BAB II PENELAAHAN PUSTAKA
E. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
2. Pemisahan Puncak dalam Kromatografi
merupakan detektor yang hanya mengukur sifat fisik solut. Detektor tipe ini 1000 kali lebih sensitif dan mampu mengukur solut sampai satuan nanogram atau lebih kecil lagi. Contoh detektor jenis ini yaitu detektor fluoresensi, detektor penyerapan (UV-Vis), dan detektor elektrokimia (Munson, 1991).
Keberhasilan atau kegagalan analisis tergantung pada pemilihan kolom dan kondisi kerja yang tepat. Ukuran kinerja kolom dapat dilihat dari kemampuan kolom dalam memisahkan senyawa. Kolom yang efisien mencegah pelebaran puncak atau menghasilkan puncak yang sangat sempit (Johnson dan Stevenson, 1978).
Faktor resolusi adalah ukuran pemisahan dari 2 puncak. Daya pisah (R), dapat diukur dengan persamaan:
R = (tR 2−tR 1)
�12�(w1+w2)= 2Δt
w1+w2 (4)
Nilai tR2 dan tR1 adalah waktu retensi senyawa, diukur pada titik maksimum puncak dan Δt adalah selisih antara tR2 dan tR1. Nilai w2 dan w1 adalah
lebar alas puncak. Pemisahan dua senyawa dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 3):
Gambar 3. Pemisahan dua senyawa (Johnson dan Stevenson, 1978)
Nilai R >1,5 disebut baseline resolution, yaitu pemisahan sempurna dari dua puncak dengan ukuran yang sama. Dalam praktiknya, pemisahan dengan nilai R= 1,0 (kedua puncak berhimpit lebih kurang 2%) dianggap memadai (Pescok et al., 1976).
Pemisahan puncak-puncak dalam kromatografi erat hubungannya dengan efisiensi kolom. Pada efisiensi kolom terdapat dua teori yang menjelaskan mengenai pemisahan puncak pada kromatografi, yaitu:
a. Teori lempeng
Dalam teori lempeng dinyatakan bahwa kolom kromatografi digambarkan sebagai suatu seri lapisan tipis horizontal yang disebut lempeng teoritis. Setiap molekul analit akan mengalami keseimbangan dalam fase diam dan fase gerak. Pemisahan akan lebih baik jika terjadi keseimbangan berkali-kali dalam jumlah yang tinggi. Hal ini terjadi jika jumlah lempeng teoritis juga tinggi.
Oleh karena itu, jumlah teoritis juga dapat digunakan sebagai ukuran efisiensi kolom (Noegrohati, 1994). Hubungan antara waktu retensi (tR), lebar alas peak
(W), dan jumlah lempeng teoritik (N) dapat dinyatakan dengan persamaan (Johnson dan Stevenson, 1978):
N = 16�tR
w�2 = 5,54� tR
W1/2�2 (5)
Bilangan lempeng teoritis (N) berbanding lurus dengan panjang kolom (L). Karena panjang kolom yang bermacam-macam, maka diperlukan ukuran koefisien kolom yang tidak tergantung pada panjang kolom. HETP (Height Equvalent to a Theoretical Plate) atau H merupakan ukuran koefisien kolom yang lebih disukai karena memungkinkan perbandingan antara kolom yang panjangnya berlainan, yang dapat diukur dengan persamaan (Munson, 1991):
H=HETP= L
N (6) b. Teori laju
Teori lempeng hanya menggambarkan laju migrasi secara kuantitatif, tetapi tidak dapat menggambarkan pengaruh variabel-variabel lain yang menyebabkan terjadinya pelebaran peak, oleh karena itu perlu diketahui teori laju. Pada waktu migrasi, solut mengalami transfer dalam fase diam dan fase gerak berkali-kali. Solut hanya dapat bergerak jika berada dalam fase gerak sehingga migrasi di dalam kolom juga tidak teratur dan mengakibatkan laju rata-rata solut relatif terhadap fase gerak juga sangat bervariasi, sehingga terjadi pelebaran peak
Menurut teori laju ini, efisiensi kolom dinyatakan dengan persamaan Van Deemter yang dapat dinyatakan sebagai berikut (Willard et al., 1988):
H=A+ B µ +Cstasionery.µ+Cmobile.µ (7) H=2λdp+ 2γD µ + 8k ' df2 π2(1+k')2DCairan µ (8) Dimana λ = tetapan ukuran ketidakteraturan kemasan
dp = diameter rata-rata partikel penyangga D = kedifusian linarut dalam fase gerak k' = faktor kapasitas
µ = kecepatan alir
γ = faktor koreksi kelikuan saluran dalam kolom
Dari persamaan di atas dapat dilihat terdapat tiga variabel yang mempengaruhi efisiensi kolom, yaitu:
