• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ganyong 1 Ganyong 2 Singkong 1 Uwi 3 Talas

B. PENELITIAN UTAMA

1. Pemilihan Jenis Agitasi Terbaik pada Fermentas

Penelitian utama betujuan untuk membandingkan dua perlakuan agitasi pada fermentasi dalam rangka mendapatkan rendemen etanol tertinggi. Jenis agitasi pertama adalah agitasi lanjut, yaitu perlakuan agitasi terus menerus dari awal hingga akhir fermentasi. Jenis agitasi kedua adalah agitasi dihentikan, yaitu perlakuan agitasi dari awal fermentasi hingga mencapai µmax,yaitu jam ke-6. Setelah itu agitasi dihentikan sampai akhir fermentasi.

Pada penelitian utama ini, waktu dan suhu fermentasi disamakan dengan fermentasi pendahuluan agar mendapatkan kondisi yang sama sehingga dapat diperbandingkan. Analisis yang dilakukan terhadap fermentasi utama adalah kadar etanol, total biomassa, total gula sisa dan pH. Hasil analisis dari fermentasi utama adalah sebagai berikut :

a. Kadar Etanol

Etanol adalah hasil metabolit primer dari fermentasi oleh Schisaccharomyces pombe. Metabolit primer dihasilkan dari keseluruhan fase pertumbuhan dari mikroba. Kadar etanol yang dihasilkan dari fermentasi utama dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini:

Tabel 6. Perbandingan kadar etanol pada perlakuan agitasi lanjut dan agitasi dihentikan Perlakuan Ulangan 1 (g/L) Ulangan 2 (g/L) Rata-rata (g/L) Agitasi Lanjut 18,66 19,86 19,26±0,86 Agitasi Dihentikan 13,87 13,70 13,79±0,12

Dari hasil yang tertera pada tabel diatas, dapat dilihat bahwa kadar etanol yang dihasilkan dari perlakuan agitasi lanjut lebih tinggi daripada perlakuan agitasi dihentikan. Berdasarkan hasil analisa sidik ragam dengan dua kali ulangan, perlakuan agitasi lanjut dan agitasi dihentikan berbeda nyata terhadap rendemen etanol yang dihasilkan.

Fermentasi etanol terjadi dalam kondisi anaerob mengikuti jalur Embden Meyerhof-Parnas Pathway seperti yang digambarkan pada gambar 10. Reaksi diawali dengan fosforilasi glukosa. Glukosa mengalami fosforilasi menjadi glukosa-6-P dan fruktosa-6-P dengan ATP sebagai donor fosfat. Fruktosa-1,6-di-P kemudian pebcah menjadi dua molekul C3 yang terfosforilasi yaitu dihidroksi aseton fosfat dan

gliseraldehida-3-P. Dihidroksi aseton fosfat selanjutnya teroksidasi menjadi gliserofosfat, lalu diubah menjadi metabolit sekunder berupa gliserol. Gliseraldehida-3-P tereduksi menjadi asam 1,3-di-fosfogliserat dan mengalami defosforilasi menjadi 3-P-asam gliserat melepaskan fosfat dengan aseptor fosfat ADP mementuk ATP. Pada proses selanjutnya, 3- P-asam gliserat menjadi 2-P-asam gliserat, lalu membentuk fosfofenol piruvat dengan melepaskan H2O. Asam fosfofenol piruvat terdefosforilasi

menjadi asam piruvat dan menghasilkan ATP. Reaksi dekarboksilasi asam piruvat membentuk asetaldehid dan CO2 dalam reaksi oksidasi menjadi etanol (Tjokroadikoesoemo, 1986).

Gambar 10. Jalur Reaksi Embden-Meyerhof-Pathway (EMP) (Tjokroadikoesoemo, 1986)

Schisaccharomycces pombe bersifat fermentatif fakultatif (Deak et.al., 1996). Hal ini berarti khamir tersebut dapat menggunakan oksigen yang tersedia di dalam lingkungan kultur untuk melakukan respirasi. Agitasi dapat berfungsi untuk meratakan transfer oksigen ke media, sekaligus memiliki fungsi homogenisasi nutrisi dalam substrat. Dalam teknik agitasi yang dilakukan dengan shaker, tidak ada udara yang dimasukkan ke dalam fermentor, sehingga khamir hanya mengkonsumsi

oksigen yang tersedia sejak awal dalam lingkungan fermentor. Karena itu ketika ketersediaan oksigen dalam fermentor habis, maka kondisi fermentasi menjadi anaerob, meskipun agitasi tetap dilakukan. Kondisi anaerob ini mendorong khamir untuk memproduksi etanol.

Pada perlakuan kedua, agitasi hanya dilakukan sampai jam ke-6 dan setelah itu dihentikan. Agitasi dihentikan utuk mengubah kondisi menjadi anaerob, sehingga diharapkan khamir dapat langsung memproduksi etanol. Ketika agitasi dihentikan, maka pertumbuhan khamir menjadi melambat sehingga bila dibandingkan dengan perlakuan agitasi lanjut, jumlah biomassa akhir jauh lebih kecil.

