlibat.

Dengan demikian, kita harus belajar sesuatu dari masa lalu untuk membantu menghadapi masalah moral hari ini. Pada bagian ini, siswa dituntut untuk dapat:

a) Membuat penilaian tentang tindakan orang-orang di masa lalu.

b) Menggunakan kisah sejarah untuk menginformasikan keputusan tentang isu- isu moral dan politik di masa sekarang.

c) Mengidentifikasi masalah moral hari ini.

Ofianto (2015: 65-66) berdasarkan hasil penelitiannya yang diterbitkan dalam Jurnal Tingkap Vol. XI No. 1 Tahun 2015, membagi beberapa keterampilan berpikir historis kedalam dua bentuk yaitu keterampilan dasar (basic skill) dan keterampilan penelitian sejarah (historical research capabilities). Pertama, keterampilan dasar (basic skill) terdiri dari (a) keterampilan berpikir kronologis, (b) keterampilan mengidentifikasi kesinambungan dan perubahan, dan (c) keterampilanmenganalisis sebab dan akibat. Kedua, keterampilan/kemampuan penelitian sejarah (historical research capabilities) terdiri atas (a) keterampilan membangun arti penting sejarah, (b) keterampilan merekam data/informasi/sumber sejarah, (c) keterampilan ethical dimensions berpikir historis, (d) keterampilan merancang penelitian sejarah, dan (e) keterampilan melaporkan hasil penelitian sejarah.

Menurut seixas (2006:8) dimensi moral (ethical dimensions) sangat penting dalam melakukan interpretasi sejarah sebab pertama, semua catatan sejarah yang berarti pasti melibatkan penilaian moral baik implisit atau eksplisit; kedua, pertimbangan moral dalam sejarah dibuat lebih kompleks dengan tanggung jawab bersama dan mendalam serta berubah dari waktu ke waktu; ketiga, sejarawan sering berurusan dengan konflik antara poin satu dan dua sehingga menangguhkan penilaian dalam rangka memahami perspektif pelaku sejarah dan akhirnya muncul penelitian dengan pengamatan tentang implikasi moral hari ini, narasi dan argumentasi mereka.

commit to user commit to user

(11)

3. Bahan Ajar

a. Pengertian Bahan Ajar

Bahan ajar merupakan salah satu perangkat materi atau substansi pembelajaran yang disusun secara sistematis, serta menampilkan secara utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran. Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru atau instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar (Mudhlofar, 2012: 128).

Menurut Andi Prastowo (2014:17), bahan ajar merupakan segala bahan(baik informasi, alat, maupunteks) yang disusun secara sistematis yang menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dan digunakan dalam proses pembelajaran dengan tujuan untuk perencanaan dan penelaah implementasi pembelajaran.

b. Fungsi Bahan Ajar

Fungsi bahan ajar dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fungsi bagi guru dan fungsi bagi siswa.

1) Fungsi bahan ajar bagi guru, antara lain:

a) Menghemat waktu guru dalam mengajar.

b) Mengubah peran guru dari seorang pengajar menjadi seorang fasilitator.

c) Meningkatkan proses pembelajaran menjadi lebih efektif dan interaktif.

d) Sebagai alat evaluasi pencapaian atau penguasaan hasil pembelajaran.

2) Fungsi bahan ajar bagi siswa, antara lain:

a) Siswa dapat belajar tanpa harus ada guru atau teman siswa yang lain.

b) Siswa dapat belajar kapan saja dan dimana saja ia kehendaki.

c) Membantu potensi siswa untuk menjadi pelajar yang mandiri.

d) Sebagai pedoman bagi siswa yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran dan merupakan substansi.

c. Pengembangan Bahan Ajar

Hal utama yang dilakukan sebelum berlangsungnya proses belajar-mengajar adalah persiapan bahan ajar. Persiapan bahan ajar diaplikasikan dalam proses

commit to user commit to user

(12)

pengembangan bahan ajar, Shulman dalam Agus Trianto, (2005:10). Selanjutnya Jolly dan Bolitho dalam Tomlinson (1998:98) memaparkan tahap-tahap pengembangan bahan ajar, yakni: (1) identifikasi kebutuhan guru dan siswa; (2) penentuan kegiatan eksplorasi kebutuhan materi; (3) realisasi kontekstual dengan mengajukan gagasan yang sesuai dengan pemilihan teks dan konteks bahan ajar; (4) realisasi pedagogis melalui tugas dan latihan; (5) produksi bahan ajar; (6) penggunaan bahan ajar oleh siswa; dan (7) evaluasi bahan ajar. Kemudian, Richards (2002:262) mengajukan rancangan pengembangan bahan ajar, meliputi: (1) pengembangan tujuan; (2) pengembangan silabus; (3) pengorganisasian bahan ajar ke dalam unit-unit pembelajaran; (4) pengembangan struktur per unit; dan (5) pengurutan unit (dalam Agus Trianto, 2005:10).

Rancangan tahap-tahap yang telah dimuat oleh Depdiknas, yakni: (1) identifikasi kebutuhan, (2) pengembangan silabus, (3) penyusunan bahan ajar, dan (evaluasi bahan ajar). Banyak teori para ahli yang dapat dijadikan dasar dalam pengembangan bahan ajarsalah satu diantaranya adalah Taxonomi of Educatonal Objectivesby Benjamin S. Bloom. Bloom membagi kemampuan belajar menjadi tiga dimensiyaitu kognitif, psikomotorik dan afektif.

Berdasarkan pendapat di atas, maka bahan ajar yang dibuat harus memperhatiakan tiga dimensi yaitu dimensi kognitif, psikomotorik dan afektive dengan semua kategori pada masing-masing dimensi. Adapun penelitian ini akan menggunakan penggabungan dari semua teori pengembangan bahan ajar yang dicakup sesuai dengan keperluan dan kondisi penelitian.

d. Bahan Ajar Digital

Sepanjang literatur, bahan ajar digital atau yang biasanya disebut dengan e- book didefinisikan sebagai teks yang berbentuk digital dan dapat diakses melalui layar elektronik. Meskipun ide bahan ajar digital atau e-book bukanlah hal baru, namun masih ada banyak kebingungan tentang bahan ajar digital, bahkan pada tingkat definisi dasar tentang apa itu bahan ajar digital (Tedd, 2005). Beberapa tahun terakhir definisi

commit to user commit to user

(13)

bahan ajar digital telah menjadi subjek minat baru yang melibatkan lebih banyak kompleksitas daripada sekedar membaca teks digital melalui layer kaca (Hughes, 2003). Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendefinisikan bahan ajar digital tentang empat perspektif seperti media, konten/file, perangkat dan pengiriman. Misalnya bahan ajar digital atau e-book didefinisikan sebagai "versi elektronik buku cetak" (Soanes dan Stevenson, 2004; Lee, 2002) dan "versi digital buku cetak tradisional" (Reitz, 2004).

