• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modification of Collapsible Pot’s Entrance Construction to Catch Mud Crab

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Modification of Collapsible Pot’s Entrance Construction to Catch Mud Crab"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

JESSY FERGIENA MUTIARA

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

JESSY FERGIENA MUTIARA C44080074

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Modifikasi Konstruksi Pintu

Masuk Bubu Lipat Untuk Menangkap Kepiting Bakau” adalah karya saya sendiri

dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun

kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip

dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Bogor, November 2012

Jessy Fergiena Mutiara

(4)

JESSY FERGIENA MUTIARA, C44080074. Modifikasi Konstruksi Pintu Masuk Bubu Lipat Untuk Menangkap Kepiting Bakau. Dibimbing oleh GONDO PUSPITO dan MOKHAMAD DAHRI ISKANDAR.

Kepiting bakau jenis Scylla serrata sangat disukai oleh masyarakat. Penyebabnya, rasa dagingnya enak dan kandungan nutrisinya tinggi. Biota ini umumnya ditangkap dengan bubu lipat. Konstruksi bubu lipat terdiri atas pintu masuk, badan dan rangka. Pintu masuknya hanya berupa celah. Kaki jalan dan kaki renang kepiting selalu terperosok masuk ke dalam mata jaring lintasan masuk bubu. Ini menyebabkan kepiting bakau terkadang sulit melewatinya. Pada penelitian ini dilakukan perbaikan konstruksi pintu masuk dan lintasan masuk bubu lipat agar mudah dilewati kepiting. Tujuan penelitian ini adalah 1) menentukan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu, 2) menentukan bentuk dan ukuran pintu masuk bubu dan 3) mendapatkan bubu lipat yang efektif dalam menangkap kepiting bakau. Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi 3 tahap, yaitu 1) penentuan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu, 2) penentuan konstruksi pintu masuk bubu dan 3) pengujian pintu masuk bubu atas dasar hasil percobaan sebelumnya. Penelitian ini mengggunakan metode percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lintasan masuk bubu yang terbuat dari jaring polyethylene (PE) dengan ukuran mata jaring 1 inci dan sudut kemiringan lintasan 40o lebih mudah dilewati kepiting. Pintu masuk bubu yang mudah dilewati kepiting berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 30,5×5 (cm). Jumlah kepiting yang tertangkap oleh bubu lipat modifikasi sebanyak 147 individu, sedangkan bubu lipat standar hanya 27 individu.

(5)

JESSY FERGIENA MUTIARA, C44080074. Modification of Collapsible Pot’s Entrance Construction to Catch Mud Crab. Supervised by GONDO PUSPITO and MOKHAMAD DAHRI ISKANDAR.

Mud crab (Scylla serrata) has delicious taste of meat and high content of nutrient. Those reasons that make mud crab are favored by many people. Generally, this species is caught by collapsible pots. The pot is constructed by entrance, body, and frame. The construction of the entrance in the form of a horizontal gap and cause walking legs and swimming legs sink into the mesh of entrance line. This cause the mud crabs difficult to pass. This research fixed the construction of the entrance and entrance line to make it easier to pass. This research use experimental method. The aims of this research are 1) to determine the mesh size and slope of entrance line, 2) to determine the form and size of the entrance and 3) to create an effective in-collapsible pot to catch mud crab. The implementation of research was divided into three stages, namely the determination of mesh size and slope of entrance line, entrance construction for pots and to test the performance of the entrance base on the previous research. The results showed that the entrance made of polyethylene (PE) net with specification of 1 inches of mesh with 40° of slope is easier to pass by the crab. The crabs easily infiltrate the pots with rectangular entrance shape with specification of 30,5 × 5 (cm). The number of crabs caught by modified collapsible pot as much as 147 individuals, as for the common collapsible pot only caught 27 individuals.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

(7)

Nama : Jessy Fergiena Mutiara

NRP : C44080074

Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Dr. Ir. Gondo Puspito, M.Sc Ir. Mokhamad Dahri Iskandar, M.Si

NIP 19630524 198803 1 010 NIP 19690604 199412 1 001

Diketahui

Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc NIP 19621223 198703 1 001

(8)

Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana

pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Judul penelitian yang dilaksanakan di

Laboratorium Teknologi Alat Penangkapan Ikan (Lab TAPI) pada bulan

Desember 2011 – Agustus 2012 adalah “Modifikasi Konstruksi Pintu Masuk

Bubu Lipat Untuk Menangkap Kepiting Bakau”. Penelitian ini diharapkan dapat

mewujudkan perikanan tangkap yang efektif, efisien dan ramah lingkungan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Gondo Puspito, M.Sc dan Ir. Mokhamad Dahri Iskandar, M.Si sebagai

Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan

bimbingannya selama penyusunan skripsi;

2. Dr. Roza Yusfiandayani, S.Pi selaku Dosen Penguji Utama yang telah

memberikan arahan dan saran dalam perbaikan skripsi ini;

3. Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si selaku Ketua Komisi Pendidikan Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan yang telah memberikan saran dan masukan

dalam perbaikan skripsi ini;

4. Orang tua tercinta, Khaerul Saleh dan Tun Farida;

5. Partner penelitian (Bapak Ismawan Tallo, Kak Didin Komarudin, Mas Arrif Nugroho), Bang Edi, Bang Ono, Bang Ucha, Bang Mose teman-teman PSP

45, PSP 46, PSP 47, NJ’ers dan Al-Iffah’ers yang telah memberikan

dukungan, doa serta pinjaman motor; dan

6. Pihak-pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan yang

disebabkan oleh keterbatasan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan

saran dan kritik yang membangun dari pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat

bagi para pembaca dan pihak-pihak yang memerlukan.

Bogor, November 2012

(9)

Penulis dilahirkan di Jakarta, 7 Desember 1989. Putri

pertama dari tiga bersaudara pasangan Khaerul Saleh dan Tun

Farida. Penulis lulus dari SMA Negeri 4 Bekasi pada tahun

2008. Pada tahun yang sama, penulis masuk IPB melalui jalur

Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis

diterima di Program Studi Teknologi dan Manajemen

Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis aktif di berbagai kelembagaan mahasiswa selama mengikuti

perkuliahan, seperti di Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama

BEM TPB (2008 – 2009), Staf Departemen Keuangan LDK Al-Hurriyyah (2008 -

2010), Staf Kementrian Kebijakan Pertanian BEM KM Kabinet Generasi Inspirasi

(2009 - 2010) dan Sekretaris Departemen Advokasi Kebijakan Perikanan dan

Kelautan BEM FPIK Kabinet Ekspansi Biru (2010 - 2011). Selain itu, penulis

pernah menjadi Asisten Pendidikan Agama Islam Tingkat Persiapan Bersama

(TPB) (2011 – 2012)

Penulis juga pernah menjadi salah satu pengajar Bimbingan Belajar dan

Privat di Sentral Edukatif dan Kharisma Prestasi Bogor. Selain itu, penulis pernah

mendapat beasiswa selama masa perkuliahan, seperti beasiswa POM, Lembaga

Amil Zakat (LAZ) Al-Hurriyyah, Kosgoro dan Yayasan Toyota Astra.

Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul

“Modifikasi Konstruksi Pintu Masuk Bubu Lipat Untuk Menangkap Kepiting

Bakau” untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi

dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya

Perikanan. Penulis dinyatakan lulus dalam ujian akhir sarjana pada tanggal 27

(10)
(11)

x 3.3.4 Perbandingan jumlah kepiting bakau yang tertangkap pada bubu

lipat standar (S) dan bubu lipat modifikasi (M) ... 29

3.4 Analisis Data ... 31

3.4.1 Analisis regresi ... 31

3.4.2 Uji Kolmogorov – Smirnov ... 32

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Mata Jaring Lintasan Masuk Bubu ... 33

4.2 Sudut Kemiringan Lintasan Masuk Bubu ... 35

4.3 Bentuk dan Ukuran Pintu Masuk Bubu ... 39

4.4 Rancangan Konstruksi Bubu Lipat Hasil Modifikasi ... 43

4.5 Bubu Lipat Modifikasi dan Bubu Lipat Standar ... 47

4.5.1 Hubungan linear antara tebal dengan panjang, lebar dan berat tubuh kepiting bakau yang dijadikan sampel ... 47

4.5.2 Perbandingan jumlah kepiting bakau yang tertangkap di bubu lipat standar dan bubu lipat modifikasi ... 49

5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 52

5.2 Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53

(12)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Ciri – ciri morfologi kepiting bakau ... 10

2 Analisis data ... 31

(13)

xii

14 Model lintasan berupa jaring dengan ukuran mata 0,5; 0,75; 1 dan 1,25 inci ... 26

15 Ilustrasi posisi kepiting, jaring lintasan dan umpan pada uji penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu ... 27

