• Tidak ada hasil yang ditemukan

MUSIK DALAM KEHIDUPAN TRADISIONAL MASYARAKAT BATAK TOBA

3.8 Pemusik dan Stratifikasinya

Kebutuhan masyarakat Batak Toba akan jasa dan kehadiran pemusik dalam kehidupan sehari-hari tentunya tidak mungkin dilepaskan begitu saja. Pemusik dan musik yang mereka bawakan sangat dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan sosial tradisional masyarakat, khususnya dalam upacara adat. Namun walaupun demikian tidak mudah bagi masyarakat untuk menjadi seorang pemusik. Ada stratifikasi dan perubahan yang terjadi dalam pemusik Batak Toba dari tradisi gondang sabangunan sampai tradisi yang saat ini sedang populer yaitu musik tiup dan organ tunggal.

3.8.1 Jenis Kelamin Umumnya Laki-laki

Dalam penjelasan sebelumnya disampaikan bahwa dalam tradisi gondang sabangunan ada beberapa syarat yang harus diperhatikan untuk menjadi seorang pargonsi atau pemusik. Dan salah satu diantaranya adalah “ umumnya yang diberkati Mulajadi Na Bolon untuk menjadi seorang pargonsi adalah laki-laki” dengan alasan:

a. Laki-laki merupakan hasil ciptaan dan pilihan pertama Mulajadi Na Bolon.

b. Laki-laki lebih banyak memiliki kebebasan daripada perempuan, karena para pargonsi sering diundang memainkan ke berbagai daerah untuk memainkan gondang sabangunan dalam suatu upacara adat.

Pemahaman tersebut tentu tidak terlepas dari pengamatan para pendahulu tentang bagaimana sesungguhnya peran laki-laki dan wanita harus dibedakan, sehingga sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Sebagai contoh dalam sebuah upacara adat, biasanya ensambel gondang sabangunan dalam hal ini alat-alat musiknya serta pargonsi selalu diberikan tempat khusus yang lebih tinggi dari tempat para peserta upacara lainnya. Sementara pada masa itu perempuan masih menggunakan sarung tidak seperti saat ini sudah bebas memakai celana. Oleh karena itu sangat lah tidak sopan dan tidak etis apabila ada seorang perempuan yang menjadi pargonsi dan duduk di tempat tersebut sementara dia menggunakan sarung. Dan tentu saja masih ada pertimbangan lain yang membuat ketetapan ini harus dilaksanakan yaitu alangkah baiknya apabila pemusik itu adalah laki-laki.

Namun seiring perubahan dalam konsep musik dalam Batak Toba saat ini akibat adanya akulturasi dengan budaya Barat, serta adanya emansipasi wanita yang memberikan ruang kepada para perempuan untuk belajar dan mencari kehidupan yang lebih baik seperti yang dilakukan oleh laki-laki. Maka saat ini masyarakat Batak Toba sudah memiliki pemusik wanita, walaupun memang sampai saat ini belum ada yang mampu bermain dalam sebuah ensambel gondang sabangunan, tetapi dalam ensambel lain sudah ada yang mampu melakukanya.

3.8.2 Usia Umumnya Naposo

Usia pemusik Batak Toba pada umumnya adalah naposo, dalam syarat pargonsi seperti yang dikemukakan diatas bahwa “Seseorang yang menjadi pargonsi harus sudah dewasa tetapi bukan berarti telah menikah”. Hal ini dimaksudkan bahwa pemusik tidak hanya dituntut mampu menggunakan skill atau keahlian dalam bermain musik saja, namun kondisi tubuh atau jasmani juga sangat penting diperhatikan, melihat bagaimana proses upacara-upacara adat dalam masyarakat Batak Toba sebagian besar membutuhkan waktu yang tidak singkat seperti dalam upacara saur matua,horja yang membutuhkan waktu lebih dari sehari. Sehingga masuk akal apabila pemusik Batak Toba umumnya naposo.

Namun dalam beberapa grup musik tiup, organ tunggal ataupun ensambel gondang sabangunan kita masih bisa menemukan pemusik yang sudah berusia tua, tentu saja ada berbagai alasan mengapa mereka masih bertahan sebagai pemusik. Faktor ekonomi, dan bahwa keahlian mereka sangat diperlukan adalah alasan yang memungkinkan mereka masih melanjutkan pekerjaan itu. Selain

pemusik yang berusia tua, saat ini juga kehadiran anak-anak lebih muda juga sudah memasuki dunia musik Batak Toba bahkan dalam upacara adat.

