a) Tampak dalam b) Tampak luar
JESSY FERGIENA MUTIARA, C44080074. Modifikasi Konstruksi Pintu Masuk Bubu Lipat Untuk Menangkap Kepiting Bakau. Dibimbing oleh GONDO PUSPITO dan MOKHAMAD DAHRI ISKANDAR.
Kepiting bakau jenis Scylla serrata sangat disukai oleh masyarakat. Penyebabnya, rasa dagingnya enak dan kandungan nutrisinya tinggi. Biota ini umumnya ditangkap dengan bubu lipat. Konstruksi bubu lipat terdiri atas pintu masuk, badan dan rangka. Pintu masuknya hanya berupa celah. Kaki jalan dan kaki renang kepiting selalu terperosok masuk ke dalam mata jaring lintasan masuk bubu. Ini menyebabkan kepiting bakau terkadang sulit melewatinya. Pada penelitian ini dilakukan perbaikan konstruksi pintu masuk dan lintasan masuk bubu lipat agar mudah dilewati kepiting. Tujuan penelitian ini adalah 1) menentukan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu, 2) menentukan bentuk dan ukuran pintu masuk bubu dan 3) mendapatkan bubu lipat yang efektif dalam menangkap kepiting bakau. Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi 3 tahap, yaitu 1) penentuan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu, 2) penentuan konstruksi pintu masuk bubu dan 3) pengujian pintu masuk bubu atas dasar hasil percobaan sebelumnya. Penelitian ini mengggunakan metode percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lintasan masuk bubu yang terbuat dari jaring polyethylene (PE) dengan ukuran mata jaring 1 inci dan sudut kemiringan lintasan 40o lebih mudah dilewati kepiting. Pintu masuk bubu yang mudah dilewati kepiting berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 30,5×5 (cm). Jumlah kepiting yang tertangkap oleh bubu lipat modifikasi sebanyak 147 individu, sedangkan bubu lipat standar hanya 27 individu.
JESSY FERGIENA MUTIARA, C44080074. Modification of Collapsible Pot’s Entrance Construction to Catch Mud Crab. Supervised by GONDO PUSPITO and MOKHAMAD DAHRI ISKANDAR.
Mud crab (Scylla serrata) has delicious taste of meat and high content of nutrient. Those reasons that make mud crab are favored by many people. Generally, this species is caught by collapsible pots. The pot is constructed by entrance, body, and frame. The construction of the entrance in the form of a horizontal gap and cause walking legs and swimming legs sink into the mesh of entrance line. This cause the mud crabs difficult to pass. This research fixed the construction of the entrance and entrance line to make it easier to pass. This research use experimental method. The aims of this research are 1) to determine the mesh size and slope of entrance line, 2) to determine the form and size of the entrance and 3) to create an effective in-collapsible pot to catch mud crab. The implementation of research was divided into three stages, namely the determination of mesh size and slope of entrance line, entrance construction for pots and to test the performance of the entrance base on the previous research. The results showed that the entrance made of polyethylene (PE) net with specification of 1 inches of mesh with 40° of slope is easier to pass by the crab. The crabs easily infiltrate the pots with rectangular entrance shape with specification of 30,5 × 5 (cm). The number of crabs caught by modified collapsible pot as much as 147 individuals, as for the common collapsible pot only caught 27 individuals.
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Perairan Indonesia memiliki sumberdaya hayati yang melimpah, diantaranya adalah moluska, krustase, ikan dan gastropoda. Krustase merupakan organisma yang banyak diperdagangkan setelah ikan dari keempat kelompok organisma tersebut. Jenisnya adalah udang, lobster, rajungan dan kepiting bakau.
Kepiting bakau merupakan salah satu jenis krustase yang banyak diperdagangkan. Jenisnya terdiri atas Scylla serrata, S. tranquebarica, S. paramamosain dan S. olivacea (Keenan et al. 1998 diacu dalam Tuhuteru 2004).
S. serrata adalah spesies yang paling dominan dibandingkan dengan ketiga jenis lainnya (Cholik dan Hanafi 2001). Keberadaanya mudah ditemukan di berbagai perairan, seperti perairan payau yang ditumbuhi tanaman bakau, pantai, teluk dan muara sungai.
