• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimasi komposisi dan kecepatan alir fase gerak sistem Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik pada penetapan kadar nikotin dalam rokok `merek X` menggunakan standar internal asetanilida.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Optimasi komposisi dan kecepatan alir fase gerak sistem Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik pada penetapan kadar nikotin dalam rokok `merek X` menggunakan standar internal asetanilida."

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

xxii INTISARI

Telah dilakukan penelitian mengenai optimasi komposisi dan kecepatan alir fase gerak sistem Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik pada penetapan kadar nikotin dalam rokok “merek X” menggunakan standar internal asetanilida. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kondisi optimal sistem KCKT fase terbalik sehingga dapat digunakan untuk validasi metode dan penetapan kadar nikotin dalam ekstrak etanolik tembakau rokok.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental deskriptif. Sistem KCKT fase terbalik yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan fase diam oktil silika (C8) dan fase gerak metanol : ammonium asetat 10 mM + TEA 0,1% dengan detektor

UV pada panjang gelombang 260 nm. Optimasi dilakukan dengan mengubah komposisi fase gerak 50:50, 60:40, dan 70:30 serta kecepatan alir 0,5; 0,8 dan 1,0 mL/min untuk menentukan bentuk peak, retention time yang efisien, nilai resolusi, nilai tailing factor, dan reprodusibilitas retention time.

Kondisi optimum sistem KCKT fase terbalik hasil optimasi yakni fase gerak metanol : ammonium asetat 10 mM + TEA 0,1% (70:30) pada kecepatan alir 1,0 mL/min. Kondisi ini memenuhi parameter pemisahan yang baik yaitu Rs 3,915; tR

nikotin 4,638 menit; TF 1,983 dan tR asetanilida 3,645 menit; TF 1,699.

(2)

xxiii ABSTRACT

A research about optimization of reversed phase High Performance Liquid Chromatography (HPLC) to determine nicotine in cigarette “brand X” using acetanilide as internal standard have been done. The purpose of this research are finding an optimum mobile phase composition and flow rate of reversed phase HPLC system used for method validation and determination levels of nicotine in ethanolic extract of tobacco cigarettes.

This research is conducted with a descriptive experimental design. The reversed phase HPLC system uses in this research using octyl silica (C8) as stationary

phase, methanol:ammonium acetate 10 mM + TEA 0.1% as mobile phase, and UV detector at wavelength 260 nm. Optimization is done by changing the composition of the mobile phase 50:50, 60:40 and 70:30 with flow rate at 0.5; 0.8 and 1.0 mL/minute to determine a peak shape, efficient retention time, resolution value, tailing factor value, and retention time reproducibility.

This research resulted in an optimum condition of reversed phase HPLC system in mobile phase composition of methanol:ammonium acetate 10 mM + TEA 0.1% (70:30) and a flow rate of 1.0 mL/min. This conditions fulfills the parameters of good separation which contains resolution value 3.915; nicotine’s tR 4.638 minutes

(3)

i

OPTIMASI KOMPOSISI DAN KECEPATAN ALIR FASE GERAK SISTEM KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) FASE TERBALIK

PADA PENETAPAN KADAR NIKOTIN DALAM ROKOK “MEREK X” MENGGUNAKAN STANDAR INTERNAL ASETANILIDA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh: Eric Antonius NIM : 098114108

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)

ii

Persetujuan Pembimbing

OPTIMASI KOMPOSISI DAN KECEPATAN ALIR FASE GERAK SISTEM

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) FASE TERBALIK PADA PENETAPAN KADAR NIKOTIN DALAM ROKOK “MEREK X”

MENGGUNAKAN STANDAR INTERNAL ASETANILIDA

Skripsi yang diajukan oleh: Eric Antonius NIM : 098114108

telah disetujui oleh

Pembimbing Utama

(5)

iii

Pengesahan Skripsi berjudul

OPTIMASI KOMPOSISI DAN KECEPATAN ALIR FASE GERAK SISTEM KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) FASE TERBALIK

PADA PENETAPAN KADAR NIKOTIN DALAM ROKOK “MEREK X” MENGGUNAKAN STANDAR INTERNAL ASETANILIDA

Oleh : Eric Antonius NIM : 098114108

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Pada tanggal : 22 Februari 2013

(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kehidupan terkadang menyakitkan saat kita tahu kebenarannya. Cinta terkadang menyakitkan saat kita tahu kejujurannya.

Pengetahuan terkadang menyakitkan saat kita tidak mampu meraihnya.

Tekad terkadang menjadi arang saat kegagalan melanda. TETAPI

Kehidupan terkadang menyenangkan saat kita mampu menghadapinya.

Cinta terkadang membahagiakan saat kita tahu pengorbanannya.

Pengetahuan terkadang menghibur saat kita mampu mendapat solusinya.

Tekad menjadi batu karang saat kita berani menggenapinya. BERMIMPILAH dan BERUSAHALAH

Kesuksesan merupakan buah kemauan yang dilakukan berulang

kali dengan sepenuh hati.

Karya ini kudedikasikan untuk orang tuaku, kekasih hatiku, teman-temanku dan almamaterku.

“You have to dream before your dreams can come true.”– Abdul Kalam

“Anyone who has never made a mistake has never tried anything new” – Albert Einstein

(7)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya susun ini tidak memuat karya atau bagian dari pekerjaan orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya indikasi plagiarisme dalam naskah yang saya susun ini, maka saya bersedia menanggung segala resiko dan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Yogyakarta, 18 Februari 2013 Penulis,

(8)

vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Eric Antonius

Nomor Mahasiswa : 09811410

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul:

“OPTIMASI KOMPOSISI DAN KECEPATA ALIR FASE GERAK SISTEM KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) FASE TERBALIK

PADA PENETAPAN KADAR NIKOTIN DALAM ROKOK “MEREK X” MENGGUNAKAN STANDAR INTERNAL ASETANILIDA”

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan mempubliksaikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 18 Februari 2013 Yang menyatakan

(9)

vii PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas cinta kasih, berkat, ijin dan peryertaan-Nya yang begitu besar, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Optimasi Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Kckt) Fase

Terbalik Pada Penetapan Kadar Nikotin Dalam Rokok “Merek X” Menggunakan

Standar Internal Asetanilida” sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi demi memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa penelitian dan penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya masukan, kritikan, diskusi, arahan, saran, dan bimbingan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ipang Djurnarko, M.Sc., Apt. Selaku Dekan Fakultas Farmasi Uninversitas Sanata Dharma Yogyakarta atas teladan seorang pemimpin yang diberikan

(10)

viii

3. Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing di laboratorium dan teman selama penelitian skripsi yang telah memberikan masukan, diskusi, saran, dan dukungan moral kepada penulis selama penelitian skripsi ini.

4. Jeffry Julianus, M.Si. selaku dosen penguji yang memberikan banyak kritik dan saran yang membangun untuk skripsi ini.

5. Prof. Dr. Sri Noegrohati, Apt. selaku dosen penguji yang memberikan banyak kritik dan saran yang membangun untuk skripsi ini.

6. C.M.Ratna Rini Nastiti, M.Pharm., Apt. sebagai Kaprodi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta atas teladan kepemimpinan, masukan, dan saran yang diberikan selama penulis berkuliah dan menyusun naskah.

7. Rini Dwi Astuti, M.Sc., Apt. sebagai Kepala Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

8. Prof. Dr. Sudibyo Martono, M.S., Apt. atas waktu yang diluangkan untuk memberikan sedikit masukan diawal penelitian

9. Bimo Adithya, Suparlan, dan Kunto dan segenap staf laboran yang senantiasa siap membantu dan meluangkan waktunya dalam penyediaan bahan dan alat selama penelitian.

10.Semua dosen dan karyawan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma atas pengalaman, masukan, keceriaan, semangat, dan persahabatan yang diberikan. 11.Demas dan Is Sumitro sebagai rekan kerja dalam penelitian skripsi ini. Terima

(11)

ix

12.Lucia Shinta R, Sisilia Mirsya A, Metri S.K., Agnes Mutiara, Victor Purnama Agung, dan Novia Sarwoningtyas sebagai teman seperjuangan dalam satu lantai Laboratorium Analisis Instrumental. Terima kasih atas diskusi, canda tawa, semangat selama kita bekerja bersama-sama.

13.Yenni Soenardi Tjokro terima kasih atas perhatian, kasih sayang, semangat, dan dukungannya yang diberikan selama penelitian yang dilakukan.

14.Sihendra Ze selaku kakak dan teman berbagai cerita selama penyusunan naskah skripsi, terima kasih atas masukan dan kritik yang diberikan.

15.Fendy, Joe dan Kenny selaku sahabat, teman berbagi cerita dan teman seperjuangan atas semangat, diskusi, canda tawa yang diberikan selama penulis berkuliah di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

16.Teman-teman “Konco Dolan”, terima kasih atas dukungannya dan canda tawa yang diberikan selama penelitian.