Kata online hanya digunakan oleh Gold Leaf (2003) untuk menunjukkan bahwa buku adalah "versi online buku cetak" dan oleh Zivkovic (2005) untuk menggambarkan ketersediaan e-book.

Definisi yang disediakan oleh Armstrong et al. (2002) adalah yang diterima oleh banyak sarjana yaitu “setiap bagian dari teks elektronik terlepas dari ukuran atau komposisi, tetapi tidak termasuk publikasi jurnal, tersedia secara elektronik atau perangkat apapun baik genggam maupun yang terikat dengan meja yang mempunyai layar”. Penyelidikan lebih lanjut telah mengungkapkan sejumlah besar definisi lain tentang bahan ajar digital (e-book) lebih khusus lagi, istilah bahan ajar digital atau e- book merujuk berbagai perangkat keras, peraangkat lunak dan konten (Wilson &

Landoni, 2001).

Bahan ajar digital bila dibandingkan dengan buku cetak tradisional, memiliki potensi diantaranya penelusuran, pencarian kata kunci dalam sebuah buku dan melintasi kumpulan buku, antarmuka pencarian yang dapat disesuaikan, mengekstraksi, membandingkan, dan menilai relevansi dan kualitas informasi yang disajikan. Bahan ajar digital juga memuat berbagai fitur multimedia, seperti teks, gambar, suara, video, grafik, dan animasi. Vassiliou (2008) merangkum sifat penting dan cukup stabil dari bahan ajar digital atau e-book yang mengacu pada objek digital dengan konten tekstual dan atau lainnya. Pertama, pengintegrasian konsep umum sebuah buku dengan fitur-fitur yang dapat disediakan dalam lingkungan elektronik.

Bagian kedua mengacu pada fitur yang digunakan seperti fungsi pencarian dan referensi silang, bahan referensi, monograf, tautan hiperteks, bookmark, kamus interaktif, sorotan, objek multimedia, dan pembuatan catatan. Dalam hal kapasitas,

commit to user commit to user

(14)

bahan ajar digital dapat menyimpan sejumlah konten buku tertentu, yang dapat diakses secara virtual dari lokasi mana pun (Wilson, 2001).

4. Desain Pengembangan

Desain pembelajaran adalah proses sistematis, efektif, dan efisien dalam menciptakan sistem pembelajaran untuk memecahkan masalah belajar atau peningkatan kinerja peserta didik melalui serangkaian kegiatan identifikasi masalah, pengembangan, dan evaluasi. Pengembangan desain tersebut dapat menggunakan berbagai macam model-model desain pembelajaran. Dalam hal ini peneliti memaparkan empat jenis model pengembangan, yakni ADDIE, ASSURE, Dick &

Carey, dan SAFE.

a. Model ADDIE

ADDIE merupakan singkatan dari Analyze, Design, Development, Implementation dan Evaluation. ADDIE merupakan model yang bersifat sistematis dengan kerangka kerja yang jelas menghasilkan produk yang efektif, kreatif, dan efisien (ANGEL Learning, 2008: 5). Salah satu fungsinya ADDIE yaitu menjadi pedoman dalam membangun perangkat dan infrastruktur program pelatihan yang efektif, dinamis dan mendukung kinerja.

ADDIE membantu menyelesaikan permasalahan pembelajaran yang kompleks dan juga mengembangkan produk-produk pendidikan dan pembelajaran (Branch, 2009: 2). Model ADDIE menggunakan lima tahap pengembangan yakni Analysis (Analisis), Design (Desain), Development (Pengembangan), Implementation (Implementasi), Evaluation (Evaluasi) (Molenda, 2008: 107). Masing-masing langkah dideskripsikan sebagai berikut:

1) Analysis (Analisis)

Tahap analisis merupakan proses mendefinisikan apa yang dipelajari oleh peserta didik, yaitu melakukan analisis kebutuhan, mengidentifikasi kebutuhan, dan melakukan analisis tugas. Oleh karena itu, yang dihasilkan adalah karakteristik peserta

commit to user commit to user

(15)

didik, identifikasi kesenjangan, identifikasi kebutuhan dan analisis tugas.

2) Design (Desain)

Tahap ini dikenal dengan membuat rancangan yaitu merumuskan tujuan pembelajaran yang Spesific, Measurable, Applicable, Realistic, dan Times (SMART).

Langkah selanjutnya menyusun tes yang didasarkan pada tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Kemudian menentukan strategi pembelajaran yang sesuai untuk mencapai tujuan. Dalam tahap ini ada banyak pilihan kombinasi metode dan media yang dapat dipilih. Peneliti harus mampu menentukan yang paling sesuai dengan kebutuhannya.

3) Development (Pengembangan)

Pengembangan adalah proses mewujudkan rancangan menjadi nyata.

Lingkungan belajar yang mendukung proses pembelajaran harus disiapkan dalam tahap ini. Satu langkah penting dalam tahap pengembangan adalah uji coba sebelum diterapkan (implementasi). Tahap uji coba merupakan bagian dari salah satu langkah ADDIE, yaitu evaluasi. Lebih tepatnya evaluasi formatif, karena hasilnya digunakan untuk memperbaiki sistem pembelajaran yang sedang dikembangkan.

4) Implementation (Implementasi)

Implementasi merupakan langkah nyata untuk menerapkan sistem pembelajaran yang dibuat. Pada tahap ini semua yang telah dikembangkan dipersiapkan sesuai dengan peran atau fungsinya agar bisa diimplementasikan. Misal, jika diperlukan penataan lingkungan, maka lingkungan harus ditata sedemikian rupa.

5) Evaluation (Evaluasi)

Evaluasi adalah proses untuk melihat hasil dari sistem pembelajaran yang sedang dibangun. Evaluasi yang terjadi pada setiap tahap di atas dinamakan evaluasi formatif, karena tujuannya untuk kebutuhan revisi. Misal, pada tahap rancangan, mungkin kita memerlukan salah satu bentuk evaluasi formatif seperti evaluasi ahli untuk memberikan masukan terhadap rancangan yang sedang dibuat.

commit to user commit to user

(16)

b. Model ASSURE

ASSURE merupakan singkatan dari Analize learners, State objectives, Selected methods, Utilyze media and materials, Require learned and participation, Evaluate and revision. Model ASSURE memberikan pendekatan yang sistematis untuk menganalisis karakteristik siswa yang mempengaruhi kemampuan untuk belajar.

Analisis tersebut menyediakan informasi untuk merancang pembelajaran yang disesuaikan agar memenuhi kebutuhan siswa. Langkah model ASSURE menurut Smaldino, (2012: 110) sebagai berikut:

1) Analyse learners (menganalis pembelajar).

2) State learning objectives (menyatakan standar dan tujuan).

3) Select methods, media, and materials (memilih strategi, teknologi, media dan materi).

