• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lee (2005: 31-40) dalam penelitiannya “Putting Principles into Practice:

Understanding History” meneliti tentang bagaimana orang belajar sejarah di sekolah.

Hasil penelitiannya terhadap siswa-siswa menunjukkan bahwa ada tiga kunci utama orang belajar. Kunci pertama, menekankan pentingnya prasangka siswa. Guru harus mempertimbangkan tidak hanya dari apa yang siswa secara nyata tidak tahu, tetapi juga apa yang mereka pikir mereka tahu. Sebagian besar kesenjangan antara apa yang kita ajarkan dan apa yang siswa pelajari disebabkan oleh perbedaan cara pandang siswa.

Kunci kedua, menekankan pentingnya menyediakan siswa dengan struktur konseptual dan alat-alat yang dapat digunakan untuk mengatur dan memanipulasi pengetahuan faktual. Siswa harus memiliki dasar pengetahuan mendalam faktual, tapi ini tidak sama dengan mengatakan bahwa mereka harus belajar semua yang ada untuk tahu tentang topik atau serangkaian topik. Kunci ketiga, menekankan pentingnya pendekatan metakognitif yang memungkinkan siswa untuk merenungkan dan mengendalikan pembelajaran mereka sendiri. Hasil penelitian ini sangat penting, terkait dengan bagaimana seharusnya siswa belajar sejarah dan bagaimana seharusnya guru mengajar sejarah.

Winerburg (2001: vi-xix) dalam bukunya “historical thinking and other unnatural acts charting the future of teaching the past” yang dirangkum dari berbagai hasil penelitiannya menjelaskan tiga hal penting, yakni mengapa belajar sejarah, tantangan bagi siswa dalam belajar sejarah, dan tantangan bagi guru dalam mengajar sejarah. Buku ini terdiri dari tiga bagian penting. Bagian satu berisi penjelasan tentang mengapa belajar sejarah. Bagian ini difokuskan pada jawaban akan pertanyaan apa manfaat sejarah?, mengapa sejarah bahkan perlu diajarkan di sekolah?. Secara singkat dijelaskan bahwa, sejarah memiliki potensi besar yang baru sebagian saja terwujud

commit to user commit to user

untuk menjadikan kita manusia yang berprikemanusiaan, hal yang tidak dapat dilakukan oleh semua mata pelajaran lain di sekolah. Sejarah mengajarkan kepada kita apa yang tidak dapat kita lihat. Selain itu sejarah paling baik mengajarkan budipekerti karena menimbulkan sikap renda hati dihadapan kemampuan kita yang terbatas di tengah-tengah luasnya sejarah manusia. Pada bagian ini pula dijelaskan perkembangan psikologi belajar dan mengajar sejarah. Winerburg dengan rinci memaparkan perkembangan psikologi belajar sejarah dengan melihat cara-cara para ahli di masa lalu melakukan penelitian tentang belajar dan mengajar sejarah.

Pada bagian dua, tantangan bagi murid. Bagian ini memaparkan temuan-temuan terkait dengan membaca teks sejarah. Pada bagian ini, Winerburg melakukan penelitian degan para sejarawan dan murid-murid sejarah. Dalam kaitan ini, membaca teks sejarah berbeda dengan membaca buku pelajaran sejarah di sekolah dan teks pada umumnya karena sejarah berhubungan dengan dokumen masa lampau. Bukan hanya sekedar membaca tetapi dapat megetahui teks tersebut dengan baik.

Bagian tiga, tantangan bagi guru, yakni bagaimana mengajarkan sejarah dengan pendekatan multidisiplin, menggunakan sarana multimedia yang kini sudah dapat digunakan untuk membantu mengajar seperti film dan kaset rekaman sejarah. Bagian ini secara khusus melihat sejarah dari berbagai macam lensa (peran perspektif ilmu dalam pengajaran sejarah). Beberapa kelemahan dari penelitian ini antara lain adalah terkait dengan contoh-contoh yang diberikan, kebanyakan berasal dari sejarah Amerika Serikat dan Inggris, sehingga tidak dapat dengan serta merta digeneralisasi kepada negara-negara yang lain.