17.Teman angkatan 2009 yang bersama-sama berjuang dan mengisi sebagian cerita hidupku, terima kasih atas kebersamaan, diskusi, dan bantuan selama perkuliahan. 18.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas segala bantuan,

semangat dan doa yang menyertai penulis dari awalnya penelitian hingga diselesaikannya penulisan skripsi ini.

(12)

x

yang berarti bagi para pembaca. Akhir kata, penulis mempersembahkan skripsi ini demi majunya ilmu pengetahuan farmasi.

Yogyakarta, 18 Februari 2013

(13)
(14)

xii

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA... 6

A. Rokok... 6

B. Nikotin... 7

C.Ekstrak Tumbuhan... 9

D.Spektrofotometri UV... 10

E. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)... 14

1. Definisi dan Instrumentasi KCKT... 14

2. Optimasi Metode... 23

3. Pemisahan Puncak Dalam Kromatografi... 24

F. Standar Internal... 34

G.Landasan Teori... 36

H.Hipotesis... 36

BAB III METODE PENELITIAN... 38

A. Jenis dan Rancangan Penelitian... 38

B. Variabel Penelitian... 38

1. Variabel Bebas... 38

2. Variabel Tergantung... 38

3. Varianel Pengacau Terkendali... 38

C. Definisi Operasional... 39

D. Bahan Penelitian... 39

(15)

xiii

F. Tata Cara Penelitian... 40

1. Pembuatan Fase Gerak... 40

2. Pembuatan Larutan Internal Standar Asetanilida... 41

3. Pembuatan Larutan Baku Nikotin... 41

4. Preparasi Sampel... 42

5. Penentuan Panjang Gelombang Pengamatan Nikotin dan Asetanilida... 44

6. Optimasi Metode KCKT Fase Terbalik... 44

G. Analisis Hasil... 45

1. Bentuk Peak... 45

2. Retention time (tR)... 46

3. Resolusi (Rs)... 46

4. HETP... 46

5. Reprodusibilitas retention time... 46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 47

A.Penentuan Fase Gerak... 47

B. Pembutan Seri Larutan Baku Nikotin dan Asetanilida... 49

C.Preparasi Sampel... 50

D.Penentuan Panjang Gelombang Pengamatan Nikotin dan Asetanilida... 53

(16)

xiv

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 75

A.Kesimpulan... 75

B.Saran... 75

DAFTAR PUSTAKA... 76

LAMPIRAN... 80

(17)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Ringkasan Sifat/Karakteristik yang dimiliki nikotin... 8 Tabel II. Deret elutropik dan indeks polaritas beberapa pelarut KCKT... 19 Tabel III. Komposisi fase gerak yang dibuat dalam penelitian... 40 Tabel IV. Perbandingan panjang gelombang maksimum nikotin hasil

pengukuran terhadap panjang gelombang maksimum teoritis... 55 Tabel V. Perbandingan panjang gelombang maksimum asetanilida hasil

pengukuran terhadap panjang gelombang maksimumteoritis... 57 Tabel VI. Perbandingan komposisi fase gerak dan indeks polaritas

masing-masing komposisi fase gerak... 63 Tabel VII. Hasil optimasi peak baku nikotin dan asetanilida pada berbagai

komposisi fase gerak dan kecepatan alir... 65 Tabel VIII. Perbandingan hasil parameter optimasi baku nikotin dan

asetanilida dengan fase gerak metanol : ammonium asetat 10 mM + TEA 0,1%... 70 Tabel IX. Tekanan pompa pada berbagai komposisi fase gerak dan

kecepatan alir... 71 Tabel X. Hasil perhitungan CV nilai retention time larutan baku nikotin

(18)

xvi

Tabel XI. Hasil perhitungan CV nilai retention time larutan baku asetanilida dengan fase gerak metanol : ammonium asetat 10mM + TEA 0,1% (70:30) pada kecepatan alir 1,0 mL/min... 72 Tabel XII. Hasil perhitungan CV nilai retention time larutan sampel dan

sampel yang ditambahkan adisi nikotin sebanyak 20 µg/mL dengan fase gerak metanol : ammonium asetat 10mM + TEA 0,1% (70:30) pada kecepatan alir 1,0 mL/min... 73 Tabel XIII. Hasil perhitungan CV resolusi sampel dengan fase gerak metanol

(19)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur nikotin (3-(1-metil-pirolodinil)pirindin)... 7 Gambar 2. Struktur dari macam alkaloid yang terdapat dalam tembakau... 9 Gambar 3. Diagram tingkat energi elektronik... 11 Gambar 4. (A) Pengaruh pelarut polar terhadap – transisi π → π* dan (B) –

transisi n → π*... 13

Gambar 5. Dasar pemisahan kromatografi partisi... 15 Gambar 6. Skema instrumentasi KCKT... 16 Gambar 7. Skema sampler KCKT. (A) – posisi load, sampel diinjeksikan

dan terisolasi dari fase gerak. (B) – posisi inject, sampel terbawa fase gerak dan memasuki kolom... 21 Gambar 8. Gambaran peak kromatogram untuk mengukur resolusi... 27 Gambar 9. Ilustrasi gambar yang menyebabkan pelebaran puncak selama

pemisahan menggunakan KCKT. Simbol  merepresentasifkan molekul analit sebelum migrasi, simbol  menyatakan molekul analit setelah migrasi, dan ---> menyatakan pergerakan dari molekul analit... 29 Gambar 10. Ilustrasi difusi Eddy saat memasukin kolom dan menyebabkan

(20)

xviii

Gambar 12. Pengaruh perubahan nilai α, k’, dan N terhadap pemisahan peak kromatogram... 33 Gambar 13. Penentuan asymmetry factor (As) dan tailing factor (TF)... 34 Gambar 14. Gambaran interaksi yang teerjadi antara TEA dengan sisi silanol

bebas yang tidak tercapping oktil silika... 48 Gambar 15. Nikotin yang berada dalam bentuk terprotonasi diubah menjadi

bentuk molekulnya karena dikondisikan dalam suasana basa dengan penambahan KOH... 51 Gambar 16. Distribusi bentuk nikotin dalam posisi protonated atau

unprotonated berdasarkan variasi pH larutan... 53 Gambar 17. Gambaran struktur nikotin dan kromofor yang dimiliki... 54 Gambar 18. Spektra yang didapatkan dari hasil percobaan dan dibandingkan

dengan sumber acuan. (A) - Spektra teoritis asetanilida. (B) – Spektra pengujian dengan konsentrasi nikotin 0,02 µg/mL. (C) – Spektra pengujian dengan konsentrasi asetanilida 0,03 µg/mL. (D) – Spektra pengujian dengan konsentrasi asetanilida 0,04 µg/mL... 55 Gambar 19. Gambaran struktur asetanilida dan kromofor yang dimilikinya.... 56 Gambar 20. Spektra yang didapatkan dari hasil percobaan dan dibandingkan

(21)

xix

Spektra pengujian dengan konsentrasi asetanilida 5 µg/mL. (D) – Spektra pengujian dengan konsentrasi asetanilida 10 µg/mL... 58 Gambar 21. (A) – Perbedaan pengukuran absorbansi pada panjang gelombang

maksimum dan tidak pada panjang gelombang maksimum. (B) – Pengukuran pada panjang gelombang maksimum akan memberikan garis linear. (C) – Pengukuran tidak pada panjang gelombang maksimum memberikan garis yang tidak linear... 60 Gambar 22. A) – Kromatogram baku asetanilida konsentrasi 20 µg/mL. (B) –

Kromatogram baku nikotin konsentrasi 20 µg/mL. Komposisi fase gerak metanol : ammonium asetat 10 mM + TEA 0,1% (60:40) dengan kecepatan alir 0,5 mL/min... 61 Gambar 23. A) – Kromatogram baku nikotin konsentrasi 20 µg/mL. (B) –

Kromatogram baku asetanilida konsentrasi 20 µg/mL. Komposisi fase gerak metanol : ammonium asetat 10 mM + TEA 0,1% (50:50) dengan kecepatan alir 1,0 mL/min... 66 Gambar 24. (A) – Kromatogram baku nikotin konsentrasi 20µg/mL. (B) –

Kromatogram baku asetanilida konsentrasi 20 µg/mL. Komposisi fase gerak metanol : ammonium asetat 10 mM + TEA 0,1% (60:40) dengan kecepatan alir 0,8 mL/min... 67 Gambar 25. (A) – Kromatogram baku nikotin konsentrasi 20µg/mL. (B) –

