• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi Berjudul OPTIMASI DAN VALIDASI METODE PENETAPAN KADAR ASPARTAM DALAM MINUMAN SERBUK BERAROMA SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI FASE TERBALIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Skripsi Berjudul OPTIMASI DAN VALIDASI METODE PENETAPAN KADAR ASPARTAM DALAM MINUMAN SERBUK BERAROMA SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI FASE TERBALIK"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Maria Yolanda

NIM : 068114001

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Maria Yolanda

NIM : 068114001

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)

ii

SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI FASE TERBALIK

Yang diajukan oleh:

Maria Yolanda

NIM : 068114001

telah disetujui oleh:

Pembimbing

(4)

iii

SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI FASE TERBALIK

Oleh: Maria Yolanda NIM : 068114001

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma pada tanggal : 29 Mei 2010

Mengetahui Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Dekan

Rita Suhadi, M.Si., Apt.

Pembimbing

Prof. Dr. Sudibyo Martono, M.S., Apt.

Panitia Penguji :

1. Prof. Dr. Sudibyo Martono, M.S., Apt. ……….

2. Christine Patramurti, M.Si., Apt. ……….

(5)

Lewat

at tebing dan jurang yang menak

wat jalan yang berputar-putar yang

arah tujuannya

an yang membuatmu kehilangan y

sayangi

Itu bukan karena Dia tak pedul

mendidik dan membentukmu jadi

ang membawa berkat bagi sesam

membuat segala sesuatu in

waktunya,

Let go and Let God

Kupersembahkan ka

Bapak dan ibuku yan

Hugo dan Ndayu

Para sahabat dan almamat

(6)

v

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Maria Yolanda

Nomor Mahasiswa : 068114001

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

OPTIMASI DAN VALIDASI METODE PENETAPAN KADAR ASPARTAM DALAM MINUMAN SERBUK BERAROMA SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI FASE TERBALIK

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 15 April 2010

Yang menyatakan

(7)

vi

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa Yang Maha Kuasa atas

segala limpahan berkat dan kasih-Nya sehingga penelitian dan penyusunan skripsi

yang berjudul “Optimasi Dan Validasi Metode Penetapan Kadar Aspartam Dalam

Minuman Serbuk Beraroma Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Fase Terbalik”

dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk

meraih gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi, Universitas Sanata

Dharma, Yogyakarta.

Dalam pelaksanaan penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini,

penulis mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,

penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta.

2. Prof. Dr. Sudibyo Martono, M.S., Apt. selaku dosen pembimbing yang

dengan sabar memberikan pengarahan, masukan, kritik dan saran baik selama

penelitian maupun penyusunan skripsi ini.

3. Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing akademik dan

dosen penguji, atas bimbingan, saran, kritik, nasehat dan semangat yang telah

(8)

vii

Mas Bimo, Pak Parlan, Mas Kunto, Mas Otok, dan Pak Timbul yang telah

banyak membantu selama penelitian di laboratorium.

6. Ibu Ani Fatima atas bantuan dalam pengadaan baku aspartam sehingga

penelitian dapat berjalan lancar.

7. Keluarga keduaku Kak Ivonne, Kak Nora, Tere, Cici, Esti. Terima kasih

sudah menemani dan mendukung di masa-masa penuh perjuangan ini. Kalian

begitu berarti.

8. Adhitya Eka Prasetya, teman seperjuangan dan tempat berbagi keluh kesah

selama penelitian dan penyusunan skripsi. Terima kasih partner.

9. Gregorius Adhi dan Yudhi Pradana atas suka, duka, dan semangat yang kita

bagi bersama.

10. Sahabat mungilku: Uut, Dewi, Sinta, atas kebersamaan, dukungan dan

persahabatan kita.

11. Robertus V. Mahartantyo, atas kasih, senyum, air mata dan pengalaman

berharga yang membuatku belajar sangat banyak.

12. Keluarga besar Ceria: mami, Kak Ivonne, Mikha, Mery, Oktin, Okvi, Putri,

Tyas, Sherly, Tere, Esti, Cici, Lia, atas bantuan dan dukungan selama di

(9)

viii

14. Teman bermain dan belajar, Dani, Nika, Adit, Uut, Phita dan Aya. Mari kita

bermain (dan belajar).

15. Teman-teman FST angkatan 2006, atas tawa, canda, kebersamaan dan

kekompakan yang begitu indah dan tak terlupakan.One for the FST.

16. Keluarga besar Paduan Suara Mahasiswa Cantus Firmus. Suatu kebanggaan

bisa eksis bersama kalian. Nyayian kita akan selalu tersimpan di hati.

17. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu

penulis dalam mewujudkan skripsi ini. Tidak tertulis di sini bukan berarti

tidak tertulis di hati.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi

ini, sehingga segala kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.

Semoga skripsi ini membantu dan bermanfaat bagi pembaca pada khususnya dan

ilmu pengetahuan pada umumnya.

Yogyakarta, 15 April 2010

(10)

ix

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 15 April 2010

Penulis,

(11)

x

penggunaan aspartam dapat memicu timbulnya berbagai macam penyakit sehingga penggunaannya pada berbagai jenis makanan dan minuman perlu dimonitor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui validitas metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik yang digunakan dalam penetapan kadar aspartam.

Penelitian ini bersifat eksperimental deskriptif, menggunakan metode KCKT fase terbalik dengan kolom Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5μm, fase gerak bufer fosfat pH 4 : asetonitril (80 : 20),flow rate1,4 mL/menit, dan detektor UV 214 nm.

Parameter validasi yang diteliti meliputi presisi, akurasi, linearitas, Limit of Detection (LOD) dan Limit of Quantitation (LOQ). Hasil penelitian menunjukkan metode memiliki linearitas yang baik pada konsentrasi 2,0 – 6,0 mg/100 mL (r = 0,999). Nilai recovery dan CV berturut-turut untuk level kadar rendah, sedang dan tinggi adalah 99,0% dan 0,46%; 101,1% dan 1,13%; 100,1% dan 1,12%. Nilai LOD untuk aspartam adalah 0,11 mg/100 mL sedangkan nilai LOQ 0,38 mg/100 mL. Berdasarkan hasil tersebut maka metode ini valid untuk penetapan kadar aspartam.

(12)

xi

instead of sugar. Several researches conclude that the usage of aspartame can touch off the emergence of some diseases and that is why its users need monitoring. This research is aimed to discover validity of High Performance Liquid Chromatography (HPLC) method of reversed phase which is employed in aspartame determination.

This is a non experimental descriptive research using HPLC method with reversed phase by using Kromasil column-100 C18 250x4.6 mm, 5 μm, phosphate buffer mobile phase pH 4 : acetonitrile (80 : 20), flow rate 1.4 mL/minute, and detector UV 214 nm.

Validity parameter is observed included precision, accuracy, linearity,Limit of Detection(LOD), andLimit of Quantitation(LOQ). Result of the research shows that the method holds a decent linearity on concentration 2.0 – 6.0 mg/100 mL (r = 0.999). Recovery point and successive CV to low level, medium, and high are 99.0% and 0.46%; 101.1% and 1.13%; 100.1% and 1.12%. LOD point to aspartame is 0.11 mg/100 mL while LOQ is 0.38 mg/100mL. Based on the result, it can be summed up that this particular method is valid to aspartame determination.

(13)

xii

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI...iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ...iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... v

KATA PENGANTAR ...vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...ix

INTISARI ... x

ABSTRACT...xi

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL...xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN...xix

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Permasalahan... 3

2. Keaslian Penelitian... 4

3. Manfaat Penelitian ... 4

(14)

xiii

C. Aspartam ... 7

1. Deskripsi Aspartam ... 7

2. Penggunaan Aspartam ... 8

3. Kajian Keamanan ... 9

4. Metode Analisis Aspartam ... 10

D. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi... 11

1. Kromatografi Partisi Fase Terbalik... 12

2. Fase Diam ... 13

3. Fase Gerak ... 13

4. Kolom dan Kinerjanya... 15

5. Pengekoran Puncak Kromatogram ... 19

6. Analisis Kualitatif dan Kuantitatif ... 21

E. Parameter Validasi Metode Analisis ... 22

1. Akurasi... 22

2. Presisi... 23

3. Selektivitas... 24

4. Linearitas dan Rentang ... 24

5.Limit Of Detection (LOD) dan Limit Of Quantitation (LOQ)... 24

(15)

xiv

B. Variabel Penelitian ... 27

1. Variabel bebas ... 27

2. Variabel tergantung ... 27

3. Variabel terkendali ... 27

C. Bahan-bahan Penelitian ... 28

D. Alat-alat Penelitian ... 28

E. Tata Cara Penelitian... 29

1. Optimasi Metode KCKT ... 29

2. Verifikasi Sistem ... 31

3. Validasi Metode... 32

F. Analisis Hasil ... 33

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

A. Optimasi Metode ... 36

1. Penentuan Panjang Gelombang Pengamatan ... 36

2. Optimasi Fase Gerak ... 37

3. Pengamatan Waktu Retensi Aspartam ... 46

B. Verifikasi Sistem KCKT ... 50

1. Verifikasi akurasi pompa... 50

(16)

xv

2. Linearitas ... 55

3. Akurasi... 56

4. Presisi... 57

5.LODdanLOQ ...57

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 60

A. Kesimpulan ... 60

B. Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62

(17)

xvi

eluen strength

Tabel II. Kriteria %recoveryyang diijinkan ... 22

Tabel III. Kriteria presisi yang diijinkan untuk konsentrasi analit yang berbeda ... 23

