• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengenai al Qur'an sebagai sumber hukum yang pertama dalam Agama Islam terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai penjelasan konsep al Qur'an secara lughat (etimologi) dan secara istilah (terminologi). Pengertian al Qur'an secara lughat (etimologi) khususnya kata Qur'an berasal dari kata kerja Bahasa Arab

أ َرْقي َ◌

ُ◌ (yaqra), ا

ًءرق

(qur'an) , menjadi َأرق (qara'a) atau ة ءار

ِق

ً◌ (qiraa'atan) lalu berubah menjadi

ًن ا آرُق

(qur'aanan)" (Mahdjudin: 1995: 59). Adapun pengertian secara istilah (terminologi) terdapat berbagai pendapat para ahli diantaranya seperti yang diungkapkan oleh Mahdjudin (1995: 60) bahwa al Qur'an adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu'alaihi wa Sallam dengan perantara Malaikat Jibril untuk menjadi pedoman hidup bagi seluruh manusia dan mendapatkan pahala orang-orang yang membacanya.

Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan dengan tegas bahwa al Qur'an adalah

Kalam Allah. Penjelasan mengenai hal ini terdapat pada berbagai kitab-kitab klasik

seperti ar Raad 'ala Jahmiyyah wa Dzanadiqah dan Ushulus Sunnah karya Imam Ahmad serta Aqidah Salaf Ashabul Hadits karya Imam Ismail bin Abdurrahman Ash-Shabuni (2008). Diantara pernyataan Imam Ahmad tersebut adalah:

Al Qur'an adalah kalam Allah dan bukan makhluk dan tidak boleh melemah untuk mengatakan al Qur'an bukan makhluk karena sesungguhnya Kalam Allah itu tidak terpisah dari-Nya dan tiada satu bagian pun darinya yang makhluk (Ahmad Ibnu Hanbal, 75: 2008).

Pernyataan Imam Ahmad tersebut dipertegas lagi dengan pernyataan beliau lainnya bahwa:

Barang siapa yang berkata: Pelafadzanku terhadap al Qur'an adalah makhluk maka dia adalah jahmiyyah. Barang siapa yang berkata yang berkata bukan makhluk (kemudian diam) maka di adalah mubtadi' (ahul bid'ah) (Ash-Shabuni, 30: 2008).

"Jahmiyyah adalah nisbah kepada Jahm bin Shofwan yang belajar dari Ja'd

bin Dirham. Ja'd belajar dari Tholut dan Tholut belajar dari Labin bin A'shom (seorang yahudi yang telah menyihir Rasulullah Shalallahu'alaihi wa salam)" (al Fauzan: 64: 1998). Adapun mengenai pemahamannya terhadap al Qur'an, jahmiyyah meyakini bahwa al Qur'an adalah sesuatu yang baru (makhluk) sebagaimana yang telah disebutkan Imam Ahmad sebelumnya. Imam Ahmad (dalam Abu Dawud as-Sijistany tt: 353) berpendapat bahwa "Barang siapa yang berkata al Qur'an adalah makhluk maka dia telah kafir (keluar dari agama Islam)". Bahkan pernyataan beliau tersebut sama dengan pernyataan para ulama lainnnya seperti Imam Malik dan Syafi'i (dalam Imam Ahmad, 2008: 76-77), Wa'ki bin Jarrah (guru Imam Syafi'i) Abu Bakr bin Iyasy, Abu Ya'kub al-Buwaity dan Yazid bin Harun (dalam Abu Dawud as-Sijistany tt: 357-359).

Adapun mubtadi' (ahul bid'ah) menurut Imam Syathibi (2000: 180) adalah orang yang menemukan atau membuat hal-hal baru dalam hal agama hingga orang tersebut dapat dimintai dalil (landasan hukum) atas kebenaran penemuan tersebut. Selanjutnya Imam Syathibi (2000: 181) menjelaskan mengenai faktor-faktor penyebab seseorang melakukan perkara-perkara baru tersebut yaitu:

1. Mengikuti perbuatan orang-orang yang terdahulu.

2. Mengikuti perbuatan orang-orang yang dianggap sebagai orang yang shalih dan patut diikuti, tanpa melihat kondisi orang tersebut; termasuk orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad dalam suatu perkara syariat.