(22)

xx

(23)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Certificate of Analysis baku nikotin E.Merck... 80 Lampiran 2. Certificate of Analysis baku asetanilida E.Merck... 81 Lampiran 3. Perhitungan polaritas fase gerak yang dioptimasi... 82 Lampiran 4. Kromatogram hasil optimasi fase gerak metanol : ammonium

asetat + TEA 0,1% (50 : 50)... 83 Lampiran 5. Kromatogram hasil optimasi fase gerak metanol : ammonium

asetat + TEA 0,1% (60 : 40)... 89 Lampiran 6. Kromatogram hasil optimasi fase gerak metanol : ammonium

asetat + TEA 0,1% (70 : 30)... 95 Lampiran 7. Contoh kromatogram sampel dengan fase gerak yang telah

teroptimasi (metanol : ammonium asetat + TEA 0,1% (70:30)).. 101 Lampiran 8. Contoh kromatogram seri baku dengan fase gerak yang telah

(24)

xxii INTISARI

Telah dilakukan penelitian mengenai optimasi komposisi dan kecepatan alir fase gerak sistem Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik pada

penetapan kadar nikotin dalam rokok “merek X” menggunakan standar internal

asetanilida. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kondisi optimal sistem KCKT fase terbalik sehingga dapat digunakan untuk validasi metode dan penetapan kadar nikotin dalam ekstrak etanolik tembakau rokok.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental deskriptif. Sistem KCKT fase terbalik yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan fase diam oktil silika (C8) dan fase gerak metanol : ammonium asetat 10 mM + TEA 0,1% dengan detektor UV pada panjang gelombang 260 nm. Optimasi dilakukan dengan mengubah komposisi fase gerak 50:50, 60:40, dan 70:30 serta kecepatan alir 0,5; 0,8 dan 1,0 mL/min untuk menentukan bentuk peak, retention time yang efisien, nilai resolusi, nilai tailing factor, dan reprodusibilitas retention time.

Kondisi optimum sistem KCKT fase terbalik hasil optimasi yakni fase gerak metanol : ammonium asetat 10 mM + TEA 0,1% (70:30) pada kecepatan alir 1,0 mL/min. Kondisi ini memenuhi parameter pemisahan yang baik yaitu Rs 3,915; tR nikotin 4,638 menit; TF 1,983 dan tR asetanilida 3,645 menit; TF 1,699.

(25)

xxiii ABSTRACT

A research about optimization of reversed phase High Performance Liquid

Chromatography (HPLC) to determine nicotine in cigarette “brand X” using

acetanilide as internal standard have been done. The purpose of this research are finding an optimum mobile phase composition and flow rate of reversed phase HPLC system used for method validation and determination levels of nicotine in ethanolic extract of tobacco cigarettes.

This research is conducted with a descriptive experimental design. The reversed phase HPLC system uses in this research using octyl silica (C8) as stationary phase, methanol:ammonium acetate 10 mM + TEA 0.1% as mobile phase, and UV detector at wavelength 260 nm. Optimization is done by changing the composition of the mobile phase 50:50, 60:40 and 70:30 with flow rate at 0.5; 0.8 and 1.0 mL/minute to determine a peak shape, efficient retention time, resolution value, tailing factor value, and retention time reproducibility.

(26)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Rokok adalah hasil olahan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana

Rustica dan spesies lainnnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar

dengan atau tanpa bahan tambahan (Presiden Republik Indonesia, 2003). Perokok

aktif di Indonesia mencapai 60 juta penduduk, sehingga Indonesia menduduki

peringkat ketiga dunia jumlah perokok terbanyak dan nomor satu dalam lingkup

Asia Tenggara (Yahya, 2010). Pada tahun 2007, tembakau memberikan

sumbangan pendapatan negara sebanyak 52 triliun rupiah dan devisa ekspor

tembakau sebesar 1,9 triliun rupiah. (Anonima, 2012).

Bahaya rokok cukup beragam, terbanyak disebabkan oleh serangan

jantung koroner, diikuti penyakit stroke, kanker, radang saluran pernapasan dan

paru-paru. Rokok mengandung nikotin yang merupakan psikotropika stimulan,

karena menimbulkan perasaan tenang, dan bebas stress. Tetapi saat rokok dihisap,

selain nikotin terdapat 4000 macam senyawa kimia lain dan 20 macam racun maut

yang terdapat dalam tar yang ikut terhisap (Partodiharjo, 2010). Nikotin sendiri

dapat meningkatan sekresi air liur, mual, muntah. Keracunan nikotin dapat pula

terjadi pada sistem saraf pusat yang menyebabkan depresi, selain itu berefek

terhadap kelemahan otot, tremor, konvulsi yang pada akhirnya dapat

(27)

Dipandang dari tingkat keterbahayaan rokok, pemerintah sejauh ini

melakukan usaha pengamanan rokok, dengan pencantuman label informasi

kandungan kadar nikotin dan tar untuk setiap batang rokok yang diproduksi

(Presiden Republik Indonesia, 2003). Adanya label pencantuman kadar nikotin

dan tar terkait upaya penjaminan mutu rokok menjadi perhatian penting terkait

peraturan pemerintah dalam upaya pengamanan rokok. Menurut Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan

Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan,

Pasal 10 Ayat 1 menyatakan “Setiap orang yang memproduksi produk tembakau

berupa rokok harus melakukan pengujian kandungan kadar nikotin dan tar per

batang untuk setiap varian yang diproduksi” (Presiden Republik Indonesia, 2012).

Pada penelitian ini akan dilakukan penetapan kadar nikotin yang terkandung

dalam ekstrak etanolik tembakau rokok “merek X” melalui serangkaian proses

penelitian.

Penelitian ini akan melalui serangkaian proses yang mencakup optimasi

metode analisis, validasi metode analisis, dan penetapan kadar nikotin dalam

ekstrak etanolik tembakau rokok “merek X”. Pada penelitian ini penulis

mengupayakan optimasi metode penetapan kadar ekstrak etanolik tembakau rokok

“merek X” tersebut.

Metode yang dipilih dalam menetapkan kadar nikotin dalam ekstrak

etanolik tembakau rokok adalah metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)

fase terbalik. Metode ini secara selektif memisahkan senyawa multikomponen

(28)

penelusuran literatur, penelitian terhadap penetapan kadar nikotin dalam tembakau

menggunakan KCKT fase terbalik sudah pernah dilakukan oleh Putri (2011).

Penulis melakukan modifikasi terhadap sistem KCKT yang digunakan

Putri (2011), sistem KCKT fase terbalik yang digunakan Putri (2011) ialah buffer

asetat : metanol : asetonitril (40:54:6) sebagai fase geraknya, kolom oktadesil

silika (C18) sebagai fase diamnya dan standar eksternal sebagai baku

pembandingnya, sedangkan penulis menggunakan fase gerak metanol :

ammonium asetat 10 mM + TEA 0,1%, kolom oktil silika (C8) sebagai fase diam

dan digunakan standar internal asetanilida sebagai baku pembanding. Sejauh

penelusuran penulis terhadap penggunaan kolom oktil silika (C8) dalam analisis

nikotin dengan sampel rokok belum pernah dilakukan, dengan demikian penulis

ingin menunjukkan bahwa dengan kolom oktil silika nikotin dalam sampel rokok

dapat dipisahkan dengan baik dan menjadi salah satu alternatif pemilihan kolom

untuk memisahan nikotin dari matriksnya. Penggantian standar eksternal menjadi

internal terkait preparasi sampel yang dilakukan dimana standar internal

digunakan untuk sampel yang melewati proses preparasi panjang (Anonimc,

2012), dalam penelitian ini tembakau pada rokok diproses hingga menjadi ekstrak

etanolik dalam fraksi kloroform. Tujuan optimasi metode disini ialah

mendapatkan kondisi optimal dari instrumen KCKT untuk memisahkan nikotin

terhadap senyawa lain yang terdapat dalam ekstrak etanolik nikotin. Optimasi

dilakukan terhadap komposisi fase gerak dan variasi kecepatan alir. Perbandingan

komposisi fase gerak dan kecepatan alir yang optimal diharapkan dapat

(29)

time, bentuk peak, nilai resolusi, dan tailing factor, nilai resolusi yang dihasilkan,

reprodusibilitas retention time baku dan sampel serta reprodusibilitas resolusi

sampel. Retention time yang efisien untuk analisis rutin ialah < 10 menit (Smith,

2002), bentuk peak dengan TF ≤ 2 (Center for Drug Evaluation and Research,

1994), nilai resolusi ≥ 1,5 (base line resolution) akan mampu memisahkan

komponen lebih baik (Gandjar dan Rohman, 2010).

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang, pemasalahan yang muncul adalah bagaimana

komposisi fase gerak dan kecepatan alir yang optimal untuk menghasilkan

pemisahan yang baik dengan metode KCKT fase terbalik pada penetapan kadar

nikotin ekstrak etanolik tembakau rokok “merek X” yang dilihat dari bentuk peak,

retention time yang efisien, resolusi, nilai tailing factor, nilai resolusi yang

dihasilkan, reprodusibilitas retention time baku dan sampel serta reprodusibilitas

resolusi sampel?