3.8.3 Fenomena Pemusik Wanita

Dalam skripsi Ruth Debora Marbun, seorang mahasiswa Etnomuskologi Universitas Sumatera Utara disampaikan bahwa ada seorang partaganing perempuan dalam upacara adat Batak Toba. Perempuan tersebut bernama Hari Anita Nainggolan yang berdomisili di Desa Lumban Barat Kecamatan Paranginan. Hari Anita seperti dijelaskan dalam skripsi tersebut mampu mendedikasikan diri sebagai pemusik dalam upacara adat Batak Toba, dan dia memberikan pengayaan budaya dalam musik Batak Toba. Tentu ada berbagai tanggapan positif maupun negatif yang muncul di masyarakat karena seperti yang disampaikan sebelumnya bahwa pemusik dalam tradisi musik Batak Toba adalah laki-laki.

Namun yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa fenomena pemusik wanita sudah muncul dalam tradisi Musik Batak Toba, selain Hari Anita ada beberapa pemusik lain yang tampil di upacara adat maupun dalam acara lainnya seperti Zulkaidah Harahap yang terkenal dengan permainan sulim dan penyanyi dalam kejayaan opera Batak, Sinta Simamora dengan permainan taganing yang saat ini bahkan sudah populer di media elektronik youtube, dan lain-lain.

Selain kehadiran pemusik wanita yang menjadi tradisi baru dalam musik Batak Toba, ada lagi hal yang lebih menarik untuk diperhatikan yaitu kehadiran anak-anak. Anak-anak dengan usia yang jauh lebih muda dari naposo sudah mampu mendedikasikan diri sebagai pemusik bahkan dalam upacara adat. Adanya kebebasan dalam menggunakan keahliannya serta peraturan yang tidak terlalu mengekang anak untuk bermain musik membuka ruang dan kesempatan bagi anak-anak Batak Toba untuk bermain musik bahkan dalam upacara adat. Cara belajar serta tanggapan masyarakat yang menerima kehadiran mereka juga menambah peluang anak-anak untuk melakukannya.

Seperti yang disampaikan oleh Martahan Sitohang, bahwa saat ini di Jakarta sudah banyak anak-anak Batak Toba yang belajar musik tradisional Batak Toba salah satunya adalah taganing. Martahan Sitohang menjadi salah satu pelatih yang saat ini sudah memiliki ratusan murid yang tersebar di wilayah Jakarta. Umumnya anak-anak yang sudah mampu diberikan kesempatan untuk tampil seperti di acara kebaktian Gereja, pentas seni dan pertunjukan musik lainnya. Pada awalnya anak-anak di Jakarta menganggap bahwa memainkan musik Batak Toba terkesan tidak bagus atau istilah anak-anak di kota besar adalah kampungan, mereka menganggap bahwa musik yang layak dimainkan adalah musik bernuansa Barat. Namun saat ini boleh dikatakan bahwa anak-anak yang bermain taganing sudah menjadikan kegiatan ini sebagai lifestyle atau gaya hidup. Melihat tradisi belajar musik (marguru) yang dipahami masyarakat Batak Toba pada zaman dulu, sangat sulit bagi seseorang untuk mahir dalam memainkan alat musik. Dimana dia harus melewati proses yang rumit dari gurunya/ pemusik

profesional sehingga akhirnya mampu bermain musik. Biasanya seorang murid dituntut memiliki kesabaran dalam menuntut dan memperoleh ilmu dari sang guru, ilmu tersebut diberikan secara lisan. Sangat berbeda dengan zaman sekarang ketika setiap orang bebas mempelajari musik melalui berbagai cara, sehingga tidak heran apabila anak-anak mampu mengenal bahkan memainkan musiknya dalam kelompok masyarakat luas, salah satu diantaranya adalah Lamsa Sihombing, seorang partaganing anak dari Desa Bahal Batu I yang akan dibahas dalam bab berikutnya.

BAB IV

Dokumen terkait