BAB II LANDASAN TEOR
PEMIKIRAN ATAU REFERENS
m en gg antika n (relasi imputasi)
SIMBOL REFEREN
Gambar 1. Segitiga relasi triad Od gen dan Richards
7) Teori Semiotik Bloomfield
Bloomfield , yan g dipengaruhi oleh p sikologi b ehaviorisme, mengemb angkan teori b ahwa makna b ahasa muncul karena terjadinya proses stimulus dan respon. Orang berbahasa karena adan ya stimulus dari lingku ngann ya, yang haru s mereka respon melalui bahasa. Dengan demikian, Bloo mfield melihat bahwa b ahasa bu kan merup akan fenomena semiotis melainkan fenomena p sikologis behavioristik atau perilaku. Pandangan seperti ini menegaskan ken yataan bahwa bahasa merupakan sistem simbo l yang digunakan u ntuk berinteraksi di dalam mas yarakat.
commit to user
18Leech (2003 : 9) menerangkan bahwa Bloomfield menulis suatu
konsep tentang ‘unified science’ (ilmu p engetahuan tunggal), yaitu adanya
gagasan bahwa semua disiplin ilmu, dari fisika sampai p siko logi, dapat digab ungkan menjadi suatu bentuk ilmu pengetahuan yang monolitik.
d. Macam-Macam Semiotik
Pateda (dalam Alex Sobur, 2006 : 15 ) menyatakan bahwa terdapat semb ilan macam semiotik antara lain:
1) Semiotik analitik
Semiotik analitik merup akan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce mengatakan bahwa semiotik berobjekka n tanda dan menganalisisnya menjadi ide, ob jek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terd ap at dalam lambang yang mengacu p ad a objek tertentu.
2) Semiotik deskriptif
Semiotik d eskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat dialami sekarang meskipun ada tanda yang se jak dahulu tetap.
3) Semiotik fau nal (zo osemiotic)
Semiotik faunal (zoosemiotic) merupakan semio tik yang khusus
memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan.
4) Semiotik ku ltural
Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang ad a dalam kebudayaan masyarakat.
5) Semiotik naratif
Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (fo lklore).
6) Semiotik natural
Semiotik natural adalah sem io tik yang khu sus menelaah sistem tand a yang dihasilkan oleh alam.
commit to user
19Semiotik normatif merupakan semiotik yang khusus memb ahas sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma.
8) Semiotik sosial
Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusu s menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lamb ang, baik lambang kata maupun lambang rangkaian kata berupa kalimat.
9) Semiotik struktural
Semiotik struktural adalah semiotik yang khu sus menelaah sistem tand a yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
Menurut Zo est (d alam Nyoman Kutha Ratna, 2004 : 105) dikaitkan dengan bidang-bidang yang dikaji, pada umumnya semiotika d apat dib edakan menjadi tiga a liran, yaitu:
1) Aliran semiotika ko mu nikasi, yaitu semiotik d engan intensitas kualitas
tanda dalam kaitannya dengan pengirim d an penerima, tanda yang
disertai dengan maksud, yang digunakan secara sadar, sebagai signal.
2) Aliran semio tika kono tatif, yaitu semiotik yang berdasarkan ciri-ciri
denotasi kemudian dipero leh makna konotasinya, arti pada bahasa sebagai sistem model kedua, tand a-tanda tanp a maksu d langsung,
sebagai symptom. Aliran semiotika ko notatif selain diterapkan dalam
sastra juga diterapkan dalam b erbagai bidang kemasyarakatan. Aliran ini dipelopori o leh Ro land Barthes.
3) Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang psiko logi yang
dipelopo ri oleh Freud, so siologi dipelopori oleh Marxis, dan filsafat yang dip elopori oleh Julia Kristeva.