2. Keaslian Penelitian

Sejauh penelusuran literatur, penelitian optimasi metode kromatografi

cair kinerja tinggi (KCKT) fase terbalik pada penetapan kadar nikotin dalam

rokok “Merek X” belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian mengenai

penetapan kadar nikotin dengan metode KCKT yang pernah dilakukan adalah

determinasi nikotin dan toksisitas umum dari rokok pada Market Jordan (Alali dan

Massadeh,2002); analisis nikotin dan beberapa metabolit lain dalam urine perokok

pasif menggunakan KCKT-Tandem Mass, penetapan kadar nikotin dalam sampel

(30)

kromatografi gas, spektrofotometri massa dan kromatografi cair-MS (LC-MS)

(Nakajima, Yamamoto, Kuroiwa dan Yokoi, 2000); analisis nikotin,

3-hidroksikotinin, kotinin dan kafein dalam urin pada perokok pasif dengan

KCKT-Tandem Mass (Tuomi, Johnson dan Reijula, 1999); studi kadar nikotin dan tar

sembilan merk rokok kretek filter yang beredar di wilayah Kabupaten Nganjuk

(Kusuma, Sudarminto dan Siti, 2012).

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat metodologis. Penelitian ini diharapkan menjadi

sumbangan ilmiah sebagai alternatif metode penelitian dalam upaya optimasi

metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) fase terbalik pada penetapan

kadar nikotin dalam ekstrak etanolik tembakau rokok.

b. Manfaat praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi terkait upaya pemilihan dan perbandingan komposisi fase gerak yang

paling baik pada penetapan kadar nikotin dalam rokok dengan metode

kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) fase terbalik.

B. Tujuan Penelitian

Menentukan kondisi optimal pada penetapan kadar nikotin ekstrak

etanolik tembakau rokok “merek X” dengan metode KCKT fase terbalik dilihat

dari bentuk peak, retention time yang efisien, nilai tailing factor, nilai resolusi

yang dihasilkan, reprodusibilitas retention time baku, reprodusibilitas resolusi

(31)

6

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Rokok

Rokok merupakan suatu produk yang dibungkus oleh kertas berbentuk

seperti silinder dengan panjang mendekati 90 mm, ketika dibakar dan dihisap

akan terhisap asap berupa rasa dari tembakau atau rokok tersebut dan mulailah

terjadinya absorpsi dari nikotin menuju tubuh (Stratton,2001). Terdapat sekitar

empat ribu macam zat kimia dalam rokok yang terdiri dari komponen gas (85%)

dan sisanya merupakan partikel. Diantara ribuan zat kimia tersebut setidaknya dua

ratus senyawa dinyatakan berbahaya bagi kesehatan. Beberapa zat kimia dari

sekitar empat ribu zat tersebut ialah nikotin, gas karbon monoksida, nitrogen

oksida, nitrogen sianida, amoniak, benzaldehid, benzen, dan metanol. Racun

utama pada rokok adalah tar, nikotin, dan karbon monoksida (Ma’arif, 2012).

Nikotin yang terdapat dalam asap rokok saat dibakar akan berada pada pH 8 dan

akan terabsorbsi lebih banyak melalui membran mukosa dimulut karena

peningkatan konsentrasi nikotin dalam bentuk molekulnya. Komponen adiktif

(biasanya disebut saus) yang ditambahkan ke dalam tembakau sebelum diproses

lebih lanjut menjadi rokok ditujukan untuk meningkatan aroma dan rasa.

Kandungan saus biasanya berisi gula, humektan dan komponen aromatis (Geiss

(32)

B. Nikotin

Gambar 1 Struktur Nikotin (3-(1-metil-2-pirolodinil)pirindin) (Anonimb,2012)

Nikotin yang terkandung dalam rokok berkisar 1,5% b/b dan rata-rata

antara 1-1,5 mg nikotin yang terabsorspi secara sistemik selama merokok

(Benowitz, Hukkanen dan Jacob, 2009). Nikotin dan senyawa alkaloida lainnya

ditemukan pada tanaman Nicotiana. Nikotin yang terkandung biasanya 2-8%

berat kering dari daun tembakaunya, terklasifikasi sebagai senyawa organik

dengan sifat basa. Nikotin dalam bentuk murni berupa cairan minyak yang hampir

tidak berwarna atau kuning pucat. Paparan cahaya atau udara serta penyimpanan

dalam waktu lama dapat menyebabkan nikotin teroksidasi dan berubah menjadi

warna kecoklatan (Domino, 1999).

Kunci dasar dalam penentuan absorpsi, eksresi, farmakologi, dan

toksikologi dari nikotin terlihat dari bentuk terion atau molekul utuh nikotin yang

berpengaruh dari pH. Nikotin bersifat dibasic karena adanya cincin pirolidin dan

nitrogen piridin, nilai pKa dari nitrogen piridin relatif lebih rendah karena adanya

efek hibridisasi sp2 pada cincin piridin sehingga elektron akan terikat lebih erat

dengan nukleus. Kondisi pH 7,4 dan suhu 37oC berkisar 69% cincin pirolidin

nikotin berada dalam posisi terionisasi (bermuatan positif) dan nitrogen piridin

(33)

mempengaruhi protonasi atom nitrogen dalam nikotin, bentuk molekul utuh/tak

terprotonasi mengindikasikan sifat lipofilik dan sebalikanya bentuk terprotonasi

akan mengidentifikasi sifat hidrofilik (Domino, 1999).

Tabel I Ringkasan sifat/karakterisitik yang dimiliki nikotin (Domino, 1999)

No. Sifat/Karakteristik Keterangan

Nikotin merupakan suatu basa lemah dan lebih sulit terabsorpsi melewati

membran saat berada dalam kondisi terprotonasi. Absorpsi cepat nikotin dapat

terjadi dari asap rokok karena terfasilitasi oleh luas permukaan yang luas dari

alveoli dan disolusi nikotin dalam cairan paru-paru (pH 7,4) (Benowitz, Hukkanen

dan Jacob,2009).

Keracunan nikotin menghasilkan efek yang lebih kurang sama seperti

keracunan tembakau, dimana para perokok akan merasakan peningkatan jumlah

saliva, mual muntah, dan peningkatan tekanan darah. Keracunan nikotin

menyerang sistem saraf pusat dan perifer yang mengakibatkan depresi, timbul

(34)

C. Ekstrak Tembakau

Ekstrak merupakan sediaan pekat yang telah diekstraksi dari simplisia

nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, setelahnya dilakukan

penguapan terhadap pelarut hingga keseluruhan atau hampir keseluruhan pelarut

dan masa serbuk atau serbuk yang tersisa diperlakukan hingga memenuhi baku

yang telah ditetapkan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995).

Tanaman tembakau (Nicotiana tabacum L.) termasuk genus Nicotinae,

merupakan familia dari Solanaceae (Anonimc, 2012). Daun tumbuhan ini (folia

nicotianae) mengandung 1-3% nikotin, nornikotin, nikotimin, nikotein,

isonikotein, nikotoin, nikotelin (Tjitrosoepomo, 1994).

Pada kebanyakan varietas tembakau, nornikotin dan anatabin merupakan

komponen yang berlimpah diikuti anabasin yang semuanya merupakan senyawa

alkaloid yang terkandung dalam tembakau (Benowitz, Hukkanen dan Jacob,2009).

(35)

D. Spektrofotometri UV

Spektrofotometeri UV merupakan salah satu teknik analisis

spektroskopik yang menggunakan radiasi elektromagnetik UV dekat dengan

menggunakan alat spektrofotometer (Skogg, West dan Holler, 1994). Radiasi

elektromagnetik pada daerah UV dan visibel biasanya ditulis dalam satuan

nanometer. Ketika sampel mengabsorbsi radiasi elektromagnetik (foton), terjadi

perubahan energi pada sampel tersebut. Energi yang diserap mempunyai

hubungan terhadap Persamaan Planck (Harvey,2000).

Molekul yang dikenakan gelombang radiasi elektromagnetik pada

frekuensi yang sesuai dapat terjadi penyerapan/absorpsi, adanya serapan tersebut

menghasilkan perbedaan energi serapan. Selisih energi tersebut setara dengan

energi foton yang diserap. Energi yang melompat dari keadaan dasar (ground

state) ke keadaan tereksitasi (excited state) disebut dengan transisi.

− = ℎ . � = ℎ.

Dimana, E1= energi pada keadaan dasar/lebih rendah

E2= energi pada keadaan tereksitasi/lebih tinggi

h = konstanta Planck

υ = frekuensi foton yang diabsorpsi/diserap

= panjang gelombang

c = kecepatan

Transisi yang terjadi antar molekul tidaklah sama, hal ini menyebabkan perbedaan

spektra absorpsinya. Dengan demikian, spektra dapat digunakan sebagai bahan

(36)

gelombang tertentu setara dengan sinar yang diabsorpsi sehingga spektra juga

dapat digunakan sebagai bahan analisis kuantitatif (Gandjar dan Rohman, 2010).