Seixas & Peck (2004: 109-117) dalam penelitiannya “historical thinking”

dilanjutkan dengan “Benchmarks of Historical Thinking: first steps” menghasilkan sebuah kerangka berpikir historis atau yang dikenal dengan “benchmarks of historical thinking” yang terdiri dari: (1) establish historical significance, (2) use primary source evidence, (3) identify countinuity and change, (4) analyze cause and consequence, (5) take historical perspectives, dan (6) understand the moral dimension of historical

commit to user commit to user

interpretations. Hasil ini kemudian menjadi dasar dalam pertemuan tahunan “The Historical Thinking Project” di Toronto Canada yang sudah berlangsung sejak tahun 2006-2013, yang diikuti peserta dari berbagai negara. Terakhir pertemuan Januari 2013 membahas bagaimana “assessment of historical thinking” berdasarkan enam kemampuan tersebut. Hasil dari berbagai penelitian baik dibadang pengajaran, pengembangan sumber belajar, dan pendekatan dalam belajar sangat optimis dan menantang untuk kemajuan sistem pengajan dan penilaian bidang sejarah di sekolah.

Bain (2005: 179-214) dalam penelitiannya “the thought the world was flat?”

applying the princeples of how people learn in teaching school history”meneliti bagaimana seharusnya siswa belajar dan guru mengajar sejarah di sekolah menengah.

Penelitiannya didahului dengan reviu bagaimana pembelajaran selama ini dilaksanakan. Penekanan pada ingatan fakta, membuat pelajaran sejarah menjadi pembelajaran yang sangat memebosankan, kering makna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, guru harus mengubah pandangan bahwa mengajar sejarah bisa darisatu sumber, tetapi dalam banyak sumber. Mengajar sejarah menuntut guru dan siswa berpikir komplek. Guru membimbing siswa untuk berpikir historis. Studi historismeminta siswauntuk mempertimbangkanapa yang mereka ketahui, bagaimana merekatahu itu, danseberapa yakinatauragu-ragumereka.Belajar danmengajar sejarahmenuntutberpikir kompleksoleh para guru dansiswa.

Penelitian Sutimin, Joebagio, Sariyatun, Abidin (2018). The Development of Deconstuctive of Learning History Model to Promote the Higher Order Thinking Skill of University Students.Penelitian ini menyajikan model belajar sejarah dekonstruktive untuk mempromosikan keterampilan Higher Order Thinking Skill (HOTS) Mahasiswa. Penelitian ini menggunakan model pengembangan Thiagarajan, Semmel, & Semmel (1974) yang dibagi kedalam empat tahap yaitu mendefinisikan, mendesain, mengembangkan, dan menyebarkan. Hasil Temuan yaitu masalah utama pembelajaran sejarah di tingkat mahasiswa adalah berkaitan dengan aspek berfikir kronologis, sikap pasif siswa, dan ketersediaan alat pembelajaran. Penelitian ini

commit to user commit to user

penting untuk memantau secara berkelanjutan apa yang menjadi permasalahan siswa dalam pembelajaran sejarah yang secara bersamaan akan memberikan informasi penting bagi guru/ tenaga pendidik untuk perbaikan pembelajaran.

