• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA

E. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

3. Pemisahan Puncak Dalam Kromatografi

Empat karakteristik umum yang biasanya digunakan untuk mendeskripsikan kolom, sistem dan pemisahan kromatografi ialah faktor retensi

(k’), efisiensi (N), selektivitas(α), dan resolusi(R) (Ahuja dan Rasmussen, 2007). a. Faktor retensi (k’). Faktor retensi (k’) merupakan pengukuran retensi senyawa tertentu pada sistem kromatografi tertentu dan pada kondisi tertentu. Faktor retensi didefinisikan dengan persamaan sebagai berikut :

�′===

Dimana VR merupakan retensi volume analit, V0 merupakan retensi volume fase cair dalam sistem kromatografi dalam mL, tR merupakan retention time dalam menit, t0 disebut sebagai retention time analit yang tidak tertahan dalam menit (Ahuja dan Rasmussen, 2007), Vs merupakan volume sampel juga disebut sebagai volume dari fase diam yang ada didalam kolom dalam µL dengan pendekatan persamaan sebagai berikut :

= , √ �√ �

(3)

Dimana L merupakan panjang kolom dalam mm, dc merupakan diameter internal kolom dan dp merupakan packing diameter parkikel penyusun kolom dalam µm. Seluruh kondisi dari sistem kromatografi dapat mempengaruhi retensi analit. (Snyder dkk, 2010).

Retention time analit yang tidak tertahan (t0) atau dihubungkan dengan volume fase gerak dalam kolom sebagai hasil perkalian antara retention time analit yang tidak tertahan terhadap kecepatan alir fase gerak yang melewati kolom. Retention time analit yang tidak tertahan dapat dihitung berdasarkan dimensi kolom dan kecepatan alirnya, persamaan matematika yang menghubungkannya dituliskan sebagai berikut :

= � − �

L merupakan panjang kolom dalam mm, dc merupakan diameter internal kolom dalam mm, F merupakan kecepatan alir fase gerak yang melewati kolom dalam mL/min serta t0 sendiri dalam menit (Snyder dkk., 2010).

Faktor retensi mengukur waktu dari komponen sampel yang tinggal pada fase diam dihubungkan terhadap waktu dari komponen sampel yang terbawa pada fase gerak (Ettre,1993). Kecepatan migrasi analit melalui fase diam ditentukan koefisen distribusinya (D), besarnya nilai D tersebut ditentukan oleh afinitas relatif analit pada kedua fase (fase diam dan fase gerak). Dalam konteks kromatografi, koefisien distribusi (D) didefinisikan sebagai perbandingan konsentrasi analit dalam fase diam (Cs) dan fase gerak (Cm), yang dituliskan sebagai berikut :

(6) =

Semakin besar nilai D, maka migrasi analit semakin lambat, sebaliknya semakin kecil nilai D, maka migrasi analit semakin cepat. Jika perbedaan koefisien distribusi analit cukup besar maka campuran analit akan mudah dan cepat dipisahkan (Gandjar dan Rohman, 2010).

Retention time (tR) merupakan lamanya waktu yang dibutuhkan solut untuk dapat melewati kolom. Retention time (tR) dan faktor retensi (k’) dihubungkan oleh persamaan berikut :

= + �′

t0 merupakan waktu yang dibutuhkan analit yang tidak tertahan untuk dapat melewati kolom. Bila analit tidak tertahan pada fase diam maka koefisien distribusinya (D) dan faktor retensinya adalah 0 sehingga nilai tr=t0. Dalam sistem kromatografi umumnya diatur agar nilai k’<20 untuk menghindari retention time yang terlalu panjang (Gandjar dan Rohman, 2010). Retention time yang efisien untuk analisis rutin ialah < 10 menit (Smith, 2002).

b. Resolusi (Rs). Resolusi dapat didefinisikan sebagai perbedaan waktu antara retention time dua puncak peak yang saling berdekatan dibagi dengan rata-rata lebar puncak, sehingga yang sangat berpengaruh terhadap pemisahan komponen analit merupakan retention time (tR) masing-masing analit dan lebar puncaknya (W). Nilai Rs harus mendekati atau lebih dari 1,5 untuk memberikan pemisahan yang baik (Gandjar dan Rohman, 2010).

