JESSY FERGIENA MUTIARA
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
JESSY FERGIENA MUTIARA C44080074
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Modifikasi Konstruksi Pintu
Masuk Bubu Lipat Untuk Menangkap Kepiting Bakau” adalah karya saya sendiri
dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, November 2012
Jessy Fergiena Mutiara
JESSY FERGIENA MUTIARA, C44080074. Modifikasi Konstruksi Pintu Masuk Bubu Lipat Untuk Menangkap Kepiting Bakau. Dibimbing oleh GONDO PUSPITO dan MOKHAMAD DAHRI ISKANDAR.
Kepiting bakau jenis Scylla serrata sangat disukai oleh masyarakat. Penyebabnya, rasa dagingnya enak dan kandungan nutrisinya tinggi. Biota ini umumnya ditangkap dengan bubu lipat. Konstruksi bubu lipat terdiri atas pintu masuk, badan dan rangka. Pintu masuknya hanya berupa celah. Kaki jalan dan kaki renang kepiting selalu terperosok masuk ke dalam mata jaring lintasan masuk bubu. Ini menyebabkan kepiting bakau terkadang sulit melewatinya. Pada penelitian ini dilakukan perbaikan konstruksi pintu masuk dan lintasan masuk bubu lipat agar mudah dilewati kepiting. Tujuan penelitian ini adalah 1) menentukan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu, 2) menentukan bentuk dan ukuran pintu masuk bubu dan 3) mendapatkan bubu lipat yang efektif dalam menangkap kepiting bakau. Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi 3 tahap, yaitu 1) penentuan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu, 2) penentuan konstruksi pintu masuk bubu dan 3) pengujian pintu masuk bubu atas dasar hasil percobaan sebelumnya. Penelitian ini mengggunakan metode percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lintasan masuk bubu yang terbuat dari jaring polyethylene (PE) dengan ukuran mata jaring 1 inci dan sudut kemiringan lintasan 40o lebih mudah dilewati kepiting. Pintu masuk bubu yang mudah dilewati kepiting berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 30,5×5 (cm). Jumlah kepiting yang tertangkap oleh bubu lipat modifikasi sebanyak 147 individu, sedangkan bubu lipat standar hanya 27 individu.
JESSY FERGIENA MUTIARA, C44080074. Modification of Collapsible Pot’s Entrance Construction to Catch Mud Crab. Supervised by GONDO PUSPITO and MOKHAMAD DAHRI ISKANDAR.
Mud crab (Scylla serrata) has delicious taste of meat and high content of nutrient. Those reasons that make mud crab are favored by many people. Generally, this species is caught by collapsible pots. The pot is constructed by entrance, body, and frame. The construction of the entrance in the form of a horizontal gap and cause walking legs and swimming legs sink into the mesh of entrance line. This cause the mud crabs difficult to pass. This research fixed the construction of the entrance and entrance line to make it easier to pass. This research use experimental method. The aims of this research are 1) to determine the mesh size and slope of entrance line, 2) to determine the form and size of the entrance and 3) to create an effective in-collapsible pot to catch mud crab. The implementation of research was divided into three stages, namely the determination of mesh size and slope of entrance line, entrance construction for pots and to test the performance of the entrance base on the previous research. The results showed that the entrance made of polyethylene (PE) net with specification of 1 inches of mesh with 40° of slope is easier to pass by the crab. The crabs easily infiltrate the pots with rectangular entrance shape with specification of 30,5 × 5 (cm). The number of crabs caught by modified collapsible pot as much as 147 individuals, as for the common collapsible pot only caught 27 individuals.
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
Nama : Jessy Fergiena Mutiara
NRP : C44080074
Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ketua, Anggota,
Dr. Ir. Gondo Puspito, M.Sc Ir. Mokhamad Dahri Iskandar, M.Si
NIP 19630524 198803 1 010 NIP 19690604 199412 1 001
Diketahui
Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc NIP 19621223 198703 1 001
Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana
pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Judul penelitian yang dilaksanakan di
Laboratorium Teknologi Alat Penangkapan Ikan (Lab TAPI) pada bulan
Desember 2011 – Agustus 2012 adalah “Modifikasi Konstruksi Pintu Masuk
Bubu Lipat Untuk Menangkap Kepiting Bakau”. Penelitian ini diharapkan dapat
mewujudkan perikanan tangkap yang efektif, efisien dan ramah lingkungan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Gondo Puspito, M.Sc dan Ir. Mokhamad Dahri Iskandar, M.Si sebagai
Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan
bimbingannya selama penyusunan skripsi;
2. Dr. Roza Yusfiandayani, S.Pi selaku Dosen Penguji Utama yang telah
memberikan arahan dan saran dalam perbaikan skripsi ini;
3. Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si selaku Ketua Komisi Pendidikan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan yang telah memberikan saran dan masukan
dalam perbaikan skripsi ini;
4. Orang tua tercinta, Khaerul Saleh dan Tun Farida;
5. Partner penelitian (Bapak Ismawan Tallo, Kak Didin Komarudin, Mas Arrif Nugroho), Bang Edi, Bang Ono, Bang Ucha, Bang Mose teman-teman PSP
45, PSP 46, PSP 47, NJ’ers dan Al-Iffah’ers yang telah memberikan
dukungan, doa serta pinjaman motor; dan
6. Pihak-pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan yang
disebabkan oleh keterbatasan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat
bagi para pembaca dan pihak-pihak yang memerlukan.
Bogor, November 2012
Penulis dilahirkan di Jakarta, 7 Desember 1989. Putri
pertama dari tiga bersaudara pasangan Khaerul Saleh dan Tun
Farida. Penulis lulus dari SMA Negeri 4 Bekasi pada tahun
2008. Pada tahun yang sama, penulis masuk IPB melalui jalur
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis
diterima di Program Studi Teknologi dan Manajemen
Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis aktif di berbagai kelembagaan mahasiswa selama mengikuti
perkuliahan, seperti di Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama
BEM TPB (2008 – 2009), Staf Departemen Keuangan LDK Al-Hurriyyah (2008 -
2010), Staf Kementrian Kebijakan Pertanian BEM KM Kabinet Generasi Inspirasi
(2009 - 2010) dan Sekretaris Departemen Advokasi Kebijakan Perikanan dan
Kelautan BEM FPIK Kabinet Ekspansi Biru (2010 - 2011). Selain itu, penulis
pernah menjadi Asisten Pendidikan Agama Islam Tingkat Persiapan Bersama
(TPB) (2011 – 2012)
Penulis juga pernah menjadi salah satu pengajar Bimbingan Belajar dan
Privat di Sentral Edukatif dan Kharisma Prestasi Bogor. Selain itu, penulis pernah
mendapat beasiswa selama masa perkuliahan, seperti beasiswa POM, Lembaga
Amil Zakat (LAZ) Al-Hurriyyah, Kosgoro dan Yayasan Toyota Astra.
Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul
“Modifikasi Konstruksi Pintu Masuk Bubu Lipat Untuk Menangkap Kepiting
Bakau” untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi
dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan. Penulis dinyatakan lulus dalam ujian akhir sarjana pada tanggal 27
x 3.3.4 Perbandingan jumlah kepiting bakau yang tertangkap pada bubu
lipat standar (S) dan bubu lipat modifikasi (M) ... 29
3.4 Analisis Data ... 31
3.4.1 Analisis regresi ... 31
3.4.2 Uji Kolmogorov – Smirnov ... 32
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Mata Jaring Lintasan Masuk Bubu ... 33
4.2 Sudut Kemiringan Lintasan Masuk Bubu ... 35
4.3 Bentuk dan Ukuran Pintu Masuk Bubu ... 39
4.4 Rancangan Konstruksi Bubu Lipat Hasil Modifikasi ... 43
4.5 Bubu Lipat Modifikasi dan Bubu Lipat Standar ... 47
4.5.1 Hubungan linear antara tebal dengan panjang, lebar dan berat tubuh kepiting bakau yang dijadikan sampel ... 47
4.5.2 Perbandingan jumlah kepiting bakau yang tertangkap di bubu lipat standar dan bubu lipat modifikasi ... 49
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 52
5.2 Saran ... 52
DAFTAR PUSTAKA ... 53
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Ciri – ciri morfologi kepiting bakau ... 10
2 Analisis data ... 31
xii
14 Model lintasan berupa jaring dengan ukuran mata 0,5; 0,75; 1 dan 1,25 inci ... 26
15 Ilustrasi posisi kepiting, jaring lintasan dan umpan pada uji penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu ... 27
16 Ilustrasi posisi kepiting, jaring lintasan dan umpan pada uji penentuan sudut kemiringan lintasan masuk bubu ... 28
17 Ilustrasi susunan jaring lintasan dan kepingan kaca pada penentuan ukuran dan bentuk pintu masuk bubu ... 29
18 Ilustrasi posisi bubu standar (S) dan bubu modifikasi (M) pada pengujian keefektifan bubu dalam menangkap kepiting bakau ... 30
19 Posisi kepiting bakau saat melewati bidang lintasan masuk ... 34
20 Frekuensi kepiting bakau melintasi bidang lintasan dengan mesh size 1 inci ... 36
21 Posisi kepiting bakau saat melewati bidang lintasan masuk dengan sudut kemiringan yang berbeda ... 37
22 Posisi kepiting bakau di dalam bubu ... 38
23 Pintu masuk bubu nelayan (standar) berupa celah ... 40
24 Tiga bentuk pintu masuk bubu ... 41
xiii
26 Jarak antar trigger dan lebar pintu masuk bubu lipat modifikasi ... 43
27 Pintu masuk bubu lipat modifikasi yang dilengkapi dengan trigger ... 43
28 Bubu lipat modifikasi ... 43
29 Ujung trigger yang dibengkokkan ... 44
30 Kantung umpan pada bubu lipat modifikasi ... 45
31 Posisi kantung umpan saat bubu lipat modifikasi dioperasikan ... 45
32 Tempat umpan pada bubu lipat standar ... 46
33 Hubungan linear antara tebal T dengan panjang P, lebar L dan berat B tubuh kepiting bakau ... 48
34 Posisi kepiting bakau di depan pintu masuk bubu lipat standar ... 50
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Data ukuran kepiting bakau percobaan ... 59
2 Output perhitungan uji Kolmogorov – Smirnov 2 sampel ... 60
3 Alat dan bahan penelitian ... 61
4 Proses pengukuran tubuh kepiting bakau ... 63
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Perairan Indonesia memiliki sumberdaya hayati yang melimpah, diantaranya
adalah moluska, krustase, ikan dan gastropoda. Krustase merupakan organisma
yang banyak diperdagangkan setelah ikan dari keempat kelompok organisma
tersebut. Jenisnya adalah udang, lobster, rajungan dan kepiting bakau.
Kepiting bakau merupakan salah satu jenis krustase yang banyak
diperdagangkan. Jenisnya terdiri atas Scylla serrata, S. tranquebarica, S. paramamosain dan S. olivacea (Keenan et al. 1998 diacu dalam Tuhuteru 2004).
S. serrata adalah spesies yang paling dominan dibandingkan dengan ketiga jenis lainnya (Cholik dan Hanafi 2001). Keberadaanya mudah ditemukan di berbagai
perairan, seperti perairan payau yang ditumbuhi tanaman bakau, pantai, teluk dan
muara sungai.
Kepiting bakau jenis S. serrata sangat disukai oleh konsumen. Penyebabnya adalah rasa daging yang enak dan kandungan nutrisinya tinggi. Informasi yang
disampaikan oleh Motoh 1977 diacu dalam Tupan et al. (2005) menyebutkan bahwa kandungan protein dalam daging dan telur kepiting bakau jenis S. serrata
sekitar 67,5 - 82,6% bobot kering, sedangkan kandungan lemaknya hanya sekitar
0,9 - 8,2% bobot kering.
Hampir seluruh kepiting bakau yang dijual di pasar ditangkap oleh nelayan
dari alam dengan menggunakan bubu dan jaring insang. Kondisi kepiting bakau
hasil tangkapan bubu biasanya dalam keadaan hidup dan seluruh anggota
tubuhnya lengkap, sehingga harga jualnya relatif tinggi. Komarudin (2012)
menyatakan bahwa harga kepiting bakau di tingkat nelayan mencapai Rp 60.000,-
per kg, sedangkan di swalayan sebesar Rp 30.000,- per 100-150 g. Adapun
kepiting bakau hasil tangkapan jaring insang sebagian besar dalam kondisi mati
dan anggota tubuhnya tidak lengkap. Ini menjadi penyebab bubu lebih disukai
oleh nelayan dibandingkan dengan jaring insang.
Jenis bubu yang banyak digunakan oleh nelayan di beberapa daerah, seperti
Subang, Cirebon dan Banten, adalah bubu lipat (Gambar 13). Tujuan utama
sampingannya berupa beberapa jenis organisma dasar, seperti udang, lobster dan
siput. Beberapa jenis ikan terkadang ikut tertangkap oleh bubu lipat.
Bubu lipat nelayan atau standar memiliki pintu masuk berbentuk celah yang
dibuat tanpa adanya kajian ilmiah. Pengamatan yang dilakukan di laboratorium
menunjukkan bahwa celah masuk bubu terkadang sangat sulit dilalui oleh kepiting
bakau karena duri-duri pada karapas dan capit kepiting bakau tersangkut pada
celah masuk bubu lipat. Kaki jalan dan kaki renang kepiting bakau sering
terperosok masuk ke dalam mata jaring lintasan masuk bubu lipat karena ukuran
mata jaring lintasan bubu lipat nelayan besar. Oleh karena itu, penentuan
konstruksi pintu masuk dan lintasan masuk bubu yang meliputi ukuran mata
jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu lipat nelayan perlu diteliti dan
disesuaikan dengan tingkah laku, bentuk dan ukuran kepiting bakau. Berdasarkan
alasan tersebut, maka bentuk pintu masuk bubu lipat nelayan perlu dimodifikasi
agar kepiting bakau mudah melewatinya untuk masuk ke dalam bubu. Selain itu,
untuk memudahkan kepiting bakau mencapai pintu masuk, maka perlu dilakukan
penelitian terkait ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu.
Penelitian ini terdiri atas 3 macam, yaitu penentuan ukuran mata jaring dan sudut
kemiringan bidang lintasan masuk bubu, konstruksi pintu masuk dan pengujian
konstruksi pintu masuk.
Pustaka yang berisi kajian mengenai konstruksi bubu lipat untuk menangkap
kepiting bakau sulit ditemukan. Beberapa pustaka yang terkait dengan konstruksi
bubu lipat ditujukan untuk menangkap rajungan. Misalnya, tingkah laku rajungan
Charybdis japonica terhadap berbagai bentuk bubu dan tipe pintu masuk (Kim and Ko 1987 dan 1990), efektivitas perangkap rajungan dan lobster (Miller 1990),
kajian selektivitas perangkap Blue crab: mesh size (Guillory dan Prejean 1997), pengaruh pintu masuk bubu dan tingkah laku rajungan C. japonica (Archdale et al. 2006) dan pengaruh konstruksi bubu lipat dan tingkah laku rajungan Charybdis japonica dan Portunus pelagicus yang ditulis oleh Archdale et al. (2007). Beberapa pustaka lain yang membahas bubu lipat untuk menangkap kepiting
bakau hanya terfokus pada pengaruh jenis umpan dan waktu pengoperasian bubu
posisi umpan terhadap rajungan pada bubu lipat (Caesario 2011). Pustaka-pustaka
tersebut dijadikan sebagai bahan acuan dalam melakukan penelitian dan
pembahasan hasil penelitian ini.
1.2Tujuan
Penelitian ditujukan untuk menentukan:
1. Ukuran mata jaring lintasan masuk bubu;
2. Sudut kemiringan lintasan masuk bubu yang mudah dilewati kepiting bakau;
3. Bentuk dan ukuran pintu masuk yang disesuaikan dengan tingkah laku, ukuran
dan bentuk tubuh kepiting bakau; dan
4. Efektifitas bubu lipat modifikasi dibandingkan dengan bubu lipat standar
dalam menangkap kepiting bakau.
1.3Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Untuk memperoleh konstruksi bubu lipat yang produktif dan dapat
meningkatkan hasil tangkapan kepiting bakau;
2. Sebagai bentuk kontribusi pada kekayaan alat tangkap di Indonesia; dan
3. Sebagai masukan dan referensi topik penelitian lebih lanjut dari bubu lipat
untuk menangkap kepiting bakau dalam rangka kemajuan teknologi perikanan
tangkap di Indonesia.