Tabel IV. Hasil optimasiflow ratefase gerak bufer fosfat pH 4 : asetonitril (80 : 20) ... 44

Tabel V. Data penyimpanganflow ratepada uji akurasi pompa... 51

Tabel VI. Hasil uji presisi sistem injeksi ... 52

Tabel VII. Data kurva baku aspartam... 53

Tabel VIII. Hasil penetapanrecoveryaspartam ... 56

(18)

xvii

Gambar 1. Struktur kimia aspartam ... 7

Gambar 2. Peralatan KCKT ... 12

Gambar 3. Difusi Eddy ... 17

Gambar 4. PenentuanPeak AsymmetrydanPeak Tailing Factor... 20

Gambar 5. Distribusi dalam fase diam dan fase gerak... 21

Gambar 6. Gugus kromofor aspartam ... 36

Gambar 7. Spektrum panjang gelombang aspartam ... 37

Gambar 8. Reaksi ionisasi aspartam ... 39

Gambar 9. Degradasi aspartam ... 40

Gambar 10. Kromatogram optimasi fase gerak bufer fosfat pH 4 : asetonitril (95 : 5) ... 41

Gambar 11. Kromatogram optimasi fase gerak bufer fosfat pH 4 : asetonitril (90 : 10) ... 41

Gambar 12. Kromatogram optimasi fase gerak bufer fosfat pH 4 : asetonitril (85 : 15) ... 42

Gambar 13. Kromatogram optimasi fase gerak bufer fosfat pH 4 : asetonitril (80 : 20) ... 42

(19)

xviii

Gambar 17. Kromatogram waktu retensi sampel... 47

Gambar 18. Kromatogram waktu retensi aspartam + baku aspartam ... 48

Gambar 19. Ikatan aspartam dengan fase gerak... 49

Gambar 20. Ikatan aspartam dengan fase diam ... 50

(20)

xix

Lampiran 2. Contoh perhitungan N dan HETP ... 67

Lampiran 3. Kromatogram hasil optimasiflow ratefase gerak bufer fosfat pH 4 : asetonitril (80 : 20) ... 68

Lampiran 4. Tabel hasil penetapan presisi injeksi ... 73

Lampiran 5. Kromatogram penetapan presisi injeksi... 74

Lampiran 6. Kromatogram kurva baku aspartam replikasi I... 81

Lampiran 7. Kromatogram kurva baku aspartam replikasi II ... 86

Lampiran 8. Kromatogram kurva baku aspartam replikasi III ... 91

Lampiran 9. Penimbangan baku dan contoh perhitungan kadar baku ... 96

Lampiran 10. Kromatogram hasil validasi metode replikasi I ... 97

Lampiran 11. Kromatogram hasil validasi metode replikasi II... 100

Lampiran 12. Kromatogram hasil validasi metode replikasi III ... 103

Lampiran 13. Data penimbangan dan perhitunganrecovery... 106

(21)

1

A. Latar Belakang Penelitian

Zat-zat pemanis makanan dan minuman pengganti gula saat ini banyak

digunakan dalam aneka jenis makanan dan minuman. Zat tersebut ditambahkan untuk

memberikan persepsi rasa manis namun tidak memiliki nilai gizi.

Salah satu jenis makanan atau minuman yang menggunakan pemanis

pengganti gula adalah minuman serbuk beraroma. Minuman minuman serbuk

beraroma adalah minuman ringan yang dikonsumsi dengan cara melarutkan serbuk

tersebut kedalam air sesuai dengan saran penyajian yang biasanya dicantukan pada

kemasan. Untuk meningkatkan minat konsumen akan produknya, produsen biasanya

menambahkan bahan tambahan seperti pemanis buatan untuk meningkatkan cita rasa

pada produk minuman serbuk beraroma tersebut.

Aspartam adalah salah satu pemanis buatan yang paling laris digunakan saat

ini. Aspartam merupakan pemanis buatan dari golongan gula non-sakarida yang

banyak dipakai untuk produk-produk diet atau produk rendah kalori. Dibuat dengan

menggabungkan 2 buah asam amino, yaitu fenilalanin dan asam aspartat dengan

derajat kemanisan sekitar 160 sampai 200 kali gula pasir dan hampir tidak

mengandung kalori.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan aspartam sebagai

(22)

seperti penyakit Alzheimer, epilepsi, tumor otak, stroke dan penyakit jantung.

Walaupun demikian, pemakaian aspartam sebagai pemanis buatan masih diijinkan

oleh FDA (Food and Drug Administration) namun dengan batas-batas pemakaian yang dianjurkan agar penggunaannya aman (Maisons and Alfort, 2002).

Di Indonesia, Berdasarkan Peraturan Kepala POM No. HK

00.05.5.1.4547/2004 pasal 6 ayat 3, produk pangan yang mengandung aspartam wajib

mencantumkan peringatan untuk pasien fenilketonuria yang tertulis jelas pada

kemasan produk. Berdasarkan Peraturan Kepala POM No. HK 00.05.5.1.4547/ 2004

batas maksimum penggunaan aspartam adalah 50 mg/kg berat badan per hari.

Penetapan kadar aspartam dan beberapa pemanis buatan lainnya dalam

minuman ringan pernah dilakukan Hayun, dkk. (2004) dengan metode Kromatografi

Cair Kinerja Tinggi dengan detektor UV. Fase diam yang digunakan adalah C-18

Latek (15 cm x 4,0 mm) dan fase gerak asetonitril : bufer asetat (5 : 95).

Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian Hayun dkk. terletak pada

komposisi fase gerak, fase diam dan sampel yang digunakan. Pada penelitian ini

digunakan fase diam C-18 merekKromasil (25 cm x 4,6 mm) dan fase gerak buffer fosfat : asetonitril (80 : 20), sedangkan sampel yang digunakan adalah minuman

serbuk beraroma. Dengan adanya perbedaan tersebut maka perlu dilakukan kembali

optimasi dan validasi untuk penetapan kadar aspartam dalam minuman serbuk

beraroma karena sistem KCKT dalam penelitian Hayun dkk. belum tentu

(23)

Aspartam bersifat polar dengan gugus yang mudah terionisasi mudah

terionisasi yaitu COOH dan NH2 karena adanya pasangan elektron bebas (Anonim,

2005). Oleh karena itu dipilih sistem KCKT fase terbalik dimana fase diamnya

bersifat non polar dan fase geraknya polar sehingga aspartam memiliki afinitas yang

lebih besar pada fase gerak dan pemisahan menjadi lebih efisien.

Metode Kromatografi Kinerja Tinggi Fase Terbalik adalah metode terpilih

yang digunakan dalam analisis aspartam dalam minuman serbuk beraroma.

Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh metode penetapan kadar

aspartam menggunakan metode KCKT yang memiliki akurasi, presisi, linearitas, dan

spesifisitas yang baik. Penelitian ini merupakan penelitian pendahulu dari penelitian

lain mengenai penetapan kadar aspartam dalam minuman serbuk beraroma secara

KCKT fase terbalik.

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

Apakah metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi fase terbalik dengan fase diam

C-18 dan fase gerak asetonitril : bufer fosfat pH 4 (20 : 80 v/v) yang digunakan dalam

penetapan kadar aspartam dalam minuman serbuk beraroma memiliki validitas yang

(24)

2. Keaslian Penelitian

Berdasarkan sumber informasi yang diperoleh penulis, validasi penetapan

kadar aspartam dalam minuman serbuk beraroma secara KCKT fase terbalik belum

pernah dilakukan. Namun penelitian mengenai kadar aspartam dan beberapa jenis

pemanis buatan lainnya pernah dilakukan oleh Hayun, dkk. (2004) pada sampel

minuman ringan bersoda secara KCKT menggunakan kolom C-18 Latex (15 cm x 4,0

mm) dan fase gerak campuran asetonitril : buffer asetat pH 5 (5 : 95) dengan detektor

UV pada panjang gelombang 254 nm.

3. Manfaat Penelitian

Manfaat teroritis penelitian ini adalah memberikan informasi tentang validasi

metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi untuk penetapan kadar aspartam.

Manfaat metodologis penelitian ini adalah memberikan informasi tentang

pengembangan metode analisis untuk penetapan kadar aspartam agar nantinya dapat

digunakan sebagai metode analisis alternatif untuk penetapan kadar aspartam.

B. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui apakah metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi fase

terbalik dengan fase diam C-18 dan fase gerak asetonitril : bufer fosfat pH 4 (20 : 80

v/v) yang digunakan pada penetapan kadar aspartam dalam minuman serbuk

(25)

5

A. Bahan Tambahan Makanan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988

Bahan Tambahan Makanan (BTM) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam

makanan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan baik yang mempunyai atau

tidak mempunyai nilai gizi, antara lain pemanis buatan, bahan pengawet, pewarna,

penyedap rasa dan aroma, anti gumpal dan pengental. Ketentuan lain yang mengatur

penggunaan bahan tambahan makanan adalah larangan bagi setiap orang yang

memproduksi pangan untuk diedarkan menggunakan bahan tambahan makanan yang

dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang telah ditetapkan.

Penambahan BTM secara umum bertujuan untuk meningkatkan nilai gizi

makanan, memperbaiki nilai sensori makanan, dan memperpanjang umur simpan

makanan. Selain tujuan-tujuan di atas, BTM sering digunakan untuk meproduksi

makanan untuk kelompok khusus seperti penderita diabetes, pasien yang baru

mengalami operasi, orang-orang yang menjalankan diet rendah kalori atau rendah

lemak, dan sebagainya. Berbagai BTM yang digunakan untuk maksud tersebut di

(26)

B. Pemanis Buatan

Pemanis merupakan senyawa kimia yang sering ditambahkan dan digunakan

untuk keperluan produk olahan pangan, industri, dan minuman serta makanan

kesehatan. Pemanis berfungsi untuk meningkatkan cita rasa dan aroma, memperbaiki

sifat fisik, sebagai pengawet, memperbaiki sifat-sifat kimia, mengembangkan jenis

minuman dan makanan dengan jumlah kalori terkontrol, dan sebagai bahan substitusi

pemanis utama (Sakidja, 1989).

Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan

Republik Indonesia Nomor : HK.00.05.5.1.4547, pemanis buatan adalah bahan

tambahan pangan yang dapat menyebabkan rasa manis pada produk pangan yang

tidak atau sedikit mempunyai nilai gizi atau kalori, hanya boleh ditambahkan ke

dalam produk pangan dalam jumlah tertentu.

Pemanis buatan adalah bahan tambahan yang dapat menyebabkan rasa manis

pada pangan, tetapi tidak memiliki nilai gizi. Beberapa pemanis buatan yang telah

dikenal dan banyak digunakan adalah sakarin, siklamat, aspartam, dulsin, sorbitol

sintetis, nitro-propoksi-anilin (Sakidja, 1989).

Pemanis buatan diperoleh secara sintetis melalui reaksi-reaksi kimia di

laboratorium ataupun skala industri. Karena diperoleh melalui proses sintetis dapat

dipastikan bahan tersebut mengandung senyawa-senyawa sintetis. Penggunaan

pemanis buatan perlu diwaspadai karena dalam takaran yang berlebih dapat

menimbulkan efek samping yang merugikan kesehatan manusia. Hasil penelitian

(27)

dan bersifat karsinogenik. Oleh karena itu Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) telah menetapkan batas-batas yang disebut Acceptable Daily Intake(ADI) atau kebutuhan per orang per hari, yaitu jumlah yang dapat dikonsumsi tanpa menimbulkan risiko. Sejalan dengan itu, di negara-negara Eropa, Amerika dan

juga di Indonesia telah ditetapkan standar penggunaan pemanis buatan pada produk

makanan (Ambarsari dkk., 2009).

Menurut peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88, produk

pangan yang menggunakan pemanis buatan harus mencantumkan jenis dan jumlah

pemanis buatan dalam komposisi bahan atau daftar bahan pada tabel.

C. Aspartam

Gambar 1. Struktur kimia aspartam

1. Deskripsi Aspartam

Aspartam atau Aspartil fenilalanin metil ester (APM) dengan rumus kimia

(28)

-aspartyl-L-phenylalanine-1-methyl ester dengan 220 kali tingkat kemanisan sukrosa dengan nilai kalori sebesar 0,4 kkal/ merupakan senyawa yang tidak berbau,

berbentuk tepung kristal berwarna putih, sedikit larut dalam air, dan berasa manis.

Aspartam memiliki tingkat kemanisan relatif sebesar 60 sampai g atau setara dengan

1,67 kJ/g (Gelardi, 1986).

Aspartam mengandung tak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 102,0%

C14H18N2O5.Kelarutan aspartam dalam air tergantung pada pH dan suhu. Kelarutan

maksimum tercapai pada pH 2,2 (20 mg/mL pada 250C) (Anonim, 1995).

2. Penggunaan Aspartam

Mengacu pada asam amino pembentuk aspartam, maka aspartam bukanlah

termasuk suatu bahan pemanis nonkalori karena seperti protein, aspartam

dimetabolisme menjadi asam amino penyusunnya dan memiliki nilai energi 4 kkal/g.

Tetapi karena dalam penggunaannya, 100 gram sukrosa dapat diganti dengan 1 gram

aspartam maka dapat dikatakan bahwa aspartam merupakan bahan pemanis nonkalori

(Sakidja, 1989).

Pemanis buatan aspartam merupakan pemanis buatan yang diijinkan

digunakan dalam pembuatan produk makanan sesuai Peraturan Menteri Kesehatan

N0.722 tahun 1988. Aspartam banyak digunakan oleh orang yang membatasi jumlah

kalori misalnya penderita diabetes, orang yang obesitas atau yang menjaga berat

badan. Aspartam juga berfungsi sebagai penegas rasa terutama cita rasa buah

(29)

Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan

Republik Indonesia Nomor : HK.00.05.5.1.4547 aspartam tidak diizinkan

penggunaannya pada produk pangan olahan tertentu untuk dikonsumsi oleh

kelompok tertentu meliputi bayi, balita, ibu hamil, ibu menyusui dalam upaya

memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatannya.

3. Kajian Keamanan

Aspartam tersusun atas asam amino sehingga dalam tubuh akan mengalami

metabolisme seperti halnya asam amino pada umumnya. Aspartam terurai menjadi

asam amino L-asam aspartat dan L-fenilalanin yang merupakan asam amino

penyusun protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak akan menimbulkan efek

berbahaya (Sakidja, 1989).

Aspartam merupakan salah satu bahan tambahan makanan yang telah

mengalami uji dan percobaan yang mendalam serta menyeluruh dan telah disetujui

oleh US-FDA. Pada tahun 1974, US-FDA telah mengabulkan usulan mengenai

penggunaan aspartam sebagai pemanis pada makanan kering. Tetapi karena

banyaknya laporan mengenai keamanan aspartam bagi kesehatan, pemasaran

aspartam baru diizinkan pada tahun 1981 (Sakidja, 1989). Selain itu tahun 2006 AFC

Panel dari Badan Keamanan Pangan Eropa (EFSA) mengevaluasi carcinogenicity

aspartam dan berkesimpulan bahwa dari segi keamanan tidak ada alasan untuk

(30)

Penggunaan aspartam bagi orang yang menderita penyakit turunan yang

dikenal sebagai fenilketonuria perlu mendapat perhatian khusus. Orang yang

menderita penyakit tersebut tidak mampu memetabolisme fenilalanin. Berlebihnya

jumlah fenilalanin dalam tubuh penderita dapat menyebabkan kerusakan otak yang

dapat mengakibatkan cacat mental, karena adanya penumpukan fenilalanin di otak

(Sakidja, 1989).

Di Indonesia, Berdasarkan Peraturan Kepala POM No. HK

00.05.5.1.4547/2004 pasal 6 ayat 3, produk pangan yang mengandung aspartam wajib

mencantumkan peringatan yang tertulis jelas pada kemasan produk bagi pasien

fenilketonuria. Berdasarkan Peraturan Kepala POM No. HK 00.05.5.1.4547/ 2004

batas maksimum penggunaan aspartam adalah 50 mg/kg berat badan per hari.

4. Metode Analisis Aspartam

Aspartam dapat ditentukan secara kualitatif dengan kromatografi lapis tipis

(KLT) didasarkan pada pemisahan dengan KLT karena perbedaan afinitas aspartam

terhadap fase diam dan fase geraknya. Fase diam untuk penetapan kadar aspartam ini

adalah silika gel 60 GF 254, sedangkan fase geraknya adalah sistem pengembang

n-butanol : asam asetat glasial : air (2 : 1 : 1). Untuk menampakkan noda digunakan

larutan ninhidrin 0,2% dalam air dan larutan brom 1% dalam karbon tetra klorida.

Noda dilihat di bawah lampu UV pada panjang gelombang 254 nm (Sakidja, 1989).

Penentuan aspartam secara kuantitatif dapat dilakukan secara titrasi

(31)

biru (Anonim, 2000). Penetapan kadar aspartam dalam minuman dan makanan yang

paling umum digunakan saat ini adalah dengan metode KCKT fase terbalik

menggunakan fase diam C18 dan dua jenis fase gerak yang dapat dipilih yaitu

metanol : bufer asetat atau asetonitril : bufer fosfat (Nollet, 2000). Penetapan kadar

aspartam dengan metode KCKT pernah dilakukan Hayun dkk. (2004) dengan sampel

minuman ringan bersoda menggunakan fase diam C-18 Latek (15 cm x 4,0 mm) dan

fase gerak asetonitril : buffer asetat pH 5 (5 : 95). Metode ini memiliki akurasi dan

presisi yang cukup baik namun waktu analisisnya sangat lama yaitu lebih dari 30

menit.

D. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi adalah suatu sistem kromatografi yang fase

geraknya dialirkan dengan cepat dengan bantuan pompa dan hasilnya dideteksi

dengan detektor (Gritter et al., 1985). Tujuan analisis dengan KCKT yaitu

didapatkannya pemisahan yang baik dalam waktu yang relatif singkat (Mulja dan

(32)

Gambar 2. Peralatan KCKT

1. Kromatografi Partisi Fase Terbalik

Prinsip kromatografi partisi didasarkan pada partisi linarut antara dua pelarut

yang tidak bercampur yang ada pada fase diam dan fase gerak. Fase diam (polar atau

nonpolar) disalutkan pada penyangga dan dikemas ke dalam kolom. Jika linarut

ditambahkan ke dalam sistem yang terdiri atas dua pelarut yang tidak bercampur dan

keseluruhan sistem dibiarkan setimbang, linarut akan tersebar antara dua fase

menurut persamaan:

m s

C C K

Dengan K adalah koefisien distribusi dan Cs dan Cm adalah konsentrasi linarut

berturut-turut dalam fase diam dan fase gerak (Johnson dan Stevenson, 1991).

Pada kromatografi fase terbalik, fase diamnya bersifat non polar, biasanya

digunakan hidrokarbon dan fase geraknya relatif bersifat polar seperti air, metanol

(33)

Kolom yang biasa digunakan pada kromatografi partisi fase terbalik adalah

kolom dengan kemasan fase terikat, yang bersifat stabil karena fase diamnya terikat

secara kimia pada penyangga, sehingga tidak mudah terbawa oleh fase gerak.

Penyangga pada kemasan fase terikat biasanya terbuat dari silika yang sudah

diseragamkan, berpori dan umumnya partikel mempunyai diameter 3,5 atau 10 µm

(Skoog et al., 1994).

2. Fase Diam

KCKT fase terbalik menggunakan fase diam yang berupa senyawa organik,

dimana senyawa organik ini terikat secara kimia dengan gugus silanol pada

permukaan silika. Hal ini yang menyebabkan permukaan silika menjadi bersifat non

polar. Dalam kromatografi jenis ini, senyawa lebih polar terelusi lebih dahulu,

kemudian diikuti senyawa non polar (Munson, 1991).

Fase diam yang biasa digunakan pada kromatografi partisi fase terbalik adalah

oktadesilsilan (ODS). Selain ODS, dikenal pula silika dengan substitusi oktil (C8).

Panjang pendeknya rantai karbon mempengaruhi tertambatnya senyawa pada fase

diam. Kolom dengan rantai panjang bersifat retensif, sehingga senyawa yang

mempunyai sifat mirip dengan kolom akan tertambat lebih lama (Munson, 1991).

3. Fase Gerak

Fase gerak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemisahan.

(34)

beberapa sifat yang perlu diperhatikan yaitu, fase gerak yang digunakan harus murni

tanpa cemaran, sesuai dengan detektor, dapat melarutkan cuplikan, memiliki

viskositas yang rendah dan memungkinkan memperoleh kembali cuplikan dengan

mudah, jika diperlukan (Johnson and Stevenson, 1991).

Kepolaran pelarut merupakan ukuran kekuatan pelarut atau kemampuan

pelarut untuk mengelusi suatu senyawa. Kandungan utama fase gerak pada

kromatografi fase terbalik adalah air. Pelarut yang dapat campur dengan air seperti

metanol, etanol, asetonitril, dioksan, tetrahidrofuran dan dimetilformamida

ditambahkan untuk mengatur kepolaran fase gerak (Munson, 1991).

Polaritas fase gerak dalam KCKT sangat mempengaruhi kromatogram yang

dihasilkan, sehingga perlu diperhitungkan komposisi campuran pelarut yang akan

digunakan. Berdasarkan nilai P’(indeks polaritas), maka besarnya polaritas campuran

pelarut dapat dihitung dengan persamaan berikut :

Pcampuran=∑ '= 1P1’ + 2P2’ + ...+ nPn’

Nilai Pcampuran adalah polaritas campuran, P’ menyatakan indeks polaritas,

merupakan fraksi pelarut dalam campuran dan n adalah jenis pelarut yang digunakan

(Skoog, 1985).

Berikut ini adalah daftar pelarut berikut nilai indeks polaritas dan eluen

(35)

Tabel I. Nilai indeks polaritas daneluen strengthpelarut

Eluen strength merupakan ukuran kemampuan fase gerak menarik analit dari fase diam. Waktu retensi analit akan turun jika digunakan fase gerak dengan eluen strength rendah, sebaliknya waktu retensi analit akan meningkat jika digunakan fase gerak denganeluen strengthtinggi (Snyder et al.,1997).

4. Kolom dan Kinerjanya

Keberhasilan atau kegagalan analisis tergantung pada pemilihan kolom dan

kondisi kerja yang tepat. Ukuran kinerja kolom dapat dilihat dari kemampuan kolom

dalam memisahkan senyawa (Johnson dan Stevenson, 1978). Batasan yang paling

sering digunakan yaitu bilangan lempeng teoritik dan faktor resolusi (Munson, 1991).

(36)

N L HETP

H  

a) Teori Lempeng (Plate Theory)

Salah satu ukuran kinerja kolom adalah jumlah lempeng teoritik yang dihitung

dengan persamaan:

= 16 = 5,54

Nilai w adalah lebar alas, w1/2adalah lebar alas puncak pada setengah tinggi puncak,

dan tRadalah waktu retensi (Sastrohamidjojo, 2001).

Jumlah pelat teori berbanding lurus dengan panjang kolom. Karena panjang

kolom bermacam-macam, maka diperlukan ukuran efisiensi kolom yang tidak

bergantung pada panjang kolom. Tinggi atau jarak yang setara dengan pelat, H atau

Height Equivalent to a Theoritical Plate(HETP), merupakan ukuran efisiensi kolom yang lebih disukai karena memungkinkan perbandingan antara kolom yang

panjangnya berlainan. H berkaitan dengan jumlah pelat teori menurut persamaan

berikut:

L menunjukkan panjang kolom biasanya dalam mm, dan N menunjukkan jumlah

pelat teoritis (Johnson dan Stevenson, 1978).

b) Teori Laju (Rate Theory)

Pada waktu migrasi, analit mengalami transfer antara fase diam dan fase gerak

berkali-kali. Waktu tinggal pada fase diam maupun fase gerak tidak teratur dan

tergantung pada tersedianya energy termal dari lingkungannya yang memungkinkan

(37)

migrasi di dalam kolom tidak teratur. Hal ini mengakibatkan laju rata-rata analit

relatif terhadap fase gerak bervariasi sehingga terjadi pelebaran puncak analit.

Faktor-faktor utama penyebab terjadinya pelebaran puncak yaitu:

1) Difusi Eddy merupakan aliran tidak teratur yang menyebabkan

terjadinya pencampuran konvektif. Difusi Eddy disebabkan oleh banyak

kemungkinan pada kemasan kolom yang kurang baik.

Gambar 3. Difusi Eddy

Gambar 3 menunjukkan proses terjadinya difusi Eddy. Nomor 1 menunjukkan

analit yang keluar lebih dahulu karena melewati kolom dengan partikel

berukuran besar dan kurang kompak. Nomor 2 menunjukkan analit keluar

lebih lambat dari nomor 1 karena ukuran partikel yang lebih kecil dan lebih

kompak daripada nomor 1. Nomor 3, analit keluar paling akhir, hal ini terjadi

karena melewati bagian kolom dengan ukuran partikel halus dan kompak.

2) Difusi Longitudinal merupakan efek dari gerakan random molekul

analit dalam fase gerak karena adanya perbedaan konsentrasi.

3) Transfer massa non-ekuillibrium merupakan efek laju ekuilibrasi

(38)

pada umumnya aliran fase gerak terlalu cepat untuk mendapatkan ekuilibrium

antara kedua fase (Noegrohati, 1994).

Hubungan antara ketiga faktor dapat digambarkan dengan persamaan Van Deemter:

= + + . + .

A = difusi Eddy

B = difusi longitudinal

C = transfer massa non-ekuilibrium

= rata-rataflow ratelinear fase gerak

H = HETP (Noegrohati,1994)

Faktor resolusi adalah ukuran pemisahan dari dua puncak. Daya pisah (Rs)

dapat diukur dengan persamaan:

2

Nilai tR2dan tR1 adalah waktu retensi senyawa, diukur pada titik maksimum puncak

dan t adalah selisih antara tR2 dan tR1. Nilai w2 dan w1 adalah lebar alas puncak

dinyatakan dalam satuan waktu.

Untuk memperbaiki resolusi dapat dinyatakan dengan parameter-parameter

(39)

Berdasarkan rumus tersebut terlihat bahwa resolusi merupakan fungsi dari 3 faktor,

yaitu selektivitas kolom yang tergantung pada α, faktor kapasitas yang tergantung

pada nilai k’ dan faktor efisiensi yang tergantung pada nilai N (Noegrohati, 1994).