Hasil rendemen etanol antara kedua perlakuan agitasi diatas adalah 19,26±0,86 g/L untuk agitasi lanjut dan 13,79±0,12 g/L untuk agitasi dihentikan. Perlakuan agitasi lanjut dapat menghasilkan rendemen etanol lebih tinggi karena perubahan dari kondisi aerob ke anaerob terjadi setelah pertumbuhan biomassa maksimal, sehingga lebih banyak biomassa yang memproduksi etanol. Perlakuan agitasi dihentikan menghasilkan rendemen etanol yang lebih rendah karena pergantian dari kondisi aerob ke anaerob terjadi ketika biomassa mencapai µmax. Pada

waktu itu pertumbuhan biomassa belum maksimal, sehingga biomassa yang memproduksi etanol lebih sedikit daripada jumlah biomassa pada perlakuan agitasi lanjut.

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu yang menggunakan kultur S. cerevisiae var. ellipsoideus. Pada penelitian Puspitasari (2008) yang melakukan penelitian bioetanol dari sirup glukosa ubi jalar menggunakan kultur S. cerevisiae var. ellipsoideus dengan fermetasi aerobik, etanol tertinggi didapat dari konsentrasi gula 27 % (b/v) yaitu sebesar 17,49±3.09 g/L.

Perbedaan kadar etanol yang dihasilkan sangat berkaitan dengan jenis kultur khamir yang digunakan, karena setiap strain khamir memiliki karakteritik yang berbeda, ada yang fermentatif kuat dan ada pula yang lemah.

Pertumbuhan Biomassa pada Masing-masing Jenis Agitasi (g/L) 0 1 2 3 4 5 0 6 12 18 24 30 36 42 48 Jam ke S e l Agitasi-dihentikan Agitasi-lanjutl b.Biomassa

Grafik pertumbuhan biomassa serta banyaknya jumlah biomassa yang terbentuk pada akhir fermentasi pada penelitian utama ini dapat dilihat pada gambar 11 dan tabel 6.

Gambar 11. Grafik pertumbuhan biomassa

Tabel 7. Total biomassa yang tumbuh hingga akhir fermentasi Perlakuan Ulangan 1 (g/L) Ulangan 2 (g/L) Rata-rata (g/L) Agitasi Lanjut 3,754 3,781 3,767±0,019 Agitasi Dihentikan 2,074 2,271 2,173±0,139

Menurut Moat (1979), pertumbuhan sel merupakan puncak aktivitas fisiologik yang saling mempengaruhi secara beraturan. Proses pertumbuhan ini sangat kompleks mencakup pemasukan nutrien dasar dari lingkungan ke dalam sel, konversi bahan-bahan nutrien menjadi energi dan berbagai konstituen sel yang vital serta perkembangbiakan.

Pada fermentasi utama ini jumlah biomassa yang terbentuk sampai akhir proses pada agitasi lanjut lebih banyak daripada agitasi dihentikan. Berdasarkan hasil analisa sidik ragam dengan dua kali ulangan, perlakuan agitasi lanjut dan agitasi dihentikan berbeda nyata terhadap total biomassa yang tumbuh. Hal ini karena fermentasi dengan agitasi lanjut lebih banyak memberikan transfer oksigen yang ada dalam fermentor secara merata kepada kultur, sehingga khamir dapat mudah melakukan respirasi. Selain itu agitasi dapat menurunkan ketebalan lapisan cairan pada

Total Gula Sisa pada Masing-masing Jenis Agitasi (% b/v) 20 22 24 26 28 30 32 34 36 0 6 12 18 24 30 36 42 48 Jam ke % Agitasi-Stop Agitasi-Full

permukaan gas/cairan. Sedangkan pada perlakuan agitasi dihentikan, adanya transfer oksigen secara merata hanya sampai khamir mencapai µmax, yaitu jam ke-6. Hal ini menyebabkan pertumbuhan sel setelah

agitasi dihentikan sangat lambat.

Seperti halnya S. cereviciae, Schisaccharomycces pombe bersifat fermentatif fakultatif (Deak et.al., 1996), sehingga mampu memanfaatkan oksigen di dalam lingkungan kultur. Karena itu kondisi lingkungan yang transfer oksigennya merata, salah satunya dengan diberi perlakuan agitasi, akan membuat pertumbuhan khamir lebih tinggi.

c. Total Gula Sisa

Sirup glukosa umbi ganyong digunakan sebagai sumber karbon utama dalam fermentasi ini. Pada kondisi aerob, Schisaccharomycces pombe memanfaatkan glukosa untuk memproduksi sel. Sedangkan pada kondisi anaerob, glukosa dikonsumsi oleh Schisaccharomycces pombe untuk memproduksi etanol. Karena itu seiring berjalannya waktu fermentasi maka kadar gula dari substrat akan semakin menurun. Penurunan kadar total gula pada fermentasi utama dapat dilihat pada gambar 12 dan tabel 7 berikut ini :

Grafik Pertumbuhan Sel dan Penurunan Kadar Gula pada Agitasi-lanjut 0 1 2 3 4 5 0 6 12 18 24 30 36 42 48 Jam ke S e l 24 26 28 30 32 34 36 T o t G u la