4) Utilise media and materials (gunakan media dan bahan).

5) Require learner participation (partisipasi siswa dalam pembelajaran) 6) Evaluate/review (mengevaluasi dan merevisi).

c. Model Dick & Carey

Model Dick & Carey merupakan model desain pembelajaran yang dikembangkan oleh Walter Dick, Lou Carey dan James O Carey. Model ini adalah model prosedural, yaitu model yang penerapan desain pembelajaran disesuaikan dengan langkah-langkah yang harus di tempuh secara berurutan. Model Dick & Carey harus dimulai dengan mengidentifikasi tujuan pembelajaran. Menurut model ini, sebelum merumuskan tujuan khusus yaitu performance goals, perlu menganalisis pembelajaran serta menentukan kemampuan awal siswa terlebih dahulu. Setelah dirumuskan tujuan khusus yang harus dicapai selanjutnya dirumuskan tes dalam bentuk Criterion Reference Test, yang artinya tes tersebut bertujuan untuk mengukur kemampuan. Setelah itu dikembangkan strategi pembelajaran untuk mencapai tujuan, yakni skenario pelaksanaan pembelajaran yang diharapkan dapat mencapai tujuan secara optimal. Langkah akhir dari model Dick & Carey adalah evaluasi formatif dan

commit to user commit to user

(17)

evaluasi sumatif. Berdasarkan hasil evaluasi, selanjutnya dilakukan umpan balik dalam merevisi program pembelajaran (Sanjaya, 2013: 75).

d. Model SAFE

SAFE merupakan singkatan dari System Approach for Education. Langkah- langkah dari SAFE dibagi menjadi dua tahapan. Tahapan tersebut dipaparkan sebagai berikut (Suparman, 2012: 93-94):

1) Tahap I, Analisis Sistem:

i. Menilai kebutuhan ii. Menentukan tujuan misi iii. Menentukan persyaratan misi iv. Menentukan hambatan

v. Menentukan profil misi, persyaratan, dan hambatan vi. Melakukan analisis fungsional persyaratan dan hambatan vii. Melakukan analisis tugas, persyaratan, dan hambatan viii. Melakukan analisis metode, alat, persyaratan dan hambatan

ix. Membuat keputusan final tentang meneruskan atau berhenti

2) Tahap II, Sintesis Sistem:

i. Mengidentifikasi strategi perencanaan masalah;

ii. Mendesain rencana pelaksanaan untuk setiap alternative

iii. Menganalisis alternatif dari segi keefektifan dan efisiensi biaya iv. Memilih rencana pengelolaan dan pelaksanaan

v. Menyusun rencana validasi atau tes lapangan sesuai kebutuhan vi. Implementasi penggunaan rencana pelaksanaan

vii. Mengevaluasi proses dan produk

viii. Merevisi untuk mencapai prestasi yang dipersyaratkan

commit to user commit to user

(18)

Pemilihan model ADDIE sebagai model pengembangan dalam penelitian ini adalah karena modelnya ekstensif digunakan di bidang multimedia (Dick & Carey, 2005), berlaku untuk semua jenis pengembangan produk pendidikan karena terdiri dari komponen yang relative sederhana sederhana (McGriff, 2000; Kaminski, 2007), mudah digunakan dan dapat diterapkan pada kurikulum yang mengajarkan pengetahuan, keterampilan, atau sikap (Reinbold, 3013).

Model ADDIE terkenal dengan titik awal yang baik untuk masalah yang dibahas dalam penelitian. ADDIE tidak hanya menguntungkan desainer instruksional tetapi juga karena menjawab pertanyaan spesifik. Model ADDIE menyajikan pengguna dengan pendekatan desain instruksional yang menggabungkan proses lengkap dengan langkah-langkah pengembangan yang efektif. Model ADDIE membuat program lebih berlaku dan bermakna bagi peserta didik. Model pengembangan Analisis peserta didik menjadi aspek penting dalam desain kursus dan merupakan bagian penting untuk siswa ketika mereka merancang proyek multimedia. (Peterson, 2003). Model ADDIE juga membantu memberi kejelasan kepada peserta didik karena instruksional desainer dimulai dari memiliki konsep umum hingga informasi terperinci tentang kebutuhan pengembangan (Gustafson & Branch, 2002)

5. Pendekatan Value Clarification Technique (VCT) a. Pengertian

Pendekatan pembelajaran nilai (value learning) telah berkembang di negara- negara barat, di antaranya Kohlberg yang terkenal dengan Controversial Issues, Hilda Taba dengan pendekatan Value Inquiry Question, dan Djahiri yang mengembangkan Value Clarification Technique (VCT). Sanjaya dalam (Taniredja, dkk., 2012: 87-88) mengemukakan bahwa VCT merupakan teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa. Hall (Adisusilo, 2013: 144) juga menjelaskan bahwa VCT merupakan cara atau proses di mana pendidik membantu peserta didik menemukan sendiri nilai-nilai

commit to user commit to user

(19)

yang melatarbelakangi sikap, tingkah laku, perbuatan serta pilihan-pilihan yang dibuatnya.

Berdasarkan pengertian dari beberapa ahli di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran VCT merupakan suatu model pembelajaran dengan teknik yang dapat membantu siswa untuk mengembangkan kemampuannya dalam menemukan, mencari, dan menentukan nilai-nilai yang melatarbelakangi sikap, tingkah laku, perbuatan serta pilihan-pilihan yang dibuatnya dalam menghadapi suatu persoalan. VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang menurut anggapannya baik, yang pada gilirannya nilai-nilai tersebut akan mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari- hari di masyarakat.

b. Tujuan Pendekatan Pembelajaran VCT

VCT sebagai suatu pendekatan dalam pembelajaran sikap melakukan proses penanaman nilai melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya pada diri siswa untuk kemudian diselaraskan dengan nilai-nilai baru yang akan ditanamkan pada diri siswa. Menurut Hall (Adisusilo, 2013: 145), pendekatannVCT mampu mengantar peserta didik mempunyai keterampilan atau kemampuan menentukan nilai-nilai hidup yang tepat sesuai dengan tujuan hidupnya dan menginternalisasikannya sehingga nilai- nilai menjadi pedoman dalam bertingkah laku atau bersikap.

Lebih lanjut, Taniredja, dkk. (2012: 88) mengemukakan bahwa tujuan penggunaan dari pendekatan VCT dalam pembelajaran adalah sebagai berikut.

1) Mengetahui dan mengukur tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pijak menentukan target nilai yang akan dicapai.

2) Menanamkan kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimiliki baik tingkat maupun sifat yang positif maupun negatif untuk selanjutnya ditanamkan ke arah peningkatan dan pencapaian target nilai.

3) Menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa melaui cara yang rasional (logis) dan diterima siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan menjadi milik siswa sebagai proses kesadaran moral bukan kewajiban moral.

commit to user commit to user

(20)

4) Melatih siswa dalam menerima/menilai dirinya dan posisi nilai orang lain, menerima serta mengambil keputusan terhadap sesuatu persoalan yang berhubungan dengan pergaulannya dan kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan pendapat di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pendekatan VCT bertujuan untuk mengetahui dan mengukur tingkat kesadaran siswa, menanamkan kesadaran siswa tentang nilai-nilai, menanamkan nilai-nilai.

c. Langkah-Langkah Pembelajaran VCT

Proses pembelajaran VCT secara umum mencakup tujuh tahap atau aspek yang biasanya digolongkan menjadi tiga tingkat. Menurut Jarolimek (Taniredja, dkk., 2012:

89-90) ketujuh tahap yang dibagi dalam tiga tingkat tersebut adalah sebagai berikut.

Tingkat 1. Kebebasan memilih Pada tingkat ini terdapat 3 tahap, yaitu:

1) Memilih dengan bebas.

2) Memilih dari berbagai alternatif.

3) Memilih setelah melakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang akan timbul sebagai akibat atas pilihannya itu.

Tingkat 2. Menghargai

Pada tingkat ini terdiri atas 2 tahap pembelajaran, yaitu:

1) Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya.

2) Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya di depan umum.

Tingkat 3. Berbuat

Pada tingkat ini terdiri atas 2 tahap pembelajaran, yaitu:

1) Adanya kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakanya 2) Mau mengulangi perilaku sesuai dengan nilai pilihannya.

commit to user commit to user

(21)

d. Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Pembelajaran VCT

Menurut Djahiri (Taniredja, dkk., 2012: 91) Pendekatan pembelajaran VCT memiliki kelebihan dalam pembelajaran afektif, yaitu:

1) Mampu membina dan menanamkan nilai dan moral pada ranah internal side.

2) Mampu mengklarifikasi/ menggali dan mengungkapkan isi pesan materi yang disampaikan, selanjutnya akan memudahkan bagi guru untuk menyampaikan makna/ pesan nilai/ moral.

3) Mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai moral diri siswa, melihat nilai yang ada pada orang lain, dan memahami nilai moral yang ada dalam kehidupan nyata.

4) Mampu mengundang, melibatkan, membina dan mengembangkan potensi diri siswa terutama mengembangkan potensi sikap.

5) Mampu memberikan sejumlah pengalaman belajar dari berbagai kehidupan.

6) Mampu menangkal, meniadakan, mengintervensi dan memadukan berbagai nilai moral dalam sistem nilai dan moral yang ada dalam diri seseorang.

7) Memberi gambaran nilai moral yang patut diterima dan menuntun serta memotivasi untuk hidup layak dan bermoral tinggi.

Sementara kelemahan dari penerapan model pembelajaran ini menurut Taniredja, dkk. (2012: 91) adalah sebagai berikut.

1) Apabila guru tidak memiliki kemampuan dalam melibatkan siswa dengan keterbukaan, saling pengertian, dan penuh kehangatan maka siswa akan memunculkan sikap semu atau imitasi/ palsu. Siswa akan bersikap menjadi siswa yang sangat baik, ideal, patuh dan penurut, namun hanya bertujuan untuk menyenangkan guru atau memperoleh nilai yang baik.

2) Sistem nilai yang dimiliki dan tertanam pada guru, siswa, dan masyarakat yang kurang atau tidak baku dapat mengganggu tercapainya target nilai yang ingin dicapai.

commit to user commit to user

(22)

3) Sangat dipengaruhi oleh kemampuan guru dalam mengajar, terutama memerlukan kemampuan/ keterampilan bertanya tingkat tinggi yang mampu mengungkap dan menggali nilai yang ada dalam diri siswa.

4) Memerlukan kreativitas guru dalam menggunakan media yang tersedia di lingkungan, terutama yang aktual dan faktual sehingga dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran VCT sangat cocok untuk mencapai tujuan pembentukan atau penanaman nilai dan sikap pada diri siswa karena mampu memberikan pengalaman belajar dalam berbagai kehidupan. Namun guru perlu memaksimalkan kemampuan dan kreativitasnya dalam menggunakan media di lingkungan sekitar, agar siswa dekat dengan kehidupan sehari-hari.

6. Pemikiran Etika Hamka a. Biografi Hamka

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), lahir di sungai batang Maninjau Sumatera Barat pada hari Ahad, 17 Februari 1908 M/13 Muharam 1326 H dari keluarga yang taat agama. Ayahnya adalah Haji Abdul Karim Amarullah atau sering disebut Haji Rasul bin Syekh Muhammad Amarullah bin Tuanku Abdullah Saleh. Haji Rasul merupakan salah seorang ulama yang pernah mendalami agama di Mekkah, pelopor kebangkitan kaum muda dan tokoh Muhammadiyah di Minangkabau (Noer, 1985:46). Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria.

Dari genealogis ini dapat diketahui bahwa ia berasal dari keturunan yang taat beragama dan memiliki hubungan dengan generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX. Ia lahir dalam struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal. Oleh karena itu, dalam silsilah Minangkabau ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya (Nizar, 2008: 15- 18).

commit to user commit to user

(23)

Hamka menikah dengan Siti Raham binti Endah Sutan, yang merupakan anak dari salah satu saudara laki-laki ibunya. Dari perkawinannya dengan Siti Raham, ia dikaruniai 11 orang anak. Mereka antara lain Hisyam, Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan, Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib. Setelah istrinya meninggal dunia, ia menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Hj. Siti Khadijah.

Sejak kecil Hamka menerima dasar-dasar agama dan membaca Al- Qur’an langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun tepatnya pada tahun 1914, ia dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian dimasukkan ke sekolah desa yang hanya dienyamnya selama 3 tahun. Pengetahuan agama, banyak ia peroleh dengan belajar sendiri (autodidak). Tidak hanya ilmu agama, Hamka juga seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Ketika Hamka mencapai usia 10 tahun, ayahnya mendirikan dan mengembangkan Sumatera Thawalib di Padang Panjang.

Ditempat itulah Hamka mempelajari ilmu agama dan mendalami ilmu bahasa arab.

Sumatera Thawalib adalah sebuah sekolah dan perguruan tinggi yang mengusahakan dan memajukan macam-macam pengetahuan berkaitan dengan Islam yang membawa kebaikan dan memajukan dunia dan akhirat.

Secara formal, pendidikan yang ditempuh Hamka tidaklah tinggi. Pada usia 8- 15 tahun, ia mulai belajar agama di sekolah Diniyyah School dan Sumatera Thwalib di Padang Panjang dan Parabek, Engko Mudo Abdul Hamid, Sutan Marajo dan Zainuddin Labay el-Yunusy. Pelaksanaan pendidikan waktu itu masih bersifat tradisional dengan menggunakan system halaqoh. Pada tahun 1916, sistem klasikal baru diperkenalkan di Sumatera Thawalib Jembatan Besi. Materi pendidikan masih berorientasi pada pengajian kitab-kitab klasik, seperti nahwu, sharaf, manthiq, bayan, fiqh, dan yang sejenisnya. Pendekatan pendidikan dilakukan dengan menekankan pada aspek hafalan.