5. Pengekoran Puncak Kromatogram

Peak yang tidak simetris sering dijumpai bila konsentrasi sampel dala fase gerak terlalu besar. Apabila kapasitas kolom lebih besar pada konsentrasi yang lebih

rendah, bagian eluen dengan konsentrasi yang lebih rendah akan bergerak lebih

lambat dari pada bagian dengan konsentrasi solut lebih tinggi, sehingga peak yang terjadi tidak simetris dengan bidang bagian depan naik dengan tajam sedangkan

bidang di bagian belakang turun dengan landai (tailing). Keadaan sebaliknya dikenal sebagai leading atau fronting. Penyebab tailing antara lain karena ketidaksesuaian antara analit dengan kolom, pengemasan kolom yang tidak seragam dan faktor yang

terjadi di luar kolom seperti pada injektor (Noegrohati, 1994).

Parameter yang digunakan untuk menilai bentuk puncak adalah peak asymmetry factor (As). Nilai As diukur pada 10% dari tinggi peak (Snyder et al.,

1997). Kolom yang baik akan menghasilkan nilai Assebesar 0,95-1,1. Cara lain untuk

(40)

5% dari tinggi peak. Peak asymmetry factor dan peak tailing factor dapat dihitung seperti pada gambar 4 berikut:

Gambar 4. PenentuanPeak AsymmetrydanPeak Tailing Factor (Snyder et al., 1997)

Residu silanol yang tidak bereaksi dengan fase diam pada saat pembuatan

karena adanya halangan sterik dapat memberikan kepolaran yang tidak dikehendaki

dan dapat menyebabkan pengekoran puncak kromatogram. Hal ini terjadi karena

analit lebih terdistribusi dalam fase diam. Untuk mengurangi gugus silanol yang

masih bebas, perlu dilakukan pengikatan dengan trimetilklorosilan yang dapat

mencapai gugus silanol karena ukurannya lebih kecil dibandingkan organoklorosilan

lain. Penambahan trimetilklorosilan dapat menutupi gugus silanol yang bebas dalam

jumlah yang cukup banyak, namun tidak semua gugus dapat tertutupi (Gritter et al.,

1985; Skoog et al., 1998).

Distribusi analit dalam fase gerak dan fase diam pada saat terjadinya tailing

(41)

Gambar 5. Distribusi dalam fase diam dan fase gerak (Kuwana, 1980)

6. Analisis Kualitatif dan Kuantitatif

Selain sebagai metode utama untuk memisahkan senyawa dalam sampel,

KCKT juga digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif senyawa yang telah

dipisahkan. Berdasarkan kromatogram diperoleh informasi mengenai waktu retensi

suatu senyawa. Waktu retensi ini spesifik untuk tiap senyawa sehingga dapat

digunakan sebagai salah satu dasar uji kualitatif (Noegrohati, 1994). Analisis

kualitatif bertujuan untuk membuktikan ada tidaknya senyawa tertentu dalam sampel

dengan cara membandingkan waktu retensi senyawa murni dengan waktu retensi

senyawa yang dimaksud dalam sampel (Gritter et al., 1985).

(42)

luas area peak lebih disukai dibanding pengukuran berdasarkan tinggi peak karena tidak terpengaruh oleh pelebaranpeak(Noegrohati, 1994).

E. Parameter Validasi Metode Analisis

Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter

tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter

tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004).

Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi

metode analisis antara lain akurasi, presisi, selektivitas, linearitas dan rentang,limit of detectiondanlimit of quantitation.

1. Akurasi

Akurasi atau kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan

hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Akurasi dinyatakan dengan persen

perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan (Harmita, 2004).

Kriteria % perolehan kembali yang diijinkan pada setiap konsentrasi analit

pada matriks dapat dilihat pada table II di bawah ini:

Tabel II. Kriteria %recoveryyang diijinkan (Harmita, 2004)

Analit pada matrik

(43)

2. Presisi

Presisi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji

individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur

diterapkan secara berulang-ulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran

yang homogen. Presisi seringkali diukur sebagai persen Relative Standard Deviation

(RSD) atauCoefficient of Variation(CV) (Harmita, 2004).

Kriteria presisi diberikan jika metode memberikan nilai CV 2% atau kurang.

Akan tetapi nilai ini fleksibel tergantung pada kadar analit yang terdapat dalam

sampel yang dianalisis (Harmita, 2004). Kriteria presisi berdasarkan nilai CV yang

diijinkan pada setiap konsentrasi analit pada matriks dapat dilihat pada table III di

bawah ini:

Tabel III. Kriteria presisi yang diijinkan untuk konsentrasi analit yang berbeda (Yuwono dan Indrayanto, 2005)

(44)

3. Selektivitas

Selektivitas merupakan kemampuan suatu metode untuk mengukur dengan

akurat respon analit diantara seluruh komponen sampel yang mungkin ada dalam

matriks sampel (Mulja dan Hanwar, 2003).

4. Linearitas dan rentang

Linearitas merupakan kemampuan suatu metode (pada rentang tertentu)

untuk mendapatkan hasil uji yang secara langsung proporsional dengan konsentrasi

analit di dalam sampel (Anonim, 2007). Suatu metode dikatakan memiliki linearitas

yang baik jika nilai koefisien korelasi (r) > 0,99 atau R2> 0,997 (Chan et al., 2004).

Rentang adalah jarak antara level terbawah dan teratas suatu metode analisis

yang telah dipakai untuk mendapatkan presisi, akurasi dan linearitas yang bisa

diterima (Anonim, 2007).

5. Limit Of Detection(LOD) danLimit Of Quantitation(LOQ)

LOD adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang

masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko. LOD merupakan

parameter uji batas (Harmita, 2004). LOQ adalah kadar terkecil dari suatu analit yang

masih dapat dianalisis dengan hasil yang tetap memenuhi syarat akurasi dan presisi

(45)

LOD dan LOQ dapat dihitung dengan rumus:

a. Limit Of Detection

=3 /

b. Limit Of Quantitation

=10 /

Dengan Sy/x adalah simpangan baku, dan Sl adalahslopeatau nilai b pada persamaan

garis y = bx + a (Harmita, 2004).

F. Landasan Teori

Metode KCKT digunakan dalam penetapan kadar aspartam dalam sampel

minuman serbuk beraroma berdasarkan perbedaan interaksi aspartam dan senyawa

lain dalam sampel terhadap fase diam dan fase gerak yang digunakan. Metode

KCKT yang digunakan dipilih fase terbalik karena aspartam bersifat polar sehingga

memiliki afinitas yang lebih besar pada fase gerak. Sistem KCKT fase terbalik yang

digunakan perlu diketahui kondisi optimalnya sehingga dapat memberikan hasil yang

(46)

G. Hipotesis

Dari rumusan permasalahan, dapat disusun hipotesis sebagai berikut:

Metode KCKT fase terbalik dengan fase diam C-18 dan fase gerak asetonitril : bufer

fosfat pH 4 (20 : 80 v/v) yang digunakan dalam penetapan kadar aspartam dalam

minuman serbuk beraroma memiliki validitas yang baik dilihat dari dari akurasi,

(47)

27

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini termasuk penelitian eksperimental deskriptif.

B. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas

Variabel bebas yaitu variabel yang direncanakan untuk diberi pengaruhnya

terhadap variabel tergantung. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah

perbandingan fase gerak yang digunakan yaitu asetonitril : bufer fosfat pH 4 danflow rateyang digunakan.

2. Variabel tergantung

Variabel tergantung yaitu titik permasalahan pada penelitian. Variabel

tergantung pada penelitian ini adalah nilai akurasi, presisi, linearitas dan rentang,

selektivitas/spesifikasi,Limit Of Detection,Limit Of Quatitation.

3. Variabel terkendali

Variabel terkendali yaitu variabel yang secara teoritis mempunyai pengaruh

(48)

penelitian ini adalah kemurnian pelarut yang digunakan. Untuk mengatasinya

digunakan pelarut yang memiliki kemurnian tinggi yaitu pelarutpro analysis.

C. Bahan-bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspartam kualitasworking standard(The NutraSweet Company) denganCertificate of Analysis(CoA) terlampir pada lampiran 1, KH2PO4, asam fosfat dan, metanol (p.a. Merck), akuabides (PT.

Ikapharmindo Putramas).

D. Alat-alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat KCKT yang

terdiri dari pompa merek Shimadzu LC-10 AD, detektor UV Vis merek Shimadzu

SPD 10 AV, CBM 101 merekShimadzu, seperangkat komputer merekACER, printer merek Hewlett Packard Deskjet 670 C, Injektor jenis katup suntik model 77251, kolom C-18 merekKromasil 4,6 mm x 25 cm , syringe merek Hamilton Part, alat

(49)

E. Tata Cara Penelitian 1. Optimasi Metode KCKT

a. Penentuan panjang gelombang pengamatan. Timbang seksama lebih

kurang 4 mg baku aspartam kemudian dilarutkan dalam akuabides hingga volume 10,0

mL. Kemudian diambil sebanyak 0,5 mL kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur

10,0 mL dan diencerkan dengan akuabides hingga tanda. Larutan ini dibaca

absorbansinya pada panjang gelombang 190-260 nm dengan spektrofotometri UV.

