BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
B. Tindak Pidana Illegal logging Dan Penanggulangannya 1. Tindak Pidana Illegal logging
6. Penanggulangan Tindak Pidana Illegal Logging
a. Kendala Penanggulangan Tindak Pidana Illegal Logging 1). Substansi
Substansi pada dasarnya merupakan suatu aturan yang dapat mengikat masyarakat untuk melaksanakan dan mematuhinya. Masyarakat sedang mengalami transisi seperti Indonesia adalah suatu pergaulan hidup yang sedang mengalami perubahan-perubahan dalam sistem nilai-nilainya, termasuk di dalamnya sikap-sikap dan pola-pola perikelakuan. Dalam suatu nilai-nilai baru yang telah dipilih berlaku bersamaan dengan berlakunya sistem nilai-nilai lama hendak ditinggalkan.
Pengertian hukum adalah suatu pola kehidupan dalam masyarakat, oleh karena masyarakat itu sendiri menghendaki proses pergaulan hidup yang normal, yang berarti adanya suatu keserasian antara kepentingan-kepentingan kehidupan berkelompok dengan kepentingan-kepentingan kehidupan orang-orangan atau pribadi. Dalam mencapai keserasian antara kepentingan-kepentingan orang perorangan antara lain : terwujudnya tujuan hukum untuk mencapai keserasian antara ketertiban (kepastian hukum,orde atau order) dengan keadilan (ketentraman, ketenangan, rust atau freedom). Oleh kerena itu berprosesnya hukum terletak pada masyarakat itu sendiri, karena masyarakat merupakan sumber dari adanya hukum. Fungsi dari hukum merupakan untuk mengatur hubungan antara negara dan masyarakat supaya kehidupan di dalam masyarakat berjalan dengan tertib dan
lancar. Hal ini mengakibatkan bahwa tugas hukum adalah untuk mencapai kepastian hukum dan keadilan di dalam masyarakat.27
Keadilan merupakan faktor terpenting akan tetapi tidak semua keadilan dapat terwujud sebab hukum juga bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban. Kepastian hukum dan keadilan merupakan dua faktor yang saling menunjang didalam menjaga keserasian antara kepentingan-kepentingan di dalam masyarakat.28 Teori-teori hukum, biasanya dibedakan antara tiga macam hal berlakunya hukum sebagai kaedah yaitu:
a) Hukum berlaku secara yuridis penentuan didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi tingkatnya bila terbentuk menurut cara yang telah diterapkan.
b) Hukum berlaku secara sosiologis, disebut juga kaedah efektif. Kaedah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun diterima atau tidak diterima oleh masyarakat (teori kekuasaan), atau kaedah tadi berlaku karena diterima atau diakui oleh masyarakat (teori pengakuan).
c) Hukum berlaku secara filosofis artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.29
27
Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan Hukum, Alumni, Bandung, 1979, hal 37
28
Ibid, hal 40-41
29
Agar supaya berfungsi, maka suatu kaedah hukum harus memenuhi ketiga macam unsur tersebut. Adapun sebab-sebabnya antara lain:
1. Apabila hukum hanya berlaku secara yuridis, kemungkinan besar kaedah tersebut merupakan kaedah mati (dode regel).
2. Apabila hukum hanya berlaku sosiologis (dalam arti kekuasaan), kaedah tersebut sebagai aturan pemaksa (dwangmaatregel).