3. Mengikuti pekerjaan orang yang berbuat sesuatu atas dasar ilmu. 4. Kebodohan seseorang terhadap suatu perkara syariat.

Pernyataan mubtadi' (pelaku bid'ah) yang dimaksudkan oleh Imam Ahmad berkaitan dengan seseorang yang meyatakan bahwa al Qur'an bukan makhluk

kemudian bersikap diam diam. Namun terkadang orang yang bersikap seperti itu disebut al-waqifah (Imam Ahmad, 2008: 76). Adapun munculnya pernyataan tersebut karena terdapat sebagian ulama di masa Imam Ahmad yang menyatakan bahwa al Qur'an bukan makhluk kemudian bersikap diam. Hal tersebut dilakukan oleh mereka dalam keadaan terpaksa di bawah tekanan mihnah yang diperintahkan olek Khalifah al-Ma'mun ketika itu. Hal ini sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Imam as-Suyuthi (2000:383) dalam kitabnya Tarikh Khulafa'.

Pernyataan Imam Ahmad mengenai al Qur'an sebagai kalam Allah merupakan sesuatu yang telah jelas karena keterangan mengenai hal tersebut telah tertera baik dalam al Qur'an, Hadits, perkataan para Sahabat dan para Imam madzab dalam Islam. Hal ini sebagaimana yang sebutkan oleh Syaikh Rabi' (2005:35). Bahkan beberapa ulama Hanbali lainnya seperti Syaikh Muhammad bin Shalilh al-Utsaimin (2007: 107) mengemukakan beberapa dalil al Qur'an yang menyatakan bahwa al Qur'an adalah kalam Allah diantaranya "Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam (perkataan) Allah" (al Qur'an Surat at-Taubah ayat 6). Adapun Imam Ismail bin Abdurrahman ash-Shabuni (2008: 206) mengutip salah satu hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari; "Apakah kalian menghalangiku untuk menyampaikan kalam Rabbku?". Imam Ahmad pun dalam kitabnya Zuhud (2000: 40) meriwayatkan ucapan Umar bin Khattab dari Ibnu Syihab bahwa al Qur'an merupakan kalam Allah.

Pada kitab ar-Radd a'la Jahmiyyah wa Dzanadiqqah Imam Ahmad berusaha membantah berbagai pemahaman Jahmiyyah dan Dzanadiqqah. Diantara berbagai pernyataan Imam Ahmad pada kitab tersebut adalah mengenai bantahannya tentang kemakhlukan al Qur'an. Imam Amad (tt: 78):

Bab: Penjelasan mengenai pengingkaran Allah terhadap golongan yang meragukan al Qur'an adalah wahyu dan bukan makhluk. Allah berfirman:

"Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang

diwahyukan (kepadanya)". (al Qur'an surat an-Najm ayat 1-4).Berkata Imam

Ahmad: "Dan inilah perkataan Kaum Quraisy yang berkata: "Sesungguhnya al Qur'an adalah syair, dongeng orang-orang dahulu, cerita yang berasal dari mimpi, hasil karangan Muhammad. ... maka Allah bersumpah dengan bintang jika ia terbenam (yaitu jika al Qur'an diturunkan maka katakanlah): " Demi bintang ketika terbenam, kawanmulah tidak sesat". yaitu Muhammad, tidak pula keliru. Dan yang diucapkannya itu bukanlah menurut kemauan hawa nafsunya. Katakanlah: yang diucapkannya itu (Al Qur'an) tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan. Maka Allah mengingkari keyakinan al Qur'an adalah sesuatu yang bukan merupakan wahyu ... .

