• Tidak ada hasil yang ditemukan

قي رطلا (at-thariiq) artinya jalan, cara melakukan sesuatu perbuatan, tabiat dan perikehidupan atau dapat pula diartikan dengan kata (al 'idaamah) yang artinya

4.6. PEMIKIRAN IMAM AHMAD BIN HANBAL MENGENAI KEDUDUKAN QIYAS

Secara lughat (etimologi) kata Qiyas berasal dari kata

َس اق

(qaasa),

ُسيقي

(yaqiisu) menjadi

اًس ايِق

(qiyaasan) yang berarti ةي وستلا (at taswiyatu) yang ُ◌ artinya mempersamakan atau dapat juga dikatakan memikirkan sesuatu melalui alat yang lain (mengasosiasikan). Hal ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Mahdjuddin (1995: 76) dalam buku Dirasah Islamiyah Bagian Ilmu Fiqh. Adapun arti secara istilah (terminologi) menurut Ibnu Taimiyyah (dalam Muhammad Amin, 1991:83) adalah menghimpun dua masalah yang serupa dan memisahkan (membedakan) dua masalah yang berbeda.

Ketika menjelaskan tafsir surat al A'raf ayat 12 yaitu: "Iblis menjawab "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah" maka Imam Ibnu Katsir (2008) menjelaskan bahwa Iblislah yang pertama kali menggunakan kaidah qiyas. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Sirin. Menanggapi hal tersebut Abu Hamzah (2006: http://www.asysyariah.com/ syariah.php?menu=detil&idonline=351) berpendapat bahwa analogi atau qiyas Iblis ini adalah qiyas yang paling rusak. Qiyas ini batil karena bertentangan dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menyuruhnya untuk sujud. Adapun qiyas jika berlawanan dengan nash (al Qur'an dan as Sunnah), maka ia menjadi batil karena maksud dari qiyas adalah menetapkan hukum yang tidak ada padanya nash (al Qur'an dan as Sunnah), mendekatkan sejumlah perkara kepada yang ada nashnya, sehingga keberadaannya menjadi pengikut bagi nash. Bila qiyas itu berlawanan dengan nash dan tetap digunakan atau diakui maka konsekuensinya akan menggugurkan nash.

Imam Ahmad (2008: 43) berpendapat bahwa qiyas tidak dapat diberlakukan pada as Sunnah. Adapun as Sunnah yang dimaksud adalah berbagai permasalahan yang mencakup aqidah (keyakinan) dan yang ada pada masalah tersebut hanyalah dalil-dalil yang bersifat pasti (qath'i) dan bersikap mengikuti dalil (tauqifiyyah) karena masalah aqidah tidak dapat dipahami dengan akal pikiran belaka. Misalnya ketika membahas mengenai takdir baik dan takdir buruk Imam Ahmad (2008:61-62) berkata:

Tidak boleh mengatakan: kenapa dan bagaimana karena hal itu tiada lain hanyalah membenarkan dan mengimaninya. Barangsiapa yang tidak mengetahui penafsiran suatu hadits (tentang takdir) dan tidak dapat dicapai oleh akalnya maka sesungguhnya hal tersebut telah cukup dan sempurna atasnya (tidak perlu berdalam-dalam lagi). Maka wajib baginya beriman, tunduk dan patuh dalam menerimanya, seperti hadits’As shadiqul masduq dan hadits-hadits yang seperti ini dalam masalah taqdir.

Adapun hadits’As shadiqul masduq yang dimaksud adalah:

Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radiallahuanhu beliau berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan (As shadiqul masduq): Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara :menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Demi Allah yang tidak ada Ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga. (Riwayat Bukhori dan Muslim dalam Ibnu Rajab, 2005: 18-19).