16 Ilustrasi posisi kepiting, jaring lintasan dan umpan pada uji penentuan sudut kemiringan lintasan masuk bubu ... 28

17 Ilustrasi susunan jaring lintasan dan kepingan kaca pada penentuan ukuran dan bentuk pintu masuk bubu ... 29

18 Ilustrasi posisi bubu standar (S) dan bubu modifikasi (M) pada pengujian keefektifan bubu dalam menangkap kepiting bakau ... 30

19 Posisi kepiting bakau saat melewati bidang lintasan masuk ... 34

20 Frekuensi kepiting bakau melintasi bidang lintasan dengan mesh size 1 inci ... 36

21 Posisi kepiting bakau saat melewati bidang lintasan masuk dengan sudut kemiringan yang berbeda ... 37

22 Posisi kepiting bakau di dalam bubu ... 38

23 Pintu masuk bubu nelayan (standar) berupa celah ... 40

24 Tiga bentuk pintu masuk bubu ... 41

(14)

xiii

26 Jarak antar trigger dan lebar pintu masuk bubu lipat modifikasi ... 43

27 Pintu masuk bubu lipat modifikasi yang dilengkapi dengan trigger ... 43

28 Bubu lipat modifikasi ... 43

29 Ujung trigger yang dibengkokkan ... 44

30 Kantung umpan pada bubu lipat modifikasi ... 45

31 Posisi kantung umpan saat bubu lipat modifikasi dioperasikan ... 45

32 Tempat umpan pada bubu lipat standar ... 46

33 Hubungan linear antara tebal T dengan panjang P, lebar L dan berat B tubuh kepiting bakau ... 48

34 Posisi kepiting bakau di depan pintu masuk bubu lipat standar ... 50

(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Data ukuran kepiting bakau percobaan ... 59

2 Output perhitungan uji Kolmogorov – Smirnov 2 sampel ... 60

3 Alat dan bahan penelitian ... 61

4 Proses pengukuran tubuh kepiting bakau ... 63

(16)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Perairan Indonesia memiliki sumberdaya hayati yang melimpah, diantaranya

adalah moluska, krustase, ikan dan gastropoda. Krustase merupakan organisma

yang banyak diperdagangkan setelah ikan dari keempat kelompok organisma

tersebut. Jenisnya adalah udang, lobster, rajungan dan kepiting bakau.

Kepiting bakau merupakan salah satu jenis krustase yang banyak

diperdagangkan. Jenisnya terdiri atas Scylla serrata, S. tranquebarica, S. paramamosain dan S. olivacea (Keenan et al. 1998 diacu dalam Tuhuteru 2004).

S. serrata adalah spesies yang paling dominan dibandingkan dengan ketiga jenis lainnya (Cholik dan Hanafi 2001). Keberadaanya mudah ditemukan di berbagai

perairan, seperti perairan payau yang ditumbuhi tanaman bakau, pantai, teluk dan

muara sungai.

Kepiting bakau jenis S. serrata sangat disukai oleh konsumen. Penyebabnya adalah rasa daging yang enak dan kandungan nutrisinya tinggi. Informasi yang

disampaikan oleh Motoh 1977 diacu dalam Tupan et al. (2005) menyebutkan bahwa kandungan protein dalam daging dan telur kepiting bakau jenis S. serrata

sekitar 67,5 - 82,6% bobot kering, sedangkan kandungan lemaknya hanya sekitar

0,9 - 8,2% bobot kering.

Hampir seluruh kepiting bakau yang dijual di pasar ditangkap oleh nelayan

dari alam dengan menggunakan bubu dan jaring insang. Kondisi kepiting bakau

hasil tangkapan bubu biasanya dalam keadaan hidup dan seluruh anggota

tubuhnya lengkap, sehingga harga jualnya relatif tinggi. Komarudin (2012)

menyatakan bahwa harga kepiting bakau di tingkat nelayan mencapai Rp 60.000,-

per kg, sedangkan di swalayan sebesar Rp 30.000,- per 100-150 g. Adapun

kepiting bakau hasil tangkapan jaring insang sebagian besar dalam kondisi mati

dan anggota tubuhnya tidak lengkap. Ini menjadi penyebab bubu lebih disukai

oleh nelayan dibandingkan dengan jaring insang.

Jenis bubu yang banyak digunakan oleh nelayan di beberapa daerah, seperti

Subang, Cirebon dan Banten, adalah bubu lipat (Gambar 13). Tujuan utama

(17)

sampingannya berupa beberapa jenis organisma dasar, seperti udang, lobster dan

siput. Beberapa jenis ikan terkadang ikut tertangkap oleh bubu lipat.

Bubu lipat nelayan atau standar memiliki pintu masuk berbentuk celah yang

dibuat tanpa adanya kajian ilmiah. Pengamatan yang dilakukan di laboratorium

menunjukkan bahwa celah masuk bubu terkadang sangat sulit dilalui oleh kepiting

bakau karena duri-duri pada karapas dan capit kepiting bakau tersangkut pada

celah masuk bubu lipat. Kaki jalan dan kaki renang kepiting bakau sering

terperosok masuk ke dalam mata jaring lintasan masuk bubu lipat karena ukuran

mata jaring lintasan bubu lipat nelayan besar. Oleh karena itu, penentuan

konstruksi pintu masuk dan lintasan masuk bubu yang meliputi ukuran mata

jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu lipat nelayan perlu diteliti dan

disesuaikan dengan tingkah laku, bentuk dan ukuran kepiting bakau. Berdasarkan

alasan tersebut, maka bentuk pintu masuk bubu lipat nelayan perlu dimodifikasi

agar kepiting bakau mudah melewatinya untuk masuk ke dalam bubu. Selain itu,

untuk memudahkan kepiting bakau mencapai pintu masuk, maka perlu dilakukan

penelitian terkait ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu.

Penelitian ini terdiri atas 3 macam, yaitu penentuan ukuran mata jaring dan sudut

kemiringan bidang lintasan masuk bubu, konstruksi pintu masuk dan pengujian

konstruksi pintu masuk.

Pustaka yang berisi kajian mengenai konstruksi bubu lipat untuk menangkap

kepiting bakau sulit ditemukan. Beberapa pustaka yang terkait dengan konstruksi

bubu lipat ditujukan untuk menangkap rajungan. Misalnya, tingkah laku rajungan

Charybdis japonica terhadap berbagai bentuk bubu dan tipe pintu masuk (Kim and Ko 1987 dan 1990), efektivitas perangkap rajungan dan lobster (Miller 1990),

kajian selektivitas perangkap Blue crab: mesh size (Guillory dan Prejean 1997), pengaruh pintu masuk bubu dan tingkah laku rajungan C. japonica (Archdale et al. 2006) dan pengaruh konstruksi bubu lipat dan tingkah laku rajungan Charybdis japonica dan Portunus pelagicus yang ditulis oleh Archdale et al. (2007). Beberapa pustaka lain yang membahas bubu lipat untuk menangkap kepiting

bakau hanya terfokus pada pengaruh jenis umpan dan waktu pengoperasian bubu

(18)

posisi umpan terhadap rajungan pada bubu lipat (Caesario 2011). Pustaka-pustaka

tersebut dijadikan sebagai bahan acuan dalam melakukan penelitian dan

pembahasan hasil penelitian ini.

1.2Tujuan

Penelitian ditujukan untuk menentukan:

1. Ukuran mata jaring lintasan masuk bubu;

2. Sudut kemiringan lintasan masuk bubu yang mudah dilewati kepiting bakau;

3. Bentuk dan ukuran pintu masuk yang disesuaikan dengan tingkah laku, ukuran

dan bentuk tubuh kepiting bakau; dan

4. Efektifitas bubu lipat modifikasi dibandingkan dengan bubu lipat standar

dalam menangkap kepiting bakau.

1.3Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Untuk memperoleh konstruksi bubu lipat yang produktif dan dapat

meningkatkan hasil tangkapan kepiting bakau;

2. Sebagai bentuk kontribusi pada kekayaan alat tangkap di Indonesia; dan

3. Sebagai masukan dan referensi topik penelitian lebih lanjut dari bubu lipat

untuk menangkap kepiting bakau dalam rangka kemajuan teknologi perikanan

tangkap di Indonesia.

1.4Perumusan masalah

Permasalahan yang ditemukan pada bubu lipat standar adalah sulitnya

kepiting melewati lintasan masuk bubu dan melewati pintu masuk. Kaki renang

dan kaki jalan kepiting bakau selalu terperosok masuk ke dalam mata jaring

lintasan. Duri-duri yang terdapat pada karapas dan capit kepiting bakau sering

tersangkut pada pintu masuk bubu yang hanya berupa celah. Selain itu, kepiting

bakau yang berukuran kecil masih tertangkap oleh bubu standar. Oleh karena itu,

konstruksi bubu perlu dimodifikasi pada beberapa bagian, yaitu ukuran mata

jaring, sudut kemiringan pada lintasan masuk bubu, bentuk dan ukuran pintu

(19)

Hal utama yang dilakukan pada penelitian ini adalah memodifikasi pintu

masuk dari segi bentuk dan ukuran pintu supaya kepiting bakau mudah masuk ke

dalam bubu, khususnya kepiting bakau jenis S. serrata. Kepiting bakau jenis ini dijadikan sebagai target tangkapan utama. Alasannya adalah sering tertangkap

oleh nelayan. Ini berarti, kepiting bakau jenis S. serrata paling mudah didapatkan di alam. Selain itu, harga jual jenis kepiting bakau ini lebih tinggi dibandingkan

dengan ketiga jenis lainnya.