Adapun mengenai hubungannya dengan keyakinan al Qur'an adalah bahwa pada masa tersebut keyakinan al Qur'an adalah makhuk menjadi keyakinan yang utama di Kekhalifahan al Ma'mun. Keyakinan al Qur'an adalah makhluk sebenarnya telah terjadi pada masa kekhalifahan Harun ar-Rasyid. Keyakinan tersebut disebarkan oleh Bisyr al-Misri. Ketika itu Harun as-Rasyid berkata: "Jika saya bisa menangkapnya (Bisyr al-Misri), niscaya akan saya pengga lehernya!" (as-Suyuthy, 2001: 344). Maka sejak itu Bisyr al-Misri tidak berani menyebarkan pemikirannya hingga Kekhaifahan al-Ma'mun.

"Al-Ma’mun pada tahun 212 H menyatakan dengan terang-terangan bahwa al Qur'an adalah makhluk" (as-Suyuthy, 2001: 376). Pernyataannya tersebut berujung pada diperintahkannya kebijakan Mihnah (Inkuisisi) pada 218 H. "Berawal dari restu al-Ma'mun (khalifah 813-833), mihnah berlangsung selama tiga khalifah selanjutnya yaitu al-Mu'tashim, al-Watsiq dan al-Mutawakkil selama 15 tahun (al-Makdisi, George, 2000:30)". Ketika itu semua pejabat pemerinatahan khusunya para hakim diuji dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai kemakhlukan al Qur'an.

Setiap orang yang menentang pendapat kemakhlukan al Qur'an dipenjarakan hingga di hukum mati. Menurut Nasution (2006:63), kebijakan mihnah sepenuhnya

bermotif teologis. Kebijakan itu berlaku karena sebagai pendukung Mu’tazilah al-Ma’mun merasa harus memperjuangkan mazhab yang dianutnya. Adapun menurut Syalabi (2003:122) motif al-Ma’mun menyangkut keshalihan dirinya. ia berusaha untuk memurnikan ajaran Islam dan menentang kemusyrikan. Sedangkan Husayn (1997: 83) berpendapat bahwa mihnah dilberlakukan dengan latar belakang kecenderungan al-Ma'mun dan beberapa khalifah setelahnya ingin menegakkan otokratisme yang di dukung oleh para menteri, penulis, gubernur, administratur dan para pegawai yang mayoritas orang Persia. Ketika itu mereka memandang bahwa khalifah sangat terikat dengan hukum syariat Islam. Maka untuk mewujudkan suatu otokrasi mereka harus menyingkirkan orang-orang arab dan para ulama yang berpihak pada hukum syariat Islam. Akhirnya mereka pun menemukan caranya dengan menegakkan salah satu keyakinan mu'tazilah dan jahmiyyah mengenai kemakhlukan al Qur'an.

Al Qur’an adalah mahluk dan tidak qadim (abadi) merupakan pemikiran yang akan ditegakkan oleh khalifah ketika itu. Menolak kemahlukan al Qur’an berarti mengakui ke-Khalik-an al Qur'an. Jika sesuatu bukan mahluk tentu ia khalik. Demikian juga menolak kesementaraan al Qur'an berarti mengakui bahwa al Qur'an adalah abadi. Sedangkan tiada yang abadi selain Allah. (Johan Riyadi, 2008: 55). Maka orang yang menolak kemakhlukan dan kesementaraan al Qur'an menurut khalifah ketika itu adalah orang menyekutukan Tuhan (musyrik). Orang musyrik dilarang menjadi pejabat publik bahkan boleh dibunuh.

Kabar mengenai Mihnah (Inkuisisi) sebenarnya telah sampai kepada Imam Ahmad sebelum Khalifah Ma'mun mengumumkannya. Syaikh Abdul Ghaniy al-Maqdisy (tt: 10-12) menyampaikan beberapa riwayat mengenai sampainya kabar mengenai Mihnah (Inkuisisi). Riwayat yang pertama adalah mengenai kisah seorang

arab Badui yang bersikeras ingin menemui Imam Ahmad bin Hanbal. Orang arab Badui itu berkata kepada Imam Ahmad: "Sesungguhnya Allah akan mengujimu dengan suatu cobaan, dengan suatu mihnah (ujian). Maka sungguh bersabarlah engkau ...". Kabar dari seorang arab Badui itu berselang ... lima hari sebelum perintah

mihnah itu ditegakkan.