= +

(7)

Pemisahan komponen analit pada sistem KCKT diharapkan memiliki Rs yang minimum dengan baseline separation. Baseline separation dapat dicapai ketika detektor membaca peak kromatogram pertama secara utuh hingga baseline sebelum detektor membaca peak kromatogram berikutnya. Baseline separation dapat dicapai saat Rs > 1,5 atau mendekati 1,5 (Snyder, Kirkland dan Glajch, 1997).

Gambar 8. Gambaran peak kromatogram untuk mengukur resolusi (Snyder dkk., 1997)

c. Efisiensi kolom. Efisiensi merupakan karakteristik penting dalam kolom. Efisiensi diekspresikan sebagai jumlah lempeng teoritis (N) yang dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

= ( )

Dimana tR merupakan retention time analit dan W merupakan lebar peak pada posisi baseline (Ahuja dan Rasmussen, 2007).

Pengukuran terhadap efisiensi kolom membutuhkan faktor lebar peak (W) karena waktu retensi berpengaruh terhadapnya, peningkatan nilai W akan meningkatan retention time. Semakin tinggi nilai N mengindikasikan efisiensi kolom yang lebih baik (Miller dan Crowther, 2010).

Terdapat parameter lain terkait efisiensi kolom, yakni plate height/tinggi plat (H) yang dirumuskan dengan persamaan berikut :

� =

Dimana L merupakan panjang kolom. Plate height/tinggi plat (H) atau biasanya disebut sebagai HETP (Height Equivalent to one Theoretical Plate) menggunakan satuan unit panjang, pengukuran plate height lebih baik untuk penentuan efisiensi kolom karena adanya faktor panjang kolom sebagai pembandingnya daripada hanya dilihat dari jumlah lempeng teoritisnya (N). (Miller dan Crowther,2010). HETP merupakan panjang kolom kromatografi (dalam mm) yang diperlukan sampai terjadinya satu kali kesetimbangan molekul solut dalam fase gerak dan fase diam) (Gandjar dan Rohman, 2010).

Pada saat pemisahan kromatografi, analit individual akan membentuk profil konsentrasi yang simetri/profil Gaussian dalam arah aliran fase gerak. Peak kromatogram secara perlahan akan melebar dan sering membentuk profil asimetrik karena analit melanjutkan migrasinya ke fase diam (Gandjar dan Rohman, 2010). Alasan timbulnya bentuk puncak dan pelebaran puncak didasarkan pada difusi Eddy, difusi longitudinal, dan transfer massa (Snyder dkk., 2010).

Difusi longitudinal ialah saat analit melewati kolom (gambar 9b). Proses difusi ini menyebabkan pelebaran peak untuk meningkatan retention time (Snyder dkk., 2010). Spesies analit menyebar kesegala arah dengan difusi ketika berada di dalam fase gerak. Difusi terjadi dengan arah yang sama dan berlawanan dengan (10)

fase gerak sehingga berkontribusi terhadap pelebaran pita secara simetris (Gandjar dan Rohman, 2010).

Gambar 9. Ilustrasi gambar yang menyebabkan pelebaran puncak selama pemisahan menggunakan KCKT. Simbol merepresentasifkan molekul analit sebelum migrasi,

simbol menyatakan molekul analit setelah migrasi, dan ---> menyatakan pergerakan dari molekul analit (Snyder dkk., 2010).

Difusi Eddy merepresentatifkan faktor lain yang menyebabkan pelebaran pita. Molekul analit masuk ke dalam kolom melewati partikel fase diam dengan arah yang berbeda–beda menuju ke luar kolom. Molekul yang bergerak lebih lambat akan keluar lebih lambat dan molekul yang bergerak lebih cepat akan keluar lebih dahulu. Pelebaran pita tidak bergantung dari kecepatan alir yang digunakan dan hanya bergantung dari penyusunan dan ukuran partikel dalam kolom. Pelebaran pita yang diakibatkan karena difusi Eddy akan semakin besar seiring dengan peningkatan ukuran partikel kolom (Snyder dkk., 2010).