1.4Perumusan masalah
Permasalahan yang ditemukan pada bubu lipat standar adalah sulitnya
kepiting melewati lintasan masuk bubu dan melewati pintu masuk. Kaki renang
dan kaki jalan kepiting bakau selalu terperosok masuk ke dalam mata jaring
lintasan. Duri-duri yang terdapat pada karapas dan capit kepiting bakau sering
tersangkut pada pintu masuk bubu yang hanya berupa celah. Selain itu, kepiting
bakau yang berukuran kecil masih tertangkap oleh bubu standar. Oleh karena itu,
konstruksi bubu perlu dimodifikasi pada beberapa bagian, yaitu ukuran mata
jaring, sudut kemiringan pada lintasan masuk bubu, bentuk dan ukuran pintu
Hal utama yang dilakukan pada penelitian ini adalah memodifikasi pintu
masuk dari segi bentuk dan ukuran pintu supaya kepiting bakau mudah masuk ke
dalam bubu, khususnya kepiting bakau jenis S. serrata. Kepiting bakau jenis ini dijadikan sebagai target tangkapan utama. Alasannya adalah sering tertangkap
oleh nelayan. Ini berarti, kepiting bakau jenis S. serrata paling mudah didapatkan di alam. Selain itu, harga jual jenis kepiting bakau ini lebih tinggi dibandingkan
dengan ketiga jenis lainnya.
Penentuan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk
dimaksudkan untuk mendapatkan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan
lintasan masuk bubu yang mudah dilewati oleh kepiting bakau saat memasuki
bubu lipat. Modifikasi pintu masuk, penentuan ukuran mata jaring dan sudut
kemiringan lintasan bubu dimaksudkan agar kepiting tidak mengalami kesulitan
saat memasuki bubu.
Keseluruhan hasil percobaan akan diaplikasikan pada bubu lipat standar
sehingga diperoleh bubu lipat modifikasi. Selanjutnya, bubu lipat standar dan
modifikasi diuji coba bersamaan. Tujuannya untuk menentukan efektivitas masing
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Kepiting Bakau
2.1.1 Klasifikasi kepiting bakau
Klasifikasi kepiting menurut Kordi (1997) adalah sebagai berikut:
Filum : Arthropoda;
Subfilum : Mandibula;
Kelas : Crustacea;
Super ordo : Eucarida;
Ordo : Decapoda;
Subordo : Branchyura;
Famili : Portunidae;
Genus : Scylla; dan
Spesies : Scylla serrata (Gambar 1).
Gambar 1 Scylla serrata
Penamaannya di banyak tempat di daerah Indo-Pasifik sangat beragam. Kepiting
adalah nama dari kepiting bakau yang dikenal di daerah Jawa, sedangkan di
Sumatera, Singapura dan Malaysia dikenal dengan nama ketam batu, kepiting cina
atau kepiting hijau. Masyarakat Filipina mengenal kepiting bakau dengan nama
alimango, sedangkan di Australia dikenal dengan nama kepiting bakau lumpur
atau kepiting bakau. Adapun masyarakat Hawai menyebutnya dengan nama
Berdasarkan faktor ekologi dan faktor fisik yang mempengaruhi
perkembangan kepiting, genus Scylla diklasifikasikan menjadi tiga spesies, yaitu
S. serrata, S. oceanica dan S. tranquebarica) (Estamphador 1949 diacu dalam
Asmara 2004). Selanjutnya Keenan (1999) menambahkan bahwa atas dasar
perbedaan sifat morfologi dan ekologi, kepiting bakau yang hidup di alam
dikelompokkan atas empat spesies, yaitu S. serrata, S. tranquebarica, S. paramamosain dan S. olivacea (Gambar 2).
(a) S. serrata
(b) S. tranquebarica
(c) S. paramamosain
(d) S. olivacea
Sumber: Keenan (1999)
2.1.2 Morfologi kepiting bakau
Ciri kepiting bakau adalah memiliki karapas berwarna seperti lumpur atau
sedikit kehijauan. Lebar karapasnya kurang lebih dua pertiga dari panjangnya.
Permukaan karapas hampir licin, kecuali pada beberapa lekukan yang bergranula
halus di daerah branchial. Dahi di antara kedua tangkai mata terdiri atas empat duri dengan ukuran panjang yang hampir sama. Pada bagian kiri dan kanan
(anterolateral) karapas terdapat duri tajam sebanyak sembilan buah dan berukuran hampir sama. Sudut pots-lateral di bawah duri anterolateral melengkung dan bagian sambungan ruas menebal (Moosa et al. 1985 diacu dalam Tuhuteru 2004). Kepiting bakau memiliki 5 pasang kaki yang terletak pada bagian kiri dan
kanan tubuhnya. Urutannya adalah sepasang capit, 3 pasang kaki jalan dan
sepasang kaki renang. Setiap kaki terdiri atas 6 ruas yang secara berturut-turut dari
bagian dekat tubuh ke arah luar disebut coxa, basi-ischium, merus, carpus,
propondus dan dactylus (Gambar 3) (Siahainenia 2008).
(a) Cheliped
(b) Kaki jalan
(c) Kaki renang
Sumber: Siahainenia (2008)
Capit kepiting jantan dewasa memiliki panjang hampir dua kali panjang
karapasnya, sedangkan capit betina dan jantan muda lebih pendek. Pada tepi
anterior merus terdapat tiga duri kokoh. Bagian luar anterior merus berbentuk bulat dan kadang-kadang dilengkapi dengan satu atau dua duri kecil. Propodus
memiliki tiga duri atau bentol. Satu diantaranya terletak di muka persendian
karpus dan dua lainnya terletak bersisian dengan persendian daktilus (Chairunnisa
2004). Menurut Siahainenia (2008), capit sangat berfungsi ketika kepiting makan.
Struktur capit sangat kokoh, terutama pada bagian chela,dilengkapi dengan duri-duri tajam dan kuat yang umumnya digunakan untuk mencabik-cabik makanan
dan memasukannya ke dalam mulut. Selain itu, capit juga digunakan untuk
pertahanan diri.
Tiga pasang kaki selain capit disebut kaki jalan yang berfungsi untuk
berjalan selama kepiting bakau berada di darat dan juga berguna saat reproduksi,
terutama pada kepiting jantan. Pada proses percumbuan, kaki jalan digunakan
oleh kepiting jantan untuk mendekap kepiting betina di bagian bawah tubuhnya,
sehingga tubuh mereka menyatu. Posisi ini disebut doubllers. Pada kepiting betina, kaki berfungsi untuk membantu proses penetasan telur. Kepiting bakau
betina yang sedang berkontraksi akan berdiri dengan menggunakan kedua
capitnya, sedangkan bagian dactylus pada kaki jalan terakhir (kaki jalan ke-2 dan ke-3) digunakan untuk menggaruk zygote secara terus-menerus sehingga butiran-butiran telur terurai dan terlepas dari rambut-rambut pleopod (Siahainenia 2008). Kaki renang adalah sepasang kaki terakhir yang terdapat pada bagian ujung
abdomen. Bentuknya agak membulat dan lebar. Bagian dactylus dan propondus
berbentuk pipih. Fungsi kaki renang ini adalah sebagai alat bantu semacam
dayung pada saat berenang (Siahainenia 2008).
Menurut Siahainenia (2008), mulut terletak pada bagian ventral tubuh,
tepatnya berada di bawah rongga mata dan di atas tulang rongga dada. Mulut
kepiting bakau terdiri atas tiga pasang rahang tambahan (maxilliped) yang berbentuk lempengan. Nama setiap bagian mulut berturut-turut dari bagian
terdekat dengan rongga mulut ke arah luar adalah maxilliped I, maxilliped II,
mulut. Rongga mulut kepiting, menurut Siahainenia (2008), selalu dalam keadaan
terbuka.
Kepiting memiliki sepasang antena yang berada pada bagian dahi karapas,
yaitu di antara kedua rongga mata. Antena berfungsi untuk mendeteksi adanya
bahaya melalui gerakan angin (Kasry 1996). Antena merupakan organ peraba dan
perasa yang dapat mendeteksi secara detail perubahan pergerakan air dan kimia
air (Phelan et al. 2005 diacu dalam Siahainenia 2008).
Kepiting memiliki sepasang mata. Mata kepiting dilindungi oleh dinding
rongga mata yang menyerupai duri-duri besar yang kokoh dan terletak pada
bagian dahi karapas. Bila dalam keadaan terancam, tangkai mata akan
ditempelkan rapat-rapat ke dalam rongga mata sehingga hanya tampak duri-duri
yang kokoh tersebut (Siahainenia 2008). Gambar 4 menunjukkan morfologi tubuh
kepiting dan Tabel 1 menjelaskan ciri-ciri morfologi dari keempat jenis kepiting
bakau (Keenan et al. 1998 diacu dalam Tuhuteru 2004). Perbedaan bentuk morfologi keempat jenis kepiting bakau terletak pada bentuk duri di antara mata
dan keberadaan duri pada korpus (Gambar 5) (Keenan 1999).