Kepiting bakau jenis S. serrata sangat disukai oleh konsumen. Penyebabnya adalah rasa daging yang enak dan kandungan nutrisinya tinggi. Informasi yang disampaikan oleh Motoh 1977 diacu dalam Tupan et al. (2005) menyebutkan bahwa kandungan protein dalam daging dan telur kepiting bakau jenis S. serrata
sekitar 67,5 - 82,6% bobot kering, sedangkan kandungan lemaknya hanya sekitar 0,9 - 8,2% bobot kering.
Hampir seluruh kepiting bakau yang dijual di pasar ditangkap oleh nelayan dari alam dengan menggunakan bubu dan jaring insang. Kondisi kepiting bakau hasil tangkapan bubu biasanya dalam keadaan hidup dan seluruh anggota tubuhnya lengkap, sehingga harga jualnya relatif tinggi. Komarudin (2012) menyatakan bahwa harga kepiting bakau di tingkat nelayan mencapai Rp 60.000,- per kg, sedangkan di swalayan sebesar Rp 30.000,- per 100-150 g. Adapun kepiting bakau hasil tangkapan jaring insang sebagian besar dalam kondisi mati dan anggota tubuhnya tidak lengkap. Ini menjadi penyebab bubu lebih disukai oleh nelayan dibandingkan dengan jaring insang.
Jenis bubu yang banyak digunakan oleh nelayan di beberapa daerah, seperti Subang, Cirebon dan Banten, adalah bubu lipat (Gambar 13). Tujuan utama penangkapannya adalah kepiting bakau atau rajungan. Adapun hasil tangkapan
sampingannya berupa beberapa jenis organisma dasar, seperti udang, lobster dan siput. Beberapa jenis ikan terkadang ikut tertangkap oleh bubu lipat.
Bubu lipat nelayan atau standar memiliki pintu masuk berbentuk celah yang dibuat tanpa adanya kajian ilmiah. Pengamatan yang dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa celah masuk bubu terkadang sangat sulit dilalui oleh kepiting bakau karena duri-duri pada karapas dan capit kepiting bakau tersangkut pada celah masuk bubu lipat. Kaki jalan dan kaki renang kepiting bakau sering terperosok masuk ke dalam mata jaring lintasan masuk bubu lipat karena ukuran mata jaring lintasan bubu lipat nelayan besar. Oleh karena itu, penentuan konstruksi pintu masuk dan lintasan masuk bubu yang meliputi ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu lipat nelayan perlu diteliti dan disesuaikan dengan tingkah laku, bentuk dan ukuran kepiting bakau. Berdasarkan alasan tersebut, maka bentuk pintu masuk bubu lipat nelayan perlu dimodifikasi agar kepiting bakau mudah melewatinya untuk masuk ke dalam bubu. Selain itu, untuk memudahkan kepiting bakau mencapai pintu masuk, maka perlu dilakukan penelitian terkait ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu. Penelitian ini terdiri atas 3 macam, yaitu penentuan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan bidang lintasan masuk bubu, konstruksi pintu masuk dan pengujian konstruksi pintu masuk.
Pustaka yang berisi kajian mengenai konstruksi bubu lipat untuk menangkap kepiting bakau sulit ditemukan. Beberapa pustaka yang terkait dengan konstruksi bubu lipat ditujukan untuk menangkap rajungan. Misalnya, tingkah laku rajungan
Charybdis japonica terhadap berbagai bentuk bubu dan tipe pintu masuk (Kim and Ko 1987 dan 1990), efektivitas perangkap rajungan dan lobster (Miller 1990), kajian selektivitas perangkap Blue crab: mesh size (Guillory dan Prejean 1997), pengaruh pintu masuk bubu dan tingkah laku rajungan C. japonica (Archdale et al. 2006) dan pengaruh konstruksi bubu lipat dan tingkah laku rajungan Charybdis japonica dan Portunus pelagicus yang ditulis oleh Archdale et al. (2007). Beberapa pustaka lain yang membahas bubu lipat untuk menangkap kepiting bakau hanya terfokus pada pengaruh jenis umpan dan waktu pengoperasian bubu lipat terhadap hasil tangkapan kepiting bakau (Scylla serrata) (Tiku 2004), celah pelolosan bubu lipat (Rusdi 2010) dan kajian mengenai perbedaan bobot dan
posisi umpan terhadap rajungan pada bubu lipat (Caesario 2011). Pustaka-pustaka tersebut dijadikan sebagai bahan acuan dalam melakukan penelitian dan pembahasan hasil penelitian ini.
