• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

B. Diabetes Melitus

6. Penatalaksanaan dan Terapi

Tujuan utama dari penanganan DM adalah untuk mengurangi resiko terjadinya komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular, mengatasi gejala, mengurangi angka kematian dan meningkatkan kualitas hidup dari pasien (Dipiro

et. al, 2008).

Tabel II. SasaranTerapi dari Pengobatan DM

Biochemical Index ADA ACE dan AACE

Hemoglobin A1C <7% ≤6.5% Preprandial plasma glucose 90-130 mg/dL (5-7.2 mmol/L) <110 mg/dL Postprandial plasma glucose <180 mg/dL (<10 mmol/L) <140 mg/dL

ADA, American Diabetes Association; ACE, American College of Endocrinoligy; AACE, American Association of Clinical Endocrinology

Gambar 2. Algoritme Pengelolaan DM Tipe-2 Tanpa Dekompensasi

(Perkeni, 2011) a. Terapi Nonfarmalogis

1) Diet

Terapi nutrisi medis direkomendasikan untuk seluruh pasien dengan DM. Walaupun masih dalam perdebatan, kebanyakan orang dengan diabetes membutuhkan rencana makan yang mengandung karbohidrat sedang dan rendah lemak jenuh, yang fokus dalam makanan seimbang. Pasien dengan DM tipe 2 sering membutuhkan pembatasan kalori untuk meningkatkan penghilangan berat badan (Dipiro et. al., 2008).

2) Aktivitas

Latihan aerobik meningkatkan resistensi insulin dan kontrol glikemik di sebagian besar individu, dan mengurangi faktor resiko kardiovaskular, berperan dalam penghilangan atau mempertahankan berat badan (Dipiro et.al., 2008).

b. Terapi farmakologi

Berikut beberapa terapi anti-diabetik yang biasa digunakan : 1) Insulin

Insulin menurunkan kadar gula darah dengam menstimulasi pengambilan glukosa perifer dan menghambat produksi glukosa hepatik. Insulin biasanya digunakan untuk terapi DM tipe 1, DM tipe 2 yang gula darahnya tidak dapat dikendalikan dengan diet dan anti-diabetik oral, DM dengan komplikasi akut, DM dengan kehamilan. Efek samping yang paling sering muncul dalam terapi menggunakan insulin adalah hipoglikemia, serta alergi (Sukandar, Andrajati, Sigit, Adnyana, Setiadi, dan Kusnandar, 2008).

2) Sulfonilurea

Sulfonilurea bekerja dengan merangsang sekresi insulin pada pangkreas, terapi dengan golongan obat ini hanya dapat efektif bila sel beta pangkreas masih dapat berproduksi. Sulfonilurea di indikasikan untuk DM tipe 2 ringan-sedang. Contoh obat-obat yang termasuk dalam golongan sulfonylurea : klorpropamid, tolbutamid, glibenklamid, dan lain sebagainya (Sukandar, et. al., 2008).

3) Biguanida

Biguanida bekerja dengan menghambat glukogenesis dan meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan. Contoh dari golongan obat ini adalah metformin.

Metformin di indikasikan untuk DM tipe 2 yang gagal dikendalikan dengan diet dan obat golongan sulfonilurea (Sukandar, et. al., 2008).

4) Tiazolidindion

Obat golongan ini bekerja dengan meningkatkan sensitivitas insulin pada otot dan jaringan adipose dan menghambat glukogenesis hepatik. Tiazolindion di indikasikan untuk hiperglikemia, contoh dari obat golongan ini adalah pioglitazon, dan rosiglitazon (Sukandar, et. al., 2008).

5) Penghambat α-glukosidase

Obat pada golongan ini menghambat α-glukosidase sehingga mencegah penguraian sukrosa dan karbohidrat kompleks dalam usus halus dengan demikian memperlambat dan menghambat penyerapan karbohidrat. Contoh dari obat goolongan ini adalah akarbosa dan miglitol. Obat golongan ini di indikasikan sebagai tambahan terhadap sulfonilurea atau biguanid pada DM yang tidak dapat dikendalikan dengan diet dan diet (Sukandar, et. al., 2008).