Diantara metode yang digunakan yang digunakan guru- gurunya, hanya metode pendidikan yang digunakan Engku Zainuddin Labay el Yunusy yang menarik hatinya.

Pendekatan yang dilakukan Engku Zainuddin, bukan hanya mengajar (transfer of knowledge), akan tetapi juga melakukan proses ‘mendidik’ (transformation of value).

commit to user commit to user

(24)

Melalui kemampuan bahasa sastra dan daya ingat yang cukup kuat, ia mulai berkenalan dengan karya-karya filsafat Aristoteles, Plato, Pythagoras, Plotius, Ptolomaios, dan ilmu lainnya. Tatkala berusia 16 tahun, tepatnya pada tahun 1924, ia sudah meninggalkan Minangkabau menuju Jawa, Yogyakarta. Di Yogyakarta Hamka mulai berkenalan dan belajar pergerakan Islam modern kepada H.O.S Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, R.M. Soerjopranoto, dan H. Fakhrudiin. Mereka semua mengadakan kursus-kursus pergerakan di Gedong Abdi Dharmo di Pakualaman, Yogyakarta. Dari mereka itulah Buya Hamka dapat mengenal perbandingan antara pergerakan politik Islam, yaitu Syarikat Hindia Timur dan gerakan sosial Muhammadiyah.

Setelah beberapa lama di Yogya, Buya Hamka berangkat menuju Pekalongan menemui guru sekaligus kakak iparnya AR. St. Mansur, seorang tokoh Muhammadiyah. Di pekalongan inilah Buya Hamka berkenalan dengan Citrosuarno, Mas Ranuwiharjo, Mas Usman Pujotomo, dan mendengar tentang kiprah seorang pemuda bernama Muhammad Roem.

Pada Juli 1925, Buya Hamka kembali ke Padang Panjang dan turut mendirikan Tabligh Muhammadiyah di rumah ayahnya di Gatangan Padang Panjang.

Pada akhir 1925 itu juga A.R. Sutan Mansur kembali ke Sumatera Barat, menjadi mubaligh dan penyebar paham Muhammadiyah di daerah itu. Sejak itu Buya Hamka menjadi pengiring A.R. Sutan Mansur dalam kegiatan Muhammadiyah. Pada Februari 1927 Hamka berangkat ke Mekkah untuk menunaikan Ibadah haji dan menetap beberapa bulan di sana dan baru pada Juli 1927 pulang ke Medan.

Hamka mengawali bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929.

Buya Hamka juga pernah menjadi pemimpin Majalah Pedoman Masyarakat dan terlibat dalam gerakan Muhammadiyah di Sumatera Timur. Buya Hamka juga menjabat sebagai Pemimpin Muhammadiyah di Sumatera Timur sampai jepang masuk ke Indonesia di tahun 1942. Pada Desember 1945 Buya Hamka pindah ke Sumatera

commit to user commit to user

(25)

Barat, dan pada bulan Mei 1946 terpilih menjadi ketua majelis Pemimpin Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat menggantikan kedudukan S.Y. Sutan Mangkuto. Pada Kongres Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto tahun 1953, Buya Hamka terpilih menjadi Anggota Pemimpin Pusat Muhammadiyah.

Pada 1950, Buya Hamka memulai karier sebagai Pegawai Kementerian Agama, yang kala itu menterinya dijabat oleh K.H. Wahid Hasyim. Buya Hamka bekerja sebagai pegawai negeri golongan F, yang bertugas mengajar di beberapa Perguruan Tinggi Islam, seperti Perguruan Tinggi Agama Islam negeri (PTAIN) Yogyakarta, Universitas Islam Jakarta, Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah di Padang Panjang, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, dan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU). Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.

Pada 1959 Buya Hamka berhenti sebagai Pegawai Negeri untuk mematuhi peraturan yang dikeluarkan oleh rezim Soekarno yang melarang pegawai golongan F merangkap sebagai anggota salah satu partai. Pada 1975, Buya Hamka menjadi Ketua Umum Majelsi Ulama Indonesia hingga Mei 1981. Namun, sampai akhir hanyat hidupmya Buya Hamka tetap duduk sebagai Penasihat Pemimpin Pusat Muhammadiyah. Hamka juga dikenal sebagai wartawan, penulis, editor, dan penerbit.

Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, juga pernah menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.

Terdapat banyak sekali karya Buya Hamka baik di bidang Agama, Filsafat, Sastra, Sejarah, Sosiologi dan Politik, baik Islam maupun Barat. Diantara karya-karya Buya Hamka yang terkenal yaitu: Khatibul Ummah, Si Sabariah, Adat Minangkabau

commit to user commit to user

(26)

dan Agama Islam, Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Kepentingan melakukan Tabligh, Hikmat Isra’ dan Mi’raj, Arkanul Islam, Majalah Al-Mahdi, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Merantau Ke Deli, Cemburu, Tashawuf Modern, Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, Lembaga Budi, Islam dan Demokrasi, Merdeka, Kenang-Kenangan hidup (terbit dalam 4 jilid), Sejarah Ummat Islam (terbit dalam 4 jilid), Pribasi, Agama dan Perempuan, 1001 Soal Hidup, Urat Tunggang Pancasila, Tafsir Al-Azhar.

b. Pemikiran Etika Hamka

Hamka menyebut terma etika kadang dengan istilah ilmu akhlak atau ilmu budi pekerti, sebagaimana dia mengatakan:

“Tetapi filsafat alam itu kemudiannya dikembalikan oleh Socrates kepada filsafat diri. Setelah engkau menengadah ke langit, sekarang sudah masanya engkau menilik dirimu sendiri. Timbullah permulaan dari jiwa (psikologi) dan ilmu akhlak (ilmu budi pekerti, etika)” (Hamka, 1996:6)

Istilah etika oleh hamka terkadang disamakan juga dengan istilah budi, sebagaimana dia mengatakan “Filsafat mengatakan bahwasanya timbangan baik dan buruk adalah budi (etika) (Hamka, 1996:183). Hamka menyamakan antara istilah etika dan budi sebagaimana dia mengatakan :

“Ahli-ahli akhlak islam yang besar-besar di zaman dahulu memperkatakan kenaikan budi atau keruntuhannya berpanjang lebar. Ibnu Maskawaih adalah pembahas Ethika (budi) dari segi filsafat. (Hamka, 1993:11)

Selain itu, Hamka melihat bahwa studi etika dapat ditinjau dari tiga sudut pandang. Pertama, dari sudut filsafat yang dilakukan oleh Ibnu Maskawaih dan Ibnu Arabi. Kedua, dari sudut diantara agama dan filsafat sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Hazm, seorang filosof dan ahli fiqh Andalusia. Ketiga, dari sudut tasawuf sebagaimana yang dilakukan oleh al- Ghazali.Hamka juga menyebut etika dengan istilah ilmu budi dan akhlak, sebagaimana dia mengatakan :

“Maka bertimpa-timpalah penyakit yang lain yang disebut di dalam

commit to user commit to user

(27)

pelajaran ilmu budi dan akhlak (etika) (Hamka, 1993:350).

