• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Ijtihad da n Tajdid Ibnu ‘Āsyūr

BIOGRAFI MUHAMMAD AṬ-ṬĀHIR BIN ‘ĀSYŪR A Latar Belakang Sosiokultural

J. Pemikiran Ijtihad da n Tajdid Ibnu ‘Āsyūr

Muhammad aṭ-Ṭāhir Bin Āsy”r menguasai berbagai bidang keilmuan dan kajian, antara lain: Bahasa, Sastra, Tafsir, Hadis, Usul Fikih, Fikih Pendidikan, Sejarah, Filsafat, dan Dialektika, bahkan Kedokteran.56 Ia adalah seorang

mujtahid dan mujadid. Manifestasi ijtihadnya terlihat nyata dalam karya- karyanya, seperti: Tafsir at-Taḥrīr wa at-Tanwīr, Maqāṣid asy-Syarī ah al-

Islāmiyah, dan Alaysa aṣ-Ṣubḥu bi Qarīb. Dalam Pengantar tafsir at-Taḥrīr wa at-

Tanwīr, misalnya, ia menyatakan, Saya mewajibkan diri dalam Tafsir Alquran untuk mengemukakan hal-hal yang belum pernah saya lihat ada yang menerangkannya sebelum ini. Saya juga memposisikan diri sebagai hakim bagi para mufasir dengan berbagai pendekatan; suatu ketika saya mendukung

53 Maḥf”ẓ, Tarājum, j. ))), h. . 54 Al-Gāliy, Syaikh, h. 71

55Ibid, h. 68.

mereka tetapi di lain kesempatan saya menggugatnya, karena sekedar mengulang-ulang ungkapan yang telah sudah justru memberhentikan aliran

makna Alquran yang tidak ada habisnya. 57 Ia menarjih kebolehan tafsir bir-ra`yi

dengan mengemukakan dalil-dalil tekstual dan faktual yang kuat, bahkan memandangnya sebagai suatu kemestian tanpa mengabaikan tafsir bil-ma`ṡūr.

)bnu Āsy”r menulis, Saya melihat ada dua arus besar yang berseberangan

dalam menyikapi pendapat generasi terdahulu: arus pertama semata berpedoman kepada gagasan-gagasan mereka, sementara yang lain berusaha meruntuhkan segala sesuatu yang telah berjalan berabad-abad. Kedua sikap ini banyak mudaratnya. Di luar itu terdapat pilihan lain untuk mengobati kepak sayap yang telah patah, yaitu: mengambil apa yang telah dikemukakan oleh para pendahulu kita, menyaripatikan lalu melakukan pengayaan. Jangan sampai kita menafikan dan memusnahkan apa yang telah mereka lakukan; ketahuilah, bahwa menutup-nutupi jasa-jasa mereka merupakan suatu bentuk kufur nikmat, mengingkari keutamaan para pendahulu tidak termasuk akhlak terpuji suatu umat.58

Gagasan pembaharuan )bnu Āsy”r termanifestasi dalam pembaharuan

sistem pendidikan az-Zait”nah yang dipercayakan kepadanya. )a sependapat bahwa agama dan dogma termasuk faktor terpenting penentu bangkit dan jatuhnya suatu umat,59 oleh karenanya krisis yang terjadi di Tunisia dan Dunia

Islam secara umum pada saat itu merupakan indikator kelemahan lembaga pendidikan Islam dalam memenuhi kebutuhan umat terhadap pemahaman dan pengamalan yang baik tentang Islam. Perubahan pesat yang terjadi di berbagai penjuru dunia menuntut perubahan pola pikir, nalar, dan nilai-nilai secara cepat pula, sehingga institusi pendidikan dituntut dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut, perubahan metode pembelajaran, sistematik bahan ajar, kompetensi pengajar dan lain-lain. Sayangnya umat Islam dengan sistem pendidikannya terlihat gagap menghadapi perubahan-perubahan itu, tidak

57 Al-Maisāwiy, h. 16.

58 Muhammad a-Ṭāhir bin ʻĀsy”r, Tafsīr at-Taḥrīr wa at-Tanwīr, (Tunis: ad-Dār

at-Tunusiyyāh lin-Nasyr, 1984M), j. I, h. 7.