Penentuan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk

dimaksudkan untuk mendapatkan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan

lintasan masuk bubu yang mudah dilewati oleh kepiting bakau saat memasuki

bubu lipat. Modifikasi pintu masuk, penentuan ukuran mata jaring dan sudut

kemiringan lintasan bubu dimaksudkan agar kepiting tidak mengalami kesulitan

saat memasuki bubu.

Keseluruhan hasil percobaan akan diaplikasikan pada bubu lipat standar

sehingga diperoleh bubu lipat modifikasi. Selanjutnya, bubu lipat standar dan

modifikasi diuji coba bersamaan. Tujuannya untuk menentukan efektivitas masing

(20)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Kepiting Bakau

2.1.1 Klasifikasi kepiting bakau

Klasifikasi kepiting menurut Kordi (1997) adalah sebagai berikut:

Filum : Arthropoda;

Subfilum : Mandibula;

Kelas : Crustacea;

Super ordo : Eucarida;

Ordo : Decapoda;

Subordo : Branchyura;

Famili : Portunidae;

Genus : Scylla; dan

Spesies : Scylla serrata (Gambar 1).

Gambar 1 Scylla serrata

Penamaannya di banyak tempat di daerah Indo-Pasifik sangat beragam. Kepiting

adalah nama dari kepiting bakau yang dikenal di daerah Jawa, sedangkan di

Sumatera, Singapura dan Malaysia dikenal dengan nama ketam batu, kepiting cina

atau kepiting hijau. Masyarakat Filipina mengenal kepiting bakau dengan nama

alimango, sedangkan di Australia dikenal dengan nama kepiting bakau lumpur

atau kepiting bakau. Adapun masyarakat Hawai menyebutnya dengan nama

(21)

Berdasarkan faktor ekologi dan faktor fisik yang mempengaruhi

perkembangan kepiting, genus Scylla diklasifikasikan menjadi tiga spesies, yaitu

S. serrata, S. oceanica dan S. tranquebarica) (Estamphador 1949 diacu dalam

Asmara 2004). Selanjutnya Keenan (1999) menambahkan bahwa atas dasar

perbedaan sifat morfologi dan ekologi, kepiting bakau yang hidup di alam

dikelompokkan atas empat spesies, yaitu S. serrata, S. tranquebarica, S. paramamosain dan S. olivacea (Gambar 2).

(a) S. serrata

(b) S. tranquebarica

(c) S. paramamosain

(d) S. olivacea

Sumber: Keenan (1999)

(22)

2.1.2 Morfologi kepiting bakau

Ciri kepiting bakau adalah memiliki karapas berwarna seperti lumpur atau

sedikit kehijauan. Lebar karapasnya kurang lebih dua pertiga dari panjangnya.

Permukaan karapas hampir licin, kecuali pada beberapa lekukan yang bergranula

halus di daerah branchial. Dahi di antara kedua tangkai mata terdiri atas empat duri dengan ukuran panjang yang hampir sama. Pada bagian kiri dan kanan

(anterolateral) karapas terdapat duri tajam sebanyak sembilan buah dan berukuran hampir sama. Sudut pots-lateral di bawah duri anterolateral melengkung dan bagian sambungan ruas menebal (Moosa et al. 1985 diacu dalam Tuhuteru 2004). Kepiting bakau memiliki 5 pasang kaki yang terletak pada bagian kiri dan

kanan tubuhnya. Urutannya adalah sepasang capit, 3 pasang kaki jalan dan

sepasang kaki renang. Setiap kaki terdiri atas 6 ruas yang secara berturut-turut dari

bagian dekat tubuh ke arah luar disebut coxa, basi-ischium, merus, carpus,

propondus dan dactylus (Gambar 3) (Siahainenia 2008).

(a) Cheliped

(b) Kaki jalan

(c) Kaki renang

Sumber: Siahainenia (2008)

(23)

Capit kepiting jantan dewasa memiliki panjang hampir dua kali panjang

karapasnya, sedangkan capit betina dan jantan muda lebih pendek. Pada tepi

anterior merus terdapat tiga duri kokoh. Bagian luar anterior merus berbentuk bulat dan kadang-kadang dilengkapi dengan satu atau dua duri kecil. Propodus

memiliki tiga duri atau bentol. Satu diantaranya terletak di muka persendian

karpus dan dua lainnya terletak bersisian dengan persendian daktilus (Chairunnisa

2004). Menurut Siahainenia (2008), capit sangat berfungsi ketika kepiting makan.

Struktur capit sangat kokoh, terutama pada bagian chela,dilengkapi dengan duri-duri tajam dan kuat yang umumnya digunakan untuk mencabik-cabik makanan

dan memasukannya ke dalam mulut. Selain itu, capit juga digunakan untuk

pertahanan diri.

Tiga pasang kaki selain capit disebut kaki jalan yang berfungsi untuk

berjalan selama kepiting bakau berada di darat dan juga berguna saat reproduksi,

terutama pada kepiting jantan. Pada proses percumbuan, kaki jalan digunakan

oleh kepiting jantan untuk mendekap kepiting betina di bagian bawah tubuhnya,

sehingga tubuh mereka menyatu. Posisi ini disebut doubllers. Pada kepiting betina, kaki berfungsi untuk membantu proses penetasan telur. Kepiting bakau

betina yang sedang berkontraksi akan berdiri dengan menggunakan kedua

capitnya, sedangkan bagian dactylus pada kaki jalan terakhir (kaki jalan ke-2 dan ke-3) digunakan untuk menggaruk zygote secara terus-menerus sehingga butiran-butiran telur terurai dan terlepas dari rambut-rambut pleopod (Siahainenia 2008). Kaki renang adalah sepasang kaki terakhir yang terdapat pada bagian ujung

abdomen. Bentuknya agak membulat dan lebar. Bagian dactylus dan propondus

berbentuk pipih. Fungsi kaki renang ini adalah sebagai alat bantu semacam

dayung pada saat berenang (Siahainenia 2008).

Menurut Siahainenia (2008), mulut terletak pada bagian ventral tubuh,

tepatnya berada di bawah rongga mata dan di atas tulang rongga dada. Mulut

kepiting bakau terdiri atas tiga pasang rahang tambahan (maxilliped) yang berbentuk lempengan. Nama setiap bagian mulut berturut-turut dari bagian

terdekat dengan rongga mulut ke arah luar adalah maxilliped I, maxilliped II,

(24)

mulut. Rongga mulut kepiting, menurut Siahainenia (2008), selalu dalam keadaan

terbuka.

Kepiting memiliki sepasang antena yang berada pada bagian dahi karapas,

yaitu di antara kedua rongga mata. Antena berfungsi untuk mendeteksi adanya

bahaya melalui gerakan angin (Kasry 1996). Antena merupakan organ peraba dan

perasa yang dapat mendeteksi secara detail perubahan pergerakan air dan kimia

air (Phelan et al. 2005 diacu dalam Siahainenia 2008).

Kepiting memiliki sepasang mata. Mata kepiting dilindungi oleh dinding

rongga mata yang menyerupai duri-duri besar yang kokoh dan terletak pada

bagian dahi karapas. Bila dalam keadaan terancam, tangkai mata akan

ditempelkan rapat-rapat ke dalam rongga mata sehingga hanya tampak duri-duri

yang kokoh tersebut (Siahainenia 2008). Gambar 4 menunjukkan morfologi tubuh

kepiting dan Tabel 1 menjelaskan ciri-ciri morfologi dari keempat jenis kepiting

bakau (Keenan et al. 1998 diacu dalam Tuhuteru 2004). Perbedaan bentuk morfologi keempat jenis kepiting bakau terletak pada bentuk duri di antara mata

dan keberadaan duri pada korpus (Gambar 5) (Keenan 1999).

(25)

Tabel 1 Ciri - ciri morfologi kepiting bakau

Uraian Jenis kepiting bakau

S. serrata S. tranquebarica S. paramamosain S. olivacea

Warna Ungu, hijau

(26)

2.1.3 Perbedaan kepiting bakau jantan dan betina

Membedakan jenis kelamin dari kepiting bakau jantan dan betina dapat

dilakukan dengan mengamati bentuk luar tubuhnya. Hal ini dituturkan oleh

Moosa et al. (1985) diacu dalam Rosmaniar (2008) yang menyebutkan bahwa organ kelamin kepiting jantan berbentuk segitiga agak runcing yang menempel di

bagian perutnya, sedangkan organ kelamin kepiting betina berbentuk segitiga

yang relatif lebar dan bagian depannya agak tumpul. Cara lain membedakan jenis

kelamin kepiting adalah dengan memperhatikan ruas-ruas abdomennya. Ruas

abdomen kepiting jantan jauh lebih sempit dibandingkan dengan ruas abdomen

kepiting betina (Gambar 6).