Adapun mengenai riwayat yang kedua adalah mengenai surat Imam Syafi'i kepada Imam Ahmad. Ketika itu Imam Syafi'i hendak menyampaikan surat kepada Imam Ahmad melalui seorang muridnya yang bernama Imam ar-Rabi' bin Sulaiman bin 'Abdul-Jabar al-Murady. Ketika itu ar-Rabi' harus menempuh perjalanan dari Mesir menuju Baghdad. Sesampainya di Baghdad ar-Rabi' melihat Imam Ahmad sedang sholat subuh dan ia pun ikut sholat bersamanya. Setelah turun dari mihrab barulah ar-Rabi' menemui Imam Ahmad. Ar-Rabi' berkata: "Inilah surat dari saudaramu Imam Syafi'i di Mesir". Imam Ahmad berkata: "Apakah engkau sudah membacanya?". Ar-Rabi pun menjawab: "Belum". Maka Imam Ahmad pun membacanya dan tidak lama kemudian kedua matanya berlinang. Maka ar-Rabi pun bertanya kepada Imam Ahmad mengenai isi surat tersebut. Imam Ahmad pun membacakan isi surat tersebut: "Aku (Imam Syafi'i) bermimpi melihat Nabi Muhammad Shalalallahu'alaihi wa Sallam kemudian beliau berkata: "Tulislah kepada Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal dan sampaikan salamku kepadanya. Sesungguhnya engkau (Imam Ahmad) akan diuji mengenai kemakhlukan al Qur'an maka janganlah engkau menjawabnya karena Allah akan mengangkat derajat engkau pada hari kiamat".

"Ujian mengenai kemakhlukan al Qur'an ini disebarkan Khalifah al-Ma'mun melalui surat perintah kepada Ishaq bin Ibrahim Khuzai anak paman Thahir bin al-Husein untuk menguji para ulama" (Imam as-Suyuthy, 2001: 377). Maka Ishaq bin

Ibrahim al-Khuzai melakukan perintah tersebut dengan mengumpulkan para fukaha dan ahli hadits. Ketika itu dilakukan pertama kali kepada 7 tokoh terkemuka mereka yaitu Muhammad bin Sa’ad (dikenal dengan Khatib Al Wakidi, ahli tarikh dan salah satu karyanya adalah Thabaqatul Kubra), Abu Muslim Abdurahman bin Yunus (mantan sekretaris Yazid bin Harun, termasuk Bukhari meriwayatkan hadits dari beliau), Yahya bin Ma’in (tokoh ahli hadits teman Imam Ahmad), Zuhair bin Harb Abu Khaisamat (Bukhari dan Muslim banyak meriwayatkan hadits darinya), Ismail bin Dawud (salah satu periwayat hadits) .Ismail bin Mas’ud (salah satu periwayat hadits) dan Ahmad bin Ibrahim al-Dauruqi.