e. Bahasa sebagai Sistem Semiotik
Faktor p ertama dalam model semiotik sastra yang harus diberi tempat yang selayaknya adalah bahasa itu sendiri, sebagai sistem tand a yang kompleks d an beragam (Teeuw, 1984: 60). Rachmat Djoko Pradopo (1997: 122 ) menyatakan bahwa b ahasa merupakan sistem tand a yang kemu dian dalam karya sastra menjadi mediumnya. Bahasa merupakan sistem tanda tingkat pertama. M enurut ilmu tanda-tanda atau semiotik, arti bahasa sebagai
commit to user
20sistem tanda tingkat pertama itu disebut meaning (arti). Karya sastra itu juga
merupakan sistem tanda yang berdasarkan konvensi masyarakat. Karya sastra merupakan sistem tand a yang lebih tinggi kedudu kannya dari b ahasa, maka diseb ut sistem semiotik tingkat kedua. Bahasa tertentu itu mempunya i konve nsi tertentu pula, dalam sastra ko nvensi bahasa itu d isesuaikan d engan konve nsi sastra. Pada sebuah karya sastra, arti kata-kata ditentukan oleh konve nsi sastra. Dengan demikian, timbullah arti baru yaitu arti sastra. Jadi,
arti sastra itu merupakan arti dari arti (meaning of meaning). Untu k
membedakannya arti bahasa itu d isebut makna (sig nificance).
Weissbrod (1998: 2) menerangkan bahwa: “Even dan Zohar sugg ested
viewing literature a polysystem, a system of systems, wich can described by a series of oppositions”. Karya sastra bukan han ya sekedar tulisan yang tidak bermakna dan dibuat sesuka hati, namun karya sastra dibuat dengan memperhatikan aturan atau sistem. Sistem-sistem tersebut melip uti u nsur- unsur struktural, keindahan, nilai-nilai, dan sebagainya.
Studi sastra bersifat semiotik merup akan usaha untuk menganalisis suatu karya sastra. Kajian semiotik sebagai suatu sistem tanda-tanda dan menentukan ko nvensi-konve nsi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna. Dengan melihat variasi-variasi d i dalam struktu r sastra atau hubungan d alam antarunsur-unsurnya akan dihasilkan bermacam-macam makna ( Rachmat Djoko Pradopo , 2002: 123).
Ada banyak cara yang ditawarkan dalam rangka menganalisis karya sastra secara sem io tik. Nyo man Kutha Ratna (2004: 104) menyebutka n cara yang paling u mum adalah dengan menaganalisis karya melalui dua tahapan sebagaimana ditawarkan oleh Wellek dan Warren, yaitu analisis intrinsik (mikrostruktu r) dan analisis ekstrinsik (makrostruktu r). Cara yang lain sebagaimana dikemukakan oleh Abrams dilakukan dengan menggabu ngkan empat aspek, yaitu pengarang (ekspresif), semestaan (mimetik), pembaca (pragmatik), dan objektif (karya sastra itu sendiri).
commit to user
212. Hakikat Cerita Pendek (Cerpen)
a. Pengertian Cerita Pendek
Poe (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 10) menyatakan bahwa: “Cerp en adalah seb uah cerita yang selesai dibaca d alam sekali duduk, kira- kira berkisar antara setengah sampai dua jam”. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Jakob Sumard jo dan Saini K.M . (1988: 30 ) menyatakan bahwa cerita pendek adalah cerita berbentuk prosa yang relatif pendek. Ukuran pendek di sini diartikan dapat dibaca sekali duduk dalam waktu kurang dari satu jam. Dikatakan p endek juga karena genre ini hanya mempu nyai efek tu nggal, karakter, plot dan setting yang terbatas, tidak beragam, dan tidak kompleks. Menurut Ellery Sedgwick dalam Henry Guntu r Tarigan (1984 : 176), cerita pendek ad alah penyajian suatu keadaan tersendiri atau suatu kelompo k keadaan yang memb erikan kesan tu nggal pad a jiwa pembaca. Cerita pendek tid ak boleh dipenuhi oleh hal-hal yang tidak p erlu.
Berkaitan dengan hal terseb ut, Satyagraha Hoerip dalam Atar Semi (1993: 34) menerangkan bahwa cerpen ad alah karakter yang dijabarkan lewat rentetan kejadian daripada kejadian-kejad ian itu send iri satu persatu. Peristiwa yang terjadi di dalamn ya merupakan suatu pengalaman atau penjelajahan. Tentang panjangnya, Reid menyeb utkan antara 1600 kata sampai dengan 20.000 kata. Sementara Tasrif menyatakan bahwa panjang cerita p endek antara 500 sampai dengan 32.000 kata atau 17 halaman kertas kuarto spasi rangkap (dalam Herman J. Waluyo dan Nugraheni, 2008 : 6). Sebaliknya Atar Semi (1993 : 34) mengemu kakan bahwa panjang pendek u kuran fisik cerpen tid ak menjadi ukuran yang mu tlak. tid ak d itentu kan cerpen harus sekia n halaman atau sekian kata, walaupun cerpen cenderung berukuran p end ek dan pekat. Keterbatasan yang dimiliki jelas tidak memberi kesempatan bagi cerpen untuk menjelaskan dan mencantumkan segalanya. Cerpen dituntut menyampaikan sesuatu yang tidak kecil, walaupun dengan jumla h kata yang sedikit. Oleh karena itu, cerpen menyuguhka n kebenaran yang dicip takan, dipadatkan, digayakan, dan d iperkokoh oleh kemampuan imajinasi pengarangnya.