Kemudian diperoleh kurva hubungan panjang gelombang dan absorbansi aspartam.

b. Pembuatan fase gerak. Fase gerak yang digunakan dalam penelitian ini

adalah campuran bufer fosfat pH 4 dan asetonitril dengan perbandingan 95 : 5; 90 : 10;

85 : 15 dan 80 : 20 (v/v). Bufer fosfat dibuat dengan melarutkan 0,85 g KH2PO4dalam

akuabides hingga volume 500,0 mL kemudian ditambahkan beberapa tetes asam fosfat

sampai pH 4. Masing-masing perbandingan fase gerak dibuat sesuai volume yang

dibutuhkan kemudian digojog dan disaring dengan penyaring Whatmann organik dengan bantuan pompa vakum lalu didegassingselama 15 menit.

c. Pembuatan larutan stok aspartam. Larutan stok dibuat dengan cara

menimbang seksama lebih kurang 10 mg baku aspartam kemudian dilarutkan dalam

fase gerak asetonitril : bufer fosfat pH 4 hingga volume 50,0 mL.

d. Pembuatan larutan baku aspartam 4 mg/100 mL. Larutan stok aspartam

dipipet sebanyak 2,0 mL kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 mL dan

(50)

e. Pembuatan larutan sampel. Timbang seksama kurang lebih 0,686 g

sampel, diencerkan dengan fase gerak hingga 10,0 mL. Pipet 2,0 mL masukkan ke

dalam labu ukur 10,0 mL dan encerkan dengan fase gerak hingga tanda. Larutan

tersebut disaring denganMilliporedan didegassingselama 15 menit.

f. Pengamatan waktu retensi aspartam. Aspartam dengan konsentrasi 4

mg/100 mL dipipet sejumlah 1,0 mL disaring dengan millipore dan didegassing

menggunakanultrasonic bathselama 15 menit. Larutan diinjeksikan sejumlah 50 µ L ke KCKT dengan fase gerak dan flow rate tertentu serta detektor di set pada panjang gelombang pengamatan. Berdasarkan kromatogram diamati waktu retensi aspartam.

g. Optimasi fase gerak untuk KCKT. Fase gerak yang digunakan adalah

campuran asetonitril : bufer fosfat pH 4 dengan perbandingan 20 : 80 ; 15 : 85 ; 10 : 90

; dan 5 : 95 (v/v). Masing-masing perbandingan fase gerak dibuat sesuai dengan

volume yang dibutuhkan kemudian digojog dan disaring dengan penyaring Whatmann

anorganik dengan bantuan pompa vakum. Fase gerak kemudian didegassingselama 15 menit menggunakanultrasonicator.Dipilih perbandingan fase gerak yang memberikan pemisahan terbaik.

h. Optimasi flow rate untuk KCKT. Optimasi flow rate menggunakan fase gerak asetonitril : bufer fosfat pH 4 (20 : 80) yang memberikan pemisahan terbaik.

(51)

yang memberikan kromatogram paling baik berdasarkan waktu tambat (tR), HETP, dan

jumlah pelat teori (N).

2. Verifikasi Sistem

a. Verifikasi akurasi pompa. Alirkan fase gerak asetonitril : bufer fosfat pH 4

(20 : 80) pada fllow rate 1 mL/menit kemudian ditampung pada labu ukur 10,0 mL dengan merek dan ketelitian yang sama. Lakukan sebanyak 7 kali. Catat waktu yang

diperlukan untuk menampung 10,0 mL fase gerak dalam labu. Hitung nilai CV dari waktu yang diperlukan untuk menampung 10,0 mL fase gerak dan hitung % perbedaan

nilaiflow ratehasil pengukuran dengan nilaiflow rateyang diatur pada alat. Perbedaan nilaiflow rate yang diijinkan adalah฀1% (Lam, 2009).

b. Verifikasi presisi sistem injeksi. Larutan baku 4 mg/100 mL aspartam

diinjeksikan sebanyak 7 kali ke dalam sistem KCKT dengan fase gerak asetonitril :

bufer fosfat pH 4 dengan perbandingan 20:80 danflow rate1,4 mL/menit. Hitung nilai

(52)

3. Validasi Metode

a. Pembuatan seri larutan baku aspartam. Seri larutan baku aspartam dibuat

dengan memipet 1,0; 1,5; 2,0; 2,5; dan 3,0 mL larutan stok aspartam kemudian

dimasukkan dalam labu ukur 10,0 mL dan diencerkan hingga tanda sehingga diperoleh

seri konsentrasi larutan baku aspartam 2,0; 3,0; 4,0; 5,0; dan 6,0 mg/100 mL.

b. Pembuatan kurva baku. Seri larutan baku 2,0; 3,0; 4,0; 5,0 dan 6,0 mg/mL

disaring dengan millipore dan didegassing menggunakan ultrasonic bath selama 15 menit. Larutan diinjeksikan sejumlah 50 µL ke KCKT dengan flow rate fase gerak yang optimum dan detektor di set pada panjang gelombang 214 nm.Berdasarkan

kromatogram dilihat AUC pada waktu retensi yang sesuai dengan waktu retensi

aspartam. Dibuat kurva regresi linear yang menyatakan hubungan antara kadar

aspartam lawan nilai AUC, kemudian ditentukan persamaan garis regresi linear serta

nilai koefisien korelasinya, dan nilai tersebut akan diterima apabila lebih dari 0,99

(Chan et al., 2004).

c. Recovery kurva baku. Timbang seksama kurang lebih 10 mg baku aspartam kemudian dilarutkan dengan fase gerak hingga volume 50,0 mL. Dari larutan

tersebut diambil sebanyak 1,0; 2,0; dan 3,0 mL kemudian masing-masing dimasukkan

dalam labu ukur 10,0 mL dan diencerkan dengan fase gerak hingga tanda. Larutan

(53)

sejumlah tiga kali sehingga diperoleh sembilan data. Berdasarkan kromatogram dilihat

AUC pada waktu retensi sesuai dengan dengan waktu retensi aspartam. Kadar aspartam

dihitung dengan memasukkan nilai AUC ke persamaan kurva baku yang diperoleh

yang memenuhi syarat linearitas.

F. Analisis Hasil

Validasi metode analisis yang digunakan dalam penetapan kadar aspartam

pada penelitian ini dapat ditentukan berdasarkan parameter selektivitas, linearitas dan

rentang, akurasi, presisi,limit of detectiondanlimit of quantitation. 1. Selektivitas

Selektivitas dinyatakan dengan mengukur kemampuan memisah antara peak

aspartam dengan peak senyawa lain yang paling dekat dengan peak aspartam.

2. Linearitas dan rentang

Linearitas dilihat dari nilai koefisien korelasi (r) hasil pengukuran seri larutan

baku aspartam. Suatu metode dikatakan memiliki linearitas yang baik jika nilai r >

0,99 atau r2> 0,997 (Chan et al., 2004). Rentang ditentukan dari kadar aspartam yang

digunakan dalam analisis, mulai dari kadar terendah hingga tertinggi yang dapat

(54)

3. Akurasi

Akurasi metode analisis dinyatakan dengan % perolehan kembali (recovery) yang dihitung dengan cara sebagai berikut:

% perolehan kembali (recovery) = x100%

sebenarnya

metode analisis dikatakan memiliki akurasi yang baik apabila % perolehan kembali

aspartam baku berada pada rentang 98-102% (Yuwono dan Indrayanto, 2005) dan %

perolehan kembali sampel aspartam berada pada rentang 95-105% (Mulja dan Hanwar,

2003).

4. Presisi

Presisi metode analisis dinilai berdasarkan Coefficient of Variation yang dihitung dengan cara sebagai berikut:

x100%

dengan SD adalah simpangan baku, metode analisis dikatakan baik jika nilai CV 

(55)

5. LOD (Limit Of Detection) dan LOQ (Limit Of Quantitation) LOD dan LOQ dapat dihitung menggunakan rumus:

LOD =

b x Sy

3

LOQ =

b x Sy

10

Dimana Sy merupakan simpangan baku residual yang diperoleh melalui akar

(56)

36

A. Optimasi Metode 1. Penentuan Panjang Gelombang Pengamatan

Aspartam memiliki gugus kromofor yang pendek dan tidak memiliki gugus

auksokrom yang bertanggung jawab dalam memberikan absorbansi gelombang

elektromagnetik seperti yang ditunjukkan pada gambar 6.