Pelaksanaan mihnah ini akhirnya sampai kepada Imam Ahmad. Ishaq bin Ibrahim berkata: "Apa pendapatmu sendiri wahai Ibnu Hanbal?". Maka Imam Ahamd menjawab: "Al Qur'an itu adalah kalam Allah!". Ishaq berkata: "Saya tanyakan apakah dia makhluk atau bukan?". Imam Ahmad berkata: "Dia adalah firman Allah dan saya tidak akan menambahkan kata apapun lebih dari ini!" (Imam as-Suyuthy, 2001: 380). Ketika itu sebagian besar tokoh menyatakan bahwa al Qur'an adalah makhluk kecuali empat orang yaitu Imam Ahmad bin Hanbal, Sajadah, al-Qawariri dan Muhammad bin Nuh. Melihat keaadaan yang seperti ini maka Ishaq bin Ibrahim memerintahkan agar mereka diborgol sambil menanyakan kembali mengenai pendapat mereka tentang al Qur'an. Akhirnya dalam keadaan seperti itu Sajadah mengakui kemakhlukan al Qur'an. Kemudian Ishaq bin Ibrahim mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali sampai al-Quwairi pun mengaki hal tersebut. Pada akhirnya hanya Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh yang bertahan pada pendiriannya. Mereka berdua pun diperintahkan untuk mengahadap al-Ma'mun di suatu wilayah kekuasaan Romawi ketika itu.

Ketika Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh dibawa mengahadap al-Ma'mun maka terdengar kabar bahwa al-Ma'mun telah meninggal dunia. "Adapun al-Ma'mun meninggal pada hari Kamis tanggal 18 Rajab tahun 218 H/ 833 M di sebuah wilayah yang disebut Badidun" (Imam as-Suyuthy, 2001: 383). Sebelum meninggal dunia, al-Ma'mun telah berpesan kepada calon penggantinya yaitu al-Mu'tashim agar pelaksanaan mihnah terus dilanjutkan dan memenjarakan Imam Ahmad. Meskipun sempat terjadi perdebatan antara Ibnu Abi Duad (qadhi dari Kekhalifahan al-Mu'tashim ketika itu) dengan Imam Ahmad hal ini tidaklah membuat Imam Ahmad merubah keyakinannya mengenai al Qur'an. "Al-Mu'tashim wafat pada awal Bulan Muharram tahun 227 H/ 842 M dan diganti oleh al-Watsiq" (Moenawar Khalil, 1977: 252).

"Pada tahun 231 H al-Watsiq kembali memerintahkan gubernur Basrah untuk dilakukan mihnah (ujian) kepada para imam dan muadzin. Namun diriwayatkan bahwa pada akhir hayatnya dia bertaubat" (Imam as-Suyuthy, 2001: 417). Imam Ibnu 'Iyadh (dalam Moenawar Khalil, 1977: 257) berkata: "Imam Ahmad bin Hanbal dipenjarakan selama 28 bulan dan selama itu pua beliau di dera dan dipukul dengan cemeti sampai pingsan, di dorong dengan pedang, kemudian dilemparkan ke atas tanah dan dinjak-injak dengan kaki". Banyak ulama yang tidak kuat menahan berbagai siksaan dan penderitaannya di penjara yang akhirnya mengucapkan apa yang dituntut oleh khalifah ketika itu meskipun hanya dalam lisan saja.

Dari Ahmad bin al-Hawari (dalam adz-Dzahaby: tt: 241) berkata: Ibrahim bin Abdillah telah menceritakan kepada kami bahwa ia berkata: ”Ahmad bin Hanbal berkata: ”Sejak aku terperangkap dalam urusan ini,aku belum pernah mendengar ucapan yang lebih mengena daripada ucapan yang dilontarkan oleh seorang Badui yang mengajakku berbicara dilapangan di daerah Thauq. Lelaki itu berkata: ”Wahai

Ahmad, jika Anda mati demi kebenaran, Anda akan mati syahid, kalaupun anda hidup maka Anda akan hidup dengan kemuliaan.”Maka hatiku-pun bertambah kuat.

Banyak pula yang mengusulkan kepada Imam Ahmad untuk menyembunyikan keyakinannya agar selamat dari segala siksaan dan penderitaan, namun beliau menjawab, “Bagaimana kalian menyikapi hadits “Sesungguhnya orang-orang sebelum Khabbab, yaitu sabda Nabi Muhammad mengenai orang yang digergaji kepalanya namun tidak membuatnya berpaling dari agamanya”. (HR. Bukhari 12/ no.281). lalu beliau menegaskan, “Saya tidak peduli dengan kurungan penjara, penjara dan rumahku sama saja”. Ali bin al-Madini (dalam Syaikh Abdul Ghaniy al-Maqdisy, tt:23) berkata: "Sesunggunya Allah Azza wa Jalla mengangkat agama ini dengan dua orang yaitu Abu Bakr as-Siddik pada hari pemurtadan (yaum ar-Riddah) dan Ahmad bin Hanbal pada hari ujian (yaum al-mihnah).