Selain istilah-istilah sebagaimana yang telah disebut diatas, Hamka juga menggunakan istilah fisafat Akhlak dan istilah adab (Hamka, 1956: 11). Dengan demikian, istilah etika oleh Hamka disamakan dengan istilah ilmu budi pekerti, ilmu akhlak, dan filsafat akhlak.

Istilah Ilmu Budi Pekerti adalah gabungan dari tiga kata, Ilmu, Budi, dan Pekerti. Ilmu berarti pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan ) itu. Budi berarti alat batin yang merupakan perpaduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk. Sedangkan kata “pekerti” berarti perangai, tabiat, akhlak, dan watak serta dapat pula berarti perbuatan.

Dengan demikian dapat dipahami istilah Ilmu Budi Pekerti sebagai sebuah pengetahuan yang membahas masalah tabiat dan perbuatan manusia dari sisi baik dan buruk. Ini berarti ilmu budi pekerti yang dimaksud oleh Hamka itu adalah ekuevalen dengan istilah etika.

Hamka dalam mempergunakan istilah Akhlak dan ilmu Akhlak tampaknya juga yang dimaksud adalah etika, sebab istilah tersebut yaitu akhlak dan ilmu akhlak berarti pengetahuan yang membahas masalah laku perbuatan baik dan buruk manusia.

Akhmad Amin misalnya menggunakan istilah Akhlaq dalam pengertian ilmu akhlak atau etika. Dia memberi judul bukunya dengan “ Kitab al-Akhlaq” padahal yang dimaksud dengan istilah akhlaq di dalam buku itu adalah etika, karena dalam pembahasan isi bukunya tersebut membahas masalah-masalah etika. Hasbullah Bakry dalam bukunya Sistematika Filsafat juga menyamakan antara istilah etika dan akhlak.

Terkait dengan arti etika yang disamakan dengan akhlak, yang berarti juga sama dengan moral dapat dipahami dari pendapat K. Bertens. Menurutnya, etika ada yang bermakna praksis dan ada yang bermakna refleksi. Etika yang praksis menunjuk kepada apa yang dilakukan. Etika sebagai praksis sama dengan moral atau moralitas (Berten, 2004:162). Sedangkan etika sebagai refleksi adalah merupakan pemikiran

commit to user commit to user

(28)

tentang moral. Etika sebagai refleksi menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku moral (Berten, 2004: 163).

Hamka juga menggunakan istilah filsafat akhlak dalam arti etika. Istilah filsafat akhlak dalam arti etika banyak digunakan oleh penulis Arab dalam memberi judul buku-buku karya mereka. Etika sebagai bagian dari pembahasan filsafat adalah merupakan bagian dari filsafat atau kearifan praktis (hikmah alamiyah). Filsafat praktis (hikmah ‘amaliyah) adalah pengetahuan mengenai perilaku manusia yang tidak terpaksa, atau pengetahuan tentang tugas-tugas dan kewajiban manusia. Filsafat praktis ini membahas masalah-masalah yang terkait dengan pertanyaan- pertanyaan seperti:

sebaiknya bagaimana, apa yang harus saya lakukan? Sebaliknya, apakah perbuatan ini harusnya tidak saya lakukan?. Penganut filsafat praktis meyakini bahwa manusia memiliki sejumlah tugas maupun kewajiban, dan akal pikiran yang dapat menyingkapnya. Filsafat pratis terbagi menjadi tiga bagian yaitu masalah akhlak (etika), pengaturan rumah tangga, dan masalah sosial politik. Etika (Ilmu Akhlak) sebagai bagian dari filsafat praktis (hikmah ‘amaliyah) pada umumnya di definisikan sebagai ilmu tentang cara hidup atau bagaimana seharusnya hidup.

Etika adalah ilmu kesusilaan, masalah etika menurut Hamka berarti pembicaraan masalah baik dan masalah buruk. Sedangkan pembicaraan masalah indah dan jelek menjadi masalah estetika. Membicarakan masalah etika, berarti membicarakan masalah baik dan buruk dari perbuatan manusia. Berbicara baik dan buruk dari perbuatan manusia berarti membicarakan masalah nilai, yaitu nilai baik dan buruk. Penilaian baik dan buru menurut Hamka dapat diketahui oleh akal manusia.

Sebagaimana dia mengatakan bahwa :

“Dengan itu pulalah dia dapat mengenal mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang jelek dan mana yang indah” (hamka) (1956: 182-183) Dua kata pertama yaitu “dengan itu” pada kalimat di atas merujuk pada makna

“dengan akal”. Jadi menurutnya, etika adalah filsafat yang membicarakan masalah yang baik dan yang buruk. Hal yang senada juga dikatakan oleh Hasbullah Bakry dengan mendefinisikan etika hampir sama dengan Hamka. Dia mengatakan bahwa

commit to user commit to user

(29)

etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan melihat pada amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Sidi Gazalba juga mempunyai pemikiran yang sama dengan Hamka, ia menyebutkan bahwa etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia, dipandang dari nilai baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan akal.

Hamka mengingat persoalan moral dengan sangat jelas. Dia mengatakan hanya dengan moral yang dibangun di atas keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (agama yang kuat), maka manusia dapat diselamatkan dari kehancuran dan dapat menyelesaikan masalah-masalah moralitas bangsa, termasuk bangsa Indonesia.

Hamka sangat besar perhatiannya terhadap permasalahan moral. Hamka memiliki pandangan yang sangat religius dalam hal moralitas. Pandangan religiusitas Hamka inilah yang kemudian akan banyak mempengaruhi pandangan etikannya. Pandangan etikannya inilah juga yang menjadi dasar keprihatinan moral untuk bangsa Indonesia yang sangat dicintainya itu.

Etika yang dibangun oleh Hamka didasarkan di atas keyakinan agama (berbasis tauhid) tampaknya kemudian akan banyak dapat mencegah kemerosotan moral bangsa ini. Makna penting etika Hamka kemudian menjadi sesuatu yang sangat urgen, jikalau bangsa ini tetap berpegang pada pancasila, terutama sila pertama dan sila kedua, yang menjadi dasar Negara ini. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan Beradab, kedua sila ini adalah menjadi pondasi dari moralitas bangsa. Sila pertama menegaskan bahwa moralitas bangsa Indonesia adalah moralitas yang dibangun di atas keyakinan agama, bukan moralitas sekuler. Sila kedua menegaskan bahwa moralitas yang dibangun berdasar pada kemanusiaan dan peradaban.

