EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA KASUS TERAPI
DIABETES MELITUS TIPE 2 RAWAT INAP (STUDI KASUS DI RSUP.
DR. SARDJITO YOGYAKARTA PERIODE MARET-DESEMBER 2013)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh :
Mega Wiro Sanu Sinaga
108114189
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
HALAMAN PERSEMBAHAN
“ Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan
kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir”
Pengkotbah 3: 11
“Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat”
Ibrani 11 : 1
Karya ini kupersembahkan untuk :
Yesus Kristus Allahku,
Papa, Mama, terhebatku
Kakakku, Lambok Surya Diah Sinaga di rumah Bapa,
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan pada Tuhan Yang Maha Baik atas segala
rahmat dan lindungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Kasus Terapi Diabetes
Melitus Tipe 2 Rawat Inap (Studi Kasus di RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta
Periode Maret-Desember 2013)” ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta. Pada kesempatan kali ini, penulis hendak mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini antara
lain :
1. Kedua orangtuaku Ardin Rustam Effendi Sinaga dan Roida Sibarani yang
telah memberikan dukungan berupa doa, penguatan, penghiburan maupun
materi dalam setiap langkah hidup penulis.
2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma atas bimbingannya
selama penulis melakukan proses pembelajaran di Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma.
3. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt selaku dosen pembimbing dan
penguji atas dukungan, arahan, yang diberikan kepada penulis selama
proses penyusunan skripsi.
4. Ibu Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah
memberikan saran dan masukan dalam proses penyusunan skripsi ini.
5. Ibu Dita Maria Virginia, S, Farm., Apt, M.Sc. selaku dosen penguji yang
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... Ii HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... Iv LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PRAKATA ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
INTISARI ... xvii
ABSTRACT ... xviii
BAB I. PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Rumusan Masalah ... 2
2. Manfaat Penelitian ... 3
3. Keaslian Penelitian ... 3
B. Tujuan Penelitian ... 5
2. Tujuan Khusus ... 5
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 6
A. Pharmaceutical Care ... 6
B. Diabetes Melitus ... 6
1. Definisi ... 6
2. Diagnosis ... 6
3. Faktor Resiko ... 7
4. Klasifikasi ... 8
5. Patogenesis ... 9
6. Penatalaksanaan dan Terapi ... 10
a. Terapi nonfarmakologis ... 11
b. Terapi farmakologis ... 12
C. Keterangan Empiris ... 16
BAB III. METODE PENELITIAN ... 17
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 17
B. Variabel dan Definisi Operasional... 17
C. Subyek Penelitian ... 19
D. Tata Cara Penelitian ... 20
1. Observasi awal atau analisis situasi ... 20
2. Permohonan izin ... 20
3. Tahap pengambilan data ... 21
E. Kesulitan dan Kelemahan Penelitian ... 22
A. Karakteristik Kasus ... 23
1. Jenis kelamin ... 23
2. Umur ... 24
B. Profil Obat ………...………... 24
a. Kelas terapi …………...………. 24
b.Golongan obat …………..………. 25
C. Evaluasi DRPs ……… 36
a. Tidak perlu obat ……….…………..……... 37
b. Perlu obat ……… 38
c. Obat salah………... 38
d. Dosis kurang ………..…. 38
e. Dosis berlebih……….. 38
f. Efek samping dan interaksi obat ... 40
D. Outcome therapy……… 42
E. Rangkuman Pembahasan ………... 43
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………... 46
A. Kesimpulan ……… 47
B. Saran ………... 48
DAFTAR PUSTAKA ……… 49
LAMPIRAN ……….. 54
DAFTAR TABEL
Tabel I. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan
Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dL) ... 7
Tabel II. SasaranTerapi dari Pengobatan DM ... 10
Tabel III. Penelitian Terdahulu Terkait DRPs pada Kasus Terapi DM
Tipe 2 ... 16
Tabel IV. Distribusi Kasus Terapi DM Tipe 2 Rawat Inap di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta Periode Maret-Desember 2013
Berdasarkan Usia ... 24
Tabel V. Kelas Terapi Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat
Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Maret-Desember
2013 ... 25
Tabel VI. Penggunaan Obat Sistem Endokrin Pada Kasus Terapi DM
Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Periode Maret-Desember 2013 ... 26
Table VII. Penggunaan Obat Sistem Kardiovaskular Pada Kasus Terapi
DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta Periode Maret-Desember 2013 ... 27
Tabel VIII. Penggunaan Anti Infeksi Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di
Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode
Tabel VIX. Penggunaan Obat Sistem Saraf Pusat Pada Kasus Terapi DM
Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Periode Maret-Desember 2013 ... 30
Tabel X. Penggunaan Obat Skelet dan Sendi Pada Kasus Terapi DM
Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Periode Maret-Desember 2013 ... 31
Tabel XI. Penggunaan Obat Saluran Pernafasan Pada Kasus Terapi DM
Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Periode Maret-Desember 2013 ... 32
Tabel XII. Penggunaan Obat Saluran Pencernaan Pada Kasus Terapi DM
Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Periode Maret-Desember 2013 ... 33
Tabel XIII. Penggunaan Obat Gizi dan Darah Pada Kasus Terapi DM Tipe
2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Periode Maret-Desember 2013 ... 34
Tabel XIV. Penggunaan Obat Keganasan dan Imunosupressi Pada Kasus
Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta Periode Maret-Desember 2013 ... 35
Tabel XV. Penggunaan Obat Mata Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di
Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode
Tabel XVI. Kasus DRP yang Teridentifikasi pada Kasus Terapi DM Tipe 2
Rawat Inap di RSUP DR. Sardjito Yogyakarta Periode
Maret-Desember 2013 ... 37
Tabel XVII. Hasil Evaluasi DRPs dan Status Keluar Kasus DM Tipe 2
Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode
Maret-Desember 2013 ... 45
Tabel XVIII. Daftar Obat yang Digunakan Pada Kasus DM Tipe 2 Rawat
Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Maret–
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerusakan Metabolisme pada DM Tipe 2... 10
Gambar 2. Algoritme Pengelolaan DM Tipe-2 Tanpa Dekompensasi ... 11
Gambar 4. Skema Pemilihan Subyek Penelitian di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta periode Maret – Desember 2013 ... 20
Gambar 4. Diagram Prosentase Kasus DM Tipe 2 Bersasarkan Jenis
Kelamin di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode
Maret-Desember 2013 ... 23
Gambar 5. Alasan Meninggalkan Rumah sakit Pada Kasus Terapi DM Tipe
2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisis Drug Related Problems pada kasus Terapi DM tipe 2 di instalasi rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Tahun 2013 ... 55
Lampiran 2. Daftar Obat yang Digunakan Pada Kasus DM Tipe 2 Rawat
Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode
Maret-Desember 2013 ... 133
Lampiran 3. Surat keterangan Ethics Committee Approval ... 137
INTISARI
Drug Related Problems (DRPs) adalah konsekuensi yang terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan pengobatan pasien. Drug Related Problems (DRPs) sering terjadi pada pasien, terutama pada pasien yang mendapatkan obat lebih dari satu, sehingga diharapkan dengan adanya penelitian mengenai DRPs dapat mengurangi angka kejadian DRPs pada pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola pengguanaan obat, DRPs, dan outcome therapy pada kasus DM tipe 2 rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Jenis penelitian ini adalah observasional dengan rancangan penelitian
cross sectional dengan menggunakan data retrospektif. Data diambil dari rekam medis meliputi catatan keperawatan, diagnosis dan penatalaksanaan obat. Kasus yang menjadi subyek penelitian harus memenuhi kriteria inklusi yaitu kasus dengan diagnosis masuk DM tipe 2 rawat inap, serta kriteria eksklusi yaitu rekam medis yang tidak ditemukan dan rekam medis dengan tulisan yang tidak bisa dikonfirmasikan kepada tenaga kesehatan. Kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian sebanyak 24 kasus.