Khalifah al-Watsiq meninggal dan digantikan oleh al-Mutawakkil pada 232 H. Adapun Imam Ahmad dibebaskan dari penjara setelah al-Mutawakkil memerintahkan agar pelaksanaan mihnah dihentikan pada 234 H. "Salah satu sikap al-Mutawakkil yang dianggap cukup menakjubkan ketika itu adalah mengundang para ahl hadits ke Samura dengan jaminan keamanan penghormatan yang tinggi".(Imam as-Suyuthy, 2001: 422). Sejak saat itulah ahl ra'y khususnya kaum rasionalis Mu'tazilah mulai berkurang pengaruhnya di Kekhalifahan Abbasiyyah.

Para imam madzab seluruhnya menyepakati akan kedudukan al Qur'an dan Sunnah sebagai sumber hukum yang harus diutamakan sebelum ijma'' dan qiyas. Bahkan Ibnul Qayyim (2000: 371) membuat bab khusus mengenai pendapat para imam madzab mengenai hal tersebut. Diantaranya adalah perkataan Imam Malik bin Anas yang menyatakan bahwa ilmu mempunyai beberapa tingkatan, yaitu yang pertama adalah Kitabullah (al Qur'an) dan as Sunnah.

Menurut Muhammad Amin (1991: 39) dari 6.000 lebih ayat al Qur'an hanya sekitar 3,5 % sampai 17,18 % ayatnya yang menjelaskan tentang aturan-aturan hukum termasuk hukum dalam ibadah dan hukum dalam kekeluargaan. Adapun Abdul Khalaf Khallaf (1985: 39-40) berpendapat bahwa hanya 228 ayat, sedangkan al-Ghazali, ar-Razi dan Ibnu Qudamah (dalam Muhammad Amin 1991: 39) berpendapat hanya 500 ayat. Keterbatasan jumlah ayat mengenai hukum tersebut tidaklah berarti Islam bersifat kaku dan statis melainkan sebagaimana yang dikatakan Muhammad Amin (1991: 40) bahwa Islam mampu mengimbangi dinamika masyarakat dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat yang lain.

Pada dasarnya dalam kedudukannya sebagai sumber hukum, Imam Ahmad sebagaimana yang dikemukakan oleh at-Turki (dalam Muhammad Amin: 1991: 67) menempatkan al Qur'an dan Sunnah sebagai sumber pertama dan utama tanpa membedakan derajat kedua sumber hukum tersebut. Imam Ahmad tidak akan mendahulukan al Qur'an dan menjadikan as Sunnah sebagai sumber kedua setelahnya selama hadits-hadits yang ia terima bernilai kuat dan shahih menurut penilaiannya.

Imam Ahmad berpendapat (dalam Abu Dawud as-Sijistany tt: 328) bahwa "al Qur'an dapat di nasikhkan hukumnya hanya dengan al Qur'an kembali". Pernyataan tersebut dalam istilah ilmu ushul fiqh berkaitan dengan kaidah nasikh dan mansukh. Di dalam al-Quran kata naskh memiliki berbagai bentuk dan ditemukan sebanyak empat kali, yaitu dalam Surat al-Baqarah ayat :106, al-A'raf ayat 154, al-Hajj ayat 52, dan al-Jatsiyyah ayat 29. Ditinjau dari segi etimologi kata tersebut dipakai dalam beberapa arti. "Arti dari kata naskh antara lain pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, pengubahan, dan sebagainya. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, dan sebagainya, dinamai nasikh" (Adani Permana, 2008:

http://attanzil.wordpress.com/2008/07/20/nasikh-dan-mansukh/answering-ff.org/ blog/?p=637). Adapun kata yang bermakna dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dan sebagainya, dinamai mansukh.