Etika Hamka mempunyai makna yang penting bagi bangsa Indonesia yang sedang memperbaiki moralitasnya. Pemikiran etika Hamka lebih merupakan etika yang berbasis paham tauhid, dengan demikian, maka semua pemikiran etika Hamka lebih merupakan usaha menjadikan beriman kepada Allah sebagai intinya. Dengan demikian, maka sesungguhnya konsep etika Hamka dapat dimanfaatkan oleh bangsa

commit to user commit to user

(30)

Indonesia dalam rangka membangun bangsa yang bermartabat, sebagaimana bangsa- bangsa lain. Hamka memiliki misi, yakni mengisi moralitas bangsa dengan ajaran agama.

B. Penelitian Relevan

Lee (2005: 31-40) dalam penelitiannya “Putting Principles into Practice:

Understanding History” meneliti tentang bagaimana orang belajar sejarah di sekolah.

Hasil penelitiannya terhadap siswa-siswa menunjukkan bahwa ada tiga kunci utama orang belajar. Kunci pertama, menekankan pentingnya prasangka siswa. Guru harus mempertimbangkan tidak hanya dari apa yang siswa secara nyata tidak tahu, tetapi juga apa yang mereka pikir mereka tahu. Sebagian besar kesenjangan antara apa yang kita ajarkan dan apa yang siswa pelajari disebabkan oleh perbedaan cara pandang siswa.

Kunci kedua, menekankan pentingnya menyediakan siswa dengan struktur konseptual dan alat-alat yang dapat digunakan untuk mengatur dan memanipulasi pengetahuan faktual. Siswa harus memiliki dasar pengetahuan mendalam faktual, tapi ini tidak sama dengan mengatakan bahwa mereka harus belajar semua yang ada untuk tahu tentang topik atau serangkaian topik. Kunci ketiga, menekankan pentingnya pendekatan metakognitif yang memungkinkan siswa untuk merenungkan dan mengendalikan pembelajaran mereka sendiri. Hasil penelitian ini sangat penting, terkait dengan bagaimana seharusnya siswa belajar sejarah dan bagaimana seharusnya guru mengajar sejarah.

Winerburg (2001: vi-xix) dalam bukunya “historical thinking and other unnatural acts charting the future of teaching the past” yang dirangkum dari berbagai hasil penelitiannya menjelaskan tiga hal penting, yakni mengapa belajar sejarah, tantangan bagi siswa dalam belajar sejarah, dan tantangan bagi guru dalam mengajar sejarah. Buku ini terdiri dari tiga bagian penting. Bagian satu berisi penjelasan tentang mengapa belajar sejarah. Bagian ini difokuskan pada jawaban akan pertanyaan apa manfaat sejarah?, mengapa sejarah bahkan perlu diajarkan di sekolah?. Secara singkat dijelaskan bahwa, sejarah memiliki potensi besar yang baru sebagian saja terwujud

commit to user commit to user

(31)

untuk menjadikan kita manusia yang berprikemanusiaan, hal yang tidak dapat dilakukan oleh semua mata pelajaran lain di sekolah. Sejarah mengajarkan kepada kita apa yang tidak dapat kita lihat. Selain itu sejarah paling baik mengajarkan budipekerti karena menimbulkan sikap renda hati dihadapan kemampuan kita yang terbatas di tengah-tengah luasnya sejarah manusia. Pada bagian ini pula dijelaskan perkembangan psikologi belajar dan mengajar sejarah. Winerburg dengan rinci memaparkan perkembangan psikologi belajar sejarah dengan melihat cara-cara para ahli di masa lalu melakukan penelitian tentang belajar dan mengajar sejarah.

Pada bagian dua, tantangan bagi murid. Bagian ini memaparkan temuan-temuan terkait dengan membaca teks sejarah. Pada bagian ini, Winerburg melakukan penelitian degan para sejarawan dan murid-murid sejarah. Dalam kaitan ini, membaca teks sejarah berbeda dengan membaca buku pelajaran sejarah di sekolah dan teks pada umumnya karena sejarah berhubungan dengan dokumen masa lampau. Bukan hanya sekedar membaca tetapi dapat megetahui teks tersebut dengan baik.

Bagian tiga, tantangan bagi guru, yakni bagaimana mengajarkan sejarah dengan pendekatan multidisiplin, menggunakan sarana multimedia yang kini sudah dapat digunakan untuk membantu mengajar seperti film dan kaset rekaman sejarah. Bagian ini secara khusus melihat sejarah dari berbagai macam lensa (peran perspektif ilmu dalam pengajaran sejarah). Beberapa kelemahan dari penelitian ini antara lain adalah terkait dengan contoh-contoh yang diberikan, kebanyakan berasal dari sejarah Amerika Serikat dan Inggris, sehingga tidak dapat dengan serta merta digeneralisasi kepada negara-negara yang lain.

Seixas & Peck (2004: 109-117) dalam penelitiannya “historical thinking”

dilanjutkan dengan “Benchmarks of Historical Thinking: first steps” menghasilkan sebuah kerangka berpikir historis atau yang dikenal dengan “benchmarks of historical thinking” yang terdiri dari: (1) establish historical significance, (2) use primary source evidence, (3) identify countinuity and change, (4) analyze cause and consequence, (5) take historical perspectives, dan (6) understand the moral dimension of historical

commit to user commit to user

(32)

interpretations. Hasil ini kemudian menjadi dasar dalam pertemuan tahunan “The Historical Thinking Project” di Toronto Canada yang sudah berlangsung sejak tahun 2006-2013, yang diikuti peserta dari berbagai negara. Terakhir pertemuan Januari 2013 membahas bagaimana “assessment of historical thinking” berdasarkan enam kemampuan tersebut. Hasil dari berbagai penelitian baik dibadang pengajaran, pengembangan sumber belajar, dan pendekatan dalam belajar sangat optimis dan menantang untuk kemajuan sistem pengajan dan penilaian bidang sejarah di sekolah.

Bain (2005: 179-214) dalam penelitiannya “the thought the world was flat?”

applying the princeples of how people learn in teaching school history”meneliti bagaimana seharusnya siswa belajar dan guru mengajar sejarah di sekolah menengah.

Penelitiannya didahului dengan reviu bagaimana pembelajaran selama ini dilaksanakan. Penekanan pada ingatan fakta, membuat pelajaran sejarah menjadi pembelajaran yang sangat memebosankan, kering makna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, guru harus mengubah pandangan bahwa mengajar sejarah bisa darisatu sumber, tetapi dalam banyak sumber. Mengajar sejarah menuntut guru dan siswa berpikir komplek. Guru membimbing siswa untuk berpikir historis. Studi historismeminta siswauntuk mempertimbangkanapa yang mereka ketahui, bagaimana merekatahu itu, danseberapa yakinatauragu-ragumereka.Belajar danmengajar sejarahmenuntutberpikir kompleksoleh para guru dansiswa.