Penelitian John A Levisohn (2015) yang berjudul Historical Thinking and Its Alleged Unnaturalness tujuan penelitian adalah mengkritik dua konsep pemikiran historis menurut Sam Wineburg, dengan alasan bahwa kita harus mengganti konsep generik pemikiran historis dengan konsepsi yang jauh lebih tertanam dalam praktik spesifik disiplin. Penelitian menemukan bahwa tidak sepenuhnya salah argument yang dikemukakan oleh Sam Wineburg hal ini dikarenakan bahwa pertama, penafsiran sejarah yang baik memang membutuhkan kepekaan terhadap “masa lalu” ; kedua, studi tentang sejarah memang memiliki potensi untuk memanusiakan manusia yaitu belajar tentang orang lain dapat mendorong kerendahan hati kita tentang apa yang kita pikir kita ketahui. Namun panah kausalitas tidak bergerak hanya satu arah akan tetapi suatu proses saling mempengaruhi.

Penelitian Tim Barnet (2001) yang berjudul Dimensions of Moral Intensity an Ethical Decision Making: An Empirical Study. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh Intensitas moral adalah sebuah konstruksi yang berhubungan dengan isu-isu dalam hal persepsi moral yang dirasakan. Persepsi individu terhadap intensitas moral harus mempengaruhi pengakuan mereka terhadap isu-isu sebagai pengarah dilema moral dan juga harus mempengaruhi penilaian etis dan niat perilaku mengenai isu-isu. Tujuan penelitian adalah menguji hubungan antara 4 dimensi intensitas moral dan proses pengambilan keputusan etis. Hasil penelitian menunjukkan dimensi intensitas moral dikaitkan dengan keputusan etis individu. Konsensus sosial dan keseriusan konsekuensi sangat berpengaruh penting pada proses pengambilan keputusan etis.

Intensitas moral berhubungan secara eksklusif dengan karakteristik masalah atau dilema moral sebagaimana yang dirasakan oleh pembuat keputusan dan terdiri dari beberapa dimensi, termasuk besarnya konsekuensi, konsensus sosial, kemungkinan efek, kedekatan temporal, kedekatan, dan konsentrasi efek. Jones (1991) menunjukkan

commit to user commit to user

bahwa individu yang dihadapkan dengan masalah yang dianggap memiliki tingkat intensitas moral yang tinggi akan lebih mungkin untuk mengenali masalah ini sebagai memiliki komponen moral, untuk melakukan penalaran etika yang canggih, untuk membentuk niat moral, dan untuk terlibat dalam perilaku etis.

Penelitian Andreas Korber (2017) yang berjudul Historical Awarness and Moral Dimensions. Dalam penelitian ini dakatakan bahwa orintasi sejarah tidak hanya tentang cerdas terhadap apa yang terjadi di masa lalu dan apa yang diharapkan untuk dilakukan di masa depan, tetapi juga tentang mengasah kedua persepsi tentang aturan dan logika standar tentang itu. Berpikir historis sebagai operasi membentuk orientasi tersebut, oleh karena itu harus mengintegrasikan etika dimensi dan temporal serta keterkaitan antara keduanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi moral dan temporal dalam berpikir historis pasti saling terkait, tetapi keterkaitan itubervariasi dan konsistensi mereka dapat ditafsirkan sebagai indicator dari berbagai tingkat berpikir historis.

Penelitian Dwi Ramadani, Sariyatun dan Leo Agung. S (2017) yang berjudul The Effectiveness of Bung Tomo’s Biography Module Based on VCT in Historical Learning to Improve the Value of Patriotism. Penelitian ini bertujuan Mendeskripsikan strategi dan efektivitas modul biografi Bung Tomo berdasarkan nilaiTeknik Klarifikasi (VCT) dalam meningkatkan Nasionalisme dan Patriotisme SMA. Hasil penelitian menunjukkan melalui modul biografi Bung Tomo berdasarkanTeknik Value Clarification (VCT), siswa dapat memahami materi dan memecahkan masalah dalam acara terstruktur. Masalah-masalah yang dikompilasi dalam modul bersifat kontemporer dan terkait dengan biografi Bung Tomoyang akan menjadi contoh untuk meningkatkan nilai nasionalisme dan patriotisme peserta didik.

Sementara itu, materi dalam Modulnya adalah perjuangan historis Bung Tomo.