(a) S. serrata betina (b) S. serrata jantan Gambar 6 Abdomen kepiting bakau betina dan jantan

2.2 Habitat Kepiting Bakau

Habitat kepiting bakau sebagian besar berada di hutan-hutan bakau perairan

Indonesia. Spesies ini adalah spesies khas yang berada di kawasan bakau.

Kepiting bakau yang masih berupa juvenil lebih suka membenamkan diri ke

dalam lumpur sehingga jarang terlihat di daerah bakau. Juvenil kepiting bakau

lebih menyukai tempat-tempat terlindung, seperti alur-alur air laut yang menjorok

ke daratan, saluran air, di bawah batu, di bentangan rumput laut dan di sela-sela

akar pohon bakau (Kanna 2002).

Hutan mangrove adalah daerah yang umumnya banyak dihuni kepiting

bakau (Kordi 1997). Daerah berlumpur dan tepian muara sungai juga banyak

(27)

2.3 Distribusi Kepiting Bakau

Kepiting bakau memiliki sebaran geografis yang sangat luas, meliputi pantai

Timur Afrika, India, Srilangka, Indonesia, Filipina, Thailand, Cina, Taiwan,

Jepang, Papua Nugini, Australia dan pulau-pulau di utara Selandia Baru. Kepiting

bakau ditemukan di daerah air payau dan sebagian besar tertangkap di wilayah

pesisir Indonesia (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya)

(Sulistiono et al. 1994 diacu dalam Asmara 2004).

Penyebaran kepiting bakau yang luas menyebabkan timbulnya daerah yang

menjadi pusat pengusahaan kepiting bakau. Hal ini berhubungan dengan habitat

kepiting yang masih baik. Daerah-daerah yang dimaksud, antara lain terdapat di

selatan Jawa (Cilacap), utara Jawa (Tanjung Pasir, Pamanukan), barat Sumatera

(Bengkulu, Riau), timur Kalimantan (Kota Baru, Pasir, Balikpapan), Sulawesi

(Teluk Bone, Teluk Kolono, Kendari), Nusa Tenggara Barat (Teluk Waworada,

Teluk Bima) dan Irian Jaya (Teluk Bintuni, Biak Numfor) (Asmara 2004).

2.4Siklus Hidup Kepiting Bakau

Kepiting bakau mengalami beberapa fase pertumbuhan, antara lain fase

zoea, megalopa, kepiting muda dan kepiting dewasa. Selain itu, kepiting juga mengalami beberapa kali proses pergantian kulit (moulting) (Gambar 7). Tubuhnya akan menjadi lebih besar setelah mengalami proses moulting. Larva tingkat I (Zoea I) muncul setelah telur menetas. Larva akan berganti kulit secara terus menerus sambil terbawa arus pantai sebanyak lima kali (Zoea V). Selanjutnya, larva akan berganti kulit lagi menjadi megalopa yang bentuk

tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa. Bagian yang masih tersisa adalah

(28)

Sumber: Phelan dan Grubert (2007)

Gambar 7 Kepiting bakau yang sedang moulting

Kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai

ke perairan laut. Induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan

bakau untuk berlindung, mencari makan atau membesarkan diri. Kepiting

melakukan perkawinan di perairan bakau, selanjutnya secara perlahan-lahan

kepiting betina akan beruaya dari perairan bakau ke tepi pantai. Apabila telah

mencapai ke tengah laut, maka kepiting akan berusaha mencari perairan yang

kondisinya cocok sebagai tempat untuk memijah, khususnya terhadap suhu dan

salinitas air laut (Kasry 1991). Kepiting pada tingkat megalopa mulai beruaya menuju pantai melewati muara sungai dan selanjutnya memasuki perairan bakau

untuk kembali melangsungkan perkawinan (Gambar 8). Kepiting jantan yang

telah melakukan perkawinan atau yang telah dewasa akan berada di perairan

bakau, di tambak atau di sekitar perairan pantai yang berlumpur yang memiliki

(29)

Sumber: Kasry (1991)

Gambar 8 Siklus hidup kepiting bakau

Daur hidup kepiting bakau diperkirakan melewati berbagai kondisi perairan.

Pada saat pertama kali kepiting menetas, suhu air laut umumnya berkisar antara

25oC - 27oC dan salinitas 29‰ - 33‰. Kepiting muda yang baru berganti kulit

dari megalopa dapat memasuki muara sungai, karena memiliki kemampuan

mentolerir salinitas air yang rendah (10-24‰). Pada tingkat zoea terjadi pergantian kulit yang berlangsung lebih kurang 3-4 hari sebelum memasuki fase

berikutnya. Tingkat megalopa berlangsung selama 11-12 hari pada salinitas 29‰

-33‰ sebelum berganti kulit menjadi tingkat kepiting pertama. Megalopa di alam

bergerak ke arah pantai memasuki perairan payau (brackish water) pada salinitas

air antara 21‰ - 27‰ (Kasry 1996).

Kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun pada

kondisi lingkungan yang memungkinkan. Pada umur 12-14 bulan, kepiting sudah

dianggap dewasa dan dapat memijah. Kepiting mampu menghasilkan jutaan telur

(30)

2.5 Pemijahan

Pemijahan adalah salah satu bagian dari reproduksi dan juga mata rantai

daur hidup yang menentukan kelangsungan hidup spesies (Serosero 2005).

Adapun menurut Siahainenia (2008), pemijahan pada kepiting adalah proses

pengeluaran telur dari kepiting bakau betina. Proses ini terjadi setelah sel telur

mengalami vitelogenesis sempurna dan inti sel telur telah bergerak ke tepi atau setelah sel telur mencapai matang sempurna. Proses pemijahan umumnya

berlangsung pada substrat dasar perairan berpasir atau pasir berlumpur. Apabila

kepiting bakau betina telah siap memijahkan telur-telurnya, maka kepiting

tersebut membuat lubang dangkal pada substrat dengan bantuan tutup

abdomennya. Kepiting aktif memijah antara bulan Mei-September dengan jumlah

telur yang dihasilkan sekitar dua juta butir dan selanjutnya kembali matang telur

setelah lima bulan sejak telur dierami.

Pemijahan kepiting umumnya berlangsung sepanjang tahun dengan masa

pemijahan berlangsung selama lima bulan. Puncak pemijahan kepiting berbeda

setiap tahun. Pemijahan berlangsung pada perairan yang dalam dengan mengikuti

periode bulan. Jarak ruayanya tidak lebih dari satu kilometer dari pantai, namun

pada saat-saat tertentu kepiting tersebut juga pernah ditemukan memijah di

tambak dan estuaria (Kasry 1996).

Kepiting bakau di Hawai melakukan pemijahan pada awal bulan Mei

sampai akhir Oktober, yaitu saat suhu air berkisar antara 24oC - 28oC, sedangkan

di Australia, pemijahan berlangsung dari awal musim semi hingga musim gugur

dengan puncaknya pada bulan November-Desember (akhir musim semi hingga

awal musim panas). Adapun puncak pemijahan di Thailand berlangsung dari

bulan Juli-Desember (pertengahan awal musim panas hingga musim hujan)

(Kasry 1996).

2.6Kematangan Gonad Kepiting Bakau

Tingkat kematangan gonad merupakan tahap perkembangan gonad sebelum

dan sesudah pemijahan. Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan

bagian dari reproduksi sebelum terjadi pemijahan. Perkembangan gonad terjadi

(31)

setiap sel telur (Serosero 2005). Selama proses berlangsung, sebagian besar hasil

metabolisme ditujukan untuk perkembangan gonad (Serosero 2008).

Tingkat kematangan gonad dapat ditentukan secara morfologis dan

histologis. Penentuan tingkat kematangan gonad secara morfologis dapat dilihat

dari bentuk, panjang, berat, warna dan perkembangan isi gonad, sedangkan secara

histologis dapat dilihat dari perkembangan bentuk anatomi gonadnya (Effendie

2002). Petunjuk penentuan tingkat kematangan gonad kepiting bakau dijelaskan

oleh Kasry (1996) diacu dalam Serosero (2008) dengan sedikit modifikasi, yaitu:

1. TKG I: Belum matang (immature)

a. Ciri morfologis: Ovarium yang berwarna kuning keputihan dan berbentuk

sepasang filamen ditutupi oleh selaput peritoneum tipis yang mengarah ke punggung.

b. Ciri histologis: Epitel folikel yang menutupi sel telur tidak begitu jelas.

Sitoplasma pun berwarna agak lemah, akan tetapi nukleus dan nukleolus

sangat jelas. Sebagian besar ovarium yang belum matang mempunyai

bentuk yang tidak beraturan dan sel telur mengalami atresia relatif

banyak.