O

O

NH H2N

HO

O

O

(57)

Kurva serapan

Gamba

Gambar 7 menunjuk

adalah 206 nm. N

pengamatan pada 21

dilakukan Nollet (20

gelombang 214 nm,

menurut Snyder at

gelombang maksimum

2. Optimasi Fase G

Fase gerak y

pemisahan aspartam d

an aspartam dapat terlihat seperti pada gambar b

bar 7. Spetrum panjang gelombang maksimum aspar

jukkan bahwa panjang gelombang serapan m

Namun, pada penelitian ini digunakan pa

214 nm untuk menyamakan dengan peneli

(2000). Hal ini tidak menjadi masalah kar

, aspartam masih memberikan serapan yang

at al. (1997) pengukuran bisa dilakukan ti

um dengan syarat nilai koefisien korelasi meme

e Gerak

yang digunakan pada penelitian ini meng

dan produk degradasinya secara KCKT men

r berikut ini:

ng tinggi. Selain itu,

tidak pada panjang

menuhi persyaratan.

engacu pada metode

(58)

by HPLC (Nollet, 2000). Dalam metode tersebut fase gerak yang digunakan adalah bufer fosfat 12,5 mM pH 3,5 : asetonitril dengan perbandingan 90 : 10 dan 85 : 15.

Pada penelitian ini, fase gerak yang dioptimasi adalah bufer fosfat : asetonitril

dalam beberapa perbandingan yaitu 95 : 5; 90 : 10; 85 : 15 dan 80 : 20. Selain itu,

juga dilakukan optimasiflow ratefase gerak yang digunakan. Optimasi ini dilakukan untuk mengetahui komposisi mana yang paling baik digunakan dalam penetapan

kadar aspartam.

Dalam penelitian ini bufer fosfat dibuat dari campuran garam kalium

dihidrogen fosfat dan asam fosfat, dan diatur pada pH 4 karena aspartam dalam

bentuk larutan stabil pada range pH 3-5 dan stabilitas yang paling optimum adalah ketika berada pada pH 4,3 (Nollet, 2000). Campuran fase gerak bufer fosfat dan

asetonitril bersifat polar sedangkan fase diam yang digunakan yaitu Kromasil-C18

bersifat non polar. Dengan demikian sistem kromatografi dalam penelitian ini adalah

kromatografi pasrtisi fase terbalik dimana fase gerak yang digunakan bersifat lebih

polar dari fase diamnya.

Pada kromatografi fase terbalik, ionisasi analit harus diminimalkan. Analit

yang terion (gambar 8) menyebabkan waktu retensinya menjadi sangat singkat karena

analit bersifat terlalu polar dan tidak berinteraksi dengan fase diam yang bersifat non

polar. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan bufer fosfat sebagai pelarut dan

fase gerak untuk mencegah agar aspartam tidak mengalami ionisasi dan tetap dapat

(59)

O

Gambar 8. Reaksi ionisasi aspartam dengan pengaruh asam (a) dan reaksi ionisasi aspartam

dengan pengaruh basa (b)

Stabilitas aspartam dalam larutan dipengaruhi oleh pH. Pada kondisi pH yang

tidak sesuai aspartam akan terdegradasi menjadi produk-produk lain yang memiliki

sifat yang berbeda dengan senyawa induknya sehingga dapat mempengaruhi

analisisnya. Oleh karena itu, penggunaan bufer fosfat pH 4 juga dimaksudkan untuk

mempertahankan pH pelarut dan fase gerak sehingga aspartam tetap dalam kondisi

yang stabil dan tidak mengalami degradasi. Mekanisme degradasi aspartam dapat

(60)

O

Gambar 9. Degradasi aspartam (Anonim, 1988)

Optimasi yang dilakukan pertama kali adalah optimasi perbandingan

komposisi fase gerak bufer fosfat pH 4 : asetonitril. Perbandingan yang dioptimasi

adalah 95 : 5; 90 : 10; 85 : 15 dan 80 : 20 (v/v). Pada optimasi perbandingan fase

(61)

Gambar 10. K

Gambar 11. K

. Kromatogram optimasi fase gerak bufer fosfat pH 4

. Kromatogram optimasi fase gerak bufer fosfat pH 4

pH 4 : asetonitri (95 : 5)

(62)

Gambar 12. K

. Kromatogram optimasi fase gerak bufer fosfat pH 4

: Varian Shimadzu LC-10 AD

: Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5μm : bufer fosfat pH 4 : asetonitril (80:20) : 1,4 mL/menit

: 0,01/7

: baku 4,0 mg/100 mL : UV 214 nm

. Kromatogram optimasi fase gerak bufer fosfat pH 4

n kromatogram pada gambar 10-13 dapat d

erbandingan komposisi fase gerak 95 : 5; 90

4 : asetonitri (85 : 15)

4 : asetonitri (80 : 20)

dilihat bahwa peak

(63)

mengalami tailing. P

. Pada komposisi fase gerak dengan perbandin

gga dapat disimpulkan bahwa fase gerak denga

memberikan hasil yang paling baik. Namun s

cepatan alir terlebih dahulu dilihat hasil pemisa

enggunakan fase gerak tersebut. Hasilnya

: Varian Shimadzu LC-10 AD

: Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5μm : buffer fosfat pH 4 : asetonitril (95:5) : 1,4 ml/menit

: 0,01/7 : sampel : UV 214 nm

Kromatogram pemisahan aspartam pada sampel deng fosfat pH 4 : asetonitril (80 : 20)

dingan 80 : 20 tidak

ngan perbandingan 80

sebelum dilanjutkan

isahan aspartam pada

a dapat dilihat pada

(64)

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa pemisahan aspartam pada sampel

dengan fase gerak buffer fosfat pH 4 : asetonitril (80 : 20) memberikan hasil yang

baik dengan nilai resolusi 3,8875. Nilai tersebut memenuhi syarat dimana pemisahan

dikatakan baik jika nilai resolusi lebih besar atau sama dengan 2. Sehingga komposisi

tersebut yang akan dipilih sebagai fase gerak yang paling baik yang selanjutnya akan

dioptimasiflow ratenya.

Flow rate yang dioptimasi adalah 0,6; 0,8; 1,0; 1,2 dan 1,4 mL/menit. Hasil optimasi flow rate ini akan digunakan untuk menghitung nilai lempeng teoritis (N) danHETPsehingga dapat diketahuiflow rateyang paling optimum berdasarkan teori

Van Deemter yaitu yang memiliki nilai HETP paling kecil dan nilai N yang paling besar. Contoh perhitungan nilai N dan HETP dapat dilihat pada lampiran 2.

Hasil optimasi flow rate fase gerak bufer fosfat pH 4 : asetonitril (80 : 20) dapat dilihat dalam tabel IV.

Tabel IV. Hasil optimasiflow ratefase gerak bufer fosfat pH 4 : asetonitril (80 : 20)

Flow rate

(mL/menit)

Lempeng teoritis

(N) HETP (10

-3) tR (menit)

0,6 13.363,21 1,87 12,077

0,8 10.460,69 2,40 9,180

1,0 9.951,86 2,50 7,479

1,2 6.943,2 3,60 6,247

1,4 8.147,04 3,07 5,414

(65)

Gambar 15. Kurvaflow rate vs HETPfase gerak bufer fosfat pH 4 : asetonitril (80 : 20)

Berdasarkan data optimasi flow rate diperoleh flow rate 0,6 mL/menit yang memiliki nilai N paling besar dan nilaiHETPyang paling kecil. Namun karena waktu retensinya relatif panjang yaitu 12,077 menit, maka flow rate tersebut tidak dipilih karena kurang efisien. Dengan demikian, untuk mendapatkan pemisahan yang efisien,

flow rate yang dipilih adalah 1,4 mL/menit karena waktu retensinya yang paling singkat namun masih memberikan pemisahan yang baik dimana peak aspartam

terpisah dengan peak senyawa lain pada sampel (gambar 14). Selanjutnya, analisis

aspartam pada penelitian ini menggunakan fase gerak bufer fosfat pH 4 : asetonitril

(80 : 20) denganflow rate1,4 mL/menit.

0

(66)

3. Pengamatan Wa

Karena waktu

waktu retensi dapat d

waktu retensi senyaw

tu retensi untuk masing-masing senyawa bers

t digunakan untuk analisis kualitatif dengan ca

awa pada sampel dengan waktu retensi seny

hasil pengamatan waktu retensi baku aspartam

: Varian Shimadzu LC-10 AD

: Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5μm : bufer fosfat pH 4 : asetonitril (80:20) : 1,4 mL/menit

: 0,01/7

: baku aspartam 4,0 mg/100 mL : UV 214 nm

togram waktu retensi baku aspartam dengan fase ger fosfat PH 4 (20 : 80) danflow rate1,4

atogram tersebut aspartam ditunjukkan oleh

nsi 5,118 menit. Berdasarkan data presisi injek

A

ersifat spesifik, maka

cara membandingkan

nyawa baku. Berikut

tam:

gerak asetonitril : bufer

leh peak nomor 13 jeksi diperoleh waktu

(67)

retensi (tR) dari asp

bahwa peak yang b aspartam. Berdasarka

spartam berada pada range 5,009-5,237. Ma berada pada range waktu tersebut diyakin kan gambar 15 dapat dilihat bahwa waktu ret

jukkan dengan peak nomor 13, masuk ke d .

bahwa dalam sampel minuman serbuk yang d

maka dilakukan pembandingan waktu reten

tu retensi baku aspartam.