Bobot Sel (g/L) Tot Gula (% w/v)

Grafik Pertumbuhan Sel dan Penurunan Kadar Gula pada Agitasi-dihentikan 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 0 6 12 18 24 30 36 42 48 Jam ke S e l 26 28 30 32 34 36 T o t G u la

Bobot Sel (g/L) Tot Gula (% w/v)

Tabel 8. Konsumsi gula oleh khamir pada masing-masing perlakuan Perlakuan Ulangan 1 (% b/v) Ulangan 2 (% b/v) Rata-rata (% b/v) Agitasi Lanjut 4,090 4,416 4,253±0,23 Agitasi Dihentikan 2,727 3,117 2,922±0,275

Total gula pada fermentasi dengan agitasi lanjut lebih banyak mengalami penurunan daripada agitasi dihentikan. Penurunan total gula dari fermentasi dengan agitasi lanjut sebanyak 4,253 % (b/v), sedangkan penurunan total gula dari fermentasi dengan agitasi dihentikan sebanyak 2,922 % (b/v). Berdasarkan hasil analisa sidik ragam dengan dua kali ulangan, perlakuan agitasi lanjut dan agitasi dihentikan berbeda nyata terhadap penurunan total gula sisa. Penurunan total gula pada fermentasi agitasi lanjut lebih banyak karena transfer oksigen yang lebih banyak dan merata membuat khamir dapat melakukan respirasi, sehingga pertumbuhannya semakin tinggi. Jadi selama waktu fermentasi berlangsung dari jam ke-0 sampai jam ke-48, kadar biomassa dan kadar gula mengalami perubahan berbanding terbalik seperti pada gambar 13 berikut ini :

Gambar 13. Grafik hubungan antara pertumbuhan biomassa dengan penurunan kadar total gula.

Penurunan kadar gula selalu diiringi oleh peningkatan kadar biomassa serta peningkatan produk metabolit seperti etanol. Menurut Reed dan Nagodawithana (1991) pada kondisi aerobik pemanfaatan

Nilai pH pada Masing-masing Jenis Agitasi 0 1 2 3 4 5 6 0 6 12 18 24 30 36 42 48 Jam ke p H . Agitasi-dihentikan Agitasi-lanjut

glukosa menghasilkan penambahan biomassa sel dengan persamaan reaksi sebagai berikut :

C6H12O6 + 6 O2 6CO2 + 6H2O + 686 Kkal + biomassa sel

Sedangkan pada kondisi anaerob, glukosa dimanfaatkan untuk memproduksi etanol dengan persamaan berikut ini :

C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2 + 54 Kkal

d.pH

Laju pertumbuhan tergantung nilai pH, karena pH mempengaruhi fungsi membran, enzim dan komponen sel lainnya (Rehm dan Reid, 1981). Menurut Frazier dan Westhoff (1978), pH yang disukai khamir antara 4 – 5. Sedangkan menurut Moat (1979), pH optimum untk pertumbuhan khamir adalah antara 4,5 – 5,5.

Hasil dari pengukuran pH pada masing-masing perlakuan agitasi adalah sebagai berikut :

Tabel 9. Hasil pH yang diukur tiap 6 jam pada masing-masing perlakuan Jam ke Agitasi Lanjut Agitasi Dihentikan

0 5,05±0,07 5,1±0,14 6 4,95±0,21 4,9±0,07 12 4,55±0,07 4,75±0,07 18 4,15±0,21 4,35±0,21 24 3,65±0,07 4,05±0 30 3,45±0,28 3,8±0,07 36 3,5±0,14 3,75±0,14 42 3,4±0,28 3,7±0,07 48 3,3±0,35 3,65±0,14

Selama fermentasi berlangsung, nilai pH semakin turun. Hal ini karena dalam proses fermentasi substrat oleh khamir, tidak hanya menghasilkan etanol sebagai hasil metabolit. Produk lain yang dihasikan selama proses fermentasi antara lain asam asetat, asam piruvat, dan asam-asam organik lainnya. Menurut Reed dan Rehm (1983), asam sebagai hasil samping fermentasi etanol seperti asam asetat, asam piruvat dan asam-asam organik lainnya beperan besar dalam penurunan pH sedangkan asam butirat dan asam lemak lainya hanya berpengaruh sedikit.

Tabel 8 memperlihatkan bahwa fermentasi dengan agitasi lanjut lebih mengalami penurunan pH dibandingkan fermentasi dengan agitasi dihentikan. Perlakuan agitasi lanjut membuat transfer oksigen lebih merata ke media, selain itu larutan yang berisi media fermentasi dan biomassa menjadi lebih homogen. Apabila larutan selalu homogen maka akan lebih memperbanyak terjadinya reaksi metabolisme oleh khamir, sehingga produk-produk metabolit antara lain berupa asam juga semakin banyak. Perlakuan agitasi terus menerus juga menyebabkan biomassa yang terbentuk lebih banyak. Ketika kondisi berubah menjadi anaerob, khamir akan melakukan fermentasi dari glukosa yang juga menghasilkan produk samping berupa asam.

Dokumen terkait