2. TKG II: Menjelang matang (maturing)

a. Ciri morfologis: Ukuran ovarium bertambah dan meluas, baik ke arah

lateral maupun antero-posterior, namun butiran telur belum kelihatan

hanya berwarna kuning keemasan.

b. Ciri histologis: Kuning telur masih terlihat dengan ukuran yang kecil

walaupun ovari masih kecil. Kuning telur tersebar di dalam sitoplasma.

3. TKG III: Matang (mature)

a. Ciri morfologis: Ovarium kepiting semakin membesar. Warna dari

ovarium mulai dari oranye muda sehingga butiran telurnya sudah

kelihatan, namun masih dilapisi oleh kelenjar minyak.

b. Ciri histologis: Butiran kuning telurnya makin membesar dan hampir

seluruh sitoplasma tertutup kelenjar minyak.

4. TKG IV

a. Ciri morfologis: Butir-butir telur bertambah besar dan terlihat sangat jelas

(32)

minyaknya sudah semakin berkurang.

dikeluarkan saat proses pemijahan sehingga masih terlihat keberadaan

butiran telur ini.

b. Ciri histologis: Sel-sel telurnya seperti pada TKG I, namun telah

ditemukan sel telur yang sudah matang.

Ovarium berkembang menjadi matang setelah mencapai proses kopulasi.

Kematangan gonad kepiting bakau dapat dicapai jika telah mengalami proses

kopulasi untuk pertama kalinya. Pencapaian matang gonad biasanya ditunjukkan

dengan lebar karapas kepiting bakau yang berkisar antara 105-123 mm atau

99,1-114,2 mm. Keadaan tersebut dapat dicapai antara lima bulan sampai satu tahun

(Hartnoll 1969 diacu dalam Serosero 2005).

Kepiting bakau betina di Indonesia yang telah matang kelamin mempunyai

panjang karapas 42,7 mm dan lebarnya 80 mm (Aldrianto 1994 diacu dalam

Serosero 2005). Adapun Kanna (2002) berpendapat bahwa ciri kepiting bakau

yang telah matang gonad memiliki lebar karapas 9-10 cm dan warna abdomen

telah menyerupai warna karapasnya. Selain itu, tingkat kematangan gonad dari

kepiting dapat diketahui dengan menekan batas perut bagian belakang dan

karapas. Warna gonad kepiting yang telah matang gonad adalah oranye atau

kuning (Syafitriyanto 2009 diacu dalam Rusdi 2010).

2.7Makanan dan Kebiasaan Makan

Kepiting bakau bersifat omnivorus scavengers atau pemakan segala makanan, cenderung pemakan bangkai dan bersifat kanibal. Kepiting bakau

memakan organisma yang bergerak lambat atau diam, terutama hewan yang biasa

terpendam di dasar perairan, seperti kerang-kerangan, keong-keongan, krustase

lainnya dan cacing. Alga dan busukan dari potongan kayu, bambu dan benda

(33)

kecil di alam terdiri atas berbagai organisme plankton, seperti diatom, moluska

dan cacing (Kasry 1991).

Kepiting bakau yang lebih besar menyerang kepiting bakau yang lebih kecil.

Perilaku tersebut terjadi pada lingkungan hutan bakau. Kepiting besar

melumpuhkan kepiting kecil dengan merusak umbai-umbainya dan kemudian

merusak karapas menjadi potongan-potongan. Setelah itu, kepiting besar mulai

memakannya dengan mengambil bagian lunak dari tubuh mangsanya (Rosmaniar

2008). Kanibalisme pada kepiting merupakan hal yang sering terjadi, terutama

pada ruangan yang terbatas, baik rajungan atau kepiting dewasa maupun yang

masih larva (Nontji 1993 diacu dalam Lastari 2007).

Ada beberapa faktor yang menyebabkan nafsu makan kepiting bakau

berkurang, yaitu suhu dan pergantian kulit. Aktivitas makan kepiting bakau

menurun pada suhu di bawah 20oC (Hill 1975). Kepiting bakau termasuk hewan

nokturnal dan keluar dari persembunyiannya setelah matahari terbenam.

Pergerakannya berlangsung sepanjang malam, terutama untuk mencari makan.

Pergerakan kepiting bakau pada malam hari dapat mencapai jarak antara 219-910

m. Kepiting kemudian akan membenamkan dirinya kembali pada saat matahari

akan terbit (Kordi 1997).

2.8Bubu

2.8.1 Deskripsi bubu

Bubu merupakan alat tangkap yang ukurannya lebih kecil dibandingkan

dengan perangkap. Pengoperasian bubu menggunakan perahu. Bubu banyak

digunakan pada daerah pesisir laut untuk menangkap berbagai jenis krustase, ikan,

gurita dan kerang. Bubu terdiri atas berbagai ukuran dan bentuk yang dapat

menarik berbagai jenis organisme yang akan tertangkap dengan menggunakan

ikan (Sainsbury 1996).

Alat tangkap bubu telah lama dikenal oleh nelayan. Ini disebabkan karena

biaya pembuatan relatif murah, cara pembuatan dan pengoperasiannya mudah,

bahan pembuatannya mudah didapat, tidak merusak organisme hasil tangkapan

dan tidak merusak sumberdaya secara ekologis maupun teknis. Bubu dapat

dioperasikan pada tempat-tempat yang alat tangkap lain tidak dapat dioperasikan,

(34)

yang sangat dalam atau perairan dengan pantai yang tinggi dan terjal. Adanya

berbagai kelebihan tersebut menyebabkan nelayan-nelayan bermodal kecil sangat

menyukainya (Puspito 2009).

Prinsip penangkapan dengan bubu adalah memerangkap organisme laut

yang masuk ke dalam bubu dan tidak dapat keluar lagi. Ada banyak penyebab

organisme laut masuk ke dalam bubu, diantaranya tertarik oleh makanan, mengira

bubu sebagai tempat tinggalnya, terbawa arus, sebagai tempat berlindung dari

kejaran pemangsa, tidak sengaja masuk ke dalam bubu dan tergiring oleh nelayan.

Oleh karena itu, pengoperasian atau pembuatan bubu umumnya didasarkan atas

semua faktor penyebab tersebut (Puspito 2009).

2.8.2 Klasifikasi bubu

Bubu digolongkan ke dalam kelompok perangkap (trap) (Brandt 1984). Berdasarkan lokasi pemasangannya, bubu diklasifikasikan menjadi dua kategori,

yaitu (Sainsbury 1996):

1. Inshore potting. Alat tangkap ini dioperasikan pada daerah yang arusnya tidak terlalu deras, seperti daerah karang, estuaria, laguna, teluk dan perairan dekat

pantai sampai kedalaman 75 m. Bubu dioperasikan menggunakan perahu kecil

dengan panjang antara 25-45 kaki. Nelayan yang mengoperasikan hanya

berjumlah 1-2 orang.

2. Offshore potting. Alat tangkap ini dioperasikan di perairan laut dalam sampai kedalaman 900 m. Bubu dioperasikan menggunakan kapal besar menggunakan

peralatan yang mendukung selama pengopersian berlangsung.

Selain itu, bubu juga dikelompokkan menjadi 2 kelompok berdasarkan metode

pengoperasiannya, yaitu:

1. Sistem tunggal. Bubu dipasang menetap di dasar perairan secara satu per satu.

Biasanya dipasang di daerah berkarang dan berbatu dengan jarak yang cukup

jauh antara bubu yang satu dengan lainnya. Bubu ini dilengkapi dengan

pemberat agar bubu tidak berpindah. Selain itu, bubu ini juga dilengkapi

dengan pelampung tanda yang dihubungkan dengan tali agar posisi bubu dapat

diketahui. Pemasangan bubu dengan sistem tunggal dapat dilihat pada Gambar

(35)

Sumber: Sainsbury (1996)

Gambar 9 Pengoperasian bubu sistem tunggal

2. Sistem rawai. Bubu dipasang dalam jumlah banyak dan dirangkai

menggunakan tali antara bubu yang satu dengan yang lainnya. Daerah

pengoperasian biasanya pada perairan laut dalam. Setiap bubu dilengkapi tali

cabang dan terhubung ke tali utama dengan pengait (snap). Satu rangkaian bubu ditandai dengan pelampung tanda pada kedua ujungnya dan dilengkapi

pemberat agar bubu tidak berpindah tempat. Pemasangan bubu dengan sistem

rawai dapat dilihat pada Gambar 10.