Dalam penjelasan berikutnya Imam Ahmad (2008: 62) berkata:

Walaupun terasa asing pada pendengaran dan berat bagi yang mendengar, akan tetapi wajib mengimaninya dan tidak boleh menolak satu huruf pun, dan juga hadits-hadits lainnya yang ma’tsur (diriwayatkan) dari orang-orang terpercaya (tsiqah), jangan berdebat dengan seorangpun, tidak boleh pula mempelajari ilmu jidal, karena berbicara tanpa ilmu dalam masalah takdir, ru’yah dan Qur’an dan masalah lainnya yang terdapat dalam Sunnah adalah

perbuatan yang dibenci dan dilarang, pelakunya tidak termasuk ahlus Sunnah walaupun perkataannya mencocoki Sunnah sampai dia meninggalkan perdebatan dan mengimani atsar.

Dari perkataan Imam Ahmad tersebut tampaklah sikap tegas beliau mengenai larangannya melakukan qiyas dalam masalah-masalah yang menyangkut dengan keyakinan (aqidah). Perkataan Imam Ahmad tersebut berkaitan dengan jiwa jamannya ketika itu. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim (2000:70) bahwa kelompok Jahmiyyah, Mu'tazilah dan Qadariyyah menggunakan hasil pemikirannya sendiri untuk menolak nash yang shahih. Mereka menolak maknanya hingga mentakwilkannya kepada makna yang sesat menurut pemahaman

ahl hadits ketika itu. Salah satu keyakinan yang ditolak oleh golongan-golongan

tersebut adalah mengenai dilihatnya Allah pada hari kiamat.

Perkara dilihatnya Allah pada hari kiamat terdapat pada berbagai nash diantaranya dalam al Qur'an Surat al-Qiyamah ayat 22-23: "Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nyalah mereka melihat". Adapun dalam as Sunnah yaitu:

Sesungguhnya manusia telah bertanya kepada Rasulullah Shalallahu'alaihi wa Sallam: Wahai Rasulullah! Adakah kami dapat melihat Rabb kami pada Hari Kiamat?” Rasulullah Shalallahu'alaihi wa Salam menjawab: “Adakah yang memudharatkan kalian jika kalian melihat bulan pada malam purnama”? Mereka menjawab: “Tidak, wahai Rasulullah!” Beliau bertanya lagi kepada mereka: “Adakah yang memudharatkan kalian jika kalian melihat matahari yang tidak dilindungi awan?” Mereka menjawab: “Tidak wahai Rasulullah!” Kemudian beliau Shalallahu'alaihi wa Salam bersabda: “Begitu juga kalian akan -Nya…” (HR. Bukhari Muslim).

Menanggapi berbagai nash tersebut Imam Ahmad (2008:75-79) berkata: Beriman dengan ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat Allah) pada hari kiamat sebagaimana diriwayatkan dari Nabi Shalallahu ’alaihi wasallam dalam hadits-hadits yang shahih. Nabi Shalallahu ’alaihi wasallam sungguh telah melihat Rabbnya, hal ini telah ma’tsur dari Rasulullah Shalallahu ’alaihi wa sallam diriwayatkan oleh Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dan diriwayatkan oleh Al Hakam bin Iban dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, diriwayatkan pula oleh Ali bin Zaid dari Yusuf bin Mihram dari Ibnu Abbas, dan kita memahami hadits ini sesuai dengan dhahirnya sebagaimana

datangnya dari Rasulullah Shalallahu ’alaihiwasallam dan berbicara (tanpa ilmu) dalam hal ini adalah bid’ah, akan tetapi kita wajib beriman dengannya sebagaimana dhahirnya dan kita tidak berdebat dengan seorangpun dalam masalah ini.

