• Tidak ada hasil yang ditemukan

قي رطلا (at-thariiq) artinya jalan, cara melakukan sesuatu perbuatan, tabiat dan perikehidupan atau dapat pula diartikan dengan kata (al 'idaamah) yang artinya

4.5. PEMIKIRAN IMAM AHMAD BIN HANBAL MENGENAI KEDUDUKAN IJMA''

Secara bahasa kata Ijma'' berarti al-'azm, hal ini sebagaimana yang terdapat

dalam Al Qur'an Surat Yunus ayat 71:

ْاﻮُﻌِْﲨَﺄــَﻓ ْﻢُﻛَﺮــْﻣَأ ْﻢُﻛءﺎَﻛَﺮــُﺷَو ;

"Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku)". Kata Ijma'' berasal dari kata

ُعِمجُي

(yujmi'u),

أ َعَمج

(ajma'a) menjadi

اًع

اَمج إ

(ijma''an) yang berarti

ق افتلاا

(al ittifaqu) yang artinya kesepakatan, kesatuan pendapat atau konsensus. Hal ini merupakan pendapat Mahdjuddin (1995: 72) dalam buku Dirasah Islamiyah Bagian Ilmu Fiqh. Adapun pengertian secara istilah sebagaimana pernyataan Abdul Wahhab Khallaf (1985:62) bahwa Ijma' adalah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah wafat, terhadap hukum syara' tentang suatu masalah atau kejadian.

Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin (2007: 101-102) membagi ijma'' menjadi dua macam yaitu Ijma' Qoth'i dan Ijma' Dzonni. Adapun Ijma' Qoth'i adalah Ijma' yang diketahui keberadaannya di kalangan umat ini dengan pasti, seperti ijma' atas wajibnya sholat lima waktu dan haramnya zina. Ijma' jenis ini tidak ada seorangpun yang mengingkari ketetapannya dan keberadaannya sebagai hujjah, dan dikafirkan orang yang menyelisihinya jika ia bukan termasuk orang yang tidak mengetahuinya. Adapun Ijma'' Dzonni adalah Ijma' yang tidak diketahui kecuali dengan dicari dan dipelajari (tatabbu' & istiqro'). Dan para ulama telah berselisih tentang kemungkinan tetapnya ijma'' jenis ini, dan perkataan yang paling rajih dalam masalah ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang mengatakan dalam Aqidah

Al-Wasithiyyah: "Dan ijma' yang bisa diterima dengan pasti adalah ijma''nya

as-salafush-sholeh, karena yang setelah mereka banyak terjadi ikhtilaf dan umat ini telah tersebar".

Adapun mengenai ijma' salafush-sholeh khususnya para sahabat, Imam Ahmad telah menyatakan hal tersebut: "Pondasi Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh pada jalan hidup para sahabat Rasulullah Shalallahu'alaihi wa Sallam (dan) menjadikan mereka sebagai teladan" (Ahmad bin Hanbal, 2008: 37). Tentunya pernyataan Imam Ahmad tersebut berdasarkan dalil-dalil tidak hanya mengandalkan hasil pemikiran rasionalitas semata. Adapun dalil dari al Qur'an adalah:

Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali (al Qur'an Surat An Nisa ayat 115).

Sedangkan dalil dari as Sunnah adalah:

Sesungguhnya barangsiapa dari kalian yang hidup (sesudah aku wafat) maka ia akan melihat banyak perselisihan. Maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafa ur-Rasyidin, gigitlah erat-erat dengan gigi geraham kalian. (Hadits Shahih Sunan Abu Dawud dari 'Irbadh bin Sariyyah no. 3851).