commit to user
22Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimp ulkan b ahwa cerpen adalah cerita fiksi berbentuk prosa yang bersifat p end ek dan terbatas. Pendek d an terbatas mencakup segi tokoh, alu r, p eristiwa, setting, dan sebagain ya.
b. Ciri-Ciri Cerpen
Menurut Poe (dalam Habb iburahman, http://lulukeche.multiply.com/
jo urnal/item/, 27 M ei 2010) , cerpen harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu:
1) Cerita pendek harus pendek. Di samping itu juga harus memberi kesan
secara terus-menerus hingga kalimat terakhir, berarti cerita pendek haru s ketat dan tidak mengobral d etail. Dialog dalam cerita pend ek hanya diperlu kan untu k menampakkan watak, menjalankan cerita, atau menampilkan masalah.
2) Cerita pendek mengalir dalam aru s untuk menciptakan efek tunggal dan
unik. Ketunggalan p ikiran dan aksi dapat dikem bangkan melalui satu garis dari awal sampai akhir. Cerita pendek tak dimungkinkan terjadi aneka peristiwa digresi.
3) Cerita pendek harus ketat dan padat. Setiap detail harus mengarah pada
satu efek saja yang berakhir p ada kesan tunggal. Oleh sebab itu ekonomisasi kata dan kalimat sebagai salah satu ketrampilan yang dituntu t b agi seorang cerpenis.
4) Cerita pendek harus mampu meyakinkan pembacanya b ahwa ceritanya
benar-benar terjad i, bukan suatu buatan, rekaan. Itu lah sebab nya dibu tu hkan suatu keteramp ilan khusus, ad anya konsistensi dari sikap dan gerak tokoh, b ahwa mereka benar-benar hidup, sebagaimana manusia yang hidup.
5) Cerita pendek haru s menimbulkan kesan yang selesai, tid ak lagi
mengusik dan menggo da, karena ceritanya sep erti masih berlanjut. Kesan selesai itu benar-benar meyakinkan pembaca, bahwa cerita itu telah tamat, sampai titik akhirnya, tidak ada jalan lain lagi, cerita benar- benar selesai.
commit to user
23Henry Gu ntur Tarigan (1 984: 177 ) mengungkapkan ciri-ciri cerpen,
antara lain: 1) Singkat, padu dan ringkas (brevity, unity, dan intensity); 2)
Memiliki unsur utama berupa adegan, toko h, dan gerakan (scene, character,
and action); 3) Bahasanya tajam, sugestif, dan menarik perhatian (incisive, suggestive, and alert); 4) Mengandung impresi pengarang tentang konsepsi kehidupan; 5) M emb erikan efek tunggal dalam pikiran pemb aca; 6) Mengandung detail dan insid en yang b etul-betul terp ilih; 7) Ada p elaku utama yang b enar-benar menonjo l dalam cerita; 8) Menyajikan keb ulatan efek dan kesatuan emosi.
c. Unsur-Unsur Cerita Pendek
Cerpen seb agai suatu karya fiksi, merup akan satu kesatuan yang terdiri dari b eberap a unsu r. Unsu r-unsu r itu saling berkaitan, tidak terpisahkan satu sama lain, dan b ersama-sama membentuk cerita (Rusyana dalam Mu hammad Pujio no, 2006: 9). Unsur-unsur yang membentuk cerpen terdiri unsur intrinsik dan ekstrinsik.
Unsu r ekstrinsik adalah u nsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi tidak secara langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Unsur intrinsik ad alah unsur-unsur ya ng membangu n kar ya sastra itu sendiri (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 23). Unsu r intrinsik terdiri dari tema, alur, penokohan, setting, sudut pandang, dan seb againya.