3. Apabila hukum hanya berlaku secara filosofis, maka mungkin hukum tersebut hanya merupakan hukum yang dicita-citakan (ius
constituendum).30
Kedudukan hukum adalah mengikuti perubahan-perubahan dan sependapat mungkin mengesahkan perubahan-perubahan tersebut. Fungsi dari hukum adalah sebagai sarana untuk merubah masyarakat atau yang disebut sebagai sarana untuk mengadakan social
engineering. Kemudian sebagai mempertahankan stabilitas (sarana dari social control), sebagai sarana dari social control. Bagi
masyarakat Indonesia yang agraris, bidang kehidupan yang bersifat pribadi adalah bidang-bidang yang secara langsung berhubungan dengan sendi-sendi masyarakat, artinya azas-azas yang merupakan dasar dari pada integritas masyarakat. Jika aspek hukum suatu aspek mengatur masalah-masalah yang berkaitan erat dengan sendi-sendi
30
tersebut maka hukum yang berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan stabilitas.31
Kemudian masalah efektivitas hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan usaha-usaha yang dilakukan, agar hukum dapat diterapkan dalam masyarakat dan menunjang penyelesaiannya. Artinya hukum tersebut benar-benar berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Agar memperoleh suatu gambaran yang konkrit perihal efektivitas hukum tersebut, maka perlu adanya telaah dari sebab-sebab masyarakat mematuhi hukum tersebut.32
Menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan undang-undang yang khusus mengatur masalah hutan dan sekitarnya. Dalam undang-undang tersebut telah dipaparkan masalah tindak pidana di bidang kehutanan baik dari segi pengelolaan dan berbagai sanksi yang telah dijatuhkan. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 ini telah mencantumkan ketentuan pidana pada pasal (78). Secara substansial masalah pengelolaan lingkungan hidup telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 kemudian pada tahun 2009 Undang-Undang tersebut direvisi kembali menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Adapun ketentuan pidana tersebut telah dicantumkan pada Undang-Undang ini yaitu pada pasal 97 sampai dengan pasal 100. Seluruh tindak pidana yang telah dilakukan
31
Ibid, hal 41-42
32
dalam hal perusakan terhadap lingkungan telah ada sanksi pidananya. Hal ini dapat diberikan kepada siapa saja yang melakukan tindak pidana tersebut, karena dapat merugikan lingkungan hidup.
Masalah substansi lain yang berkaitan dengan masalah perlindungan hutan telah dicantumkan juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Semua telah tercantum di dalamnya, baik dari segi perlindungan yang akan dilakukan maupun jenis sanksi yang dijatuhkan. Mengenai sanksinya telah dijelaskan pada pasal 42 dan pasal 43 jo pasal 78 Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Ketentuan pidana yang telah dicantumkan ini merupakan suatu ancaman bagi para pelaku dalam melakukan tindak pidana. Ketentuan dari Undang-undang lain adalah pada Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Berdasarkan ketentuan berbagai ketentuan Undang-Undang dan peraturan pemerintah tersebut sebenarnya telah menyatakan bahwa adanya suatu larangan yang amat keras tentang perusakan terhadap lingkungan hidup. Namun dalam ketentuan undang-undang tersebut entah apa yang menjadi persoalan sehingga undang-undang terhadap Perlindungan Hutan ini tidak digunakan semua. Hal ini dapat menimbulkan sebuah pertanyaan yang begitu mendasar bahwasanya semua peraturan yang telah diturunkan oleh pemerintah hendaknya untuk diimplementasikan kepada masyarakat
supaya semua dapat terlaksana stabilitas nasional dalam hal penertiban dan keamanan bangsa dan negara.
Ketentuan substansi ini telah banyak mengarah kepada perlindungan lingkungan hidup, akan tetapi banyak kaum awam yang kurang menyadari bahwa hutan merupakan bagian dari lingkungan hidup yang semestinya mendapatkan perhatian yang cukup. Hal ini menyebabkan implementasi dari undang-undang yang diturunkan oleh pemerintah ini masih kurang dalam penerapannya. Para penegak hukum hukum terutama lebih condong dan mengacu pada salah satu undang-undang yang ada. Padahal jika melihat dan membaca secara jelas, perbuataan tindak pidana di bidang kehutanan bukan hanya mengarah pada satu undang-undang saja melainkan semua dari unsur undang-undang yang ada ini sebagai salah satu pertimbangan lain untuk menentukan pidana kepada para pelaku yang melakukan tindak pidana. Hal inilah yang kurang lebih menjadikan suatu kendala yang konkrit dalam penyelesaian tindak pidana di bidang kehutanan.