Tabel 1 Ciri - ciri morfologi kepiting bakau
Uraian Jenis kepiting bakau
S. serrata S. tranquebarica S. paramamosain S. olivacea
Warna Ungu, hijau
2.1.3 Perbedaan kepiting bakau jantan dan betina
Membedakan jenis kelamin dari kepiting bakau jantan dan betina dapat
dilakukan dengan mengamati bentuk luar tubuhnya. Hal ini dituturkan oleh
Moosa et al. (1985) diacu dalam Rosmaniar (2008) yang menyebutkan bahwa organ kelamin kepiting jantan berbentuk segitiga agak runcing yang menempel di
bagian perutnya, sedangkan organ kelamin kepiting betina berbentuk segitiga
yang relatif lebar dan bagian depannya agak tumpul. Cara lain membedakan jenis
kelamin kepiting adalah dengan memperhatikan ruas-ruas abdomennya. Ruas
abdomen kepiting jantan jauh lebih sempit dibandingkan dengan ruas abdomen
kepiting betina (Gambar 6).
(a) S. serrata betina (b) S. serrata jantan Gambar 6 Abdomen kepiting bakau betina dan jantan
2.2 Habitat Kepiting Bakau
Habitat kepiting bakau sebagian besar berada di hutan-hutan bakau perairan
Indonesia. Spesies ini adalah spesies khas yang berada di kawasan bakau.
Kepiting bakau yang masih berupa juvenil lebih suka membenamkan diri ke
dalam lumpur sehingga jarang terlihat di daerah bakau. Juvenil kepiting bakau
lebih menyukai tempat-tempat terlindung, seperti alur-alur air laut yang menjorok
ke daratan, saluran air, di bawah batu, di bentangan rumput laut dan di sela-sela
akar pohon bakau (Kanna 2002).
Hutan mangrove adalah daerah yang umumnya banyak dihuni kepiting
bakau (Kordi 1997). Daerah berlumpur dan tepian muara sungai juga banyak
2.3 Distribusi Kepiting Bakau
Kepiting bakau memiliki sebaran geografis yang sangat luas, meliputi pantai
Timur Afrika, India, Srilangka, Indonesia, Filipina, Thailand, Cina, Taiwan,
Jepang, Papua Nugini, Australia dan pulau-pulau di utara Selandia Baru. Kepiting
bakau ditemukan di daerah air payau dan sebagian besar tertangkap di wilayah
pesisir Indonesia (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya)
(Sulistiono et al. 1994 diacu dalam Asmara 2004).
Penyebaran kepiting bakau yang luas menyebabkan timbulnya daerah yang
menjadi pusat pengusahaan kepiting bakau. Hal ini berhubungan dengan habitat
kepiting yang masih baik. Daerah-daerah yang dimaksud, antara lain terdapat di
selatan Jawa (Cilacap), utara Jawa (Tanjung Pasir, Pamanukan), barat Sumatera
(Bengkulu, Riau), timur Kalimantan (Kota Baru, Pasir, Balikpapan), Sulawesi
(Teluk Bone, Teluk Kolono, Kendari), Nusa Tenggara Barat (Teluk Waworada,
Teluk Bima) dan Irian Jaya (Teluk Bintuni, Biak Numfor) (Asmara 2004).
2.4Siklus Hidup Kepiting Bakau
Kepiting bakau mengalami beberapa fase pertumbuhan, antara lain fase
zoea, megalopa, kepiting muda dan kepiting dewasa. Selain itu, kepiting juga mengalami beberapa kali proses pergantian kulit (moulting) (Gambar 7). Tubuhnya akan menjadi lebih besar setelah mengalami proses moulting. Larva tingkat I (Zoea I) muncul setelah telur menetas. Larva akan berganti kulit secara terus menerus sambil terbawa arus pantai sebanyak lima kali (Zoea V). Selanjutnya, larva akan berganti kulit lagi menjadi megalopa yang bentuk
tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa. Bagian yang masih tersisa adalah
Sumber: Phelan dan Grubert (2007)
Gambar 7 Kepiting bakau yang sedang moulting
Kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai
ke perairan laut. Induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan
bakau untuk berlindung, mencari makan atau membesarkan diri. Kepiting
melakukan perkawinan di perairan bakau, selanjutnya secara perlahan-lahan
kepiting betina akan beruaya dari perairan bakau ke tepi pantai. Apabila telah
mencapai ke tengah laut, maka kepiting akan berusaha mencari perairan yang
kondisinya cocok sebagai tempat untuk memijah, khususnya terhadap suhu dan
salinitas air laut (Kasry 1991). Kepiting pada tingkat megalopa mulai beruaya menuju pantai melewati muara sungai dan selanjutnya memasuki perairan bakau
untuk kembali melangsungkan perkawinan (Gambar 8). Kepiting jantan yang
telah melakukan perkawinan atau yang telah dewasa akan berada di perairan
bakau, di tambak atau di sekitar perairan pantai yang berlumpur yang memiliki
Sumber: Kasry (1991)
Gambar 8 Siklus hidup kepiting bakau
Daur hidup kepiting bakau diperkirakan melewati berbagai kondisi perairan.
Pada saat pertama kali kepiting menetas, suhu air laut umumnya berkisar antara
25oC - 27oC dan salinitas 29‰ - 33‰. Kepiting muda yang baru berganti kulit
dari megalopa dapat memasuki muara sungai, karena memiliki kemampuan
mentolerir salinitas air yang rendah (10-24‰). Pada tingkat zoea terjadi pergantian kulit yang berlangsung lebih kurang 3-4 hari sebelum memasuki fase
berikutnya. Tingkat megalopa berlangsung selama 11-12 hari pada salinitas 29‰
-33‰ sebelum berganti kulit menjadi tingkat kepiting pertama. Megalopa di alam
bergerak ke arah pantai memasuki perairan payau (brackish water) pada salinitas
air antara 21‰ - 27‰ (Kasry 1996).
Kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun pada
kondisi lingkungan yang memungkinkan. Pada umur 12-14 bulan, kepiting sudah
dianggap dewasa dan dapat memijah. Kepiting mampu menghasilkan jutaan telur
2.5 Pemijahan
Pemijahan adalah salah satu bagian dari reproduksi dan juga mata rantai
daur hidup yang menentukan kelangsungan hidup spesies (Serosero 2005).
Adapun menurut Siahainenia (2008), pemijahan pada kepiting adalah proses
pengeluaran telur dari kepiting bakau betina. Proses ini terjadi setelah sel telur
mengalami vitelogenesis sempurna dan inti sel telur telah bergerak ke tepi atau setelah sel telur mencapai matang sempurna. Proses pemijahan umumnya
berlangsung pada substrat dasar perairan berpasir atau pasir berlumpur. Apabila
kepiting bakau betina telah siap memijahkan telur-telurnya, maka kepiting
tersebut membuat lubang dangkal pada substrat dengan bantuan tutup
abdomennya. Kepiting aktif memijah antara bulan Mei-September dengan jumlah
telur yang dihasilkan sekitar dua juta butir dan selanjutnya kembali matang telur
setelah lima bulan sejak telur dierami.
Pemijahan kepiting umumnya berlangsung sepanjang tahun dengan masa
pemijahan berlangsung selama lima bulan. Puncak pemijahan kepiting berbeda
setiap tahun. Pemijahan berlangsung pada perairan yang dalam dengan mengikuti
periode bulan. Jarak ruayanya tidak lebih dari satu kilometer dari pantai, namun
pada saat-saat tertentu kepiting tersebut juga pernah ditemukan memijah di
tambak dan estuaria (Kasry 1996).
Kepiting bakau di Hawai melakukan pemijahan pada awal bulan Mei
sampai akhir Oktober, yaitu saat suhu air berkisar antara 24oC - 28oC, sedangkan
di Australia, pemijahan berlangsung dari awal musim semi hingga musim gugur
dengan puncaknya pada bulan November-Desember (akhir musim semi hingga
awal musim panas). Adapun puncak pemijahan di Thailand berlangsung dari
bulan Juli-Desember (pertengahan awal musim panas hingga musim hujan)
(Kasry 1996).
2.6Kematangan Gonad Kepiting Bakau
Tingkat kematangan gonad merupakan tahap perkembangan gonad sebelum
dan sesudah pemijahan. Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan
bagian dari reproduksi sebelum terjadi pemijahan. Perkembangan gonad terjadi
setiap sel telur (Serosero 2005). Selama proses berlangsung, sebagian besar hasil
metabolisme ditujukan untuk perkembangan gonad (Serosero 2008).