Pada analisis dengan spektrofometer, dilakukan pembacaan absorbansi

yang disebut sebagai absorban (A) yang tidak memiliki satuan (Mulja dan

Suharman, 1995). Spektrum absorpsi merupakan plot absorbansi analit yang

merupakan fungsi dari panjang gelombang (Skogg, West dan Holler, 1994).

Gambar 3. Diagram tingkat energi elektronik (Gandjar dan Rohman, 2010)

Penyerapan foton yang dialami molekul mengakibatkan terjadinya

eksitasi elektron-elektron ikatan. Transisi elektronik yang terjadi antara tingkat

energi suatu molekul ada empat, yakni :

1. Transisi sigma–sigma star (σ → σ*)

Energi pada transisi ini terletak pada daerah < 180nm atau terjadi pada

daerah UV vakum dan kurang begitu bermanfaat untuk analisis spektrofotometri

UV-VIS (Gandjar dan Rohman, 2010).

2. Transisi non bonding elektron–sigma star (n → σ*)

Energi yang diperlukan untuk jenis transisi ini lebih kecil dibandingkan

transisi σ → σ*, sehingga sinar yang diserap memiliki panjang gelombang yang

lebih panjang (150–250nm). Kebanyakan transisi ini terjadi pada panjang

(37)

3. transisi n → π* dan transisi π → π*

Transisi ini terjadi pada molekul organik yang memiliki gugus fungsional

tidak jenuh, ikatan rangkap dalam gugus tersebut memberikan orbital phi yang

diperlukan. Transisi jenis ini paling cocok digunakan dalam analisis menggunakan

spektrofotometri UV–visibel karena berada diantara panjang gelombang 200–700

nm (Gandjar dan Rohman, 2010).

Pelarut dapat memberikan pengaruh transisi n → π* dan π → π*, hal ini

berkaitan dengan adanya perbedaan kemampuan dari pelarut untuk mensolvasi

antara keadaan dasar dengan keadaan tereksitasi. Pada transisi π → π*, molekul

yang berada dalam keadaan dasar akan relatif non polar dan keadaan

tereksitasinya lebih polar dibandingkan dari keadaan dasar. Penggunaan pelarut

polar akan menyebabkan interaksi lebih kuat saat keadaan tereksitasi

dibandingkan keadaan dasar sehingga perbedaan energi transisi π → π* lebih

kecil. Akibat yang ditimbulkan atas peristiwa ini ialah pergeseran ke panjang

gelombang yang lebih besar dari semula. Berbeda dengan transisi n → π*, pada

keadaan dasar molekul relatif lebih polar dibandingkan keadaan tereksitasi.

Pelarut yang berinteraksi hidrogen akan berinteraksi secara lebih kuat dengan

pasangan elektron yang tak berpasangan pada keadaan dasar dibandingkan

molekul pada keadaan tereksitasi. Hal ini mengakibatkan transisi n → π* akan

mempunyai energi yang lebih besar sehingga panjang gelombang akan bergeser

lebih pendek dibandingkan semula akibat kemampuan membentuk interaksi

(38)

Gambar 4. (A) Pengaruh pelarut polar terhadap tra sisi π → π* da B tra sisi → π* (Gandjar dan Rohman, 2010)

Dalam memilih panjang gelombang terkait hubungan sifat optik cuplikan

dan pelarut. Penyerapan radiasi UV atau visibel terkait dari elektron terluar atau

elektron valensi dari molekul dan tergantung pula pada jenis ikatan kimia dalam

molekul, adanya ikatan kimia penyebab terjadinya serapan sinar UV-Vis disebut

kromofor (Johnson dan Stevenson, 1978). Sinar UV mempunyai panjang

gelombang 200-400 nm, sedangkan sinar visibel mempunyai panjang gelombang

400-750 nm (Gandjar dan Rohman, 2010).

(A)

(39)

Kromofor merupakan ikatan rangkap tak jenuh selang-seling yang

menyerap radiasi pada daerah UV dan visibel, sedangkan aukosokrom merupakan

gugus jenuh yang terikat pada kromofor dapat menyebabkan adanya perubahan

panjang gelombang dan intensitas serapan maksimum. Ciri auksokrom adalah

gugusan heteroatom seperti –OCH3, -Cl, OH, dan NH2. Penambahan auksokrom

menyebabkan pergeseren batokromik. Pergeseran batokromik merupakan

pergeseran panjang gelombang ke arah yang lebih panjang akibat adanya subsitusi

gugus atau atom atau adanya pengaruh pelarut (Sastrohamidjojo, 2001).

E. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

1. Definisi Dan Instrumentasi KCKT

Kromatografi adalah proses pemisahan komponen dari campuran (solut)

yang terdistribusi diantara fase diam dan fase gerak berdasarkan kemampuan solut

terangkut melewati fase diamnya. Perpindahan solut melewati fase diam

tergantung pada afinitas relatif antar fase yang ditentukan dari parameter retensi

(Kealey dan Hainesm, 2005).

KCKT digunakan untuk senyawa yang tidak mudah menguap, contohnya

seperti terpenoid rantai panjang, golongan fenolik, alkaloid, lipid dan gula. KCKT

dapat menganalisis dengan sangat baik untuk senyawa yang dapat dibaca dengan

detektor UV-VIS (Harborne, 1998).

Teknik kromatografi membutuhkan adanya zat yang terlarut dan

terdistribusi diantara dua fase, yakni fase diam dan lainnya merupakan fase gerak.

(40)

lainnya yang terelusi lebih awal atau lebih akhir. Fase diam bertindak sebagai

penjerap (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995).

KCKT dapat menghasilkan pemisahan yang cepat, dengan keunggulan

zat yang tidak menguap atau zat yang tidak tahan panas dapat dipisahkan tanpa

terurai atau tanpa perlu diderivatisasi. Pada kromatografi partisi digunakan fase

gerak dan fase diam dengan polaritas yang berbeda. Jika fase gerak bersifat polar

dan fase diam bersifat nonpolar maka disebutlah sebagai kromatografi fase

terbalik, senyawa nonpolar yang larut dalam hidrokarbon dengan BM < 1000

dapat dipisahkan berdasarkan atas afinitasnya terhadap fase diam (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 1995).

Gambar 5. Dasar Pemisahan Kromatografi Partisi (Lennan, 2010)

Kromatografi partisi merupakan metode pemisahan analit berdasarkan

kemampuan partisinya diantara fase diam dan fase gerak yang melewati fase

diam. Analit yang mempunyai afinitas lebih besar pada fase diam (gambar 5 -

bulatan merah) relatif lebih tertahan di fase diam daripada analit yang kurang

tertahan pada fase diam (gambar 5 - bulatan hijau) (Lennan, 2010). Urutan elusi

(41)

analit yang meningkat, analit yang mudah larut dalam air maka makin cepat analit

terelusi (bila digunakan fase gerak metanol-air) (Johnson dan Stevenson, 1978).

Gambar 6. Skema Instrumentasi KCKT (Gandjar dan Rohman, 2010)

Instrumentasi KCKT pada dasarnya terdiri atas beberapa komponen,

yaitu : wadah fase gerak, sistem penghantaran fase gerak, alat untuk memasukan

sampel, kolom, detektor, wadah penampung buangan fase gerak, tabung

penghubung dan suatu komputer atau perekam peak (Gandjar dan Rohman, 2010).

Kedelapan komponen tersebut dapat dilihat skemanya seperti yang tertera pada

gambar 6.

Wadah fase gerak harus bersih dan inert. Wadah fase gerak biasanya

merupakan wadah yang dapat menampung fase gerak antara 1 liter hingga 2 liter

(42)

terlebih dahulu untuk menghindari partikel kecil yang mungkin timbul sebagai

pengotor, adanya pengotor tersebut dapat menyebabkan gangguan pada sistem

kromatografi. Partikel pengotor yang terkumpul pada kolom atau pada selang

penghubung yang sempit dapat menimbulkan penyumbatan. Selain itu, fase gerak

yang digunakan haruslah diawaudarakan terlebih dahulu untuk menghilangkan

gas yang terdapat pada fase gerak, akibat gas yang berkumpul dengan komponen

lain pada pompa ataupun detektor dapat mengacaukan analisis. Saat membuat fase

gerak, sangat dianjurkan menggunakan pelarut dengan kemurnian yang sangat

tinggi agar tingkat pengotor yang ada rendah dan tidak mengacaukan sistem

kromatografi (Gandjar dan Rohman, 2010).