1) Tema
Herman J. Walu yo dan Nugraheni (2008 : 10 ) menyebu tkan tema seb agai gaga san pokok dalam cerita fiksi. Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1988 : 56) men yatakan bahwa tema adalah ide sebuah cerita. Tema dalam seb uah cerpen bisa disamakan dengan po ndasi sebuah b angunan. Tidaklah mu ngkin mendirikan sebuah bangunan tanpa pondasi. Dengan kata lain tema ad alah sebuah ide pokok, pikiran utama sebuah cerpen, pesan atau amanat, dasar tolak u ntuk membentuk rangkaian cerita, atau dasar tolak untuk bercerita.
Hal senada juga disampaikan oleh Bu rhan Nurgiyantoro (1995: 70), yang men yatakan bahwa: “Tema merupakan dasar cerita, gagasan
commit to user
24dasar umum sebuah kar ya sastra. Gagasan dasar umum inilah yang telah
ditentukan sebelu mnya oleh p engarang yang d igu nakan u ntuk
mengemb angkan cerita”. Panuti Sudjiman (1988: 50) juga menyebut tema seb agai gagasan, id e, atau p ilihan utama yang mendasari suatu karya sastra.
Berdasarkan pemaparan tersebut, d ap at disimpu lkan b ahwa tema ad alah ide pokok suatu cerita yang d igunakan sebagai acuan untu k mengemb angkan kisah atau peristiwa dalam karya sastra tersebu t. Setiap cerita pasti mempu nyai ide pokok, yaitu sesuatu yang hendak disampaikan pengarang kepada para pemb acanya. Sesuatu itu biasanya adalah masalah kehidupan, ko mentar pengarang mengenai kehidupan, atau p andangan hidup si pengarang dalam menempu h kehid up an. Pengarang tidak dituntut menjelaskan temanya secara gamblang dan menyeluruh, tetap i ia bisa saja hanya menyampaikan sebuah masalah kehid up an kemud ian terserah pembaca bagaimana menyikapi dan menyelesaikannya.
Stanto n (dalam Herman J. W aluyo dan Nugraheni, 2008: 13) mengungkapkan bahwa ada beberapa cara untuk menafsirkan tema, yaitu a) harus memp erhatikan detail yang menonjol dalam cerita rekaan; b) tidak terp engaru h oleh detail cerita yang kontradiktif; c) tidak sep enuhnya tergantung oleh bukti-bukti implisit, tetapi haru s yang eksplisit; d ) tema itu diu jarkan secara jelas oleh cerita b ersangkutan. Fakto r pengarang dengan pandangan-pandangannya turut menentukan tema karyanya.
2) Alur atau Plot
Panuti Sudjiman (1988 : 29) menyatakan b ahwa dalam sebuah cerita rekaan b erbagai cerita disajikan dalam u rutan tertentu . Peristiwa yang diurutkan itu membangun tulang punggu ng cerita, yaitu alu r. Alur yaitu rangkaian peristiwa yang menggerakkan cerita untuk mencapai efek tertentu (Habbiburahman, http ://lulukeche.multiply.com/ journal/item/, 27 Mei 2010). Sehubungan dengan hal tersebu t, Jakob Sumardjo d an Saini K.M. (1988: 49) mengungkap kan bahwa: “Alur adalah hal yan g menggerakkan kejadian cerita, yaitu segi ro haniah dari kejadian”. Atar
commit to user
25Semi (1993: 44) menyatakan bahwa alur merupakan kerangka dasar yang amat p enting. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus saling berkaitan, bagaimana satu p eristiwa mempunyai hubungan d engan peristiwa lainnya, dan b agaimana agar to koh terikat dalam satu kesatuan waktu.
Plo t menurut Burhan Nurgiyantoro (1995: 94) berbeda dengan cerita. P lot bersifat lebih kompleks daripada cerita. Plot lebih menekankan permasalahannya pada hubu ngan kasualitas, kelo gisan hubungan antarperistiwa yang dikisahkan dalam karya naratif yang bersangku tan. Herman J. Waluyo dan Nugraheni (2008: 14) menyeb ut alur sebagai kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan seb ab dan akibat dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, d apat disimpulkan b ahwa alur atau plot adalah rangkaian p eristiwa yang saling berkesinambu ngan, menunjukkan adan ya hubungan sebab akibat, d an membentuk jalinan cerita yang utu h.