Tingkat kematangan gonad dapat ditentukan secara morfologis dan
histologis. Penentuan tingkat kematangan gonad secara morfologis dapat dilihat
dari bentuk, panjang, berat, warna dan perkembangan isi gonad, sedangkan secara
histologis dapat dilihat dari perkembangan bentuk anatomi gonadnya (Effendie
2002). Petunjuk penentuan tingkat kematangan gonad kepiting bakau dijelaskan
oleh Kasry (1996) diacu dalam Serosero (2008) dengan sedikit modifikasi, yaitu:
1. TKG I: Belum matang (immature)
a. Ciri morfologis: Ovarium yang berwarna kuning keputihan dan berbentuk
sepasang filamen ditutupi oleh selaput peritoneum tipis yang mengarah ke punggung.
b. Ciri histologis: Epitel folikel yang menutupi sel telur tidak begitu jelas.
Sitoplasma pun berwarna agak lemah, akan tetapi nukleus dan nukleolus
sangat jelas. Sebagian besar ovarium yang belum matang mempunyai
bentuk yang tidak beraturan dan sel telur mengalami atresia relatif
banyak.
2. TKG II: Menjelang matang (maturing)
a. Ciri morfologis: Ukuran ovarium bertambah dan meluas, baik ke arah
lateral maupun antero-posterior, namun butiran telur belum kelihatan
hanya berwarna kuning keemasan.
b. Ciri histologis: Kuning telur masih terlihat dengan ukuran yang kecil
walaupun ovari masih kecil. Kuning telur tersebar di dalam sitoplasma.
3. TKG III: Matang (mature)
a. Ciri morfologis: Ovarium kepiting semakin membesar. Warna dari
ovarium mulai dari oranye muda sehingga butiran telurnya sudah
kelihatan, namun masih dilapisi oleh kelenjar minyak.
b. Ciri histologis: Butiran kuning telurnya makin membesar dan hampir
seluruh sitoplasma tertutup kelenjar minyak.
4. TKG IV
a. Ciri morfologis: Butir-butir telur bertambah besar dan terlihat sangat jelas
minyaknya sudah semakin berkurang.
dikeluarkan saat proses pemijahan sehingga masih terlihat keberadaan
butiran telur ini.
b. Ciri histologis: Sel-sel telurnya seperti pada TKG I, namun telah
ditemukan sel telur yang sudah matang.
Ovarium berkembang menjadi matang setelah mencapai proses kopulasi.
Kematangan gonad kepiting bakau dapat dicapai jika telah mengalami proses
kopulasi untuk pertama kalinya. Pencapaian matang gonad biasanya ditunjukkan
dengan lebar karapas kepiting bakau yang berkisar antara 105-123 mm atau
99,1-114,2 mm. Keadaan tersebut dapat dicapai antara lima bulan sampai satu tahun
(Hartnoll 1969 diacu dalam Serosero 2005).
Kepiting bakau betina di Indonesia yang telah matang kelamin mempunyai
panjang karapas 42,7 mm dan lebarnya 80 mm (Aldrianto 1994 diacu dalam
Serosero 2005). Adapun Kanna (2002) berpendapat bahwa ciri kepiting bakau
yang telah matang gonad memiliki lebar karapas 9-10 cm dan warna abdomen
telah menyerupai warna karapasnya. Selain itu, tingkat kematangan gonad dari
kepiting dapat diketahui dengan menekan batas perut bagian belakang dan
karapas. Warna gonad kepiting yang telah matang gonad adalah oranye atau
kuning (Syafitriyanto 2009 diacu dalam Rusdi 2010).
2.7Makanan dan Kebiasaan Makan
Kepiting bakau bersifat omnivorus scavengers atau pemakan segala makanan, cenderung pemakan bangkai dan bersifat kanibal. Kepiting bakau
memakan organisma yang bergerak lambat atau diam, terutama hewan yang biasa
terpendam di dasar perairan, seperti kerang-kerangan, keong-keongan, krustase
lainnya dan cacing. Alga dan busukan dari potongan kayu, bambu dan benda
kecil di alam terdiri atas berbagai organisme plankton, seperti diatom, moluska
dan cacing (Kasry 1991).
Kepiting bakau yang lebih besar menyerang kepiting bakau yang lebih kecil.
Perilaku tersebut terjadi pada lingkungan hutan bakau. Kepiting besar
melumpuhkan kepiting kecil dengan merusak umbai-umbainya dan kemudian
merusak karapas menjadi potongan-potongan. Setelah itu, kepiting besar mulai
memakannya dengan mengambil bagian lunak dari tubuh mangsanya (Rosmaniar
2008). Kanibalisme pada kepiting merupakan hal yang sering terjadi, terutama
pada ruangan yang terbatas, baik rajungan atau kepiting dewasa maupun yang
masih larva (Nontji 1993 diacu dalam Lastari 2007).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan nafsu makan kepiting bakau
berkurang, yaitu suhu dan pergantian kulit. Aktivitas makan kepiting bakau
menurun pada suhu di bawah 20oC (Hill 1975). Kepiting bakau termasuk hewan
nokturnal dan keluar dari persembunyiannya setelah matahari terbenam.
Pergerakannya berlangsung sepanjang malam, terutama untuk mencari makan.
Pergerakan kepiting bakau pada malam hari dapat mencapai jarak antara 219-910
m. Kepiting kemudian akan membenamkan dirinya kembali pada saat matahari
akan terbit (Kordi 1997).
2.8Bubu
2.8.1 Deskripsi bubu
Bubu merupakan alat tangkap yang ukurannya lebih kecil dibandingkan
dengan perangkap. Pengoperasian bubu menggunakan perahu. Bubu banyak
digunakan pada daerah pesisir laut untuk menangkap berbagai jenis krustase, ikan,
gurita dan kerang. Bubu terdiri atas berbagai ukuran dan bentuk yang dapat
menarik berbagai jenis organisme yang akan tertangkap dengan menggunakan
ikan (Sainsbury 1996).
Alat tangkap bubu telah lama dikenal oleh nelayan. Ini disebabkan karena
biaya pembuatan relatif murah, cara pembuatan dan pengoperasiannya mudah,
bahan pembuatannya mudah didapat, tidak merusak organisme hasil tangkapan
dan tidak merusak sumberdaya secara ekologis maupun teknis. Bubu dapat
dioperasikan pada tempat-tempat yang alat tangkap lain tidak dapat dioperasikan,
yang sangat dalam atau perairan dengan pantai yang tinggi dan terjal. Adanya
berbagai kelebihan tersebut menyebabkan nelayan-nelayan bermodal kecil sangat
menyukainya (Puspito 2009).
Prinsip penangkapan dengan bubu adalah memerangkap organisme laut
yang masuk ke dalam bubu dan tidak dapat keluar lagi. Ada banyak penyebab
organisme laut masuk ke dalam bubu, diantaranya tertarik oleh makanan, mengira
bubu sebagai tempat tinggalnya, terbawa arus, sebagai tempat berlindung dari
kejaran pemangsa, tidak sengaja masuk ke dalam bubu dan tergiring oleh nelayan.
Oleh karena itu, pengoperasian atau pembuatan bubu umumnya didasarkan atas
semua faktor penyebab tersebut (Puspito 2009).
2.8.2 Klasifikasi bubu
Bubu digolongkan ke dalam kelompok perangkap (trap) (Brandt 1984). Berdasarkan lokasi pemasangannya, bubu diklasifikasikan menjadi dua kategori,
yaitu (Sainsbury 1996):
1. Inshore potting. Alat tangkap ini dioperasikan pada daerah yang arusnya tidak terlalu deras, seperti daerah karang, estuaria, laguna, teluk dan perairan dekat
pantai sampai kedalaman 75 m. Bubu dioperasikan menggunakan perahu kecil
dengan panjang antara 25-45 kaki. Nelayan yang mengoperasikan hanya
berjumlah 1-2 orang.
2. Offshore potting. Alat tangkap ini dioperasikan di perairan laut dalam sampai kedalaman 900 m. Bubu dioperasikan menggunakan kapal besar menggunakan
peralatan yang mendukung selama pengopersian berlangsung.