Selain itu dalam masalah substansi dapat melihat mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu yang cukup sistematis. Kemudian masalah peraturan tersebut pada kehidupan cukup sinkron atau tidak, hal ini perlu adanya pembenahan dan pertanyaan yang cukup besar baik dari segi hirarkis dan segi horisontal. Pembentukan peraturan yang telah ada harus dilihat secara kuantitatif dan kualitatif sehingga dapat berguna dalam bidang-bidang kehidupan. Persyaratan terakhir
merupakan yang paling krusial bahwasannya dalam penerbitan suatu peraturan harus sesuai dengan persyaratan yuridis.
Melihat dengan adanya substansi yang telah diterbitkan oleh pemerintah ini sebenarnya telah mendapatkan persyaratan yang cukup untuk masalah pembentukan suatu peraturan. Mungkin penerapannya yang masih kurang dan pemahaman dari pihak-pihak terkait yang kurang sehingga menjadikan suatu peraturan tersebut menjadi vakum dan hanya dipergunakan salah satunya saja. Sinkronisasi antara pemberlakuan terhadap suatu masalah tindak pidana di bidang kehutanan seharusnya tidak hanya melihat dari kesalahan yang ada pada salah satu undang-undang saja sehingga dalam pemberian pidana jelas pada unsur kesalahan ataukah kelalaian. Dengan demikian kendala di bidang substansi ini terletak pada suatu penerapan dari salah satu undang-undang di bidang Kehutanan baik segi pemidanaan dan implementasi dari undang-undang yang ada.
2). Struktur
Struktur merupakan suatu bagian yang mencakup ruang lingkup yang sangat luas yang melibatkan berbagai organisator baik dari dalam maupun dari luar. Hal tersebut menyangkut dari pihak petugas-petugas pada atas, menengah dan bawah. Pada intinya merupakan pelaksanaan daripada tugas-tugas yang diberikan, maka dari itu petugas seyogyanya harus mempunyai suatu pedoman. Pedoman yang dapat membantu dalam proses tugas yang diembannya
antara lain: peraturan yang tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya. Hal inilah yang sangat perlu diperhatikan bahwasanya para petugas yang diberikan kewenangan tersebut dapat terikat oleh peraturan-peraturan yang ada. Kemudian pemberian batasan-batasan kepada para petugas dalam memberikan kebijakan. Para petugas dalam memberikan teladan yang baik kepada masyarakat dan tentang sinkronisasi terhadap penugasan-penugasan yang diberikan sehingga dapat memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya.33
Fungsi dari struktur tersebut maka dapat dilihat kinerja yang telah diemban oleh para petugas pengelola dan pemangku hutan. Namun sebelum itu harus perlu dipahamkan terlebih dahulu mengenai pengertian tentang berbagai struktur yang telah dibentuk. Mengenai pengertian pembentukan Perum Perhutani sendiri telah dicantumkan dalam PP Nomor 30 Tahun 2003 tentang Perusahaan Umun Kehutanan Negara (Perum Perhutani) pasal 1 bahwa:”Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani), yang selanjutnya dijelaskan Perusahaan, adalah Badan Usaha Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969, yang bidang usahanya berada dalam lingkup tugas dan kewenangan Menteri, dimana seluruh modalnya dimiliki negara berupa kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham.”
33
Perhutani mempunyai sifat, maksud dan tujuan yaitu yang disebutkan pada pasal 6 PP Nomor 30 Tahun 2003, yaitu:
a. Sifat usaha dari perusahaan adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan dan kelestarian sumber daya hutan. b. Maksud Perusahaan adalah menyelenggarakan usaha di bidang
kehutanan yang menghasilkan barang dan jasa yang bermutu tinggi dan memadai guna memenuhi hajat hidup orang banyak dan memupuk keuntungan. Kemudian menyelenggarakan pengelolaan hutan sebagai ekosistem sesuai dengan karakteristik wilayah untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari segi ekologi, sosial, budaya dan ekonomi, bagi perusahaan dan masyarakat. Sejalan dengan tujuan pembangunan nasioanal yang berpedoman kepada rencana pengelolaan hutan yang di susun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang kehutanan.