Mengenai pertentangan antara ahl ra'yu yang mengedepankan logika dan qiyas dengan ahl dzahiri yang memegang nash tekstual secara berlebihan Ibnul Qayyim (2000:186) memaparkan bahwa orang-orang yang menggunakan ra'yu (pendapat) dan qiyas akan mengartikan makna-makna nash lebih dari apa yang dimaksudkan oleh pembuat syari'at. Adapun orang-orang yang berpegang teguh pada lafadz dan dzahir (mengartikan secara tekstual) akan menyederhanakan makna-maknanya. Contoh dari pernyataan ini adalah jika ada darah yang terpercik ke dalam air laut maka berdasarkan qiyas hal tersebut merupakan najis yang mengakibatkan najisnya air laut walaupun percikan hanya sebesar ujung jarum. Berdasarkan contoh tersebut maka qiyas tidak dapat dilakukan secara berlebihan dan sesuai norma.

Norma atau rukun-rukun qiyas ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Abdul Wahhab Khallaf (1989: 87-89) dan Insyafli (2009: http://insyafliptapadang.blogspot.com/2009/05/kajian-illat-hukum.html) yaitu:

1. Al-ashlu. Para fuqaha mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyâs, dimana

suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya (al-maqîs ‘alaihi), dan

musyabbah bih (tempat menyerupakan), juga diartikan sebagai pokok, yaitu

suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Imam Al-Amidi dalam al-Mathbu’ mengatakan bahwa al-ashlu adalah sesuatu yang bercabang, yang bisa diketahui (hukumnya) sendiri. Contohnya adalah pengharaman ganja sebagai qiyâs dari minuman keras adalah dengan menempatkan minuman keras sebagai sesuatu yang telah jelas keharamannya, karena suatu bentuk dasar tidak boleh terlepas dan selalu dibutuhkan Dengan

demiklian maka al-aslu adalah objek qiyâs, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya.

2. Hukmu al-ashli atau hukum asli; adalah hukum syar’i yang ada dalam nash atau ijma’, yang terdapat dalam al-ashlu.

3. Al-far’u. Adalah sesuatu yang dikiaskan (al-maqîs), karena tidak terdapat dalil

nash atau ijma’ yang menjelaskan hukumnya.

4. Al-‘illah. Adalah sifat hukum yang terdapat dalam al-ashlu, dan merupakan

benang merah penghubung antara al-ashlu dengan al-far’u, seperti “al-iskâr”.

Nash (al Qur'an dan as Sunnah) merupakan dasar utama yang harus digunakan

sebelum menggunakan qiyas. Maka jelaslah bahwa menurut Imam Ahmad qiyas hanya berlaku bagi berbagai perkara selain keyakinan (aqidah) seperti hal-hal dalam pembahasan kitab-kitab fikih ataupun ushul fiqh. Jika hal ini tidak dijadikan sebagai kaidah dalam qiyas maka akan banyak hadits-hadits yang bertentangan diantaranya adalah hadits mengusap bagian atas kaus kaki (khuf). Imam Ahmad (dalam al-Qathani, 2004:94) menyatakan bahwa tidak ada ganjalan sedikitpun dalam hatiku tentang masalah mengusap kaus kaki (khuf). Tentang hal ini terdapat 40 hadits baik yang periwayatannya sampai kepada Nabi Muhammad Shalallahu'alaihi wa Salam maupun yang hanya sampai kepada para sahabat.

Salah satu hadits tersebut diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari al-Mughirah bin Syu'bah Radhiallahu'anhu. bahwa ia berkata "Saya pernah pergi bersama Nabi Shalallahu‘alaihi wa salam dalam perjalanan ketika beliau hendak berwudhu saya bermaksud melepas khuf yang dipakai oleh beliau. Melihat hal ini Nabi berkata: "Jangan kamu lepas, karena khuf ini suci!". Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani, Ibnu Hibban dan di shahihkan oleh Syaikh Albani dalam kitab al-Irwa (III/ 11-3).