Selain itu, bubu juga dikelompokkan menjadi 2 kelompok berdasarkan metode
pengoperasiannya, yaitu:
1. Sistem tunggal. Bubu dipasang menetap di dasar perairan secara satu per satu.
Biasanya dipasang di daerah berkarang dan berbatu dengan jarak yang cukup
jauh antara bubu yang satu dengan lainnya. Bubu ini dilengkapi dengan
pemberat agar bubu tidak berpindah. Selain itu, bubu ini juga dilengkapi
dengan pelampung tanda yang dihubungkan dengan tali agar posisi bubu dapat
diketahui. Pemasangan bubu dengan sistem tunggal dapat dilihat pada Gambar
Sumber: Sainsbury (1996)
Gambar 9 Pengoperasian bubu sistem tunggal
2. Sistem rawai. Bubu dipasang dalam jumlah banyak dan dirangkai
menggunakan tali antara bubu yang satu dengan yang lainnya. Daerah
pengoperasian biasanya pada perairan laut dalam. Setiap bubu dilengkapi tali
cabang dan terhubung ke tali utama dengan pengait (snap). Satu rangkaian bubu ditandai dengan pelampung tanda pada kedua ujungnya dan dilengkapi
pemberat agar bubu tidak berpindah tempat. Pemasangan bubu dengan sistem
rawai dapat dilihat pada Gambar 10.
Sumber: Sainsbury (1996)
Gambar 10 Pengoperasian bubu sistem rawai
Subani dan Barus (1989) membagi bubu menjadi tiga golongan, yaitu bubu
dasar (ground fishpot), bubu apung (floating fishpot) dan bubu hanyut (drifting fishpot). Rinciannya adalah:
1. Bubu dasar
Bubu ini dioperasikan di dasar perairan. Ukurannya bervariasi menurut
kebutuhan. Bubu yang berukuran kecil umumnya memiliki panjang 100 cm,
besar dapat mencapai ukuran panjang 350 cm, lebar 200 cm dan tinggi 75-100
cm. Pengoperasian bubu ini dilakukan secara tunggal (untuk bubu yang
berukuran besar) dan dapat pula dioperasikan secara ganda (untuk bubu
berukuran kecil atau sedang) yang dalam pengoperasiannya dirangkai dengan
tali panjang pada jarak tertentu dan bubu diikatkan tali tersebut. Tempat
pemasangan bubu dasar biasanya di perairan karang, di antara karang-karang
atau bebatuan. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan dua sampai tiga hari
setelah bubu dipasang, bahkan beberapa hari setelah dipasang.
2. Bubu apung
Alat tangkap ini dioperasikan dengan cara diapungkan. Bubu ini dilengkapi
dengan pelampung yang terbuat dari bambu. Bentuk bubu apung ada yang
silinder dan ada yang seperti kurungan. Pada pengoperasiannya ada pula bubu
yang diikatkan pada rakit bambu, kemudian rakit bambu tersebut dirangkai
dan diikatkan pada jangkar. Panjang tali jangkar tergantung dari kedalaman
perairan, namun panjang tali umumnya 1,5 kali dalam perairan.
3. Bubu hanyut
Bubu yang pengoperasiannya dengan cara dihanyutkan, yaitu mengikuti arus.
Bubu ini dirangkai atas beberapa bubu berukuran kecil yang berjumlah antara
20 – 30 bubu. Pakaja, luka atau patorani adalah bubu hanyut yang umumnya
dikenal. Pakaja adalah bubu berukuran kecil berbentuk silinder dengan
panjang 0,75 m. Pada saat pengoperasian, beberapa bubu disatukan menjadi
beberapa kelompok. Patorani adalah sebutan untuk bubu yang digunakan
untuk menangkap ikan torani dan tuing-tuing atau ikan terbang (flying fish).
2.8.3 Konstruksi bubu
Konstruksi bubu secara umum terdiri atas rangka, badan dan pintu masuk.
Selain itu, ada yang dilengkapi dengan pintu untuk mengambil hasil tangkapan,
kantung umpan sebagai tempat untuk menyimpan umpan dan celah pelolosan
(Lastari 2007). Konstruksi bukaan mulut bubu merupakan salah satu faktor yang
sangat menentukan keberhasilan penangkapan dengan menggunakan bubu
2.8.3.1Bentuk Bubu
Bentuk bubu yang dioperasikan berpengaruh terhadap hasil tangkapan.
Sainsbury (1996) mengatakan bahwa perbedaan bentuk bubu biasanya
disesuaikan dengan target tangkapan di setiap daerah. Bentuk bubu yang dipakai
bisa juga berbeda walaupun hasil tangkapan yang diperoleh sama.
Alat tangkap bubu digunakan di berbagai daerah di seluruh dunia, seperti
Perancis, India, Malaysia, Jepang, Cina, Australia dan di pantai timur dan barat
Amerika Utara, yaitu di wilayah New Zealand serta di sekitar Laut Utara. Bubu
berbentuk seperti tong atau drum berasal dari Perancis, sedangkan bubu berbentuk
hati atau lebih dikenal dengan bubu Madeira berasal dari India dan Sri Lanka.
Selain itu, terdapat juga bubu yang berbentuk huruf Z yang disebut Antillean Z-pot yang berasal dari Karibia. Bubu yang terdapat di Indonesia dan Thailand disebut dengan tubular traps yang memiliki bentuk seperti corong dan tidak mempunyai mulut (funnel) dengan bagian ujung bubu terbelah-belah (Brandt 1984).
Bubu mempunyai bentuk yang beraneka ragam seperti bentuk bujur
sangkar, silinder, gendang, segitiga memanjang, trapesium, setengah silinder, segi
banyak, dan bulat setengah lingkaran (Subani dan Barus 1989). Adapun menurut
Martasuganda (2003), bentuk bubu ada yang berbentuk segi empat, trapesium,
silinder, lonjong dan persegi panjang. Beberapa jenis bubu yang biasa digunakan
di Indonesia untuk menangkap kepiting adalah bubu wadong (Gambar 11),
pintur/rakkang (Gambar 12) dan bubu lipat (Gambar 13).
(a)
(b)
Gambar 12 Konstruksi bubu pintur
Sumber: Martasuganda (2003)
(c)
Gambar 13 Konstruksi bubu lipat standar
Keterangan (a) :
Umpan merupakan salah satu faktor yang berpengaruhnya terhadap
keberhasilan suatu usaha penangkapan (Sadhori 1985 diacu dalam Rusdi 2010). Rusdi (2010) lebih lanjut menjelaskan bahwa umpan merupakan salah satu bentuk
rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan
respons bagi organisme tertentu pada proses penangkapannya. Penggunaaan
umpan dalam proses penangkapan ikan menggunakan bubu sudah dikenal luas
oleh nelayan.
Umpan disebut baik apabila memenuhi syarat, yaitu efektif untuk menarik
berupa ikan yang dipotong-potong memiliki hasil tangkapan lebih baik
dibandingkan dengan menggunakan umpan buatan (Slack and Smith 2001).
2.8.5 Metode pengoperasian bubu
Cara pengoperasian bubu dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu bubu
dasar (stationary fish pots), bubu apung (floating fish pots) dan bubu hanyut (drifting fish pots). Bubu dasar biasanya dioperasikan di perairan karang atau diantara karang dan bebatuan. Agar lokasi pemasangan bubu mudah diketahui,
bubu dilengkapi pelampung yang dihubungkan dengan tali panjang (Subani dan
Barus 1989). Tipe bubu apung dilengkapi dengan pelampung terbuat dari bambu
atau rakit bambu. Bubu diletakkan di bagian atas pelampung atau digantungkan
pada rakit bambu. Hasil tangkapan bubu apung adalah jenis-jenis ikan pelagis.
Bubu hanyut dioperasikan dengan cara dihanyutkan. Bubu hanyut yang dikenal,
yaitu pakaja, luka atau pataroni yang dikhususkan untuk menangkap ikan terbang
(flying fish) (Subani dan Barus 1989).
Metode pengoperasian bubu diawali dengan penentuan daerah penangkapan.
Apabila telah sampai di daerah penangkapan, bubu yang dioperasikan tanpa
umpan dapat langsung diturunkan. Bagi bubu yang menggunakan umpan, maka
umpan terlebih dahulu diletakkan ke dalam kantung umpan atau dikaitkan pada
kawat yang ada di dalam bubu. Setelah itu, bubu ditenggelamkan ke dalam
perairan. Pada umumnya pengoperasian bubu dimulai dengan menurunkan
pelampung tanda, kemudian dilanjutkan dengan penurunan bubu satu persatu
beserta pemberat ke dalam perairan (Sudirman dan Mallawa 2004 diacu dalam
3
METODE PENELITIAN
3.1Waktu dan Tempat
Penelitian dibagi dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah penentuan ukuran
mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu. Tahap kedua adalah
penentuan konstruksi pintu masuk bubu, sedangkan tahap ketiga adalah pengujian
pintu masuk bubu atas dasar hasil percobaan sebelumnya. Penelitian tahap
pertama dilakukan antara bulan Desember 2011-April 2012, sedangkan penelitian
tahap kedua dan ketiga dilaksanakan antara bulan Mei-Agustus 2012. Seluruh
penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Alat Penangkapan Ikan (TAP),
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2Alat dan Bahan
Peralatan yang dibutuhkan untuk menentukan ukuran mata jaring lintasan,
sudut kemiringan lintasan masuk, ukuran dan bentuk pintu masuk bubu meliputi 1
unit akuarium berukuran 150×50×50 (cm) sebagai wadah percobaan, 1 unit
akuarium berukuran 90×60×50 (cm) sebagai wadah filter air, 1 unit akuarium
berukuran 60×60×45 (cm) sebagai wadah penampung kepiting bakau (Scylla serrata), empat model lintasan masuk bubu yang terbuat dari jaring polyethylene
(PE) 210/D6 berkerangka kawat galvanis berukuran 47,5×20,5 (cm) dengan
ukuran mata jaring masing-masing 0,5; 0,75; 1 dan 1,25 inci (Gambar 14), video camera, busur derajat, penggaris, 1 unit termometer, timbangan dan jangka sorong.