Kelas terapi yang paling banyak digunakan adalah kelas terapi sistem kardiovaskular serta gizi dan darah sebesar 91,6%. Dari hasil evaluasi, diperoleh 17 kasus mengalami DRPs terkait dengan penatalaksanaan obat antidiabetika yaitu 2 kasus tidak perlu obat, 1 kasus perlu obat, 5 kasus dosis berlebih, serta 9 kasus efek samping obat dan interaksi obat.
ABSTRACT
Drug Related Problems (DRPs) is a consequence that happen because of
patient’s medication needs cannot be fulfilled. Drug Related problems often
happen in patient that got more than one medication, with DRPs study decrease in DRPs rate occurrences to be expected. This study’s purpose are to identified drug usage pattern, DRPs, and outcome therapy in hospitalized type 2 DM patient in RSUP Dr. Sardjito.
This study is an observational study with cross sectional study design using retrospective data. Data taken from medical records including nursing record, diagnosis and management of medications. Patient that chosen as subject of this study have to fulfill inclusion criteria whish is hospitalized patient diagnosed with type 2 DM , and exclusion criteria such as : medical records that cannot be found, and medical records with writing that cannot be confirmed to health care providers. There are 24 case that met the inclusion criteria.
Therapy class that used the most often is cardiovascular system and also nutrition and blood by 91,6%. Form evaluation’s result 17 cases related to management of anti diabetic has been found consist of 9 cases of adverse drug reaction and drug interaction, 7 cases of dosage too high, 2 case of unnecessary drug therapy, and 1 case of needs additional drug therapy.
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Diabetes Melitus (DM) adalah kelainan metabolik yang dicirikan dengan
hiperglikemia. Diabetes Melitus dihubungkan dengan abnormalitas pada
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang berakibat pada komplikasi
kronik termasuk kelainan mikrovaskuler, makrovaskuler, dan neuropati (Dipiro,
Talbert, Yee, Matzke, Wells and Posey, 2008).
Populasi penderita diabetes di Indonesia diperkirakan antara 1,5% sampai
2,5 %, kecuali di Manado 6 %. Dengan jumlah penduduk sekitar 200 juta jiwa,
berarti kurang lebih 3-5 juta penduduk Indonesia menderita diabetes. Penderita
DM tipe 2 mencapai 90-95 % dari keseluruhan penderita diabetes, yang pada
umumnya berusia di atas 45 tahun (Depkes RI, 2005). Pada tahun 2030
mendatang diprediksi ada 11,8 juta orang Indonesia mengidap diabetes, atau
meningkat 6% setiap tahunnya (Rachmaningtyas, 2013).
Pharmaceutical care adalah praktek kefarmasian yang berpusat pada pasien dimana farmasis bertanggungjawab dan berkomitmen atas kebutuhan
pasien yang berkaitan dengan obat. Drug Related Problems (DRPs) adalah konsekuensi yang terjadi karena kebutuhan yang berhubungan dengan obat tidak
dapat terpenuhi. Drug Related Problems (DRPs) sering terjadi pada pasien, terutama pada pasien yang mendapatkan obat lebih dari satu (polifarmasi),
sehingga diharapkan dengan adanya penelitian mengenai DRPs dapat mengurangi
Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta merupakan
rumah sakit rujukan dari beberapa rumah sakit di Yogyakarta dan memiliki
pelayanan spesialis Diabetes terpadu. Hasil orientasi pendahuluan menunjukkan
pasien DM di RSUP Dr. Sardjito periode Januari-Agustus berjumlah 45 pasien.
Berbagai macam karaketeristik pasien DM yang dirawat di RSUP. Dr. Sardjito
dengan berbagai macam tingkat keparahan DM yang diderita, terapi pada pasien
DM ini semakin perlu diperhatikan ketepatan dan kerasionalitasan penggunaan
obat agar mendapatkan pengobatan yang rasional.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran lebih detail
tentang DRPs. Dengan demikian dapat meningkatkan rasionalitas penggunaan
obat pada kasus terapi DM tipe 2 rawat inap di RSUP. Dr. Sardjito diharapkan
dapat ditingkatkan.