1.2Tujuan
Penelitian ditujukan untuk menentukan: 1. Ukuran mata jaring lintasan masuk bubu;
2. Sudut kemiringan lintasan masuk bubu yang mudah dilewati kepiting bakau;
3. Bentuk dan ukuran pintu masuk yang disesuaikan dengan tingkah laku, ukuran
dan bentuk tubuh kepiting bakau; dan
4. Efektifitas bubu lipat modifikasi dibandingkan dengan bubu lipat standar dalam menangkap kepiting bakau.
1.3Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Untuk memperoleh konstruksi bubu lipat yang produktif dan dapat
meningkatkan hasil tangkapan kepiting bakau;
2. Sebagai bentuk kontribusi pada kekayaan alat tangkap di Indonesia; dan 3. Sebagai masukan dan referensi topik penelitian lebih lanjut dari bubu lipat
untuk menangkap kepiting bakau dalam rangka kemajuan teknologi perikanan tangkap di Indonesia.
1.4Perumusan masalah
Permasalahan yang ditemukan pada bubu lipat standar adalah sulitnya kepiting melewati lintasan masuk bubu dan melewati pintu masuk. Kaki renang dan kaki jalan kepiting bakau selalu terperosok masuk ke dalam mata jaring lintasan. Duri-duri yang terdapat pada karapas dan capit kepiting bakau sering tersangkut pada pintu masuk bubu yang hanya berupa celah. Selain itu, kepiting bakau yang berukuran kecil masih tertangkap oleh bubu standar. Oleh karena itu, konstruksi bubu perlu dimodifikasi pada beberapa bagian, yaitu ukuran mata jaring, sudut kemiringan pada lintasan masuk bubu, bentuk dan ukuran pintu masuk bubu lipat.
Hal utama yang dilakukan pada penelitian ini adalah memodifikasi pintu masuk dari segi bentuk dan ukuran pintu supaya kepiting bakau mudah masuk ke dalam bubu, khususnya kepiting bakau jenis S. serrata. Kepiting bakau jenis ini dijadikan sebagai target tangkapan utama. Alasannya adalah sering tertangkap oleh nelayan. Ini berarti, kepiting bakau jenis S. serrata paling mudah didapatkan di alam. Selain itu, harga jual jenis kepiting bakau ini lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga jenis lainnya.
Penentuan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk dimaksudkan untuk mendapatkan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu yang mudah dilewati oleh kepiting bakau saat memasuki bubu lipat. Modifikasi pintu masuk, penentuan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan bubu dimaksudkan agar kepiting tidak mengalami kesulitan saat memasuki bubu.
Keseluruhan hasil percobaan akan diaplikasikan pada bubu lipat standar sehingga diperoleh bubu lipat modifikasi. Selanjutnya, bubu lipat standar dan modifikasi diuji coba bersamaan. Tujuannya untuk menentukan efektivitas masing
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Kepiting Bakau
2.1.1 Klasifikasi kepiting bakau
Klasifikasi kepiting menurut Kordi (1997) adalah sebagai berikut:
Filum : Arthropoda;
Subfilum : Mandibula;
Kelas : Crustacea; Super ordo : Eucarida;
Ordo : Decapoda;
Subordo : Branchyura;
Famili : Portunidae;
Genus : Scylla; dan
Spesies : Scylla serrata (Gambar 1).
Gambar 1 Scylla serrata
Penamaannya di banyak tempat di daerah Indo-Pasifik sangat beragam. Kepiting adalah nama dari kepiting bakau yang dikenal di daerah Jawa, sedangkan di Sumatera, Singapura dan Malaysia dikenal dengan nama ketam batu, kepiting cina atau kepiting hijau. Masyarakat Filipina mengenal kepiting bakau dengan nama alimango, sedangkan di Australia dikenal dengan nama kepiting bakau lumpur atau kepiting bakau. Adapun masyarakat Hawai menyebutnya dengan nama
Berdasarkan faktor ekologi dan faktor fisik yang mempengaruhi perkembangan kepiting, genus Scylla diklasifikasikan menjadi tiga spesies, yaitu
S. serrata, S. oceanica dan S. tranquebarica) (Estamphador 1949 diacu dalam
Asmara 2004). Selanjutnya Keenan (1999) menambahkan bahwa atas dasar perbedaan sifat morfologi dan ekologi, kepiting bakau yang hidup di alam dikelompokkan atas empat spesies, yaitu S. serrata, S. tranquebarica, S. paramamosain dan S. olivacea (Gambar 2).