c. Tujuan Perusahaan adalah turut serta membangun ekonomi nasional khususnya dalam rangka pelaksanaan program pembangunan nasional di bidang kehutanan.34
Kemudian dalam pembentukan perum perhutani tersebut setiap unit yang ada di wilayah provinsi telah memilah-milah kembali dengan pembentukan kesatuan yang disebut dengan Kesatuan Pemangkuan Hutan Perum Perhutani. Fungsi dari pembentukan ini adalah supaya
34
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2003 Tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani), pasal 6.
dapat membantu kinerja pemerintah dalam pengawasan dan pengelolaan hutan. Pada tiap-tiap kota atau kabupaten yang mempunyai wilayah hutan telah ada KPH Perum Perhutani sendiri. Namun untuk masalah penjagaan maupun pengawasan di bidang kehutanan pemerintah juga membentuk satuan polisi khusus di bidang hutan yang di sebut dengan Polisi Kehutanan. Peran dan tugas Polisi Kehutanan tersebut telah terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
Polisi Kehutanan menurut pasal 1 ayat (1) PP Nomor 45 Tahun 2004 merupakan ”Pejabat tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya, menyelenggarakan dan atau melaksanakan usaha perlindungan hutan yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang kepolisian khusus di bidang kehutanan dan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.”
Adapun tugas dan wewenang dari Polisi Hutan berdasarkan pada pasal 36 ayat (2) PP No.45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan yaitu:
a. Mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
b. Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pangangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
c. Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang meyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
d. Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; e. Dalam hal penangkapan tangan, wajib menangkap tersangka
untuk diserahkan kepada yang berwenang; dan
f. Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.35
3). Manajerial
Manajerial merupakan bagian dari sarana dan prasarana yang menunjang. Hal ini memang sangat erat hubungannya dengan sarana dan prasarana yang menunjang terbentuknya suatu proses peraturan yang ada. Dalam pengelolaan dan perlindungan di bidang kehutanan perlu adanya sarana dan prasarana yang mampu menunjang untuk perlindungan yang nyata. Masalah manajerial ini pemerintah sering lupa bahwasanya fasilitas yang memadai itu yang dapat menunjang aktivitas segala peraturan dapat diterapkan dengan baik. Memang seringkali terjadi, bahwa suatu peraturan sudah diperlakukan padahal fasilitasnya belum tersedia dengan lengkap. Peraturan yang semula bertujuan untuk memperlancar proses, akan tetapi dijadikan suatu kendala. Hendaknya jika memperlakukan suatu peraturan secara resmi
35
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindugan Hutan, Pasal 36 ayat (2).
ataupun memberikan tugas kepada petugas maka dapat dipikirkan mengenai fasilitas-fasilitas yang dapat mendukung.
Berfungsinya suatu fasilitas ini senantiasa tergantung pada pemakainya, jika pemakainya tidak memperlihatkan tujuan adanya fasilitas maka dapat dimungkinkan akan terjadi kendala-kendala. Dalam hal ini yang sangat perlu diperhatikan yaitu ada dua hal, yaitu: 1. Keperluan atau kebutuhan yang bertitik tolak pada segi
individual.
2. Adanya kekurangan-kekurangan yang bertitik tolak pada segi sistem.
Masalah keperluan ataupun kebutuhan memang kadang mengalami kendala dalam pemenuhannya.36 Hal ini tentunya yang nantinya menjadikan bahan pertimbangan bagi setiap penegak hukum dan pemerintah dalam menentukan suatu kebijakan.
4). Kultur
Kultur atau yang sering disebut dengan budaya merupakan suatu yang sangat fenomenal di kalangan masyarakat. Hal ini sangat erat dengan kebiasaan dan norma-norma. Pengertian kultur sendiri sangat abstrak karena itu berkaitan langsung dengan kebiasaan dan norma-norma yang ada di dalam masyarakat. Hal ini juga sangat berpengaruh pada pengelolaan dan perlindungan hutan yang kaitannya dengan peran serta masyarakat. Tentunya kultur dalam suatu
36
masyarakat inilah yang menjadikan tolak ukur dalam pengelolaan hutan yang kerjasamanya melibatkan masyarakat sekitar hutan.