Pemahaman siswa tentang materi dankemampuan untukmenghubungkannya dengan isu-isu kontemporer dapatmeningkatkan nasionalisme dan patriotisme. Berdasarkan data statistikanalisis, modul biografi Bung Tomo berdasarkan Teknik Klarifikasi Nilai

commit to user commit to user

(VCT) efektif untuk meningkatkannasionalisme dan patriotisme.

Penelitan Nunuk Suryani (2010) yang berjudul VCT (Value Clarification Technique) Learning Model Application to Improve Historical Value Understanding. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa pembelajaran sejarah disebut sebagai transfer nilai. Peran pendidikan sejarah sangat penting dalam pengajaran tentang nilai-nilai, moral dan spiritual. Dengan menginternalisasi nilai-nilai ini akan terbentuk nasionalisme dalam sikap siswa. Pembentukan sikap nasionalistis penting untuk mengantisipasi tantangan global dan berbagai guncangan yang melanda disintegrasi Indonesia baru-baru ini. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa sikap nasionalisme dapat menghasilkan dinamika sosial di masa lalu. Pendidikan Sejarah dapat dikatakan memiliki nilai pendidikan jika pendidikan sejarahdapat berkontribusi membuat siswa menjadi seseorang yang memiliki sikap bijak atau memiliki nilai moral yang luhur. Pendekatan moral adalah pendekatan yang menekankan pada nilai makna yang terkandung dalam materi yang disajikan sejarah. Siswa harus terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran. Agar sejarah belajar lebih bermakna atau bernilai tinggi, guru dapat menggunakan metode yang dapat menginternalisasi nilai-nilai di dalamnya.

Salah satunya adalah model klarifikasi nilai. Model pembelajaran klarifikasi nilai pertama kali digunakan oleh Louis Raths pada 1950-an saat mengajar di New York University. Model pembelajaran VCT (Teknik Klarifikasi Nilai) adalah “model pembelajaran yang membantu siswa dalam menemukan dan menentukan nilai yang dianggap baik dalam menangani masalah melalui proses analisis nilai yang ada pada diri siswa. Pendekatan ini akan membantu siswa memahami dan menemukan nilai / makna peristiwa sejarah secara mendalam (makna tertinggi). Hasil temuan adalah bahwa model VCT menghasilkan pemahaman sejarah yang lebih baik daripada model konvensional. Siswa dengan kecerdasan emosional tinggi memiliki pemahaman tentang nilai historis yang lebih baik daripada siswa dengan kecerdasan emosional rendah. Penelitian ini sangat penting dalam pemahaman model pembelajaran VCT yang digunakan dalam pengembangan bahan ajar sejarah digital berbasis pemikiran Hamka nantinya.

commit to user commit to user

Kondisi yang diharapkan:

1. Terdapat bahan ajar sejarah digital 2. Penggunaan bahan ajar yang interaktif 3. Siswa mengetahui nilai-nilai pemikiran

tokoh

4. Mengingkatkan keterampilan berpikir historis

Kondisi Awal:

1. Belum terdapat bahan ajar sejarah yang berbasis digital

2. Masih kurangnya penggunaan bahan ajar yang interaktif

1. Keterampilan berpikr historis siswa masih rendah

2. Kurangnya bahan ajar sejarah yang berbasis digital

3. Kurangnya bahan ajar sejarah yang membahasa nilai-nilai pemikiran tokoh Solusi

Pengembangan Bahan Ajar Sejarah (digital) Berbasis Pemikiran Tokoh

Model The Six Concept of Historical Thinking

Uji Implementasi Uji Efektifitas Tidak Efektif

Efektif

Draft Final Bahan Ajar Sejarah Digital berbasis Pemikiran Etika Hamka commit to user commit to user

D. Model Hipotetik model The Six Concept of Historical

thinking dengan pendekatan Value

Dokumen terkait