Penatalaksanaan DM dapat menimbulkan masalah-masalah yang terkait dengan DRPs. DRPs menurut Cipolle, Strand and Morley (2004) dikategorikan menjadi :

1. Tidak perlu obat

Obat yang diberikan ke pasien tidak diperlukan, karena pasien tidak memiliki indikasi klinis yang sesuai dengan fungsi obat tersebut pada saat obat tersebut diberikan. Contohnya : pasien mendapat 3 laxative yang berbeda untuk mengobati konstipasinya.

2. Perlu obat

Diperlukan obat tambahan untuk mengobati atau mencegah penyakit untuk berkembang, dimana pencegahan adalah tujuan utama dari praktek

pharmaceutical care. Contohnya : seorang pasien memiliki resiko tinggi menderita pneumonia, maka dari itu pasien tersebut membutuhkan vaksin

pneumococcal. 3. Obat salah

Obat salah merupakan pemberian obat pada pasien dengan kondisi yang di kontraindikasikan dengan kondisi pasien.

4. Dosis kurang

Dosis obat yang diberikan terlalu renfsh untuk menghasilkan respon yang di inginkan. Contohnya : glipizine 10 mg per hari yang diberikan pada seorang pasien terlalu rendah untuk mengontrol gula darah pasien tersebut. Regimen obat memiliki banyak bagian-bagian termasuk produk obat, dosis, interval dosis, dan lama waktu terapi. Semua komponen ini harus sesuai agar dapat menghasilkan

outcome yang diharapkan. Memastikan bahwa pasien mendapatkan dosis obat yang sesuai untuk mendapatkan efek yang di inginkan merupakan kewajiban dari farmasis, karena satu dosis belum tentu sesuai untuk semua pasien.

5. Dosis berlebih

Dosis obat yang diberikan pada pasien terlalu tinggi, sehingga menimbulkan efek yang tidak di inginkan.

Obat yang diberikan ke pasien menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan. Contohnya : seorang pasien mengalami ruam karena contrimoxazole yang di gunakannya untuk mengobati luka infeksi.

7. Noncomplience

Pasien tidak bisa menjalankan terapi sesuai dengan yang diharapkan. Contohnya : pasien tidak ingat untuk menggunakan tetes mata timolol dua kali sehari untuk mengobati glaukomanya.

Drug Related Problems didefinisikan sebagai masalah terapi yang tidak di inginkan, yang di alami oleh pasien yang dicurigai melibatkan terapi dan hal-hal lain yang menghal-halangi tercapainya tujuan terapi (Cipolle, et.al, 2004).

Tabel III. Penelitian Terdahulu Terkait DRPs pada Kasus Terapi DM Tipe 2

No Pengarang Thn Judul Metode Hasil Penelitian

1 Dian Verina

Indriani 2010

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Non

Komplikasi di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Januari 2009-Maret 2010 Non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Data di analisis dnegan metode SOAP Terjadi DRPs interaksi obat sebesar 29%, ADR sebesar 7%, butuh obat sebesar 14% dan tidak butuh obat sebesar 7% 2 Antonia Vita Herlinawati 2009

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Komplikasi Hipertensi di Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Tahun 2007-2008 Non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluative yang bersifat retrospektif. Data di analisis dnegan metode SOAP Terjadi DRPs butuh obat sebesar 12,5%, tidak butuh obat sebesar 3,1%, dosis terlalu besar sebesar 6,3% serta ADR dan interaksis obat sebesar 18,8% 3 Selasih Ikawati Budiman 2011 Evaluasi Terapi Diabetes Melitus Tipe

2 Disertai Hipertensi dan Gagal Ginjal kronis di Instalasi Rawat Inap Rumah

SAkit Panti Rapih Yogyakarta Non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluative yang bersifat retrospektif. Data di analisis dnegan metode SOAP DRPs yang terjadi adalah terapi obat

yang tidak dibutuhkan sebesar 12,5%, butuh obat 53,1%, ADR sebesar 34,4% dan dosis terlalu tinggi sebesar 18,8%

Dokumen terkait