1. Rumusan Masalah
a. Seperti apa karakteristik kasus DM tipe 2 rawat inap di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta Periode Maret-Desember 2013?
b. Seperti apa pola penggunaan obat pada kasus Diabetes Melitus Tipe 2
rawat inap di RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta?
c. Apakah terjadi Drug Related Problems (DRPs) pada kasus terapi DM tipe 2 rawat inap di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, yang meliputi:tidak
perlu obat, perlu obat, obat salah, dosis kurang, dosis berlebih, serta efek
samping dan interaksi obat?
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis: hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu
sumber informasi tentang Drug Related Problem (DRPs) pada terapi DM tipe 2 dan menambah referensi pengetahuan kesehatan mengenai DM
tipe 2.
b. Manfaat praktis: hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan
pelayanan terapi pada kasus DM tipe 2 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
3. Keaslian Penelitian
Penelitian yang telah dilaksanakan dan terkait dengan penelitian ini
antara lain :
a. “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 komplikasi hipertensi di Rumah Sakit Umum DR. Sardjito
Yogyakarta Periode Tahun 2007-2008” (Herlinawati, 2009).
Penelitian ini dilakukan oleh Herlinawati (2009). Penelitian ini
melibatkan 32 kasus pasien diabetes melitus tipe 2 dengan komplikasi
hipertensi di Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun
2007-2008. Penelitian ini termasuk penelitian non eksperimental dengan
rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif, teknik pengambilan
sampel dengan cara simple random sampling termasuk dalam probability sampling. Hasil penelitian menunjukkan drug related problem yang terjadi adalah butuh obat sebesar 12,5%; tidak butuh obat sebesar 3,1%; dosis
terlalu tinggi sebesar 6,3%; obat tidak efektif sebesar 6,3% ; dan ADR dan
b. “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini
Yogykarta Periode Januari 2009-Maret 2010” (Indriani, 2010).
Penelitian ini dilakukan oleh Indriani (2010), dengan jumlah
subyek penelitian sebanyak 14 kasus pasien diabetes melitus. Penelitian ini
termasuk penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif
evaluatif yang bersifat retrospektif. Hasil penelitian menunjukkan drug related problem yang terjadi adalah butuh obat sebesar 14%; tidak butuh obat sebesar 7%; ADR sebesar 7%; dan interaksi obat sebesar 29%.
“Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Kasus Terapi
Diabetes Melitus Tipe 2 Rawat Inap (Studi Kasus di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta Periode Maret-Desember 2013)”
Penelitian ini dilakukan pada periode Maret-Desember 2013
dengan subyek penelitian kasus DM tipe 2 rawat inap di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta. Subyek penelitian tidak dibatasi usia maupun komplikasi yang
di alami oleh subyek penelitian, tetapi peneliti hanya membatasi periode
penelitiannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola
penggunaan obat, DRPs, dan outcome terapi pada kasus DM tipe 2 rawat inap di RSUP Dr. Sardjtio Yogyakarta. Aspek DRPs yang dikaji adalah
tidak perlu obat, perlu obat, obat salah, dosis kurang, dosis berlebih serta
efek samping dan interaksi obat.
Berdasarkan indormasi yang didapatkan penulis, penelitian mengenai
Tipe 2 Rawat Inap (Studi Kasus di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode
Maret-Desember 2013)” belum pernah dilakukan sebelumnya.
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengevaluasi Drug-related Problems (DRPs) pada terapi kasus Diabetes Melitus tipe 2 di instalasi rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
2. Tujuan Khusus
a. Memberi gambaran karakteristik kasus Diabetes Melitus tipe 2 rawat inap
di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
b. Mengidentifikasi pola penggunaan obat pada kasus Diabetes Melitus tipe 2
rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
c. Mengidentifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada kasus terapi Diabetes Melitus Tipe 2 rawat inap di RSUP Dr. Sardjito dengan
membandingkan lembar rekam medis dengan pustaka acuan.
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A.Pharmaceutical Care
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1197/Menkes/SK/2004 : Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu
kegiatan di rumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu.
Pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) merupakan tanggung jawab seorang apoteker dalam pelayanan obat terhadap pasien. Pharmaceutical care
merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi,
mencegah dan menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan penggunaan
obat atau drug-related problems dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan. Pengkajian penggunaan obat merupakan evaluasi penggunaan obat
yang terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat-obat yang
digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau oleh pasien.
B. Diabetes Melitus
1. Definisi
Diabetes melitus adalah kelainan metabolik yang dicirikan dengan
hiperglikemia. Diabetes melitus dihubungkan dengan abnormalitas metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein yang berakibat pada komplikasi kronik termasuk
2. Diagnosis
Kriteria diagnosis Diabetes mellitus menurut Carruthers, Hoffman,
Melmon and Nierenberg (2000) adalah sebagai berikut:
a. Konsentrasi glukosa yang di dapat secara acak ≥ 200 mg/dL, yang disertai
dengan tanda-tanda diabetes (polidipsia, poliuria, kehilangan berat badan)
atau
b. Glukosa darah puasa > 126 mg/dL, atau
c. Glukosa plasma > 200 mg/dL 2 jam setelah pemberian 75 g glukosa
Tabel I. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dL)
Bukan DM
Belum
pasti DM DM
Kadal glukosa darah sewaktu
(mg/dL)
Plasma
vena <100 100-199 ≥200
Darah
kapiler <90 90-199 ≥200
Kadar glukosa darah puasa
Plasma
vena <100 100-125 ≥126
Darah
kapiler <90 90-99 ≥100
(Perkeni, 2011)
3. Faktor resiko
Faktor resiko Diabetes mellitus tipe 2 menurut Carruthers, Hoffman,
Melmon, Nierenberg (2000):
a. Obesitas (BMI > 27 kg/m2)
b. Riwayat penyakit diabetes mellitus gestasional atau melahirkan bayi
dengan berat badan > 9 lb
d. Kolestrol HDL ≤ 35 mg/dL dan/atau konsentrasi trigliserida puasa ≥ 250
mg/dL
4. Klasifikasi
Diabetes adalah gangguan metabolik yang dikarakteristikkan dengan
resistensi aksi dari insulin, kurangnya jumlah insulin yang disekresikan, atau
keduanya. Manifestasi klinis dari gangguan ini adalah hiperglikemia. Diabetes
menurut Dipiro., et al., (2008) diklasifikasikan menjadi : a. Diabetes Tipe 1
Tipe diabetes ini disebabkan oleh kurangnya jumlah insulin yang ada
yang merupakan hasil dari kerusakan autoimun dari sel β pankreas. Diabetes ini
biasanya terjadi pada anak-anak dan dewasa, pada berbagai macam umur. Pada
individu yang lebih muda biasanya memiliki kerusakan sel β pankreas yang cepat
dan menunjukkan adanya ketoasidosis, sementara individu dewasa pada
umumnya dapat menjaga sekresi insulin yang cukup untuk mencegah ketoasidosis
selama beberapa tahun, yang biasa di sebut dengan latent autoimmune diabetes in adults (LADA).
b. Diabetes tipe 2
Diabetes tipe 2 ditunjukkan dengan adanya resistensi insulin dimana
terjadi kompensasi peningkatan sekresi insulin yang tidak cukup. Kebanyakan
individu dengan diabetes tipe 2 menunjukkan obesitas perut yang mana juga dapat
menyebabkan resistensi insulin.
Wanita yang mengalami diabetes karena stress akibat kehamilan
dikategorikan memiliki diabetes gestasional. Diabetes gestasional di definisikan
sebagai intoleransi yang pertama kali dapat dilihat selama kehamilan.
5. Patogenesis
Diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit metabolik kronis yang
mempengaruhi kemampuan tubuh untuk mengubah makanan menjadi energi.
Umumnya, setelah makan, gula dalam bentuk glukosa dari makanan masuk ke
dalam pembuluh darah. Seiring dengan peningkatan kadar glukosa di pembuluh
darah hormon insulin di lepaskan dari pankreas bertanggung jawab untuk
mentranspor glukosa ke dalam sel yang akan digunakan sebagai bahan bakar
(Metacure, 2012).