1) Difusi Eddy, yang dinyatakan sebagai A (2λdp). Difusi Eddy menggambarkan ketidakhomogenan kecepatan alir dan panjang lintasan di sekitar partikel yang terpack-ing (Gambar 5). Lintasan alir yang tidak sama pasti ditemukan dalam kolom terpack-ing. Suatu molekul solut dapat melewati kolom dekat dinding kolom di mana kerapatan kolom rendah dengan cepat mencapai akhir kolom, khususnya pada kolom dengan diameter kecil. Molekul solut yang melewati bagian tengah kolom akan mencapai akhir kolom lebih lambat. Hal ini menyebabkan perbedaan laju tiap molekul melalui kolom berbeda-beda. Untuk meminimalkan difusi Eddy ini, maka diameter rata-rata
partikel dalam kolom harus sekecil mungkin dan seseragam mungkin. Difusi Eddy yang terjadi di dalam kolom dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 4):
Gambar 4. Difusi Eddy (Willard et al., 1988) 2) Difusi longitudinal,
3)
Nilai B (2γD/µ) menyatakan efek difusi longitudinal, pergerakan acak molekul dalam fase gerak. Pengaruh difusi longitudinal terhadap ketinggian lempeng menjadi signifikan hanya pada kecepatan fase gerak yang rendah/lambat. Kecepatan difusi solut yang tinggi pada fase gerak dapat menyebabkan molekul solut terdispers secara aksial sementara dengan lambat bermigrasi melalui kolom.
Transfer massa Transfer massa dinyatakan dengan nilai Cstasionery dan Cmobile. Cstasionery merupakan hasil dari ditahannya solut karena adanya fase diam. Suatu molekul bergerak lambat dalam fase diam, sementara molekul lainnya melaju melalui kolom bersama dengan fase gerak. Untuk mengatasi hal ini diperlukan fase diam yang lebih encer (tidak terlalu kental). Peristiwa ini dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 5):
Gambar 5. Transfer massa fase diam (Willard et al., 1988)
Cmobile menggambarkan adanya peristiwa dimana solut dalam fase diam bertemu dengan fase gerak yang masih baru. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 6):
Gambar 6. Transfer massa fase gerak (Willard et al., 1988)
Pada analisis secara KCKT, kondisi percobaan yang menghasilkan puncak yang simetris selalu lebih disukai, karena puncak yang asimetris dapat menghasilkan pengukuran bilangan lempeng teoritik dan faktor resolusi yang tidak akurat, perhitungan yang tidak teliti, penurunan derajat resolusi dan puncak-puncak minor yang tidak terdeteksi pada ekor puncak-puncak, serta waktu retensi yang tidak reprodusibel. Parameter yang digunakan untuk menilai bentuk puncak adalah peak asymmetry factor (As), yang diukur pada 10% tinggi puncak. Peak
yang simetri memiliki nilai As sama dengan 1, sedangkan puncak dengan nilai As
digunakan yaitu peak tailing factor (Tf), yang diukur pada 5% tinggi puncak. Cara penentuan As dan Tf dapat diamati pada gambar berikut (Gambar 7):
Gambar 7. Penentuan peak asymmetry dan peak tailing factor (Snyder et al., 1997) Distribusi analit dalam fase gerak dan fase diam pada saat terjadi tailing
dan leading dapat dilihat sebagai berikut (Gambar 8):
Gambar 8. Distribusi analit dalam fase gerak dan fase diam (Kuwana, 1980)
Gugus silanol yang tidak bereaksi karena adanya halangan sterik dapat memberikan kepolaran yang tidak dikehendaki dan menyebabkan pengekoran pada puncak kromatogram. Untuk mengurangi gugus silanol yang masih bebas,
reaksi dianjurkan dengan penambahan trimetilklorosilan yang dapat mencapai gugus silanol karena ukurannya yang lebih kecil dibanding organoklorosilan yang lain. Penambahan trimetilklorosilan dapat menutupi banyak gugus silanol yang masih bebas, namun tidak semua gugus tersebut dapat tertutupi (Skoog et al.,
1998).
Puncak kromatogram yang tidak simetri (tailing dan leading) sering dijumpai bila konsentrasi solut dalam fase gerak terlalu besar. Senyawa-senyawa polar juga berpotensi menimbulkan tailing apabila masih terdapat residu gugus silanol pada fase diam. Penyebab tailing yang lain yaitu ketidaksesuaian antara solut dan kolom, pengemasan kolom yang tidak seragam, dan faktor yang terjadi di luar kolom, seperti injektor (Noegrohati, 1994).