Atar semi (1993 : 44) men yatakan baik tidaknya sebu ah alur ditentukan o leh 3 hal, yaitu:
a) Apakah tiap p eristiwa susul men yusul secara lo gis dan alamiah.
b) Apakah tiap peristiwa sudah cukup tergambar atau dimatangkan
dalam peristiwa sebelumnya.
c) Apakah p eristiwa itu terjadi secara keb etulan d engan alasan yang
masuk akal dan dapat dipahami.
Menurut Habb iburahman (http ://lu lukeche.multiply.com jou rnal/ item/, 27 M ei 2010 ) jenis plot bisa disederhanakan menjad i tiga jenis, yaitu:
a) Plo t keras, jika akhir cerita meledak keras di luar dugaan pembaca.
b) Plo t lembut, jika akhir cerita berupa bisikan, tidak mengejutkan
pembaca, namun tetap disampaikan dengan mengesan sehingga sep erti terus tergiang di telinga pembaca.
commit to user
26c) Plo t lembut-meled ak, atau plot meledak-lembut ad alah campuran
plo t keras dan lembu t.
Dari segi sifat, alur cerpen dibedakan menjadi:
a) Terbu ka. Jika akhir cerita merangsang pembaca untu k
mengembangkan jalan cerita, di samping masa lah dasar perso alan.
b) Tertutup. Akhir cerita tidak merangsang pembaca untuk meneru skan
ja lan cerita.
c) Campuran keduanya.
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1988:49) bagian-bagian dalam p lo t, yaitu pengenalan, timbulnya konflik, ko nflik memuncak, klimaks, dan pemecahan soal.
Friedman (dalam Herman J. Walu yo dan Nugraheni, 2008 : 22) menyebutkan tiga jenis plo t, yaitu : a) plo t peruntungan; b) plot penokohan; dan c) p lot p emikiran. Termasuk alur peruntu ngan jika memaparkan kesedihan, sifat sinis, p enghukuman, sifat sentimental, atau
kekaguman. Termasuk alur penokohan jika alur menunjukkan
perkembangan watak tokoh-toko hnya, perbaikan nasib hid up , atau perkembangan ke ara h kedewasaan tokoh-tokoh. Termasuk alur pemikiran jika menunjukkan peristiwa yang mampu membuka rahasia atau perkembangan pemikiran to koh-tokohnya.
3) Penokohan
Penokohan yaitu pencip taan citra tokoh dalam cerita
(Habbiburahman, http ://lulukeche.multiply.co m/journal/item/, 27 Mei
2010). Tokoh harus tampak hidup dan nyata hingga pembaca merasakan kehadirann ya. Pada cerpen mod ern, b erhasil tidaknya seb uah cerpen ditentukan oleh berhasil tidaknya menciptakan citra, watak dan karakter tokoh tersebut. Penokohan, yang di dalamn ya ada perwatakan sangat penting b agi sebuah cerita, bisa d ikatakan ia sebagai mata air kekuatan seb uah cerita pendek.
Burhan Nurgiyantoro (1995: 166) memaparkan bahwa istilah penokohan lebih luas pengertiannya darip ada tokoh dan perwatakan sebab
commit to user
27ia sekaligus menca kup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan pelukisann ya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, d apat disimpulkan b ahwa penokohan ad alah penggambaran tokoh dalam suatu cerita yang meliputi siap a dan bagaimana to ko h tersebu t berp eran dalam cerita.
Atar Semi (1993: 39) menjelaskan bahwa ada dua macam cara memperkenalkan to koh dan perwatakan tokoh, yaitu:
a) Secara analitik, yaitu pengarang langsung memap arkan tentang
watak atau karakter tokoh.
b) Secara dramatis, yaitu menggambarkan perwatakan yang tidak
disampaikan secara langsu ng. Hal tersebut dapat disampaikan melalui pilihan nama tokoh, penggamb aran fisik, cara berp akaian, tingkah laku, d an melalui dialo g.