Pada diabetes mellitus tipe 2, tubuh tidak merespon baik insulin,
sehingga sel tidak dapat mengabsorbsi glukosa dengan baik dan terkumpul di
dalam pembuluh darah. Hal ini mengakibatkan kerusakan pada bagian dalam
pembuluh darah kecil. Diabetes yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
kebutaan, amputasi bagian alat gerak, gagal ginjal, dan kerusakan saraf. Diabetes
juga merupakan faktor penting yang mempercepat pengerasan dan penyempitan
Gambar 1. Kerusakan Metabolisme pada DM Tipe 2
(Metacure, 2012)
6. Penatalaksanaan dan Terapi
Tujuan utama dari penanganan DM adalah untuk mengurangi resiko
terjadinya komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular, mengatasi gejala,
mengurangi angka kematian dan meningkatkan kualitas hidup dari pasien (Dipiro
et. al, 2008).
Tabel II. SasaranTerapi dari Pengobatan DM
Biochemical Index ADA ACE dan AACE
Hemoglobin A1C <7% ≤6.5%
Preprandial plasma glucose
90-130 mg/dL
(5-7.2 mmol/L) <110 mg/dL
Postprandial plasma glucose
<180 mg/dL
(<10 mmol/L) <140 mg/dL
ADA, American Diabetes Association; ACE, American College of Endocrinoligy; AACE, American Association of Clinical Endocrinology
Gambar 2. Algoritme Pengelolaan DM Tipe-2 Tanpa Dekompensasi
(Perkeni, 2011)
a. Terapi Nonfarmalogis
1) Diet
Terapi nutrisi medis direkomendasikan untuk seluruh pasien dengan DM.
Walaupun masih dalam perdebatan, kebanyakan orang dengan diabetes
membutuhkan rencana makan yang mengandung karbohidrat sedang dan rendah
lemak jenuh, yang fokus dalam makanan seimbang. Pasien dengan DM tipe 2
sering membutuhkan pembatasan kalori untuk meningkatkan penghilangan berat
2) Aktivitas
Latihan aerobik meningkatkan resistensi insulin dan kontrol glikemik di
sebagian besar individu, dan mengurangi faktor resiko kardiovaskular, berperan
dalam penghilangan atau mempertahankan berat badan (Dipiro et.al., 2008). b. Terapi farmakologi
Berikut beberapa terapi anti-diabetik yang biasa digunakan :
1) Insulin
Insulin menurunkan kadar gula darah dengam menstimulasi pengambilan
glukosa perifer dan menghambat produksi glukosa hepatik. Insulin biasanya
digunakan untuk terapi DM tipe 1, DM tipe 2 yang gula darahnya tidak dapat
dikendalikan dengan diet dan anti-diabetik oral, DM dengan komplikasi akut, DM
dengan kehamilan. Efek samping yang paling sering muncul dalam terapi
menggunakan insulin adalah hipoglikemia, serta alergi (Sukandar, Andrajati,
Sigit, Adnyana, Setiadi, dan Kusnandar, 2008).
2) Sulfonilurea
Sulfonilurea bekerja dengan merangsang sekresi insulin pada pangkreas,
terapi dengan golongan obat ini hanya dapat efektif bila sel beta pangkreas masih
dapat berproduksi. Sulfonilurea di indikasikan untuk DM tipe 2 ringan-sedang.