Ali bin Abi Thalib berkata: “Seandainya agama ini dengan akal maka tentunya bagian bawah khuf lebih utama untuk diusap (pada saat berwudhu) daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah mengusap bagian atasnya.” (shahih, HR Abu Dawud dishahihkan As-Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no:162). Ucapan salah seorang shahabat tersebut mengisyaratkan akan kedudukan akal di dalam agama Islam khususnya dalam penggunaannya terhadap qiyas. Hal tersebut menunjukkan bahwa agama ini tidaklah diukur dengan akal pikiran namun kembalinya kepada nash (al Qur'an dan as Sunnah).

Menurut Syaikh Abu Ubaidah Masyhurah bin Hasan Salman (2005: http://www.almanhaj.or.id/content/1506/slash/0) "Qiyas bukanlah sumber yang independen seperti al Quran dan as Sunnah. Qiyas hanyalah sebuah masdar taba'i (dasar yang mengikut) dibawah cakupan al-Quran dan as-Sunnah". Al Quran dan as Sunnah menyatakan akan adanya kaidah-kaidah umum dan ketentuan-ketentuan dasar maupun kaidah-kaidah dalam fikih. Dengan aspek inilah penyesuaian hukum-hukum dilakukan dengan menganalogikannya kepada kasus-kasus yang serupa.

Imam Ahmad (dalam Ibnul Qayyim, 2000: 70) bertanya kepada Imam Syafi'i mengenai penggunaan ra'yu melalui qiyas. Maka beliau menjawab: "Qiyas dapat dipakai hanya pada kondisi terpaksa dan ulama salaf pun menggunakannya sesuai dengan kebutuhan". Maksudnya adalah mereka tidak berlebihan dalam menerapkan qiyas pada setiap persoaalan. Hal ini sebagaimana para ulama muta'akhirin (yang datang setelah para salaf) menggunakan qiyas hingga menggeser kedudukan nash (al Quran dan as Sunnah). Imam Ibnu Katsir (2008:272) berpendapat bahwa: "Adapun mengenai amal-amal qurbah (amal ibadah untuk mendekatkan diri pada Allah) hanya dibolehkan berdasarkan nash dari Rasulullah Shalallahu'alaihi wa Sallam dan tidak boleh memakai qiyas atau pendapat".

Qiyas dapat dijadikan dasar untuk menghukumi fakta-fakta yang tidak ada

nashnya dalam al-Quran, al-Hadits, dan Ijma'. Dengan demikian qiyas digunakan

untuk mengatasi permasalahan atas keterbatasan nash pada satu sisi dan permasalahan manusia yang tak terbatas pada sisi lain. Imam al-Muzani juga berkata, para fuqaha (ahli fiqih) sejak masa Rasulullah Shalallahu'alaihi wa Sallam hingga hari ini selalu menggunakan qiyas dalam masalah fiqih atau hukum-hukum dalam urusan agama mereka.

Salah satu contoh qiyas misalnya mengenai hukum memakai niqab (cadar) ketika melakukan ihram. Nabi Shalallahu'alaihi wa Salam bersabda: "Janganlah wanita mengenakan niqab (cadar) dan jangan pula memakai sarung tangan" yaitu ketika melakukan ihram. Menurut Ibnul Qayyim (2000:186) Rasulullah menyamakan kedua tangan wanita dan wajahnya dalam hal larangan terhadap berbagai hal yang dilakukan anggota tubuh. Imam Ahmad (dalam Ibnul Qayyim, 2000:187) telah meriwayatkan dari lima orang sahabat yaitu Utsman, Ibnu Abbas, Abdullah bin Zubair, Zaid bin Tsabit dan Jabir bahwa mereka menutup mukanya ketika melaksanakan ihram. Jika hal itu berlaku bagi laki-laki sedangkan terdapat perintah untuk membuka kepalanya maka hal ini lebih utama dan lebih baik bagi wanita.