Ibnul Qayyim (2000:39) menyimpulkan bahwa pengertian nasikh dan

mansukh menurut para ulama salaf pada umumnya adalah pembatalan hukum secara

global atau pembatalan dalalah (aspek dalil) yang umum, mutlak dan yang nyata. Adapun Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin (2007: 81) berpendapat bahwa

nasikh adalah terangkat atau terhapusnya hukum usatu dalil syar'i atau lafadznya

dengan dalil dari al Kitab dan as Sunnah.

Salah satu contoh dari pernyataan Imam Ahmad mengenai ayat al Qur'an yang di nasikhkan dengan al Qur'an adalah mengenai ayat al-Mushobaroh yaitu: "Jika ada dua puluh orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh" (al Qur'an Surat al-Anfal ayat 65). Ayat tersebut hukumnya

di-naskh dengan firman Allah ta'ala :

Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir. Dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orangorang yang sabar (al Qur'an Surat al-Anfal ayat 66).

Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin (2007:87) menerangkan bahwa ayat tersebut di naskh kan hukumnya dan tertinggal lafadznya, hal ini terdapat pada kalimat "Sekarang Allah telah meringankan kepadamu". Kata "sekarang", menunjukkan atas lebih akhirnya hukum tersebut. Dan demikian juga jika disebutkan bahwa Nabi Shallallohu 'alaihi wa sallam menghukumi sesuatu sebelum hijrah, kemudian setelah itu beliau menghukumi dengan yang menyelisihinya, maka yang kedua (setelah hijrah) adalah sebagai naasikh (yang me-naskh). Pada ayat di atas hukum asalnya 20 orang yang sabar akan mengalahkan 200 orang musuh namun

setelah di naskh kan menjadi 100 orang yang sabar akan mengalahkan 200 orang kafir.

Menyikapi pernyataan Imam Ahmad mengenai nasikh dan mansukh dalam ayat al Qur'an tersebut sebagian ulama berpendapat bahwa nasikh dan mansukh tidak hanya terbatas pada al Qur'an saja. Adapun salah seorang shahabat Imam Ahmad yang bernama al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Atsram (wafat 261 H) menyusun buku tentang nasikh dan mansukh dalam hadits yang berjudul

Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi. Bahkan Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin (2007:89)

membagi Naskh ditinjau dari yang me-naskh menjadi empat macam:

1. Di-naskhnya al Qur'an dengan al Qur'an , contohnya adalah dua ayat

al-Mushobaroh pada penjelasan awal.

2. Di-naskhnya al Qur'an dengan as Sunnah, adapun hal ini belum ditemukan contoh yang selamat (shahih).

3. Di-naskhnya as Sunnah dengan al Qur'an, contohnya adalah di-naskhnya hukum sholat menghadap Baitul Maqdis yang telah shahih dari as Sunnah dengan hukum menghadap Ka'bah yang telah shahih dari firman Allah Ta'ala : "Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya." (al Qur'an surat al-Baqarah ayat 144)

4. Di-naskhnya as Sunnah dengan as Sunnah.

"Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad (dalam satu riwayat yang dinisbahkan kepadanya), dan Ahl al-Zhahir secara teoretis menolak kemungkinan adanya dalil dalam as Sunnah yang me-naskh al-Quran". (Adani Permana, 2008:

mayoritas para teolog lainnya baik dari Asy’ariah maupun Mu’tazilah, memandang bahwa tidak ada halangan logis bagi kemungkinan adanya naskh tersebut. Hal ini dapat dipahami karena golongan lebih banyak mengedepankan rasio khususnya mu'tazilah merasa bahwa syariat Islam tidak bersifat mengikat dan dapat diukur dengan rasionalitas seseorang. Berbeda dengan kaum ahl Hadits yang lebih

Dokumen terkait