Sumber: Sainsbury (1996)

Gambar 10 Pengoperasian bubu sistem rawai

Subani dan Barus (1989) membagi bubu menjadi tiga golongan, yaitu bubu

dasar (ground fishpot), bubu apung (floating fishpot) dan bubu hanyut (drifting fishpot). Rinciannya adalah:

1. Bubu dasar

Bubu ini dioperasikan di dasar perairan. Ukurannya bervariasi menurut

kebutuhan. Bubu yang berukuran kecil umumnya memiliki panjang 100 cm,

(36)

besar dapat mencapai ukuran panjang 350 cm, lebar 200 cm dan tinggi 75-100

cm. Pengoperasian bubu ini dilakukan secara tunggal (untuk bubu yang

berukuran besar) dan dapat pula dioperasikan secara ganda (untuk bubu

berukuran kecil atau sedang) yang dalam pengoperasiannya dirangkai dengan

tali panjang pada jarak tertentu dan bubu diikatkan tali tersebut. Tempat

pemasangan bubu dasar biasanya di perairan karang, di antara karang-karang

atau bebatuan. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan dua sampai tiga hari

setelah bubu dipasang, bahkan beberapa hari setelah dipasang.

2. Bubu apung

Alat tangkap ini dioperasikan dengan cara diapungkan. Bubu ini dilengkapi

dengan pelampung yang terbuat dari bambu. Bentuk bubu apung ada yang

silinder dan ada yang seperti kurungan. Pada pengoperasiannya ada pula bubu

yang diikatkan pada rakit bambu, kemudian rakit bambu tersebut dirangkai

dan diikatkan pada jangkar. Panjang tali jangkar tergantung dari kedalaman

perairan, namun panjang tali umumnya 1,5 kali dalam perairan.

3. Bubu hanyut

Bubu yang pengoperasiannya dengan cara dihanyutkan, yaitu mengikuti arus.

Bubu ini dirangkai atas beberapa bubu berukuran kecil yang berjumlah antara

20 – 30 bubu. Pakaja, luka atau patorani adalah bubu hanyut yang umumnya

dikenal. Pakaja adalah bubu berukuran kecil berbentuk silinder dengan

panjang 0,75 m. Pada saat pengoperasian, beberapa bubu disatukan menjadi

beberapa kelompok. Patorani adalah sebutan untuk bubu yang digunakan

untuk menangkap ikan torani dan tuing-tuing atau ikan terbang (flying fish).

2.8.3 Konstruksi bubu

Konstruksi bubu secara umum terdiri atas rangka, badan dan pintu masuk.

Selain itu, ada yang dilengkapi dengan pintu untuk mengambil hasil tangkapan,

kantung umpan sebagai tempat untuk menyimpan umpan dan celah pelolosan

(Lastari 2007). Konstruksi bukaan mulut bubu merupakan salah satu faktor yang

sangat menentukan keberhasilan penangkapan dengan menggunakan bubu

(37)

2.8.3.1Bentuk Bubu

Bentuk bubu yang dioperasikan berpengaruh terhadap hasil tangkapan.

Sainsbury (1996) mengatakan bahwa perbedaan bentuk bubu biasanya

disesuaikan dengan target tangkapan di setiap daerah. Bentuk bubu yang dipakai

bisa juga berbeda walaupun hasil tangkapan yang diperoleh sama.

Alat tangkap bubu digunakan di berbagai daerah di seluruh dunia, seperti

Perancis, India, Malaysia, Jepang, Cina, Australia dan di pantai timur dan barat

Amerika Utara, yaitu di wilayah New Zealand serta di sekitar Laut Utara. Bubu

berbentuk seperti tong atau drum berasal dari Perancis, sedangkan bubu berbentuk

hati atau lebih dikenal dengan bubu Madeira berasal dari India dan Sri Lanka.

Selain itu, terdapat juga bubu yang berbentuk huruf Z yang disebut Antillean Z-pot yang berasal dari Karibia. Bubu yang terdapat di Indonesia dan Thailand disebut dengan tubular traps yang memiliki bentuk seperti corong dan tidak mempunyai mulut (funnel) dengan bagian ujung bubu terbelah-belah (Brandt 1984).

Bubu mempunyai bentuk yang beraneka ragam seperti bentuk bujur

sangkar, silinder, gendang, segitiga memanjang, trapesium, setengah silinder, segi

banyak, dan bulat setengah lingkaran (Subani dan Barus 1989). Adapun menurut

Martasuganda (2003), bentuk bubu ada yang berbentuk segi empat, trapesium,

silinder, lonjong dan persegi panjang. Beberapa jenis bubu yang biasa digunakan

di Indonesia untuk menangkap kepiting adalah bubu wadong (Gambar 11),

pintur/rakkang (Gambar 12) dan bubu lipat (Gambar 13).

(a)

(38)

(b)

Gambar 12 Konstruksi bubu pintur

Sumber: Martasuganda (2003)

(c)

Gambar 13 Konstruksi bubu lipat standar

Keterangan (a) :

Umpan merupakan salah satu faktor yang berpengaruhnya terhadap

keberhasilan suatu usaha penangkapan (Sadhori 1985 diacu dalam Rusdi 2010). Rusdi (2010) lebih lanjut menjelaskan bahwa umpan merupakan salah satu bentuk

rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan

respons bagi organisme tertentu pada proses penangkapannya. Penggunaaan

umpan dalam proses penangkapan ikan menggunakan bubu sudah dikenal luas

oleh nelayan.

Umpan disebut baik apabila memenuhi syarat, yaitu efektif untuk menarik

(39)

berupa ikan yang dipotong-potong memiliki hasil tangkapan lebih baik

dibandingkan dengan menggunakan umpan buatan (Slack and Smith 2001).

2.8.5 Metode pengoperasian bubu

Cara pengoperasian bubu dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu bubu

dasar (stationary fish pots), bubu apung (floating fish pots) dan bubu hanyut (drifting fish pots). Bubu dasar biasanya dioperasikan di perairan karang atau diantara karang dan bebatuan. Agar lokasi pemasangan bubu mudah diketahui,

bubu dilengkapi pelampung yang dihubungkan dengan tali panjang (Subani dan

Barus 1989). Tipe bubu apung dilengkapi dengan pelampung terbuat dari bambu

atau rakit bambu. Bubu diletakkan di bagian atas pelampung atau digantungkan

pada rakit bambu. Hasil tangkapan bubu apung adalah jenis-jenis ikan pelagis.

Bubu hanyut dioperasikan dengan cara dihanyutkan. Bubu hanyut yang dikenal,

yaitu pakaja, luka atau pataroni yang dikhususkan untuk menangkap ikan terbang

(flying fish) (Subani dan Barus 1989).

Metode pengoperasian bubu diawali dengan penentuan daerah penangkapan.

Apabila telah sampai di daerah penangkapan, bubu yang dioperasikan tanpa

umpan dapat langsung diturunkan. Bagi bubu yang menggunakan umpan, maka

umpan terlebih dahulu diletakkan ke dalam kantung umpan atau dikaitkan pada

kawat yang ada di dalam bubu. Setelah itu, bubu ditenggelamkan ke dalam

perairan. Pada umumnya pengoperasian bubu dimulai dengan menurunkan

pelampung tanda, kemudian dilanjutkan dengan penurunan bubu satu persatu

beserta pemberat ke dalam perairan (Sudirman dan Mallawa 2004 diacu dalam

(40)

3

METODE PENELITIAN

3.1Waktu dan Tempat

Penelitian dibagi dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah penentuan ukuran

mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu. Tahap kedua adalah

penentuan konstruksi pintu masuk bubu, sedangkan tahap ketiga adalah pengujian

pintu masuk bubu atas dasar hasil percobaan sebelumnya. Penelitian tahap

pertama dilakukan antara bulan Desember 2011-April 2012, sedangkan penelitian

tahap kedua dan ketiga dilaksanakan antara bulan Mei-Agustus 2012. Seluruh

penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Alat Penangkapan Ikan (TAP),

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2Alat dan Bahan

Peralatan yang dibutuhkan untuk menentukan ukuran mata jaring lintasan,

sudut kemiringan lintasan masuk, ukuran dan bentuk pintu masuk bubu meliputi 1

unit akuarium berukuran 150×50×50 (cm) sebagai wadah percobaan, 1 unit

akuarium berukuran 90×60×50 (cm) sebagai wadah filter air, 1 unit akuarium

berukuran 60×60×45 (cm) sebagai wadah penampung kepiting bakau (Scylla serrata), empat model lintasan masuk bubu yang terbuat dari jaring polyethylene

(PE) 210/D6 berkerangka kawat galvanis berukuran 47,5×20,5 (cm) dengan

ukuran mata jaring masing-masing 0,5; 0,75; 1 dan 1,25 inci (Gambar 14), video camera, busur derajat, penggaris, 1 unit termometer, timbangan dan jangka sorong.

Pengujian pintu masuk bubu menggunakan beberapa peralatan, seperti bak

percobaan berdiameter 1,5 m dengan tinggi 0,75 m, 2 unit bubu yang dimodifikasi

pintu masuknya, 2 unit bubu standar (nelayan) untuk uji coba pintu masuk, 1 unit

filter, busur derajat, penggaris, 1 unit termometer, timbangan dan jangka sorong.

Bubu lipat nelayan dan hasil modifikasi memiliki ukuran 48×30,5×18 (cm).