Menurut Hab biburahman (http ://lu lukeche.multiply.com/journal/ item/, 27 Mei 2010) pada dasarnya sifat tokoh ada dua macam; sifat lahir (rupa, bentuk) d an sifat batin (watak, karakter). Sifat tokoh tersebut bisa diungkap kan dengan berbagai cara, di antaranya melalui:
a) Tindakan, ucapan dan pikirannya
b) Temp at tokoh tersebu t b erada
c) Benda-benda di sekitar tokoh
d) Kesan tokoh lain terhadap dirin ya
e) Deskripsi langsu ng secara naratif pengarang
Hal serupa juga diungkapkan oleh Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1988 : 65) yang menyatakan ad a beberapa cara menentukan karakter tokoh, antara lain:
a) Melalui ap a yang diperbuatnya atau tindakan-tindaka nnya.
b) Melalui ucapan-ucap annya.
c) Melalui penggambaran fisik toko h.
d) Melalui pikiran-pikirannya.
commit to user
284) Latar atau Setting
Menurut Hab biburahman (http ://lu lukeche.multiply.com/journal/ item/, 27 M ei 2010) latar yaitu segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana dalam suatu cerita. Sama halnya dengan yang diu ngkapkan oleh Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1988: 76 ) bahwa setting tidak hanya menunjukkan tempat dan waktu tertentu, tetap i juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada kond isi lingkungan, pemikiran rakyatn ya, kegilaan mereka, gaya hidup mereka, kecurigaan mereka, dan sebagainya. Setting bisa berarti tempat tertentu, daerah tertentu, orang-orang tertentu d engan watak-watak tertentu akibat situasi lingku ngan atau zamannya, cara hidup tertentu, cara berpikir tertentu.
Sejalan dengan hal tersebut, Abrams (dalam Burhan Nu rgiyantoro, 1995: 216) menyebutkan bahwa: “Setting d isebut ju ga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingku ngan sosial tempat terjadinya p eristiwa-peristiwa yang diceritakan”. Herman J. W alu yo dan Nugraheni (2008 : 34 ) menyeb utkan setting sebagai tempat kejadian cerita yang dapat berkaitan dengan aspek fisik, aspek sosiologis, d an aspek psikis.
Panuti Sudjiman (1988 : 46) menyebutkan beberapa fungsi latar, antara lain a) memberikan informasi situ asi (ruang dan temp at) seb agaimana adanya; b) sebagai pro yeksi kead aan batin para toko h, artinya latar dapat menjadi metafor dari keadaan emo sional dan sp iritual tokoh.
Berdasarkan beberapa pendap at di atas, dapat disimpulkan b ahwa latar atau setting adalah segala sesuatu yang melingkupi karya sastra melip uti waktu, ruang, keadaan so sial, adat istiadat, d an suasana. Pada dasarnya, latar mutlak dibutu hkan untuk menggarap tema dan plot cerita, karena latar harus bersatu dengan tema dan plot untuk menghasilkan cerita pendek yang gempal, p ad at, d an berkualitas.
Herman J. Walu yo dan Nugraheni (2008: 35) mengungkap kan fungsi setting, yaitu untuk: a) mempertegas watak pelaku ; b) memb erikan
commit to user
29tekanan pada tema cerita; c) memperjelas tema yang disamp aikan; d) metafora bagi situ asi psikis pelaku; e) sebagai p emb eri atmosfir (kesan); f) memperkuat posisi p lot.
5) Sudut Pandang atau Point of View
Sudut pandang to koh merupakan visi pengarang yang dijelmakan ke dalam pandangan tokoh-tokoh cerita. Jadi sudut pandang sangat erat dengan teknik bercerita pengarang (Habb iburahman, http://lulukeche. mu ltiply.com/journal/item/, 27 Mei 2010). Sejalan dengan hal tersebut,
Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1988 : 82) menerangkan bahwa poin t of
view pad a dasarnya adalah visi pengarang, artin ya sudut p andangan yang
diambil pengarang untuk melihat suatu kejad ian cerita.
Herman J. Walu yo dan Nugraheni (2008: 37) menyatakan bahwa: “Sudut pandang yaitu teknik yang digunakan oleh pengarang untu k berperan dalam cerita itu”. Abrams (dalam Bu rhan Nu rgiyantoro, 1995 : 248) menjelaskan b ahwa sudut p andang menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandangan yang d igunakan pengarang seb agai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kep ada pembaca.
Berdasarkan p emaparan tersebut, dapat disimpulka n bahwa sudut
pandang atau poin t of view adalah cara atau pandangan pengarang u ntuk
menyajikan tokoh, latar, dan berbagai peristiwa ya ng memb entuk cerita. Morris dalam Henry Guntu r Tarigan (1984: 140) membagi sudut