Adapun contoh qiyas lainnya yang digunakan oleh Imam Ahmad adalah ketika menaggapi hukum berdakwah di jalan Allah khususnya berupa membangun masjid-masjid, gedung-gedung dan madrasah-madrasah tempat belajar agama Islam. Imam

Ahmad (dalam syaikh Ahmad bin Yahya

An-Najmi,2007:http://www.mimbarislami.or.id/?module=konsultasi&action=

detail&tjid=3) berpendapat bahwa hal tersebut hukumnya sama dengan jihad fii sabilillah. Imam Ahmad mengqiyaskan hal tersebut dengan hadits “Haji dan umrah itu

Pendapat ini sesuai fatwa Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar radhiyallahu‘anhum dan tidak diketahui adanya perselisihan para Shahabat terhadap keduanya ridhwanullah ‘alaihim. Al Hasan al-Bashri dan Mujahid juga berfatwa demikian. Imam Ahmad bin Hanbal berpegang dengan pendapat ini pada salah satu dari dua riwayatnya. Demikian pula Ishaq. Adapun pada riwayat yang lain dari Imam Ahmad bahwa fii sabilillah terbatas hanya kepada para pejuang dan para penjaga perbatasan (daerah muslimin).

Contoh lainnya adalah mengenai pendapat Imam Ahmad mengenai hukum Puasa Nadzar. Barangsiapa yang meninggal dan padanya tanggungan puasa nadzar maka disunnahkan kepada walinya untuk melakukan puasa atas namanya. Hal ini berdasarkan hadits di dalam kitab ash-Shahihain: "Seorang wanita datang menghadap kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, 'Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dengan meninggalkan tanggungan puasa nadzar. Apakah aku harus berpuasa atas namanya?' Beliau menjawab, ‘Ya benar’". (Riwayat Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu Abbas. Adapun pada Muslim terdapat lafadz: ... "Puasalah kamu untuk ibumu").

Ibnul Qayyim Rahimahullah (dalam Akhmad Yusjawi, 2006: 93-96) berkata, "Dilakukan puasa nadzar atas namanya dan tidak demikian untuk puasa fardhu yang asli. Ini adalah madzab Ahmad dan lainnya, ini nash yang datang dari Ibnu Abbas dan Aisyah. Hal itu selaras dalil dan qiyas karena puasa nadzar pada dasarnya menurut syariat adalah bukan puasa wajib, akan tetapi diwajibkan oleh hamba kepada dirinya. Hal ini menjadikan puasa nadzar semacam hutang atas dirinya oleh karena itu Nabi menyerupakannya dengan hutang.

Dalam sikapnya terhadap penggunaan qiyas, Imam Ahmad terkesan sangat hati-hati. Hal ini menurut Muhammad Amin (1991: 88) karena tidak seluruh

pemikiran Imam Ahmad tersampaikan secara utuh dan menyeluruh tercatat oleh murid-muridnya. Pendapat ini dapat dipahami karena Imam Ahmad sendiri tidak membuat risalah khusus yang membahas ilmu ushul fiqh sebagaimana Imam Syafi'i menulis ar-Risalah.

Mujtahid sebelum-nya sekalipun telah menggunakan qiyas dalam ber-ijtihad, namun belum mempunyai patokan kaidahnya dan menjelaskan asas-asasnya, bahkan dalam praktek ijtihad secara umum belum mempunyai patokan yang jelas sehingga sulit diketahui mana hasil ijtihad yang benar, dan mana yang keliru. Di sinilah Imam Syafi’i tampil ke depan memilih metode qiyas, serta memberikan kerangka teoritis dan metodologinya dalam bentuk kaidah rasional, namun tetap praktis. Dengan peranannya tersebut Imam Syafi’i diakui sebagai peletak pertama dalam penyusunan metodologi pemahaman hukum dalam Islam (ushul fiqh) sebagai satu disiplin ilmu sehingga dapat dipelajari dan diajarkan.

Beberapa kaidah ushul fiqh Imam Ahmad terdapat pada berbagai kitab yang terpisah-pisah. Adapun dalam masalah fiqh salah satunya terdapat kitab hasil tanya jawab (masail) yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud as-Sijistany.

Dokumen terkait