Bahan yang digunakan secara keselurahan dalam penelitian ini adalah 40 kepiting

(41)

Gambar 14 Model lintasan berupa jaring dengan ukuran mata 0,5; 0,75; 1 dan 1,25 inci

3.3Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode percobaan.

Percobaan yang dilakukan meliputi penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk,

sudut kemiringan lintasan masuk bubu, ukuran dan bentuk pintu masuk bubu.

Selain itu, dilakukan uji coba konstruksi bubu yang telah dimodifikasi dan bubu

standar di dalam bak percobaan. Seluruh proses penelitian dilakukan di

laboratorium.

3.3.1 Penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu

Penelitian ditujukan untuk mendapatkan ukuran mata jaring yang mudah

dilintasi oleh kepiting bakau. Ukuran mata jaring yang di uji coba adalah 0,5;

0,75; 1 dan 1,25 inci. Ukuran mata jaring yang terpilih dijadikan sebagai ukuran

mata jaring pada lintasan masuk bubu dan digunakan pada pengujian sudut

kemiringan lintasan masuk bubu. Urutan percobaannya mengikuti tahapan

berikut:

1. Percobaan diawali dengan meletakkan model lintasan masuk yang terbuat dari

jaring dengan ukuran mata 0,5 inci di tengah akuarium percobaan membentuk

sudut kemiringan α = 20o yang merupakan sudut kemiringan dari bubu standar;

2. Kepiting bakau diletakkan di depan model lintasan;

3. Bagian belakang model lintasan masuk ditempatkan umpan untuk menarik

kepiting bakau agar mau bergerak melewati lintasan;

(42)

pergerakannya di atas lintasan diamati secara visual;

5. Pengujian diulang tiga kali untuk kepiting bakau yang sama;

6. Sebanyak enam kepiting bakau dengan ukuran lebar karapas mulai dari

6,28-9,8 cm digunakan untuk proses pengujian ini; dan

7. Tahapan kerja yang sama juga dilakukan dengan menggunakan lintasan yang

terbuat dari jaring dengan ukuran mata 0,75; 1 dan 1,25 inci.

Pada Gambar 15 dijelaskan ilustrasi posisi kepiting bakau di dalam akuarium pada

uji penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu.

Gambar 15 Ilustrasi posisi kepiting bakau, jaring lintasan dan umpan pada uji penentuan ukuran matajaringlintasan masuk bubu

3.3.2Penentuan sudut kemiringan lintasan masuk bubu

Percobaan bertujuan untuk mendapatkan sudut kemiringan pada lintasan

masuk bubu yang mudah dilalui kepiting bakau saat memasuki bubu. Sudut

kemiringan yang digunakan sebesar 20o, 40o dan 60o. Dasar penggunaan

sudut-sudut tersebut untuk mendapatkan hasil yang berbeda secara signifikan. Sudut

kemiringan yang terpilih dari percobaan digunakan pada lintasan masuk bubu

modifikasi. Tahap percobaan dalam menentukan sudut kemiringan lintasan masuk

sebagai berikut:

1. Percobaan diawali dengan meletakkan model lintasan masuk yang terbuat dari

jaring dengan ukuran mata jaring 1 inci (diperoleh dari percobaan

sebelumnya) di tengah akuarium dengan sudut kemiringan α = 20o; 2. Kepiting bakau diletakkan di depan model lintasan masuk;

3. Umpan diletakkan di belakang model lintasan masuk supaya kepiting bakau

bergerak mendekati dan melintasi model lintasan;

4. Kepiting bakau dibiarkan bergerak melintasi model lintasan dan setiap

Arah gerak

(43)

pergerakannya diamati secara visual;

5. Hasil pengujian dan pengamatan dicatat pada datasheet;

6. Pengujian dilakukan sebanyak 18 ulangan dengan menggunakan 8 kepiting

bakau yang memiliki ukuran mulai dari 6,28-10,1 cm; dan

7. Tahapan uji coba yang sama dilakukan pada 2 sudut selanjutnya, yaitu 40o

dan 60o.

Berikut adalah ilustrasi posisi kepiting bakau dalam penentuan sudut kemiringan

lintasan yang ditunjukkan pada Gambar 16.

Gambar 16 Ilustrasi posisi kepiting bakau, jaring lintasan dan umpan pada uji penentuan sudut kemiringan lintasan masuk bubu

3.3.3 Penentuan ukuran dan bentuk pintu masuk bubu

Percobaan dilakukan untuk mendapatkan ukuran dan bentuk pintu masuk

bubu yang mudah dilalui kepiting bakau, tapi kepiting bakau tidak dapat keluar

dari pintu masuk bubu. Ukuran dan bentuk pintu masuk bubu disesuaikan dengan

tingkah laku dan ukuran kepiting bakau, yaitu tebal tubuh kepiting bakau yang

sudah layak tangkap. Urutan proses penentuan ukuran dan bentuk mulut masuk

bubu sebagai berikut:

1. Percobaan diawali dengan meletakkan model lintasan di tengah akuarium

membentuk sudut kemiringan α = 20o dengan jaring yang memiliki ukuran mata 1 inci;

2. Sekeping kaca diletakkan di atas model lintasan hingga membentuk sebuah

celah yang lebarnya disesuaikan dengan ketebalan kepiting bakau layak

tangkap;

3. Kepiting bakau diletakkan di depan model lintasan masuk;

Arah gerak

α

(44)

4. Umpan diletakkan di belakang model lintasan supaya kepiting bakau mau

bergerak dan melewati celah mulut yang terbentuk;

5. Kepiting bakau dibiarkan bergerak dan seluruh pergerakannya diamati secara

visual;

6. Ketinggian dan posisi keping kaca dapat dirubah untuk membentuk suatu

celah yang mudah dilewati kepiting bakau dan sulit kembali ke posisi semula;

7. Posisi keping kaca dan model lintasan yang membentuk celah masuk

digambar agar tidak terjadi pengulangan;

8. Ukuran dan bentuk mulut masuk tersebut dijadikan acuan untuk merancang

mulut masuk bubu; dan

9. Pengujian dilakukan tiga kali ulangan dengan menggunakan tiga kepiting

bakau yang memiliki ukuran mulai dari 6,86-9,05 cm.

Berikut adalah ilustrasi posisi kepiting bakau dalam menentukan ukuran dan

bentuk pintu masuk bubu yang ditunjukkan pada Gambar 17.

Gambar 17 Ilustrasi susunan jaring lintasan dan kepingan kaca pada penentuan ukuran dan bentuk pintu masuk bubu

3.3.4 Perbandingan jumlah kepiting yang tertangkap pada bubu lipat standar (S) dan bubu lipat modifikasi (M)

Percobaan ini dilakukan setelah semua pengujian di atas selesai dilakukan.

Percobaan yang dilakukan di dalam bak percobaan ini bertujuan untuk

membandingkan jumlah kepiting bakau yang tertangkap pada bubu standar

dengan bubu modifikasi. Banyaknya kepiting bakau yang tertangkap, tingkah laku

dan kemudahan kepiting bakau saat memasuki bubu akan menggambarkan

(45)

keefektifan dari kedua bubu dalam menangkap kepiting bakau. Berikut adalah

tahapan pengujian efektivitas bubu lipat:

1. Dua bubu standar dan dua bubu modifikasi ditempatkan di dalam bak

percobaan dengan posisi masing-masing bubu yang sama saling berhadapan.

Setiap bubu diisi umpan;

2. Sebanyak 30 kepiting bakau dengan ukuran yang bervariasi, baik ukuran

kecil, sedang dan besar yang telah diketahui ukuran panjang, lebar dan tebal

karapasnya dimasukkan ke dalam bak percobaan (Lampiran 1);

3. Pergerakan kepiting bakau di dalam bak percobaan diamati;

4. Percobaan dilakukan sebanyak 20 kali ulangan;

5. Setiap percobaan diberi waktu 20 menit; dan

6. Kepiting-kepiting yang tertangkap di dalam bubu dihitung dan dicatat pada

datasheet.

Pada Gambar 18 dijelaskan susunan dari kedua jenis bubu di dalam bak

percobaan.

Gambar 18 Ilustrasi posisi bubu standar (S) dan bubu modifikasi (M) pada pengujian keefektifan bubu dalam menangkap kepiting bakau

S

S

M M

Ø 1,5 m

Tbak = 0,75 m

Tair = 0,3 m

Masuk M M

S

(46)

3.4 Analisis Data

Analisis data yang digunakan pada masing-masing perlakuan berbeda-beda.