Penelitian Sutimin, Joebagio, Sariyatun, Abidin (2018). The Development of Deconstuctive of Learning History Model to Promote the Higher Order Thinking Skill of University Students.Penelitian ini menyajikan model belajar sejarah dekonstruktive untuk mempromosikan keterampilan Higher Order Thinking Skill (HOTS) Mahasiswa. Penelitian ini menggunakan model pengembangan Thiagarajan, Semmel, & Semmel (1974) yang dibagi kedalam empat tahap yaitu mendefinisikan, mendesain, mengembangkan, dan menyebarkan. Hasil Temuan yaitu masalah utama pembelajaran sejarah di tingkat mahasiswa adalah berkaitan dengan aspek berfikir kronologis, sikap pasif siswa, dan ketersediaan alat pembelajaran. Penelitian ini

commit to user commit to user

(33)

penting untuk memantau secara berkelanjutan apa yang menjadi permasalahan siswa dalam pembelajaran sejarah yang secara bersamaan akan memberikan informasi penting bagi guru/ tenaga pendidik untuk perbaikan pembelajaran.

Penelitian John A Levisohn (2015) yang berjudul Historical Thinking and Its Alleged Unnaturalness tujuan penelitian adalah mengkritik dua konsep pemikiran historis menurut Sam Wineburg, dengan alasan bahwa kita harus mengganti konsep generik pemikiran historis dengan konsepsi yang jauh lebih tertanam dalam praktik spesifik disiplin. Penelitian menemukan bahwa tidak sepenuhnya salah argument yang dikemukakan oleh Sam Wineburg hal ini dikarenakan bahwa pertama, penafsiran sejarah yang baik memang membutuhkan kepekaan terhadap “masa lalu” ; kedua, studi tentang sejarah memang memiliki potensi untuk memanusiakan manusia yaitu belajar tentang orang lain dapat mendorong kerendahan hati kita tentang apa yang kita pikir kita ketahui. Namun panah kausalitas tidak bergerak hanya satu arah akan tetapi suatu proses saling mempengaruhi.

Penelitian Tim Barnet (2001) yang berjudul Dimensions of Moral Intensity an Ethical Decision Making: An Empirical Study. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh Intensitas moral adalah sebuah konstruksi yang berhubungan dengan isu-isu dalam hal persepsi moral yang dirasakan. Persepsi individu terhadap intensitas moral harus mempengaruhi pengakuan mereka terhadap isu-isu sebagai pengarah dilema moral dan juga harus mempengaruhi penilaian etis dan niat perilaku mengenai isu-isu. Tujuan penelitian adalah menguji hubungan antara 4 dimensi intensitas moral dan proses pengambilan keputusan etis. Hasil penelitian menunjukkan dimensi intensitas moral dikaitkan dengan keputusan etis individu. Konsensus sosial dan keseriusan konsekuensi sangat berpengaruh penting pada proses pengambilan keputusan etis.

Intensitas moral berhubungan secara eksklusif dengan karakteristik masalah atau dilema moral sebagaimana yang dirasakan oleh pembuat keputusan dan terdiri dari beberapa dimensi, termasuk besarnya konsekuensi, konsensus sosial, kemungkinan efek, kedekatan temporal, kedekatan, dan konsentrasi efek. Jones (1991) menunjukkan

commit to user commit to user

(34)

bahwa individu yang dihadapkan dengan masalah yang dianggap memiliki tingkat intensitas moral yang tinggi akan lebih mungkin untuk mengenali masalah ini sebagai memiliki komponen moral, untuk melakukan penalaran etika yang canggih, untuk membentuk niat moral, dan untuk terlibat dalam perilaku etis.

Penelitian Andreas Korber (2017) yang berjudul Historical Awarness and Moral Dimensions. Dalam penelitian ini dakatakan bahwa orintasi sejarah tidak hanya tentang cerdas terhadap apa yang terjadi di masa lalu dan apa yang diharapkan untuk dilakukan di masa depan, tetapi juga tentang mengasah kedua persepsi tentang aturan dan logika standar tentang itu. Berpikir historis sebagai operasi membentuk orientasi tersebut, oleh karena itu harus mengintegrasikan etika dimensi dan temporal serta keterkaitan antara keduanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi moral dan temporal dalam berpikir historis pasti saling terkait, tetapi keterkaitan itubervariasi dan konsistensi mereka dapat ditafsirkan sebagai indicator dari berbagai tingkat berpikir historis.

Penelitian Dwi Ramadani, Sariyatun dan Leo Agung. S (2017) yang berjudul The Effectiveness of Bung Tomo’s Biography Module Based on VCT in Historical Learning to Improve the Value of Patriotism. Penelitian ini bertujuan Mendeskripsikan strategi dan efektivitas modul biografi Bung Tomo berdasarkan nilaiTeknik Klarifikasi (VCT) dalam meningkatkan Nasionalisme dan Patriotisme SMA. Hasil penelitian menunjukkan melalui modul biografi Bung Tomo berdasarkanTeknik Value Clarification (VCT), siswa dapat memahami materi dan memecahkan masalah dalam acara terstruktur. Masalah-masalah yang dikompilasi dalam modul bersifat kontemporer dan terkait dengan biografi Bung Tomoyang akan menjadi contoh untuk meningkatkan nilai nasionalisme dan patriotisme peserta didik.

Sementara itu, materi dalam Modulnya adalah perjuangan historis Bung Tomo.

Pemahaman siswa tentang materi dankemampuan untukmenghubungkannya dengan isu-isu kontemporer dapatmeningkatkan nasionalisme dan patriotisme. Berdasarkan data statistikanalisis, modul biografi Bung Tomo berdasarkan Teknik Klarifikasi Nilai

commit to user commit to user

Referensi

Dokumen terkait

Pautan genetik (genetic linkage dalam bahasa Inggris) dalam genetika adalah kecenderungan alel-alel pada dua atau lebih lokus pada satu berkas kromosom yang sama (kromatid)

Sedangkan untuk mengetahui tingkat akuntabilitas tersebut, perlu adanya Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) yang merupakan bahan utama untuk monitoring dan evaluasi

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman

In measuring phase the sequences (i.e. patterns) of HO and LAU zones can be determined and stored in database on each road. There are operating solutions and IPRs based

Berdasarkan hasil pembahasan yang dikemukakan dalam laporan akhir ini, kesimpulan yang didapatkan ialah untuk tingkat likuiditas perusahaan dianggap likuid tetapi

Penelitian mengenai pengaruh gelombang mikro terhadap tubuh manusia menyatakan bahwa untuk daya sampai dengan 10 mW/cm2 masih termasuk dalam nilai ambang batas aman