: Varian Shimadzu LC-10 AD

: Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5μm : buffer fosfat pH 4 : asetonitril (80:20) : 1,4 ml/menit

: sampel : UV 214 nm

kromatogram waktu retensi sampel dengan asetonitr (20 : 80) danflow rate1,4

tensi dari peak pada

nitril : bufer fosfat PH 4

(68)

Dari kromatogram di

ke dalam range waktu

merupakan peak dari bahwa peak tersebu penambahan baku asp

yang nantinya mengala

dari aspartam dalam s

Instrumen

di atas, terdapat satupeakdengan waktu retensi ktu retensi aspartam. Sehingga dapat diyakini b

ari aspartam di dalam sampel. Namun untuk

ebut benar merupakan peak dari aspartam aspartam ke dalam sampel yang akan diinjeks

galami penambahan luas area maupun tinggipe

sampel. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pad

: Varian Shimadzu LC-10 AD

: Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5μm : buffer fosfat pH 4 : asetonitril (80:20) : 1,4 ml/menit

: 0,01/7

: sampel + baku aspartam : UV 214 nm

romatogram waktu retensi sampel + baku aspartam

Asp

nsi 5,030 yang masuk

(69)

Pada kromatografi fase terbalik, pemisahan terjadi karena adanya perbedaan

koefisien distribusi masing-masing senyawa dalam fase gerak dan fase diam. Suatu

senyawa yang memiliki koefisien distribusi kecil akan terikat lebih kuat pada fase

geraknya dibandingkan pada fase diam. Dengan demikian, senyawa akan keluar lebih

dahulu dari kolom dan waktu retensinya relatif lebih cepat. Nilai koefisien distribusi

dipengaruhi oleh interaksi senyawa terhadap fase gerak dan fase diam. Pada

strukturnya, aspartam memiliki gugus polar dan non polar yang dapat berinteraksi

dengan fase gerak dan fase diam. Gugus polar pada aspartam akan berinteraksi

dengan fase gerak melalui ikatan hidrogen sedangkan gugus non polarnya akan

berinteraksi dengan fase diam melalui ikatan Van der Waals. Interaksi antara aspartam dengan fase gerak dapat dilihat pada gambar 19 berikut:

O

(70)

Gugus polar pada aspartam akan berinteraksi dengan fase diam melalui ikatan

Van der Waals. Ikatan ini secara sederhana dapat digambarkan seperti terlihat pada gambar 20.

Gambar 20. Ikatan aspartam dengan fase diam

B. Verifikasi Sistem KCKT

Untuk memastikan bahwa sistem yang digunakan dapat memberikan data

yang reprodusibel pada saat analisis, maka perlu dilakukan verifikasi sistem KCKT.

Beberapa uji yang biasa dilakukan untuk memastikan bahwa sistem sesuai untuk

suatu analisis antara lain verifikasi akurasi pompa dan verifikasi presisi sistem

injeksi.

1. Verifikasi akurasi pompa

Syarat kinerja dari pompa KCKT adalah kemampuannya untuk

mempertahankan ketepatan dan konsistensi laju fase gerak, yang penting untuk

menjaga stabilitas dan keterulangan pada reaksi antara analit dengan fase diam.

(71)

flow rate pompa ini dilakukan dengan menghitung waktu yang dibutuhkan untuk menampung 10 mL fase gerak. Flow rate yang terhitung kemudian dibandingkan dengan flow rate yang diatur pada sistem. Penyimpangan flow rate yang diterima adalah฀1% (Lam, 2004).

Tabel V. Data penyimpanganflow ratepada uji akurasi pompa

Berdasarkan data pada tabel V dapat dilihat bahwa % penyimpangan dari 5 kali

replikasi tidak ada satupun yang melebihi persyaratan. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa sistem pompa yang digunakan memiliki akurasi yang baik.

2. Verifikasi presisi sistem injeksi

Uji ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan suatu injektor untuk

menggambarkan jumlah yang sama dari suatu sampel yang diinjeksikan secara

berulang. Ketelitian injektor dapat ditunjukkan dengan membuat sedikitnya 6

replikasi sampel yang diinjeksikan. Coefficient of Variation (CV) data hasil injeksi kemudian dihitung untuk mengevaluasi ketelitian. CV yang diterima adalah ≤1%

untuk replikasi lebih dari 5 kali.

Berdasarkan uji presisi sistem injeksi yang dilakukan diperoleh data sebagai

(72)

Tabel VI. Hasil uji presisi sistem injeksi

Berdasarkan tabel VI dapat dilihat bahwa dari lima kali injeksi aspartam diperoleh

nilai CV yang memenuhi syarat yaitu ≤1%. Dengan demikian, dapat disimpulkan

bahwa sistem yang digunakan memiliki presisi injeksi yang baik dan dapat digunakan

untuk analisis. Perdasarkan perhitungan, range tR yang diperbolehkan yaitu 5,009-5,237. Dari lima kali injeksi tidak ada satupun tR yang keluar dari range yang dihasilkan. Range tR ini nantinya juga digunakan sebagai pedoman dalam langkah selanjutnya yaitu dalam pembuatan kurva baku dan penetapanrecoverybaku, nilai tR aspartam seharusnya tidak boleh keluar darirangeyang diijinkan.

C. Pembuatan Kurva Baku

Tujuan pembuatan kurva baku adalah untuk mendapakan persamaan regresi

linear yang selanjutkan digunakan untuk menghitung kadar aspartam untuk penetapan

recovery dan penetapan kadar sampel. Persamaan regresi linear diperoleh dari korelasi antara konsentrasi aspartam dengan luas areapeak (AUC). Agar kurva baku yang diperoleh layak ditampilkan dan memiliki sensitivitas yang baik maka nilai

AUC dibagi dengan 100000 sebagai faktor koreksi. Data kurva baku aspartam dari

(73)

Tabel VII. Data kurva baku aspartam

Pada penelitian ini digunakan 5 seri konsentrasi aspartam dengan 3 kali

replikasi. Replikasi dilakukan untuk mendapatkan nilai koefisien korelasi yang paling

baik. Persamaan kurva baku yang dipilih yaitu persamaan yang memiliki koefisien

korelasi paling mendekati 1. Suatu metode dikatakan memiliki linearitas yang baik

jika nilai r > 0,99 atau R2 > 0,997 (Chan et al., 2004). Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa ketiga persamaan tersebut memiliki linearitas yang baik dan dapat

digunakan untuk penetapan kadar aspartam dalam sampel. Persamaan kurva baku

yang dipilih untuk penetapan kadar aspartam adalah persamaan kedua, y = 1,008x +

0,462 karena memiliki koefisien korelasi yang paling baik (r paling mendekati 1).

Hubungan antara konsentrasi aspartam dengan AUC/100000 dapat dilihat pada

gambar 21.

Replikasi 1 Replikasi 2 Replikasi 3 Kadar

(74)

Gambar 21. Kurva hubungan antara konsentrasi aspartam (mg/100mL) dengan AUC/100000

D. Hasil Validasi Metode Penetapan Kadar Aspartam

Validasi metode dilakukan untuk mengetahui apakah metode KCKT yang

digunakan dalam penelitian ini memiliki validitas yang baik atau tidak untuk

penetapan kadar aspartam dengan kondisi percobaan sesuai hasil optimasi. Suatu

metode dikatakan memiliki validitas yang baik jika parameter-parameter yang

diujikan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Parameter-parameter yang

harus dipenuhi dalam penelitian kali ini adalah linearitas, presisi, akurasi, selektivitas,

LODdanLOQ.

Kadar aspartam baku (mg/100ml)

Gambar

Gambar 1. Struktur kimia aspartam
Gambar 2. Peralatan KCKT
Tabel I. Nilai indeks polaritas dan eluen strength pelarut
Gambar 3. Difusi Eddy
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kabupaten/Kota Sehat adalah suatu kondisi kabupaten/kota yang bersih, nyaman, aman dan sehat untuk dihuni penduduk, yang dicapai melalui terselenggaranya penerapan

PT Y memiliki target yaitu 100% untuk kualitas A pada keramik lantai berjenis Murano tetapi hasil produksi yang telah dicapai rata-rata hanya mencapai 93% dengan nilai sigma

Augmented Reality berbasis mobile device , mempermudah pengembang untuk membuat aplikasi yang markerless (Qualcomm, 2012). Seperti yang saat ini dikembangkan oleh perusahaan

Bahan kimia yang dilarutkan dalam air tidak dapat digunakan untuk melawan jamur gudang, dimana jamur tersebut menyerang dan menyebabkan kerusakan pada kadar yang setara

Dari penelitian yang telah dilakukan dengan analisis SWOT terkait dengan evaluasi pengembangan e-tourism di Pulau Lombok diketahui bahwa strategi yang harus

Untuk itu penulis akan membahas Pemanfaatan Augmented Reality Pada Aplikasi Home Seekers 3D Sebagai Strategi Marketing Penjualan Rumah.. Bagaimana sebuah aplikasi bisa

Melakukan prediksi tingkat pembayaran kredit merupakan hal penting karena menjadi landasan kebijakan msalah pembayaran kredit dan algoritma Naive Bayes berbasis

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh organizational citizenship behavior terhadap service quality dan dampaknya pada kepercayaan pelanggan di PT..