Masing-masing analisis data disajikan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Analisis data

No. Tujuan Analisis

1. Menentukan kenormalan ukuran kepiting bakau yang

akan digunakan pada percobaan di laboratorium Regresi

2. Menentukan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu Deskriptif

3. Menentukan sudut kemiringan lintasan masuk bubu Deskriptif

4. Menentukan bentuk dan ukuran pintu masuk bubu Deskriptif

5. Menentukan posisi, bentuk dan ukuran celah

pelolosan Deskriptif

6. Membandingkan jumlah kepiting bakau yang

tertangkap pada bubu lipat standar dan bubu lipat modifikasi

Uji Kolmogorov-Smirnov

3.4.1 Analisis regresi

Analisis regresi digunakan terutama untuk tujuan peramalan yang di

dalamnya terdapat sebuah variabel dependent (tergantung) dan variabel

independent (bebas).Analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi linear tunggal. Persamaan regresi adalah formula matematika yang mencari nilai

variabel dependent dari nilai variabel independent yang diketahui (Santoso 1999). Model umum untuk analisis regresi tersebut adalah (Matjik dan Sumertajaya

2000):

Y = β0+ β1x + ε

Keterangan :

Y : Peubah tak bebas/peubah respon;

β0 : Intersep/perpotongan dengan sumbu tegak;

β1 : Kemiringan/gradient;

x : Peubah bebas/peubah penjelas; dan

ε : Galat.

Analisis regresi yang digunakan pada penelitian ini untuk menentukan

(47)

Variabel terikat (dependent) pada penelitian ini adalah tebal karapas kepiting bakau yang harus dicari besarannya. Adapun panjang, lebar karapas dan berat

kepiting bakau menjadi variabel bebas (independent). Variabel terikat digambarkan pada sumbu y dan variabel bebas digambarkan pada sumbu x. Keeratan hubungan dari panjang P, tebal T, lebar L dan berat B kepiting bakau dilihat dari nilai koefisien korelasi (r). Apabila nilai koefisien korelasi (r) kurang dari 0,6, maka model regresi terkait hubungan antar variabel dapat dianalisis

(Wicaksono 2006).

3.4.2 Uji Kolmogorov-Smirnov

Uji Kolmogorov-Smirnov merupakan salah satu uji yang termasuk pada uji

data dua sampel yang tidak berhubungan (independent). Uji ini berfungsi untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang signifikan untuk dua sampel yang

independent (Santoso 1999). Pada penelitian ini yang menjadi sampel adalah

jumlah kepiting bakau yang tertangkap pada bubu modifikasi dan bubu standar.

Hipotesis pada kasus ini sebagai berikut:

1. Ho : Kedua populasi identik (jumlah kepiting bakau yang tertangkap oleh kedua bubu tidak berbeda secara signifikan); dan

2. H1 : Kedua populasi tidak identik (jumlah kepiting bakau yang tertangkap oleh kedua bubu berbeda secara signifikan).

Dasar pengambilan keputusan pada kasus ini sebagai berikut:

1. Jika probabilitas > 0,05, maka Hoditerima; dan

(48)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Ukuran Mata Jaring Lintasan Masuk Bubu

Hasil pengamatan terhadap tingkah laku kepiting bakau saat melewati

bidang lintasan masuk menunjukkan bahwa kepiting bakau cenderung merayapi

bidang lintasan melalui bagian pinggir atau tepi lintasan. Kepiting melintasi

bidang lintasan dengan berjalan miring. Posisi tubuh kepiting bakau saat melewati

lintasan masuk, yaitu dengan membelakangi dinding akuarium atau menghadap

dinding akuarium.

Pergerakan kepiting bakau melewati bidang lintasan dibantu oleh kaki

renangnya. Kaki renang kepiting bakau berpijak pada dinding akuarium saat

posisi kepiting bakau membelakangi dinding akuarium. Adapun pada posisi

berhadapan dengan dinding akuarium, kaki renang kepiting bakau berpijak pada

bidang lintasan. Kaki renang sangat membantu kepiting bakau dalam berjalan saat

merayapi jaring lintasan seperti halnya kaki jalan.

Kaki jalan membantu kepiting bakau berjalan, namun kaki jalan ini tidak

dapat menopang tubuh kepiting bakau saat melewati bidang lintasan masuk. Ini

disebabkan oleh bentuk kaki jalan kepiting yang kurus dan lancip pada bagian

ujungnya (Gambar 3). Sementara bidang yang harus dipijak oleh kaki kepiting

bakau berupa jalinan benang jaring dengan diameter yang kecil.

Hasil percobaan penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk dengan

menggunakan empat ukuran mata jaring, yaitu 0,5; 0,75; 1 dan 1,25 inci,

menunjukkan bahwa kepiting bakau dapat melalui semua ukuran mata jaring

tersebut. Jaring dengan ukuran mata 1 inci lebih mudah dilalui kepiting bakau

dibandingkan dengan ketiga ukuran mata jaring lainnya. Kepiting bakau

berukuran layak tangkap dengan lebar karapas 9 cm atau diatas ukuran layak

tangkap dengan lebar karapas > 9 cm tidak mengalami kesulitan saat merayapi

jaring dengan ukuran mata jaring 1 inci. Kaki renang dan kaki jalan kepiting

bakau tidak tergelincir ataupun terperosok masuk ke dalam mata jaring yang

menyebabkan kepiting bakau sulit melintasi jaring lintasan. Hal tersebut terjadi

sebaliknya pada kepiting bakau berukuran belum layak tangkap dengan lebar

(49)

masuk ke mata jaring, sehingga kepiting bakau tidak dapat melanjutkan

pergerakannya.

Bidang lintasan yang berukuran mata jaring 0,5 dan 0,75 inci menyebabkan

kepiting bakau sulit berjalan karena ukuran mata jaring yang kecil dan jaraknya

agak rapat sehingga kaki renang dan kaki jalan cenderung tergelincir saat

berusaha berpijak pada jaring. Akibatnya, kepiting bakau kehilangan

keseimbangan tubuh dan cenderung turun dari bidang lintasan. Hal yang sama

juga terjadi pada jaring berukuran mata 1,25 inci. Kepiting bakau sulit

memijakkan kaki ke jaring, karena ukuran mata jaring terlalu besar. Kaki jalan

dan kaki renang kepiting bakau selalu terperosok ke dalam mata jaring. Selain itu,

ujung kaki jalan kepiting bakau yang lancip terkadang terkait pada benang atau

simpul jaring.

Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa pergerakan kepiting

bakau sangat dibantu oleh kaki renang yang ujungnya berbentuk agak membulat,

lebar dan pipih (Gambar 3) (Siahainenia 2008). Bentuk ujung kaki renang yang

demikian memungkinkan kepiting bakau dapat bertopang pada dinding akuarium,

jaring lintasan ataupun dasar akuarium dan menjadikan kaki renang berperan

utama sebagai pendayung saat berenang. Kasry (1996) dan Siahainenia (2008)

menambahkan bahwa kaki renang kepiting bakau dilengkapi dengan alat

pendayung pada bagian ujungnya. Pada Gambar 19 diilustrasikan posisi kepiting

bakau saat melewati bidang lintasan masuk dengan ukuran mata jaring yang

berbeda.

Gambar 19 Posisi kepiting bakau saat melewati model lintasan masuk

Gambar

Gambar 9 Pengoperasian bubu sistem tunggal
Gambar 12 Konstruksi bubu pintur
Gambar 20 Frekuensi kepiting bakau melintasi bidang lintasan dengan  mesh size 1
Gambar 22 Posisi kepiting bakau di dalam bubu
+7

Referensi

Dokumen terkait

digunakan yaitu dengan skor 96% sedangkan hasil validator dari ahli media yang berkaitan dengan tingkat kelayakan dari CD interaktif genetika menunjukkan bahwa Layak

Berdasarkan uji coba produk terdapat uji ahli satu dosen dan dua guru selanjutnya uji coba lapangan terhadap tiga respon Guru dan dan dua puluh tujuh respon

Berdasarkan hasil peneltian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat pengaruh berbagai konsentrasi Cu terhadap kadar Cu dalam akar dan kadar klorofil

Jeg følte at jeg hadde vært mye borte fra avdelingen, og ønsket å gjøre noe konkret, praktisk, som syntes i avdelingen og som kunne ha effekt på kvalitet og også anspore til

Hal ini tampak dari kurangnya partisipasi peserta didik dalam proses pembelajaran.Maka peneliti ingin memperbaiki cara belajar peserta didik dengan menggunakan

ﺖﺳا ﻪﻛ 24 - 30 ﺪﻴﺗﻮﺌﻠﻛﻮﻧ دراد و نﺎﻴﺑ ﻲـﺻﺎﺼﺘﺧا رد ﺖﻓﺎﺑ ﻪﻀﻴﺑ و لﻮﻠـﺳ يﺎـﻫ ﻲـﺴﻨﺟ دراد ، ﺎـﻣا رد مﺮﭙـــﺳا ﻎﻟﺎـــﺑ ﻲﻳﺎـــﺳﺎﻨﺷ هﺪـــﺸﻧ ﺖـــﺳا

Dari Gambar 3 dapat diketahui bahwa kerapatan akar tersier dan kuarter pada kedalaman 0-30 cm sangat berhubungan dengan jarak dari batang kelapa sawit.. Sementara akar

Data terkait dengan variabel-variabel yang terdapat pada penelitian ini, yaitu kinerja jangka panjang, underwriter reputation, earnings management dan size atau ukuran