(a) S. serrata
(b) S. tranquebarica
(c) S. paramamosain
(d) S. olivacea
Sumber: Keenan (1999)
2.1.2 Morfologi kepiting bakau
Ciri kepiting bakau adalah memiliki karapas berwarna seperti lumpur atau sedikit kehijauan. Lebar karapasnya kurang lebih dua pertiga dari panjangnya. Permukaan karapas hampir licin, kecuali pada beberapa lekukan yang bergranula halus di daerah branchial. Dahi di antara kedua tangkai mata terdiri atas empat duri dengan ukuran panjang yang hampir sama. Pada bagian kiri dan kanan (anterolateral) karapas terdapat duri tajam sebanyak sembilan buah dan berukuran hampir sama. Sudut pots-lateral di bawah duri anterolateral melengkung dan bagian sambungan ruas menebal (Moosa et al. 1985 diacu dalam Tuhuteru 2004). Kepiting bakau memiliki 5 pasang kaki yang terletak pada bagian kiri dan kanan tubuhnya. Urutannya adalah sepasang capit, 3 pasang kaki jalan dan sepasang kaki renang. Setiap kaki terdiri atas 6 ruas yang secara berturut-turut dari bagian dekat tubuh ke arah luar disebut coxa, basi-ischium, merus, carpus,
propondus dan dactylus (Gambar 3) (Siahainenia 2008).
(a) Cheliped
(b) Kaki jalan
(c) Kaki renang
Sumber: Siahainenia (2008)
Capit kepiting jantan dewasa memiliki panjang hampir dua kali panjang karapasnya, sedangkan capit betina dan jantan muda lebih pendek. Pada tepi
anterior merus terdapat tiga duri kokoh. Bagian luar anterior merus berbentuk bulat dan kadang-kadang dilengkapi dengan satu atau dua duri kecil. Propodus
memiliki tiga duri atau bentol. Satu diantaranya terletak di muka persendian karpus dan dua lainnya terletak bersisian dengan persendian daktilus (Chairunnisa 2004). Menurut Siahainenia (2008), capit sangat berfungsi ketika kepiting makan. Struktur capit sangat kokoh, terutama pada bagian chela,dilengkapi dengan duri- duri tajam dan kuat yang umumnya digunakan untuk mencabik-cabik makanan dan memasukannya ke dalam mulut. Selain itu, capit juga digunakan untuk pertahanan diri.
Tiga pasang kaki selain capit disebut kaki jalan yang berfungsi untuk berjalan selama kepiting bakau berada di darat dan juga berguna saat reproduksi, terutama pada kepiting jantan. Pada proses percumbuan, kaki jalan digunakan oleh kepiting jantan untuk mendekap kepiting betina di bagian bawah tubuhnya, sehingga tubuh mereka menyatu. Posisi ini disebut doubllers. Pada kepiting betina, kaki berfungsi untuk membantu proses penetasan telur. Kepiting bakau betina yang sedang berkontraksi akan berdiri dengan menggunakan kedua capitnya, sedangkan bagian dactylus pada kaki jalan terakhir (kaki jalan ke-2 dan ke-3) digunakan untuk menggaruk zygote secara terus-menerus sehingga butiran- butiran telur terurai dan terlepas dari rambut-rambut pleopod (Siahainenia 2008). Kaki renang adalah sepasang kaki terakhir yang terdapat pada bagian ujung abdomen. Bentuknya agak membulat dan lebar. Bagian dactylus dan propondus
berbentuk pipih. Fungsi kaki renang ini adalah sebagai alat bantu semacam dayung pada saat berenang (Siahainenia 2008).
Menurut Siahainenia (2008), mulut terletak pada bagian ventral tubuh, tepatnya berada di bawah rongga mata dan di atas tulang rongga dada. Mulut kepiting bakau terdiri atas tiga pasang rahang tambahan (maxilliped) yang berbentuk lempengan. Nama setiap bagian mulut berturut-turut dari bagian terdekat dengan rongga mulut ke arah luar adalah maxilliped I, maxilliped II,
maxilliped III dan rongga mulut. Ketiga pasang maxilliped menutup rongga mulut yang diduga berfungsi untuk mencegah lumpur atau air masuk ke dalam rongga
mulut. Rongga mulut kepiting, menurut Siahainenia (2008), selalu dalam keadaan terbuka.