Fase gerak biasanya merupakan campuran pelarut yang dapat bercampur

secara keseluruhan dan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi dan

resolusi tersebut ditentukan berdasarkan polaritas keseluruhan pelarut fase gerak,

polaritas fase diam dan sifat komponen yang ada dalam sampel. Pada KCKT fase

normal (fase diam lebih polar daripada fase gerak), kemampuan elusi akan

meningkat seiring penurunan dari polaritas pelarut, sebaliknya untuk KCKT fase

terbalik (fase diam lebih nonpolar daripada fase gerak), kemampuan elusi akan

meningkat seiring peningkatan dari polaritas pelarut. Fase gerak yang paling

sering digunakan dalam pemisahan dengan sistem KCKT fase terbalik adalah

campuran metanol dengan buffer. Fase gerak yang sering digunakan biasanya

merupakan pelarut hidrokarbon atau menggunakan pelarut jenis alkohol (Gandjar

(43)

dipakai dalam pemisahan ialah air-metanol dan air-asetonitril (Johnson dan

Stevenson, 1978).

Pemilihan fase gerak dalam suatu metode pemisahan berdasarkan pada

indeks polaritas (P’) campuran fase gerak tersebut. Semakin besar nilai indeks

polaritasnya menyatakan semakin polar fase gerak yang digunakan. Fase gerak

yang sering digunakan merupakan kombinasi dari dua atau lebih campuran pelarut

yang saling bercampur secara keseluruhan. Campuran fase gerak tersebut akan

menghasilkan nilai polaritas tersendiri yang disebut indeks polaritas fase gerak

(Harvey, 2000).

�′ = Φ . �′ + Φ . �′

Dengan ΦA dan ΦB merupakan fraksi volume pelarut yang digunakan

pada pelarut A dan B, sedangkan P’Adan P’B merupakan indeks polaritas pelarut

yang digunakan pada pelarut A dan B (Harvey, 2000).

(44)

Tabel II. Indeks polaritas dan karakteristik solvent selectivity beberapa pelarut KCKT (Snyder, Kirkland dan Dolan, 2010)

anilai ∑ merupakan total dariα, β danπ* dari setiap solven bindeks polaritas

Deret elutropik yang disusun berdasarkan polaritas pelarut merupakan

suatu panduan yang berguna dalam memilih fase gerak yang akan digunakan

dalam sistem KCKT. Nilai UV cut-off (pemenggalan UV) merupakan panjang

gelombang dimana pada kuvet 1 cm yang digunakan pelarut akan memberikan

absorbsi lebih dari satu satuan absorbansi. Pentingnya mengetahui panjang

gelombang pemenggalan UV sangat berguna saat menggunakan detektor UV,

penggunaan panjang gelombang deteksi dianjurkan tidak bertepatan atau disekitar

panjang gelombang pemenggalan UV dari pelarut yang digunakan sebagai fase

gerak (Gandjar dan Rohman, 2010).

Pompa yang digunakan untuk memompa fase gerak pada sistem KCKT

(45)

yang digunakan sebaiknya memiliki kemampuan memberikan tekanan hingga 500

psi dan mampu mengalirkan fase gerak hingga 3 mL/min. Penggunaan pompa

atau sistem penghantaran fase gerak ialah agar dapat menjamin proses

penghantaran fase gerak yang berlangsung dengan tepat, reprodusibel, konstan

dan bebas ganggunan (Gandjar dan Rohman, 2010).

Metode pencampuran fase gerak dibedakan menjadi dua, yakni metode

isokratik dan metode gradien. Metode isokratik merupakan metode pencampuran

fase gerak secara manual dengan tangan dan saat memasuki sistem KCKT tidak

dibutuhkan adanya pencampuran fase gerak kembali dan dilakukan dengan satu

pompa. Metode gradien merupakan metode pencampuran fase gerak yang

dilakukan didalam sistem KCKT, beberapa pompa digunakan untuk memompa

pelarut ke dalam wadah pencampuran fase gerak dan hasil pencampuran fase

gerak tersebut yang dialirkan kedalam kolom (Snyder, Kirkland, dan Dolan,

2010).

Penyuntikan sampel pada KCKT dilakukan secara langsung ke dalam

fase gerak yang mengalir menuju kolom. Penggunaan syringe ataupun

autosampler merupakan wadah yang digunakan dalam penyuntiksan sampel

(Gandjar dan Rohman, 2010). Pada sistem KCKT, penyuntikan sampel melalui

loop injector yang dapat menyimpan volume dari 0,5 µL – 2 mL. Pada posisi

load, loop sampler terisolasi dari fase gerak. Ketika katup dipindahkan ke posisi

loading, injektor berpindah ke posisi inject dan saat itu pula fase gerak mengaliri

(46)

Gambar 7. Skema sampler KCKT. (A) – posisi load, sampel diinjeksikan dan terisolasi dari fase gerak. (B) – posisi inject, sampel terbawa fase gerak dan

memasuki kolom (Harvey, 2000)

Kolom pada KCKT memuat fase diam, kebanyakan merupakan silika

yang dimodifikasi secara kimiawi. Permukaan silika merupakan permukaan yang

polar dan sedikit asam karena adanya residu gugus silanol (Si-OH). Modifikasi

secara kimia akan menutupi gugus silanol dan menggantinya dengan gugus

fungsional lain. Hasil reaksi kimiawi tersebut akan menghasilkn silika yang stabil

terhadap hidrolisis karena terbentuk ikatan siloksan (Si-O-Si). Dibandingkan

dengan gugus silanol bebas tadi, hasil modifikasi kimiawi mempunyai karakter

kromatografi dan selektivitas yang berbeda dengan gugus silanol bebas (Gandjar

dan Rohman, 2010).

Oktadesil silika merupakan fase diam yang paling banyak digunakan

dalam memisahkan senyawa dengan tingkat kepolaran rendah hingga tinggi. Oktil

atau rantai alkil yang lebih pendek lagi lebih sesuai untuk analit yang polar. Analit

polar terutama yang bersifat basa akan memberikan puncak yang mengekor

(tailing peak), hal ini terjadi karena adanya interaksi dengan residu silanol

(47)

mengalami mekanisme sorpsi partisi pada sistem KCKT fase terbalik dan analit

basa akan mengekor (Gandjar dan Rohman, 2010).

Deteksi pada KCKT dibagi menjadi empat secara umum, yakni bulk

property, sample specific, mobile-phase modification, dan hyphenated

techiniques.

a. Bulk property detector. Detektor ini dianggap sebagai detektor

universal yang dapat mengukur banyak komponen. Detektor ini memiliki

keuntungan karena dapat mendeteksi semua senyawa, sekaligus memiliki

kelemahan karena semua senyawa dari sampel yang terelusi akan terbaca sebagai

sinyal. Secara umum, detektor universal memiliki sensitivitas yang rendah

(Snyder dkk., 2010).

b. Sample specific detectors. Beberapa karakteristik sampel

mempunyai sifat unik yang mana tidak secara umum dimiliki oleh semua analit.

Detektor ini merespon terhadap keunikan karakteristik yang dimiliki analit

tersebut. Detektor UV merupakan detektor yang paling banyak digunakan dan

merespon analit yang mengabsorbsi sinar UV pada panjang gelombang tertentu.

Selain detektor UV, terdapat detektor lain seperti fluoresen dan detektor conduct

electricity (Snyder dkk., 2010). Detektor UV-VIS dapat mengukur analit yang

memiliki struktur kromoforik pada daerah panjang gelombang 190 – 800 nm.

Detektor UV-VIS ini dapat berupa detektor dengan panjang gelombang tetap

(48)

c. Mobile–phase modification detectors. Detektor ini mengubah fase

gerak setelah kolom KCKT menghasilkan pengubahan karakteristik analit, seperti

perubahan reaksi analit dan detektor spektometrik masa (Snyder dkk., 2010).

d. Hyphenated techniques. Teknik mengacu pada kopling dari analisis

KCKT yang dipadukan dengan teknik lain, seperti LC-MS dan LC-IR (Snyder

dkk., 2010).

Detektor pada KCKT idealnya memiliki beberapa karakteristik sebagai

berikut :

a. Respon terhadap analit cepat dan reprodusibel

b. Mampu mendeteksi analit hingga kadar yang sangat kecil

c. Stabil saat dioperasikan/digunakan

d. Memiliki sel volume yang kecil sehingga mampu meminimalkan pelebaran

pita.

e. Sinyal yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi analit pada

kisaran luas/AUC

f. Tidak peka terhadap perubahan suhu dan kecepatan alir fase gerak.

Komputer atau integrator merupakan alat yang dihubungkan dengan

detektor unuk mengukur sinyal yang dihasilkan dan diplotkan sebagai suatu

kromatogram sehingga dapat dievaluasi oleh analis (Gandjar dan Rohman, 2010).

2. Optimasi Metode

Saat tahap optimasi, serangkaian kondisi awal yang mucul pada tahap

(49)

dimaksimalkan tersebut ialah resolusi, bentuk puncak, jumlah lempeng, asimetri,

kapasitas, dan retention time (Gandjar dan Rohman, 2010).