Contoh obat-obat yang termasuk dalam golongan sulfonylurea : klorpropamid,
tolbutamid, glibenklamid, dan lain sebagainya (Sukandar, et. al., 2008). 3) Biguanida
Biguanida bekerja dengan menghambat glukogenesis dan meningkatkan
Metformin di indikasikan untuk DM tipe 2 yang gagal dikendalikan dengan diet
dan obat golongan sulfonilurea (Sukandar, et. al., 2008). 4) Tiazolidindion
Obat golongan ini bekerja dengan meningkatkan sensitivitas insulin pada
otot dan jaringan adipose dan menghambat glukogenesis hepatik. Tiazolindion di
indikasikan untuk hiperglikemia, contoh dari obat golongan ini adalah
pioglitazon, dan rosiglitazon (Sukandar, et. al., 2008). 5) Penghambat α-glukosidase
Obat pada golongan ini menghambat α-glukosidase sehingga mencegah
penguraian sukrosa dan karbohidrat kompleks dalam usus halus dengan demikian
memperlambat dan menghambat penyerapan karbohidrat. Contoh dari obat
goolongan ini adalah akarbosa dan miglitol. Obat golongan ini di indikasikan
sebagai tambahan terhadap sulfonilurea atau biguanid pada DM yang tidak dapat
dikendalikan dengan diet dan diet (Sukandar, et. al., 2008).
Penatalaksanaan DM dapat menimbulkan masalah-masalah yang terkait
dengan DRPs. DRPs menurut Cipolle, Strand and Morley (2004) dikategorikan
menjadi :
1. Tidak perlu obat
Obat yang diberikan ke pasien tidak diperlukan, karena pasien tidak
memiliki indikasi klinis yang sesuai dengan fungsi obat tersebut pada saat obat
tersebut diberikan. Contohnya : pasien mendapat 3 laxative yang berbeda untuk
2. Perlu obat
Diperlukan obat tambahan untuk mengobati atau mencegah penyakit
untuk berkembang, dimana pencegahan adalah tujuan utama dari praktek
pharmaceutical care. Contohnya : seorang pasien memiliki resiko tinggi menderita pneumonia, maka dari itu pasien tersebut membutuhkan vaksin
pneumococcal. 3. Obat salah
Obat salah merupakan pemberian obat pada pasien dengan kondisi yang
di kontraindikasikan dengan kondisi pasien.
4. Dosis kurang
Dosis obat yang diberikan terlalu renfsh untuk menghasilkan respon yang
di inginkan. Contohnya : glipizine 10 mg per hari yang diberikan pada seorang
pasien terlalu rendah untuk mengontrol gula darah pasien tersebut. Regimen obat
memiliki banyak bagian-bagian termasuk produk obat, dosis, interval dosis, dan
lama waktu terapi. Semua komponen ini harus sesuai agar dapat menghasilkan
outcome yang diharapkan. Memastikan bahwa pasien mendapatkan dosis obat yang sesuai untuk mendapatkan efek yang di inginkan merupakan kewajiban dari
farmasis, karena satu dosis belum tentu sesuai untuk semua pasien.
5. Dosis berlebih
Dosis obat yang diberikan pada pasien terlalu tinggi, sehingga
menimbulkan efek yang tidak di inginkan.
Obat yang diberikan ke pasien menimbulkan efek samping yang tidak
diharapkan. Contohnya : seorang pasien mengalami ruam karena contrimoxazole
yang di gunakannya untuk mengobati luka infeksi.
7. Noncomplience
Pasien tidak bisa menjalankan terapi sesuai dengan yang diharapkan.
Contohnya : pasien tidak ingat untuk menggunakan tetes mata timolol dua kali
sehari untuk mengobati glaukomanya.