Dengan dalil al Qur'an dan Sunnah tersebut maka Imam Ahmad sangat mempercayai terhadap 'ijma' para sahabat Nabi. Adapun mengenai adanya ijma' selain dari para sahabat Nabi maka Imam Ahmad tidak mengakuinya. Imam Ahmad (dalam Moenawar Khalil, 1977: 266) berkata: "Barangsiapa mengakui adanya ijma' maka ia telah berdusta". Hal ini menurut Moenawar Khalil ( 1977: 266) adalah karena para ulama kaum Muslimin telah menyebar ke berbagai penjuru dunia dan kalau pun ada upaya untuk mengumpulkan mereka maka hal tersebut merupakan perkara yang tidak mudah untuk dilakukan. Pernyataan mengenai adanya ijma' dalam suatu wilayah belum dapat dikatakan sebagai ijma'. Hal ini menurut Moenawar Khalil ( 1977: 266) karena bisa jadi terdapat ulama di wilayah lainnya yang tidak menyetujui ijma' tersebut.

Menurut Ibnu Taimiyyah (dalam Muhammad Amin, 1991: 69) Imam Ahmad mengingkari adanya Ijma' setelah generasi sahabat, tabi'in dan tabiut tabi'in. Periode tersebut merupakan periode terbaik yang sebagaimana diterangkan dalam al Qur'an dan Hadits. Adapun dalil dari al Qur'an adalah:

Dan generasi yang terdahulu dan pertama-tama (masuk Islam) diantara kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung (al Qur'an surat at Taubah ayat 100).

Adapun dalil dari al hadits adalah:

Rasullullah Shalallahu 'alaihi wa salam bersabda:"Sebaik-baik manusia adalah generasiku (generasi Rasulullah & Shahabat), kemudian orang-orang sesudah mereka (Tabi'in) kemudian orang-orang sesudah mereka (Tabi'ut Tabi'in.). Sesudah itu akan datang kaum yang kesaksian mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya" (HR.Bukhari IV/189, Muslim VII/184-185 dan Ahmad I/424 ).

Imam Bukhari (dalam Ibnul Qayyim, 2000: 74) meriwayatkan bahwasannya Musayyab bin Rafi' berkata: "Apabila Umar bin al-Khattab mendapatkan perkara yang belum ada ketentuannya dalam kitab dan Sunnah maka ia mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah dan mencari keputusan bersama. Jika keputusan itu telah disepakati bersama maka itulah yang dianggap benar. Salah satu contoh ijma' para sahabat adalah mengenai haramnya perbuatan hiyal.

Salah satu perbuatan Hiyal yang dikutip oleh Ibnul Qayyim (2000: 505) adalah seseorang yang mengumpulkan berbagai jenis harta namun sebelum mencapai satu tahun (haul) ia telah menjual beberapa dari hartanya tersebut dengan tujuan agar tidak dibebani untuk membayar zakatnya. Maka Ibnu Qayyim menyimpulkan bahwa hiyal adalah bentuk manipulasi kepada Allah. Dalam permasalahan ini para sahabat telah berijma' akan keharaman dari perbuatan tersebut. Adapun ijma' yang dimaksud adalah ketika 'Umar bin al-Khattab berkhutbah dihadapan rakyatnya di mimbar Rasuulah

Shalallahu 'alaihi wa Salam: "Sudah pasti pelaku Mudhalil dan mudhalal lahu akan aku rajam". Keputusan 'Umar ini disetujui oleh para sahabat lainnya. "Ijma' para sahabat tersbut diikuti oleh para tabi'in seperti fuqaha Madinnah yang menjadi murid Zaid bin Tsabit, fuqaha di Kufah yaitu Abdullah bin Mas'ud dan di Basrah seperti Abu al-Sya'taa, Hasan Bashri dan Ibnu Sirin yang juga diikuti oleh murid-murid Ibnu Abbas" (Ibnul Qayyim, 2000: 557).