Kepiting memiliki sepasang antena yang berada pada bagian dahi karapas, yaitu di antara kedua rongga mata. Antena berfungsi untuk mendeteksi adanya bahaya melalui gerakan angin (Kasry 1996). Antena merupakan organ peraba dan perasa yang dapat mendeteksi secara detail perubahan pergerakan air dan kimia air (Phelan et al. 2005 diacu dalam Siahainenia 2008).
Kepiting memiliki sepasang mata. Mata kepiting dilindungi oleh dinding rongga mata yang menyerupai duri-duri besar yang kokoh dan terletak pada bagian dahi karapas. Bila dalam keadaan terancam, tangkai mata akan ditempelkan rapat-rapat ke dalam rongga mata sehingga hanya tampak duri-duri yang kokoh tersebut (Siahainenia 2008). Gambar 4 menunjukkan morfologi tubuh kepiting dan Tabel 1 menjelaskan ciri-ciri morfologi dari keempat jenis kepiting bakau (Keenan et al. 1998 diacu dalam Tuhuteru 2004). Perbedaan bentuk morfologi keempat jenis kepiting bakau terletak pada bentuk duri di antara mata dan keberadaan duri pada korpus (Gambar 5) (Keenan 1999).
Gambar 4 Morfologi kepiting bakau
Keterangan:
1 : Frontal spine; 9 : Walking legs; 2 : Antenna; 10 : Carapace length; 3 : Eye; 11 : Carapace width; 4 : Carpus; 12 : Carapace; dan 5 : Propodus; 13 : Swimming legs; 6 : Dactylus; 14 : Cheliped;
7 : Claw or Chela; 15 : Lateral spine; dan 8 : Merus; 16 : Pollex. 1 4 5 6 7 8 2 3 9 10 11 12 13 14 15 16
Tabel 1 Ciri - ciri morfologi kepiting bakau
Uraian Jenis kepiting bakau
S. serrata S. tranquebarica S. paramamosain S. olivacea Warna Ungu, hijau
kecoklatan kehitaman Ungu, hijau kecoklatan kehitaman Ungu, hijau kecoklatan/kehitaman Oranye, coklat/hitam Duri pada dahi Agak runcing, besar Tumpul, cukup besar dan lebar
Runcing berbentuk segitiga Kecil dan tumpul Duri di luar karpus Sepasang duri menonjol Sepasang duri menonjol
Duri menghilang atau sangat kecil dan tumpul Duri hilang atau sedikit kelihatan Duri di luar propodus Besar dan keduanya jelas Besar dan keduanya jelas
Sedang dan runcing Menghilang, tumpul dan menempel
S. serrata S. paramamosain
S. tranquebarica S. olivacea
Sumber: Keenan (1999)
2.1.3 Perbedaan kepiting bakau jantan dan betina
Membedakan jenis kelamin dari kepiting bakau jantan dan betina dapat dilakukan dengan mengamati bentuk luar tubuhnya. Hal ini dituturkan oleh Moosa et al. (1985) diacu dalam Rosmaniar (2008) yang menyebutkan bahwa organ kelamin kepiting jantan berbentuk segitiga agak runcing yang menempel di bagian perutnya, sedangkan organ kelamin kepiting betina berbentuk segitiga yang relatif lebar dan bagian depannya agak tumpul. Cara lain membedakan jenis kelamin kepiting adalah dengan memperhatikan ruas-ruas abdomennya. Ruas abdomen kepiting jantan jauh lebih sempit dibandingkan dengan ruas abdomen kepiting betina (Gambar 6).
(a) S. serrata betina (b) S. serrata jantan Gambar 6 Abdomen kepiting bakau betina dan jantan
2.2 Habitat Kepiting Bakau
Habitat kepiting bakau sebagian besar berada di hutan-hutan bakau perairan Indonesia. Spesies ini adalah spesies khas yang berada di kawasan bakau. Kepiting bakau yang masih berupa juvenil lebih suka membenamkan diri ke dalam lumpur sehingga jarang terlihat di daerah bakau. Juvenil kepiting bakau lebih menyukai tempat-tempat terlindung, seperti alur-alur air laut yang menjorok ke daratan, saluran air, di bawah batu, di bentangan rumput laut dan di sela-sela akar pohon bakau (Kanna 2002).
Hutan mangrove adalah daerah yang umumnya banyak dihuni kepiting bakau (Kordi 1997). Daerah berlumpur dan tepian muara sungai juga banyak ditemukan kepiting (Arriola 1940 diacudalam Kasry 1985). Kepiting bakau tidak jarang tertangkap di luar bakau (Mossa et al. 1985 diacudalam Rusdi 2010).