Gambar 10. Ilustrasi difusi Eddy saat memasukin kolom dan menyebabkan pelebaran pita (Miller dan Crowther, 2010)

Transfer massa dapat menyebabkan pelebaran pita, terjadinya transfer massa disebabkan oleh transfer massa fase gerak yang merupakan kecepatan alir analit yang mempengaruhi pelebaran pita, diantara partikel fase diam terdapat rongga yang bilamana analit melewatinya akan lebih cepat keluar terbaca detektor dan bila analit cenderung lebih menyamping maka akan terjadi interaksi dahulu terhadap partikel fase diam yang dapat dilihat dari gambar 9d. Transfer massa fase diam merepresentatifkan analit yang terpenetrasi ke dalam partikel fase diam dan tinggal lebih lama sebelum meninggalkan partikel fase diam. Perbedaan lama waktu tinggal dan adanya analit yang terlebih dahulu terelusi keluar akan menyebabkan pelebaran pita (Snyder dkk., 2010).

d. Selektivitas (α). Menurut Ahuja dan Rasmussen (2007), selektivitas merupakan kemampuan sistem kromatografi untuk memisahkan dua analit dan dapat digambarkan sebagai rasio faktor retensi, dengan persamaan sebagai berikut :

� =�′�′

Kesempurnaan pemisahan pada kromatogram seperti yang pada persamaan (6) belum memanfaatkan berbagai faktor, terdapat persamaan lain yang menggunakan faktor – faktor lain seperti pada persamaan berikut :

= (√ ) [� −� ] [ − ��′ ]

Persamaan (10) menjelaskan bahwa terdapat faktor lain yang turut menentukan

resolusi, yaitu jumlah lempeng (N), selektivitas (α), dan faktor retensi (k’)

(Gandjar dan Rohman, 2010).

Selektivitas pemisahan dapat dicapai dengan mengganti fase gerak, parameter yang digunakan digambarkan oleh sebuah diagram solvent selectivity triangle. Solvent selectivity triangle menggambarkan perbedaan antara solven

dengan melihat sifat keasaman (α), kebasaan (β), dan dipolar (π*). Perbedaan pola elusi dari perbedaan solven yang besar dapat diharapkan dapat memisahkan peak dengan baik. Solven A dalam kromatografi fase terbalik biasanya digunakan fase gerak aquabidest dan solven B digunakan senyawa golongan alkohol (Meyer, 2004).

Gambar 11. Solvent Selectivity Triangle (Meyer, 2004)

Selektivitas dapat menghasilkan pergeseran satu puncak relatif terhadap puncak lainnya dengan menaikan nilainya. Efisiensi pemisahan yang ditunjukan oleh faktor N akan berubah dengan mengubah panjang kolom (L) atau mengubah kecepatan alir fase gerak. Menaikan lempeng teoritis (N) suatu kolom akan mengakibatkan penyempitan dua puncak sehingga lebar puncak (W) menjadi kecil dan resolusi yang dihasilkan menjadi lebih besar. Pengubahan nilai k’ dengan menurunkannya akan menghasilkan pemisahan yang jelas dan retention time yang

pendek, sebaliknya menaikan nilai k’ akan memberikan resolusi yang lebih baik

dengan konsekuensi tinggi puncak kromatogram akan turun dan waktu pemisahan menjadi naik (Gandjar dan Rohman, 2010).

Gambar 12. Pe garuh perubaha ilai α, k’, da N terhadap pemisahan peak

kromatogram (Gandjar dan Rohman, 2010)

e. Faktor asimetri/pengekoran. Pita kromatogram biasanya tidak menghasilkan bentuk yang Gaussian dan menimbulkan pengekoran. Pengekoran pita/peak tailing dapat dihitung berdasarkan dua cara yakni menggunakan asymmetry factor (As) atau menggunakan tailing factor (TF). Nilai As dapat dikorelasikan dengan TF menggunakan persamaan sebagai berikut :

� ≈ + , −

Melihat dari persamaan (11), nilai As akan cenderung lebih besar dibandingkan nilai TF (Snyder dkk., 2010).

Menurut Center for Drug Evalution and Research (1994), nilai tailing factor yang baik ≤ 2.

Gambar 13. Penentuan asymmetry factor (As) dan tailing factor (TF) (Snyder dkk.,2010).

Dokumen terkait