Dalam perkara Hiyal ini terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan mengenai sikap Imam Ahmad. Hubeisy bin Mubasyir (dalam Ibnul Qayyim, 2000: 561) berkata bahwa Imam Ahmad ditanya tentang seseorang yang membeli budak wanita yang kemudian memerdekakannya dan pada hari itu juga ia mengawininya, apakah ia dapat menggauli istrinya yang baru dinikahinya itu? Maka Imam Ahmad menjawabnya "Bagaimana ia bisa menyetubuhi istrinya pada hari pernikahannya tersebut karena sebelum dimerdekakan oleh pemiliknya pun wanita itu telah digaulinya". Masalah tersebut berkaitan dengan hiyal maka Imam Ahmad marah dan berkata "Masalah ini benar-benar tidak berguna".

Imam Ahmad (dalam Ibnu Qayyim, 2000: 509) pernah meriwayatkan pendapat Musa bin Sa'id al-Didani yang berkata: Hiyal sama sekali tidak boleh dilakukan. Bahkan Imam Ahmad berpendapat bahwa orang yang membolehkan perbuatan hiyal adalah kafir. Sehingga sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim bahwa siapa pun yang membolehkan fatwa berkenaan dengan hiyal seperi ini maka ia telah mengadakan perubahan dalam Agama Islam satu persatu.

Adapun sikap Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Asy-Syafi'i (dalam Wahbah az Zuhayli, 2005:319) dalam menyikapi perbuatan Hiyal sepakat akan terlarangnya perbuatan tersebut. Dalam masalah zakat misalnya Imam Malik berpendapat bahwa jika pemilik barang mengganti jenis barang yang harus dizakati

dengan jenis barang lainnya dengan tujuan menghindar dari kewajiban membayar zakat atau dengan sengaja merusak barang tersebut supaya tidak mencapai nisab maka orang tersebut tetap dikenai kewajiban untuk membayar zakat. Adapun Imam Hanafi dan Imam Syafi'i beranggapan bahwa kewajiban membayar zakat dapat gugur jika hartanya berkurang sebelum jatuh tempo (hawl) misalnya harta tersebut berkurang karena digunakan untuk kebutuhan hidup.

Pendapat para sahabat yang menjadi dasar hukum setelah al Qur'an dan as Sunnah menurut Imam Ahmad ternyata tidak seluruh pendapat tersebut diikuti oleh Imam Ahmad. Misalnya mengenai pendapat Muadz dan Muawiyah Radhialahu'anhum yang membolehkan orang Islam mewarisi (tirkah) orang kafir karena dianggap menyalahi nash (al Qur'an dan as Sunnah). Nash yang dimaksud adalah hadits: "Dari Usman bin Zaid, bahwasannya Nabi Shalallahu'alaihi wa Salam bersabda: "Orang Islam tidak boleh mewarisi orang kafir dan demikian juga orang kafir tidak berhak mewarisi orang Islam" (Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim, hadits no. 972 dalam kitab Bulughul Maram).

Perbuatan atau pendapat para shahabat yang bertentangan dengan hadits shahih tidak diterima oleh Imam Ahmad. Bahkan beliau telah mengingkari orang-orang yang menganggap hal itu sebagai ijma' jika bertentangan dengan hadits shahih. Mendahulukan semua yang telah disebutkan diatas dari hadits yang shahih merupakan sesuatu yang dibenarkan. Imam asy-Syafi’i di dalam kitab ar-Risalah al-Jadidah (dalam al-Albani, 2009: http://portege181.wordpress.com/2009 /04/15/mendahulukan-qiyas-dan-yang-lainnya-atas-hadits-ahad-adalah-kaidah-yang-batil/) mengatakan bahwasanya sesuatu yang tidak diketahui adanya pertentangan padanya tidaklah dinamakan ijma. Hadits-hadits Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam dalam pandangan Imam Ahmad dan imam yang lainnya adalah lebih mulia dan lebih utama daripada ijma’ sekalipun.

4.6. PEMIKIRAN IMAM AHMAD BIN HANBAL MENGENAI KEDUDUKAN

Dokumen terkait