Pengertian masyarakat mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, karena manyangkut semua segi pergaulan hidup manusia. Dalam kaitannya dengan fungsinya hukum, maka masalah kepatuhan warga-warga masyarakat pada hukum merupakan titik sentralnya. Secara sederhana yang harus diusahakan adalah adanya peraturan-peraturan (tertulis) yang baik, kewibawaan petugas dan fasilitas pendukung yang cukup.
Pada umumnya manusia akan patuh pada hukum dan penegaknya atas dasar imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati, baik secara terpisah maupun secara akumulatif.
Faktor-faktor yang cukup mendukung antara lain:
a. Warga masyarakat mengetahui dan memahami akan hak dan kewajibannya.
b. Kepentingan warga masyarakat dilindungi oleh hukum.
c. Adanya kepastian dan kesama-rataan terhadap sumber-sumber yang memberikan keadilan.
Apabila hak tersebut tidak diterapkan dan diperhatikan maka akan sulit untuk mengharapkan derajat kepatuhan hukum tertentu dari warga-warga masyarakat.37
37
b. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Illegal Logging
Menurut Soejono Dirjosisworo, untuk mengatasi masalah kejahatan maka upaya yang dilakukan dapat dikelompokkan menjadi dua segi, yaitu sebelum terjadinya kejahatan (upaya preventif) dan setelah terjadinya kejahatan (upaya represif).
1). Upaya preventif
Upaya ini merupakan setiap usaha yang bertujuan untuk mencegah jangan sampai kejahatan terjadi dalam masyarakat. Upaya ini meliputi pembinaan, pendidikan, dan penyadaran terhadap masyarakat umum.
Upaya preventif ini dapat dilakukan antara lain dengan:
1. Memberikan pendidikan moral dengan tujuan menanamkan rasa tanggung jawab dan memperluas wawasan sehingga mempengaruhi cara berfikir.
2. Memberikan penyuluhan hukum melalui penerangan atau media komunikasi dengan tujuan mempertinggi kesadaran hukum bagi masyarakat.
3. Meningkatkan pembinaan mental spiritual masyarakat dan memberikan penerangan hukum serta pendekatan budaya pada masyarakat.
Upaya preventif memang lebih diutamakan karena menanggulangi kejahatan lebih baik daripada menghukum pelaku sebab dapat mengurangi dan menghindari adanya korban kejahatan.
Sedangkan Kasier membagi strategi pencegahan dalam tiga kelompok model pencegahan, secara umum yaitu:38
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer ini ditetapkan strategi pencegahan kejahatan melalui bidang sosial, ekonomi, dan bidang-bidang lain dari kebijakan umum khususnya sebagai usaha untuk mempengaruhi situasi-situasi kriminogenik dan sebagai dasar kejahatan. Contoh dari pencegahan primer ini melalui pendidikan, perumahan, ketenagakerjaan, waktu luang, dan rekreasi. Target dari pencegahan ini adalah masyarakat umum secara keseluruhan.
b. Pencegahan Sekunder
Dalam pengawasan ini merupakan peran preventif dari kepolisian, begitu pula pengawasan dari media massa, perencanaan perkotaan, desain, dan konstruksi bangunan. Target dari pencegahan ini adalah orang yang dimungkinkan melakukan pelanggaran.
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan ini memberi perhatian pada pencegahan terhadap residivis melalui peran polisi dan agen-agen yang lain dalam sistem peradilan pidana. Target utama dari pencegahan ini adalah orang-orang yang melanggar hukum.
38
Muhammad Kemal Darmawan, Strategi Pencegahan Kejahatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hal 12
Selanjutnya menurut Kemal Darmawan dalam bukunya strategi pencegahan kejahatan ini disebutkan, pencegahan kejahatan dapat dibagi melalui beberapa pendekatan, yang antara lain terdiri dari:
1. Pencegahan kejahatan melaui pendekatan sosial (Social
Crime Prevention). Kegiatannya bertujuan untuk menumpas
akar penyebab kejahatan dan kesempatan individu untuk melakukan pelanggaran. Sasaran dari kegiatan ini adalah masyarakat dan kelompok khusus beresiko tinggi melakukan kejahatan. Contohnya, lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan pendidikan.39
2. Pencegahan melalui pendekatan situasional (Situational
Crime Prevention). Pencegahan kejahatan melalui usaha
pengurangan kesempatan bagi kemungkinan dilakukan kejahatan oleh seseorang atau kelompok. Contohnya memperkokoh sasaran kejahatan, menghilangkan sarana atau alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan.