Pengujian pintu masuk bubu menggunakan beberapa peralatan, seperti bak
percobaan berdiameter 1,5 m dengan tinggi 0,75 m, 2 unit bubu yang dimodifikasi
pintu masuknya, 2 unit bubu standar (nelayan) untuk uji coba pintu masuk, 1 unit
filter, busur derajat, penggaris, 1 unit termometer, timbangan dan jangka sorong.
Bubu lipat nelayan dan hasil modifikasi memiliki ukuran 48×30,5×18 (cm).
Bahan yang digunakan secara keselurahan dalam penelitian ini adalah 40 kepiting
Gambar 14 Model lintasan berupa jaring dengan ukuran mata 0,5; 0,75; 1 dan 1,25 inci
3.3Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode percobaan.
Percobaan yang dilakukan meliputi penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk,
sudut kemiringan lintasan masuk bubu, ukuran dan bentuk pintu masuk bubu.
Selain itu, dilakukan uji coba konstruksi bubu yang telah dimodifikasi dan bubu
standar di dalam bak percobaan. Seluruh proses penelitian dilakukan di
laboratorium.
3.3.1 Penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu
Penelitian ditujukan untuk mendapatkan ukuran mata jaring yang mudah
dilintasi oleh kepiting bakau. Ukuran mata jaring yang di uji coba adalah 0,5;
0,75; 1 dan 1,25 inci. Ukuran mata jaring yang terpilih dijadikan sebagai ukuran
mata jaring pada lintasan masuk bubu dan digunakan pada pengujian sudut
kemiringan lintasan masuk bubu. Urutan percobaannya mengikuti tahapan
berikut:
1. Percobaan diawali dengan meletakkan model lintasan masuk yang terbuat dari
jaring dengan ukuran mata 0,5 inci di tengah akuarium percobaan membentuk
sudut kemiringan α = 20o yang merupakan sudut kemiringan dari bubu standar;
2. Kepiting bakau diletakkan di depan model lintasan;
3. Bagian belakang model lintasan masuk ditempatkan umpan untuk menarik
kepiting bakau agar mau bergerak melewati lintasan;
pergerakannya di atas lintasan diamati secara visual;
5. Pengujian diulang tiga kali untuk kepiting bakau yang sama;
6. Sebanyak enam kepiting bakau dengan ukuran lebar karapas mulai dari
6,28-9,8 cm digunakan untuk proses pengujian ini; dan
7. Tahapan kerja yang sama juga dilakukan dengan menggunakan lintasan yang
terbuat dari jaring dengan ukuran mata 0,75; 1 dan 1,25 inci.
Pada Gambar 15 dijelaskan ilustrasi posisi kepiting bakau di dalam akuarium pada
uji penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu.
Gambar 15 Ilustrasi posisi kepiting bakau, jaring lintasan dan umpan pada uji penentuan ukuran matajaringlintasan masuk bubu
3.3.2Penentuan sudut kemiringan lintasan masuk bubu
Percobaan bertujuan untuk mendapatkan sudut kemiringan pada lintasan
masuk bubu yang mudah dilalui kepiting bakau saat memasuki bubu. Sudut
kemiringan yang digunakan sebesar 20o, 40o dan 60o. Dasar penggunaan
sudut-sudut tersebut untuk mendapatkan hasil yang berbeda secara signifikan. Sudut
kemiringan yang terpilih dari percobaan digunakan pada lintasan masuk bubu
modifikasi. Tahap percobaan dalam menentukan sudut kemiringan lintasan masuk
sebagai berikut:
1. Percobaan diawali dengan meletakkan model lintasan masuk yang terbuat dari
jaring dengan ukuran mata jaring 1 inci (diperoleh dari percobaan
sebelumnya) di tengah akuarium dengan sudut kemiringan α = 20o; 2. Kepiting bakau diletakkan di depan model lintasan masuk;
3. Umpan diletakkan di belakang model lintasan masuk supaya kepiting bakau
bergerak mendekati dan melintasi model lintasan;
4. Kepiting bakau dibiarkan bergerak melintasi model lintasan dan setiap
Arah gerak
pergerakannya diamati secara visual;
5. Hasil pengujian dan pengamatan dicatat pada datasheet;
6. Pengujian dilakukan sebanyak 18 ulangan dengan menggunakan 8 kepiting
bakau yang memiliki ukuran mulai dari 6,28-10,1 cm; dan
7. Tahapan uji coba yang sama dilakukan pada 2 sudut selanjutnya, yaitu 40o
dan 60o.
Berikut adalah ilustrasi posisi kepiting bakau dalam penentuan sudut kemiringan
lintasan yang ditunjukkan pada Gambar 16.
Gambar 16 Ilustrasi posisi kepiting bakau, jaring lintasan dan umpan pada uji penentuan sudut kemiringan lintasan masuk bubu
3.3.3 Penentuan ukuran dan bentuk pintu masuk bubu
Percobaan dilakukan untuk mendapatkan ukuran dan bentuk pintu masuk
bubu yang mudah dilalui kepiting bakau, tapi kepiting bakau tidak dapat keluar
dari pintu masuk bubu. Ukuran dan bentuk pintu masuk bubu disesuaikan dengan
tingkah laku dan ukuran kepiting bakau, yaitu tebal tubuh kepiting bakau yang
sudah layak tangkap. Urutan proses penentuan ukuran dan bentuk mulut masuk
bubu sebagai berikut:
1. Percobaan diawali dengan meletakkan model lintasan di tengah akuarium
membentuk sudut kemiringan α = 20o dengan jaring yang memiliki ukuran mata 1 inci;
2. Sekeping kaca diletakkan di atas model lintasan hingga membentuk sebuah
celah yang lebarnya disesuaikan dengan ketebalan kepiting bakau layak
tangkap;
3. Kepiting bakau diletakkan di depan model lintasan masuk;
Arah gerak
α
4. Umpan diletakkan di belakang model lintasan supaya kepiting bakau mau
bergerak dan melewati celah mulut yang terbentuk;
5. Kepiting bakau dibiarkan bergerak dan seluruh pergerakannya diamati secara
visual;
6. Ketinggian dan posisi keping kaca dapat dirubah untuk membentuk suatu
celah yang mudah dilewati kepiting bakau dan sulit kembali ke posisi semula;
7. Posisi keping kaca dan model lintasan yang membentuk celah masuk
digambar agar tidak terjadi pengulangan;
8. Ukuran dan bentuk mulut masuk tersebut dijadikan acuan untuk merancang
mulut masuk bubu; dan
9. Pengujian dilakukan tiga kali ulangan dengan menggunakan tiga kepiting
bakau yang memiliki ukuran mulai dari 6,86-9,05 cm.
Berikut adalah ilustrasi posisi kepiting bakau dalam menentukan ukuran dan
bentuk pintu masuk bubu yang ditunjukkan pada Gambar 17.
Gambar 17 Ilustrasi susunan jaring lintasan dan kepingan kaca pada penentuan ukuran dan bentuk pintu masuk bubu
3.3.4 Perbandingan jumlah kepiting yang tertangkap pada bubu lipat standar (S) dan bubu lipat modifikasi (M)
Percobaan ini dilakukan setelah semua pengujian di atas selesai dilakukan.
Percobaan yang dilakukan di dalam bak percobaan ini bertujuan untuk
membandingkan jumlah kepiting bakau yang tertangkap pada bubu standar
dengan bubu modifikasi. Banyaknya kepiting bakau yang tertangkap, tingkah laku
dan kemudahan kepiting bakau saat memasuki bubu akan menggambarkan
keefektifan dari kedua bubu dalam menangkap kepiting bakau. Berikut adalah
tahapan pengujian efektivitas bubu lipat:
1. Dua bubu standar dan dua bubu modifikasi ditempatkan di dalam bak
percobaan dengan posisi masing-masing bubu yang sama saling berhadapan.