41

tampak upaya pembenahan dan inovasi yang memadai sesuai kebutuhan kebutuhan zaman.60

Sebagai langkah awal perbaikan analisis )bnu Āsy”r melakukan kritik

terhadap kompetensi tetaga pendidik, sistem, dan sistematik buku ajar sebagai bagian utama faktor ketertinggalan pendidikan Islam. Ia juga secara spesifik mendeskripsikan sisi-sisi lemah sistematik yang harus dibenahi dari satu per satu disiplin ilmu keislaman yang telah dikenal: Ilmu Tafsir, Hadis, Fikih Usulfikih, Ilmu Kalam, Bahasa Arab, Balagah, Sejarah, Filsafat dan Matematik, dan Mantik. Terkait penelitian tesis ini, elaborasi maqāṣid syarī ah yang tidak memadai, menurutnya menjadi salah satu faktor kejumudan Usul Fikih sebagai legal teori hukum Islam; ia mengatakan,

لوصأا ي اهونوܱي مف ܑعيرلا ܱصاقم نع ةفغلا : عبارلا

ي ايلق ا܅يش اوܘبثأ امإ

و , ܑب سانما ثحبم : ثم , ةعلا كاسم

نو ت نا ىوأا ناو, ةسرما ܑحلصماو , ةاخإا

ربك فاخ عفتري اه نأ ؛لوصأل لوأا صأا

...

[Yang keempat: abai terhadap maqāṣid syarī ah, sehingga mereka tidak memasukkannya ke dalam Usul Fikih, selain sedikit dalam pembahasan masālik ilat seperti: pembahasan munasabah, ikhālah, maṣlaḥah mursalah, padahal semestinya adalah pondasi awal Usul [Fikih], karena dengannyalah khilafiah yang besar dapat dihilangkan...].61

Maqāṣid syarī ah menurutnya adalah tolok ukur tepat atau tidaknya suatu istinbat hukum, tetapi Usul Fikih sebagai landasan teori Fikih tidak menyediakan ruang yang cukup untuk pengkajian maqāṣid syarī ah. Makna dan fungsi maqāṣid

syarī ah terkerdilkan oleh penempatannya yang hanya pada setingkat sub bahasan dari topik parsial, sementara kaidah-kaidah Usul Fikih itu sendiri lebih terkonsentrasi pada elaborasi nas secara kebahasaan, sebagaimana Kaidah Usul Fikih itu sendiri didefinisikan, yaitu: kaidah-kaidah kebahasaan yang berhubungan dengan lafal dan semantik ayat-ayat Alquran dan Sunnah, yang digali dari tata cara berbahasa bangsa Arab, sebagai alat bantu bagi mujtahid untuk menemukan hukum syariat.62 Nas semata memiliki keterbatasan untuk

60 Āsy”r, Alaysa, h. 100. 61Ibid, h. 177.

memahami suatu perintah secara komprehensif; terdapat perbedaan paham yang signifikan antara orang yang mendengarkan suatu perintah dari pihak kedua, dengan orang yang memiliki kecakapan yang sama yang mendengarkan dan berhadapan langsung dengan si pemberi perintah. Kesimpulan orang yang kedua tentu lebih akurat dan menyeluruh daripada orang yang pertama karena ia memiliki data dan informasi yang lebih lengkap, selain teks perintah, tentang maksud yang sesungguhnya dari pemberi perintah. Ilmu maqāṣid syarī ah meneliti indikator-indikator internal dan ekternal teks untuk memahami tujuan yang menjadi substansi hukum. Oleh karena itu Bin Āsy”r menekankan keharusan menjadikan maqāṣid syarī ah sebagai topik utama dalam pengkajian kaidah istinbat hukum Islam. Lebih jauh ia mewacanakan maqāṣid syarī ah sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang sejajar dengan Usul Fikih, tidak lagi menjadi sub-bab dalam Usul Fikih. Kitab Maqāṣid asy-Syarī ah al-Islāmiyyah

karyanya sepertinya representasi kesungguhan )bnu Āsy”r untuk mewujudkan gagasan tersebut.