3. Pencegahan kejahatan melalui pendekatan kemasyarakatan (Community Based Crime Prevention). Strategi pencegahan kejahatan yang dilakukan melalui lingkungan masyarakat dengan memperbaiki masyarakat untuk mengurangi
39
kejahatan dengan jalan meningkatkan kapasitas merek untuk menggunakan kantor sosial informal.40
2). Upaya Represif
Merupakan tindakan untuk memperbaiki pelaku kejahatan dengan memberikan hukuman yang telah ditentukan oleh hukum yang berlaku. Upaya represif ini bersifat penindakan hukum dan demi keamanan dalam masyarakat agar keseimbangan masyarakat yang telah terganggu dapat dipulihkan kembali. Maksud dari upaya ini adalah pembinaan pelaku kejahatan tindak pidana dalam lembaga pemasyarakatan. Pembinaan dalam lembaga pemasrakatan ini dapat sebagai upaya pencegahan tindak pidana tersebut agar pelaku tidak melakukan lagi tindak pidana yang sama.
Dalam upaya penanggulangan secara represif yang meliputi tahapan-tahapan penyelidikan dan atau penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang pengadilan, termasuk di dalamnya berbagai upaya hukum dan pelaksanaan putusan pengadilan.41
Oleh karena itu, dalam tahapan penyelidikan dan atau penyelidikan senantiasa melibatkan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai penyidik atau koordinator penyidik terhadap tindak pidana, sebagaimana diatur dalam pasal 6 KUHAP. Demikian pula halnya penyidikan dan/atau penyelidikan terhadap tindak pidana
40
Ibid, hal 85 41
Susilo Yuwono, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP, Alumni, Bandung, 1982, hal 29.
tertentu senantiasa melibatkan lembaga penyidik pegawai negeri sipil tertentu. Dalam hal ini, keberadaan dan peran polisi hutan disamping Kepolisian Republik Indonesia.
68
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis sosiologis untuk mengkaji tentang masalah peran polisi hutan dan masyarakat desa hutan terhadap penanggulangan tindak pidana illegal logging terkait dengan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di hutan Ngawi beserta peraturan-peraturan, yang berkaitan dengan tindak pidana illegal logging, kebijakan pemerintah terhadap masyarakat dalam pengelolaan hutan dan penanggulangan
illegal logging. Sehingga memerlukan upaya yang sangat keras untuk mencapai
pengelolaan dan perlindungan hutan yang lebih optimal. Melalui pendekatan tersebut maka dapat dicapai suatu keseimbangan antara upaya pemerintah dan peran daripada masyarakat untuk bersama-sama dalam upaya penanggulangan tindak pidana illegal logging yang terjadi di wilayah kabupaten Ngawi. Metode penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum Empiris. Yang dikaji melalui studi lapang terhadap aspek-aspek sosial (dari) hukum, yang kemudian lebih dikenal dengan studi hukum dan masyarakat. 1
Dengan melihat dari berbagai kejadian terhadap tindak pidana illegal
logging yang terjadi pada wilayah sekitar hutan. Oleh karenanya perlu adanya
perhatian dan kepedulian yang penuh terhadap kondisi hutan baik dari para instasi terkait, pemerintah daerah dan masyarakat sekitar hutan untuk lebih
1
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,1997, hal 75.
mengoptimalkan kondisi wilayah hutan. Selain dari peran serta instansi terkait, kurangnya kesadaran pada masyarakat terutama masyarakat sekitar hutan tentang arti pentingnya pengelolaan hutan. Hal ini bertujuan keberlanjutan dalam pembangunan dan pelestarian alam agar lebih optimal serta proporsional. Pencegahan terhadap tindak pidana illegal logging ini selain untuk menjaga kondisi hutan, juga pencegahan dari global warming yang nantinya akan mengganggu kondisi alam sekitar baik dalam maupun dari luar. Sehingga hutan