Kecepatan alir yang optimal biasanya 0,8 mL/min, 1,2 mL/min dan 2,5

mL/min untuk kolom dengan yang memiliki diameter internal 4,6 mm dan ukuran

partikel berkisar 3-10µm. Semakin kecil partikel menghasilkan pemisahan yang

lebih cepat dan optimal (Ahuja dan Rasmussen, 2007).

3. Pemisahan Puncak Dalam Kromatografi

Empat karakteristik umum yang biasanya digunakan untuk

mendeskripsikan kolom, sistem dan pemisahan kromatografi ialah faktor retensi

(k’), efisiensi (N), selektivitas(α), dan resolusi(R) (Ahuja dan Rasmussen, 2007).

a. Faktor retensi (k’). Faktor retensi (k’) merupakan pengukuran

retensi senyawa tertentu pada sistem kromatografi tertentu dan pada kondisi

tertentu. Faktor retensi didefinisikan dengan persamaan sebagai berikut :

�′===

Dimana VR merupakan retensi volume analit, V0 merupakan retensi volume fase

cair dalam sistem kromatografi dalam mL, tR merupakan retention time dalam

menit, t0 disebut sebagai retention time analit yang tidak tertahan dalam menit

(Ahuja dan Rasmussen, 2007), Vs merupakan volume sampel juga disebut sebagai

volume dari fase diam yang ada didalam kolom dalam µL dengan pendekatan

persamaan sebagai berikut :

= , √ �√ �

(3)

(50)

Dimana L merupakan panjang kolom dalam mm, dc merupakan diameter internal

kolom dan dp merupakan packing diameter parkikel penyusun kolom dalam µm.

Seluruh kondisi dari sistem kromatografi dapat mempengaruhi retensi analit.

(Snyder dkk, 2010).

Retention time analit yang tidak tertahan (t0) atau dihubungkan dengan

volume fase gerak dalam kolom sebagai hasil perkalian antara retention time

analit yang tidak tertahan terhadap kecepatan alir fase gerak yang melewati

kolom. Retention time analit yang tidak tertahan dapat dihitung berdasarkan

dimensi kolom dan kecepatan alirnya, persamaan matematika yang

menghubungkannya dituliskan sebagai berikut :

= � − �

L merupakan panjang kolom dalam mm, dc merupakan diameter internal kolom

dalam mm, F merupakan kecepatan alir fase gerak yang melewati kolom dalam

mL/min serta t0 sendiri dalam menit (Snyder dkk., 2010).

Faktor retensi mengukur waktu dari komponen sampel yang tinggal pada

fase diam dihubungkan terhadap waktu dari komponen sampel yang terbawa pada

fase gerak (Ettre,1993). Kecepatan migrasi analit melalui fase diam ditentukan

koefisen distribusinya (D), besarnya nilai D tersebut ditentukan oleh afinitas

relatif analit pada kedua fase (fase diam dan fase gerak). Dalam konteks

kromatografi, koefisien distribusi (D) didefinisikan sebagai perbandingan

konsentrasi analit dalam fase diam (Cs) dan fase gerak (Cm), yang dituliskan

sebagai berikut :

(51)

(6) =

Semakin besar nilai D, maka migrasi analit semakin lambat, sebaliknya semakin

kecil nilai D, maka migrasi analit semakin cepat. Jika perbedaan koefisien

distribusinya (D) dan faktor retensinya adalah 0 sehingga nilai tr=t0. Dalam sistem

kromatografi umumnya diatur agar nilai k’<20 untuk menghindari retention time

yang terlalu panjang (Gandjar dan Rohman, 2010). Retention time yang efisien

untuk analisis rutin ialah < 10 menit (Smith, 2002).

b. Resolusi (Rs). Resolusi dapat didefinisikan sebagai perbedaan

waktu antara retention time dua puncak peak yang saling berdekatan dibagi

dengan rata-rata lebar puncak, sehingga yang sangat berpengaruh terhadap

pemisahan komponen analit merupakan retention time (tR) masing-masing

analit dan lebar puncaknya (W). Nilai Rs harus mendekati atau lebih dari 1,5

untuk memberikan pemisahan yang baik (Gandjar dan Rohman, 2010).

= +

(7)

(52)

Pemisahan komponen analit pada sistem KCKT diharapkan memiliki Rs

yang minimum dengan baseline separation. Baseline separation dapat dicapai

ketika detektor membaca peak kromatogram pertama secara utuh hingga baseline

sebelum detektor membaca peak kromatogram berikutnya. Baseline separation

dapat dicapai saat Rs > 1,5 atau mendekati 1,5 (Snyder, Kirkland dan Glajch,

1997).

Gambar 8. Gambaran peak kromatogram untuk mengukur resolusi (Snyder dkk., 1997)

c. Efisiensi kolom. Efisiensi merupakan karakteristik penting dalam

kolom. Efisiensi diekspresikan sebagai jumlah lempeng teoritis (N) yang dihitung

dengan persamaan sebagai berikut :

= ( )

Dimana tR merupakan retention time analit dan W merupakan lebar peak pada

posisi baseline (Ahuja dan Rasmussen, 2007).

Pengukuran terhadap efisiensi kolom membutuhkan faktor lebar peak

(W) karena waktu retensi berpengaruh terhadapnya, peningkatan nilai W akan

meningkatan retention time. Semakin tinggi nilai N mengindikasikan efisiensi

kolom yang lebih baik (Miller dan Crowther, 2010).

(53)

Terdapat parameter lain terkait efisiensi kolom, yakni plate height/tinggi

plat (H) yang dirumuskan dengan persamaan berikut :

� =

Dimana L merupakan panjang kolom. Plate height/tinggi plat (H) atau biasanya

disebut sebagai HETP (Height Equivalent to one Theoretical Plate) menggunakan

satuan unit panjang, pengukuran plate height lebih baik untuk penentuan efisiensi

kolom karena adanya faktor panjang kolom sebagai pembandingnya daripada

hanya dilihat dari jumlah lempeng teoritisnya (N). (Miller dan Crowther,2010).

HETP merupakan panjang kolom kromatografi (dalam mm) yang diperlukan

sampai terjadinya satu kali kesetimbangan molekul solut dalam fase gerak dan

fase diam) (Gandjar dan Rohman, 2010).

Pada saat pemisahan kromatografi, analit individual akan membentuk

profil konsentrasi yang simetri/profil Gaussian dalam arah aliran fase gerak. Peak

kromatogram secara perlahan akan melebar dan sering membentuk profil

asimetrik karena analit melanjutkan migrasinya ke fase diam (Gandjar dan

Rohman, 2010). Alasan timbulnya bentuk puncak dan pelebaran puncak

didasarkan pada difusi Eddy, difusi longitudinal, dan transfer massa (Snyder dkk.,

2010).

Difusi longitudinal ialah saat analit melewati kolom (gambar 9b). Proses

difusi ini menyebabkan pelebaran peak untuk meningkatan retention time (Snyder

dkk., 2010). Spesies analit menyebar kesegala arah dengan difusi ketika berada di

(54)

fase gerak sehingga berkontribusi terhadap pelebaran pita secara simetris (Gandjar

dan Rohman, 2010).

Gambar 9. Ilustrasi gambar yang menyebabkan pelebaran puncak selama pemisahan menggunakan KCKT. Simbol merepresentasifkan molekul analit sebelum migrasi,

simbol menyatakan molekul analit setelah migrasi, dan ---> menyatakan pergerakan dari molekul analit (Snyder dkk., 2010).

Difusi Eddy merepresentatifkan faktor lain yang menyebabkan pelebaran

pita. Molekul analit masuk ke dalam kolom melewati partikel fase diam dengan

arah yang berbeda–beda menuju ke luar kolom. Molekul yang bergerak lebih

lambat akan keluar lebih lambat dan molekul yang bergerak lebih cepat akan

keluar lebih dahulu. Pelebaran pita tidak bergantung dari kecepatan alir yang

digunakan dan hanya bergantung dari penyusunan dan ukuran partikel dalam

kolom. Pelebaran pita yang diakibatkan karena difusi Eddy akan semakin besar

(55)

Gambar 10. Ilustrasi difusi Eddy saat memasukin kolom dan menyebabkan pelebaran pita (Miller dan Crowther, 2010)

Transfer massa dapat menyebabkan pelebaran pita, terjadinya transfer

massa disebabkan oleh transfer massa fase gerak yang merupakan kecepatan alir

analit yang mempengaruhi pelebaran pita, diantara partikel fase diam terdapat

rongga yang bilamana analit melewatinya akan lebih cepat keluar terbaca detektor

dan bila analit cenderung lebih menyamping maka akan terjadi interaksi dahulu

terhadap partikel fase diam yang dapat dilihat dari gambar 9d. Transfer massa fase

diam merepresentatifkan analit yang terpenetrasi ke dalam partikel fase diam dan

tinggal lebih lama sebelum meninggalkan partikel fase diam. Perbedaan lama

waktu tinggal dan adanya analit yang terlebih dahulu terelusi keluar akan

menyebabkan pelebaran pita (Snyder dkk., 2010).

d. Selektivitas (α). Menurut Ahuja dan Rasmussen (2007),

selektivitas merupakan kemampuan sistem kromatografi untuk memisahkan dua

analit dan dapat digambarkan sebagai rasio faktor retensi, dengan persamaan

sebagai berikut :

� =�′�′

(56)

Kesempurnaan pemisahan pada kromatogram seperti yang pada

persamaan (6) belum memanfaatkan berbagai faktor, terdapat persamaan lain

yang menggunakan faktor – faktor lain seperti pada persamaan berikut :

= (√ ) [� −� ] [ − ��′ ]

Persamaan (10) menjelaskan bahwa terdapat faktor lain yang turut menentukan

resolusi, yaitu jumlah lempeng (N), selektivitas (α), dan faktor retensi (k’)

(Gandjar dan Rohman, 2010).