Setiap bubu diisi umpan;
2. Sebanyak 30 kepiting bakau dengan ukuran yang bervariasi, baik ukuran
kecil, sedang dan besar yang telah diketahui ukuran panjang, lebar dan tebal
karapasnya dimasukkan ke dalam bak percobaan (Lampiran 1);
3. Pergerakan kepiting bakau di dalam bak percobaan diamati;
4. Percobaan dilakukan sebanyak 20 kali ulangan;
5. Setiap percobaan diberi waktu 20 menit; dan
6. Kepiting-kepiting yang tertangkap di dalam bubu dihitung dan dicatat pada
datasheet.
Pada Gambar 18 dijelaskan susunan dari kedua jenis bubu di dalam bak
percobaan.
Gambar 18 Ilustrasi posisi bubu standar (S) dan bubu modifikasi (M) pada pengujian keefektifan bubu dalam menangkap kepiting bakau
S
S
M M
Ø 1,5 m
Tbak = 0,75 m
Tair = 0,3 m
Masuk M M
S
3.4 Analisis Data
Analisis data yang digunakan pada masing-masing perlakuan berbeda-beda.
Masing-masing analisis data disajikan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Analisis data
No. Tujuan Analisis
1. Menentukan kenormalan ukuran kepiting bakau yang
akan digunakan pada percobaan di laboratorium Regresi
2. Menentukan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu Deskriptif
3. Menentukan sudut kemiringan lintasan masuk bubu Deskriptif
4. Menentukan bentuk dan ukuran pintu masuk bubu Deskriptif
5. Menentukan posisi, bentuk dan ukuran celah
pelolosan Deskriptif
6. Membandingkan jumlah kepiting bakau yang
tertangkap pada bubu lipat standar dan bubu lipat modifikasi
Uji Kolmogorov-Smirnov
3.4.1 Analisis regresi
Analisis regresi digunakan terutama untuk tujuan peramalan yang di
dalamnya terdapat sebuah variabel dependent (tergantung) dan variabel
independent (bebas).Analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi linear tunggal. Persamaan regresi adalah formula matematika yang mencari nilai
variabel dependent dari nilai variabel independent yang diketahui (Santoso 1999). Model umum untuk analisis regresi tersebut adalah (Matjik dan Sumertajaya
2000):
Y = β0+ β1x + ε
Keterangan :
Y : Peubah tak bebas/peubah respon;
β0 : Intersep/perpotongan dengan sumbu tegak;
β1 : Kemiringan/gradient;
x : Peubah bebas/peubah penjelas; dan
ε : Galat.
Analisis regresi yang digunakan pada penelitian ini untuk menentukan
Variabel terikat (dependent) pada penelitian ini adalah tebal karapas kepiting bakau yang harus dicari besarannya. Adapun panjang, lebar karapas dan berat
kepiting bakau menjadi variabel bebas (independent). Variabel terikat digambarkan pada sumbu y dan variabel bebas digambarkan pada sumbu x. Keeratan hubungan dari panjang P, tebal T, lebar L dan berat B kepiting bakau dilihat dari nilai koefisien korelasi (r). Apabila nilai koefisien korelasi (r) kurang dari 0,6, maka model regresi terkait hubungan antar variabel dapat dianalisis
(Wicaksono 2006).
3.4.2 Uji Kolmogorov-Smirnov
Uji Kolmogorov-Smirnov merupakan salah satu uji yang termasuk pada uji
data dua sampel yang tidak berhubungan (independent). Uji ini berfungsi untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang signifikan untuk dua sampel yang
independent (Santoso 1999). Pada penelitian ini yang menjadi sampel adalah
jumlah kepiting bakau yang tertangkap pada bubu modifikasi dan bubu standar.
Hipotesis pada kasus ini sebagai berikut:
1. Ho : Kedua populasi identik (jumlah kepiting bakau yang tertangkap oleh kedua bubu tidak berbeda secara signifikan); dan
2. H1 : Kedua populasi tidak identik (jumlah kepiting bakau yang tertangkap oleh kedua bubu berbeda secara signifikan).
Dasar pengambilan keputusan pada kasus ini sebagai berikut:
1. Jika probabilitas > 0,05, maka Hoditerima; dan
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Ukuran Mata Jaring Lintasan Masuk Bubu
Hasil pengamatan terhadap tingkah laku kepiting bakau saat melewati
bidang lintasan masuk menunjukkan bahwa kepiting bakau cenderung merayapi
bidang lintasan melalui bagian pinggir atau tepi lintasan. Kepiting melintasi
bidang lintasan dengan berjalan miring. Posisi tubuh kepiting bakau saat melewati
lintasan masuk, yaitu dengan membelakangi dinding akuarium atau menghadap
dinding akuarium.
Pergerakan kepiting bakau melewati bidang lintasan dibantu oleh kaki
renangnya. Kaki renang kepiting bakau berpijak pada dinding akuarium saat
posisi kepiting bakau membelakangi dinding akuarium. Adapun pada posisi
berhadapan dengan dinding akuarium, kaki renang kepiting bakau berpijak pada
bidang lintasan. Kaki renang sangat membantu kepiting bakau dalam berjalan saat
merayapi jaring lintasan seperti halnya kaki jalan.
Kaki jalan membantu kepiting bakau berjalan, namun kaki jalan ini tidak
dapat menopang tubuh kepiting bakau saat melewati bidang lintasan masuk. Ini
disebabkan oleh bentuk kaki jalan kepiting yang kurus dan lancip pada bagian
ujungnya (Gambar 3). Sementara bidang yang harus dipijak oleh kaki kepiting
bakau berupa jalinan benang jaring dengan diameter yang kecil.
Hasil percobaan penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk dengan
menggunakan empat ukuran mata jaring, yaitu 0,5; 0,75; 1 dan 1,25 inci,
menunjukkan bahwa kepiting bakau dapat melalui semua ukuran mata jaring
tersebut. Jaring dengan ukuran mata 1 inci lebih mudah dilalui kepiting bakau
dibandingkan dengan ketiga ukuran mata jaring lainnya. Kepiting bakau
berukuran layak tangkap dengan lebar karapas 9 cm atau diatas ukuran layak
tangkap dengan lebar karapas > 9 cm tidak mengalami kesulitan saat merayapi
jaring dengan ukuran mata jaring 1 inci. Kaki renang dan kaki jalan kepiting
bakau tidak tergelincir ataupun terperosok masuk ke dalam mata jaring yang
menyebabkan kepiting bakau sulit melintasi jaring lintasan. Hal tersebut terjadi
sebaliknya pada kepiting bakau berukuran belum layak tangkap dengan lebar
masuk ke mata jaring, sehingga kepiting bakau tidak dapat melanjutkan
pergerakannya.
Bidang lintasan yang berukuran mata jaring 0,5 dan 0,75 inci menyebabkan
kepiting bakau sulit berjalan karena ukuran mata jaring yang kecil dan jaraknya
agak rapat sehingga kaki renang dan kaki jalan cenderung tergelincir saat
berusaha berpijak pada jaring. Akibatnya, kepiting bakau kehilangan
keseimbangan tubuh dan cenderung turun dari bidang lintasan. Hal yang sama
juga terjadi pada jaring berukuran mata 1,25 inci. Kepiting bakau sulit
memijakkan kaki ke jaring, karena ukuran mata jaring terlalu besar. Kaki jalan
dan kaki renang kepiting bakau selalu terperosok ke dalam mata jaring. Selain itu,
ujung kaki jalan kepiting bakau yang lancip terkadang terkait pada benang atau
simpul jaring.
Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa pergerakan kepiting
bakau sangat dibantu oleh kaki renang yang ujungnya berbentuk agak membulat,
lebar dan pipih (Gambar 3) (Siahainenia 2008). Bentuk ujung kaki renang yang
demikian memungkinkan kepiting bakau dapat bertopang pada dinding akuarium,
jaring lintasan ataupun dasar akuarium dan menjadikan kaki renang berperan
utama sebagai pendayung saat berenang. Kasry (1996) dan Siahainenia (2008)
menambahkan bahwa kaki renang kepiting bakau dilengkapi dengan alat
pendayung pada bagian ujungnya. Pada Gambar 19 diilustrasikan posisi kepiting
bakau saat melewati bidang lintasan masuk dengan ukuran mata jaring yang
berbeda.
Gambar 19 Posisi kepiting bakau saat melewati model lintasan masuk