2.3 Distribusi Kepiting Bakau
Kepiting bakau memiliki sebaran geografis yang sangat luas, meliputi pantai Timur Afrika, India, Srilangka, Indonesia, Filipina, Thailand, Cina, Taiwan, Jepang, Papua Nugini, Australia dan pulau-pulau di utara Selandia Baru. Kepiting bakau ditemukan di daerah air payau dan sebagian besar tertangkap di wilayah pesisir Indonesia (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya) (Sulistiono et al. 1994 diacu dalam Asmara 2004).
Penyebaran kepiting bakau yang luas menyebabkan timbulnya daerah yang menjadi pusat pengusahaan kepiting bakau. Hal ini berhubungan dengan habitat kepiting yang masih baik. Daerah-daerah yang dimaksud, antara lain terdapat di selatan Jawa (Cilacap), utara Jawa (Tanjung Pasir, Pamanukan), barat Sumatera (Bengkulu, Riau), timur Kalimantan (Kota Baru, Pasir, Balikpapan), Sulawesi (Teluk Bone, Teluk Kolono, Kendari), Nusa Tenggara Barat (Teluk Waworada, Teluk Bima) dan Irian Jaya (Teluk Bintuni, Biak Numfor) (Asmara 2004).
2.4Siklus Hidup Kepiting Bakau
Kepiting bakau mengalami beberapa fase pertumbuhan, antara lain fase
zoea, megalopa, kepiting muda dan kepiting dewasa. Selain itu, kepiting juga mengalami beberapa kali proses pergantian kulit (moulting) (Gambar 7). Tubuhnya akan menjadi lebih besar setelah mengalami proses moulting. Larva tingkat I (Zoea I) muncul setelah telur menetas. Larva akan berganti kulit secara terus menerus sambil terbawa arus pantai sebanyak lima kali (Zoea V). Selanjutnya, larva akan berganti kulit lagi menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa. Bagian yang masih tersisa adalah ekor yang panjang (Tiku 2004).
Sumber: Phelan dan Grubert (2007)
Gambar 7 Kepiting bakau yang sedang moulting
Kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke perairan laut. Induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan bakau untuk berlindung, mencari makan atau membesarkan diri. Kepiting melakukan perkawinan di perairan bakau, selanjutnya secara perlahan-lahan kepiting betina akan beruaya dari perairan bakau ke tepi pantai. Apabila telah mencapai ke tengah laut, maka kepiting akan berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok sebagai tempat untuk memijah, khususnya terhadap suhu dan salinitas air laut (Kasry 1991). Kepiting pada tingkat megalopa mulai beruaya menuju pantai melewati muara sungai dan selanjutnya memasuki perairan bakau untuk kembali melangsungkan perkawinan (Gambar 8). Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau yang telah dewasa akan berada di perairan bakau, di tambak atau di sekitar perairan pantai yang berlumpur yang memiliki makanan berlimpah (Kasry 1991).
Sumber: Kasry (1991)
Gambar 8 Siklus hidup kepiting bakau
Daur hidup kepiting bakau diperkirakan melewati berbagai kondisi perairan. Pada saat pertama kali kepiting menetas, suhu air laut umumnya berkisar antara 25oC - 27oC dan salinitas 29‰ - 33‰. Kepiting muda yang baru berganti kulit dari megalopa dapat memasuki muara sungai, karena memiliki kemampuan mentolerir salinitas air yang rendah (10-24‰). Pada tingkat zoea terjadi pergantian kulit yang berlangsung lebih kurang 3-4 hari sebelum memasuki fase berikutnya. Tingkat megalopa berlangsung selama 11-12 hari pada salinitas 29‰ -
33‰ sebelum berganti kulit menjadi tingkat kepiting pertama. Megalopa di alam
bergerak ke arah pantai memasuki perairan payau (brackish water) pada salinitas
air antara 21‰ - 27‰ (Kasry 1996).
Kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun pada kondisi lingkungan yang memungkinkan. Pada umur 12-14 bulan, kepiting sudah dianggap dewasa dan dapat memijah. Kepiting mampu menghasilkan jutaan telur dalam sekali pemijahan (Kordi 1997).
2.5 Pemijahan
Pemijahan adalah salah satu bagian dari reproduksi dan juga mata rantai daur hidup yang menentukan kelangsungan hidup spesies (Serosero 2005).