Selektivitas pemisahan dapat dicapai dengan mengganti fase gerak,

parameter yang digunakan digambarkan oleh sebuah diagram solvent selectivity

triangle. Solvent selectivity triangle menggambarkan perbedaan antara solven

dengan melihat sifat keasaman (α), kebasaan (β), dan dipolar (π*). Perbedaan pola

elusi dari perbedaan solven yang besar dapat diharapkan dapat memisahkan peak

dengan baik. Solven A dalam kromatografi fase terbalik biasanya digunakan fase

gerak aquabidest dan solven B digunakan senyawa golongan alkohol (Meyer,

2004).

(57)

Gambar 11. Solvent Selectivity Triangle (Meyer, 2004)

Selektivitas dapat menghasilkan pergeseran satu puncak relatif terhadap

puncak lainnya dengan menaikan nilainya. Efisiensi pemisahan yang ditunjukan

oleh faktor N akan berubah dengan mengubah panjang kolom (L) atau mengubah

kecepatan alir fase gerak. Menaikan lempeng teoritis (N) suatu kolom akan

mengakibatkan penyempitan dua puncak sehingga lebar puncak (W) menjadi kecil

dan resolusi yang dihasilkan menjadi lebih besar. Pengubahan nilai k’ dengan

menurunkannya akan menghasilkan pemisahan yang jelas dan retention time yang

pendek, sebaliknya menaikan nilai k’ akan memberikan resolusi yang lebih baik

dengan konsekuensi tinggi puncak kromatogram akan turun dan waktu pemisahan

(58)

Gambar 12. Pe garuh perubaha ilai α, k’, da N terhadap pemisahan peak

kromatogram (Gandjar dan Rohman, 2010)

e. Faktor asimetri/pengekoran. Pita kromatogram biasanya tidak

menghasilkan bentuk yang Gaussian dan menimbulkan pengekoran. Pengekoran

pita/peak tailing dapat dihitung berdasarkan dua cara yakni menggunakan

asymmetry factor (As) atau menggunakan tailing factor (TF). Nilai As dapat

dikorelasikan dengan TF menggunakan persamaan sebagai berikut :

� ≈ + , −

Melihat dari persamaan (11), nilai As akan cenderung lebih besar dibandingkan

nilai TF (Snyder dkk., 2010).

(59)

Menurut Center for Drug Evalution and Research (1994), nilai tailing

factor yang baik ≤ 2.

Gambar 13. Penentuan asymmetry factor (As) dan tailing factor (TF) (Snyder dkk.,2010).

F. Standar Internal

Standar internal digunakan untuk menghasilkan presisi yang baik karena

masalah yang timbul akibat ketidakpastian jumlah analit saat preparasi sampel

dapat dihindari. Teknik kuantitatif dengan standar internal didasarkan pada jumlah

senyawa yang dimasukan pada baku dan sampel pada awal pengerjaan. Tinggi

peak atau area yang muncul pada analit uji dan senyawa yang berperan sebagai

internal standar akan dibandingkan untuk dianalisis (Chan, Lam, Lee, dan Zhang,

2004).

Senyawa yang dipilih sebagai standar internal bukan merupakan salah

salah satu komponen dari penyusun sampel dan tidak terjadi adanya overlapping

dengan peak yang ditimbulkan setiap analit. Standar internal digunakan untuk

(60)

diketahui secara tertentu dan harus memenuhi beberapa kriteria dalam analisis

kromatografi :

1. Senyawa yang digunakan sebagai standar internal harus terelusi didekat peak

yang diamati, tetapi terpisah dengan baik terhadap peak tersebut

2. Senyawa yang digunakan sebagai standar internal memiliki kemiripan sifat

kimia terhadap analit yang diteliti dan tidak menimbulkan reaksi dengan

komponen yang terdapat dalam sampel uji

3. Standar internal harus tersedia dalam kemurnian yang tinggi (Miller dan

Crowther, 2000).

Kehadiran standar internal dalam sistem kuantifikasi yang dilakukan

harus menjamin pemisahan antar peak dengan baik. Pemisahan yang baik

memiliki resolusi > 1,5 atau baseline separation (Chan, Lam, Lee, dan Zhang,

2004).

Standar internal yang digunakan pada sampel untuk memimic respon

analit. Standar internal harus ditambahkan sebelum dilakukannya preparasi

sampel/ekstraksi untuk melihat kehilangan atau kesalahan yang muncul selama

proses yang dilakukan, hal ini didasarkan pada proses preparasi yang panjang

maka kesalahan yang muncul akan semakin besar. Penggunaan internal standar

disini untuk meminimalisir kesalahan yang muncul tersebut (Chan, Lam, Lee, dan

Zhang, 2004).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Massadeh, Gharaibeh dan Omari

(2009) serta penelitian yang dilakukan oleh Nakajima, dkk (2000), asetanilida

(61)

G. Landasan Teori

Rokok merupakan produk tembakau yang terbungkus kertas dalam

bentuk seperti silinder dengan panjang mendekati 90 mm. Dalam tembakau rokok

terdiri dari sekitar 4000 macam zat kimia, salah satunya nikotin. Nikotin yang

terkandung dalam rokok antara 1-1,5 mg. Nikotin berupa cairan minyak yang

hampir tidak berwarna dan merupakan basa lemah yang bersifar dibasic (pKa

4,23 dan 9,15). Dengan adanya paparan cahaya atau udara nikotin dapat

teroksidasi dan berubah warna menjadi kecoklatan.

Ekstrak etanolik tembakau rokok merupakan senyawa multikomponen

yang mengandung nikotin dan beberapa metabolit lain. Metode KCKT fase

terbalik memiliki selektivitas dan sensitifitas yang tinggi sehingga mampu

memisahkan sampel multikomponen sekaligus mengkuantifikasinya.

Optimasi terhadap komposisi fase gerak dan kecepatan alir sistem KCKT

fase terbalik dengan penggunaan metode standar internal asetanilida dilakukan

untuk menghasilkan pemisahan analit uji yang baik dengan retention time yang

efisien yakni kurang dari 10 menit (Smith, 2002), bentuk peak dengan nilai TF ≤ 2

(Center for Drug Evaluation and Research, 1994), nilai resolusi > 1,5 (Gandjar

dan Rohman, 2010).

H. Hipotesis

Metode KCKT fase terbalik dengan menggunakan komposisi fase gerak

Gambar

Gambar 1 Struktur Nikotin (3-(1-metil-2-pirolodinil)pirindin)
Tabel I Ringkasan sifat/karakterisitik yang dimiliki nikotin (Domino, 1999)
Gambar 2. Stuktur dari macam alkaloid yang terdapat dalam tembakau (Benowitz, Hukkanen dan Jacob,2009)
Gambar 3. Diagram tingkat energi elektronik (Gandjar dan Rohman, 2010)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam beberapa literatur telah dicantumkan beberapa metode analisis penetapan kadar Campuran Parasetamol dan Kofein secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Metode yang dipilih adalah kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) fase terbalik karena metode ini pernah digunakan untuk menetapkan kadar parasetamol dan natrium

Telah dilakukan penelitian tentang validasi metode dan penetapan kadar nikotin dalam ekstrak tembakau rokok “Merek X” dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) fase

Salah satu metode yang pernah digunakan untuk menetapkan kadar campuran parasetamol dan natrium fenobarbital adalah Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik..

Oleh sebab itu, dibutuhkan penetapan kadar hidrokortison asetat dan kloramfenikol dalam krim topikal dengan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik dengan

Penulis skripsi dengan judul “Optimadi dan Validasi Determinasi Kuersetin Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) Fase Terbalik dalam Teh Hijau ( Camelia sinensis

Telah dilakukan penelitian tentang validasi metode dan penetapan kadar nikotin dalam ekstrak tembakau rokok “Merek X” dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) fase

Karena dengan petunjuk dan pertolonganNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul optimasi fase gerak, laju alir dan suhu kolom untuk analisis metformin HCl