Drug Related Problems didefinisikan sebagai masalah terapi yang tidak di inginkan, yang di alami oleh pasien yang dicurigai melibatkan terapi dan
Tabel III. Penelitian Terdahulu Terkait DRPs pada Kasus Terapi DM Tipe 2
No Pengarang Thn Judul Metode Hasil Penelitian
1 Dian Verina
Indriani 2010
Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Non
Komplikasi di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Januari 2009-Maret 2010 evaluatif yang bersifat
retrospektif. Data di analisis dnegan metode SOAP
Terjadi DRPs
interaksi obat sebesar 29%,
Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Komplikasi Hipertensi di Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Tahun 2007-2008 yang bersifat retrospektif. Data di analisis dnegan metode SOAP dosis terlalu besar sebesar 6,3% serta ADR dan interaksis obat sebesar 18,8% Diabetes Melitus Tipe
2 Disertai Hipertensi dan Gagal Ginjal kronis di Instalasi Rawat Inap Rumah
SAkit Panti Rapih Yogyakarta yang bersifat retrospektif. Data di analisis dnegan metode SOAP
DRPs yang terjadi adalah terapi obat
yang tidak
dibutuhkan
sebesar 12,5%, butuh obat 53,1%,
ADR sebesar
34,4% dan dosis terlalu tinggi sebesar 18,8%
C. Keterangan Empiris
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data tentang DRPs pada
terapi diabetes melitus tipe 2 rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, yang
meliputi tidak butuh obat, butuh obat, dosis kurang, efek samping dan interaksi
BAB III
METODE PENELITIAN
A.Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian mengenai “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada
Kasus Terapi Diabetes Melitus Tipe 2 Rawat Inap (Studi Kasus di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta Periode Maret-Desember 2013)” ini merupakan jenis
penelitian non-eksperimental atau observasional deskriptif evaluatif karena tidak
ada perlakuan yang dilakukan pada subyek uji dengan rancangan penelitian cross sectional. Data yang digunakan bersifat retrospektif karena peneliti menggunakan data di masa lalu (Lapau, 2012). Data secara retospektif akan diambil dari lembar
rekam medis kasus diabetes mellitus tipe 2 di instalasi rawat inap RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta.
B.Variabel dan Definisi Operasional
1. Kelas terapi adalah kelompok besar obat yang terdiri dari beberapa golongan
obat yang mempunyai sasaran pengobatan yang sama
2. Golongan obat adalah kelompok obat berdasarkan mekanisme aksi yang
sama. Dalam penelitian ini contohnya adalah golongan obat sulfonilurea,
biguanida, tiazolidindion, dan penghambat α-glukosidase.
3. Terdapat 3 kelompok besar DRPs yaitu indikasi, efektivitas, dan keamanan yang kemudian dibagi menjadi 6 kelompok kecil yang dilihat dalam
penelitian ini yaitu : tidak perlu obat, perlu obat, obat salah, dosis kurang,
a. Tidak perlu obat adalah obat yang tidak perlu atau tidak dibutuhkan oleh
kasus dalam menjalani pengobatan.
b. Perlu obat adalah dibutuhkan tambahan obat dalam pengobatan yang
sesuai dengan indikasi klinis kasus.
c. Obat salah adalah obat yang diberikan kontraindikasi dengan kondisi
pasien.
d. Dosis kurang adalah dosis yang diberikan ke kasus lebih rendah dari
dosis terapi.
e. Dosis berlebih adalah dosis obat yang diberikan ke kasus melebihi dosis
terapi
f. Efek samping dan interaksi obat adalah obat yang diberikan ke kasus
memberikan efek samping yang tidak diharapkan, baik karena obat itu
sendiri ataupun karena kombinasi obat yang diberikan, serta terjadi
interaksi antar obat yang diberikan pada pasien.
4. DRPs yang dilihat merupakan DRPs yang terkait dengan obat antidiabetika
yang diberikan pada kasus.
5. Data outcome therapy kasus akan didapatkan berdasarkan pernyataan dokter yang ditulis di RM atau alasan kasus pulang yang ditulis oleh dokter di RM.
6. Rekam medis (RM) adalah catatan kesehatan kasus yang secara umum
memuat data tentang identitas (nama, umur, jenis kelamin, berat badan,
alamat), diagnosis, instruksi dokter, catatan keperawatan, riwayat penyakit
dan terapi, serta hasil laboratorium jika ada. Dalam penelitian ini RM yang
instalasi rawat inap di RSUP Dr. Sardjito pada periode Maret-Desember
2013.
C.Subyek Penelitian
Kriteria inklusi:
Kasus yang di diagnosis masuk DM tipe 2 rawat inap baik dengan
penyakit penyerta maupun tidak dengan penyakit penyerta di RSUP Dr. Sardjito
periode Maret-Desember 2013.
Kriteria eksklusi.:
1. Rekam Medis yang tidak ditemukan
2. Rekam Medis yang tidak bisa di konfirmasi kepada tenaga kesehatan
Pemilihan subyek penelitian dipilih sesuai kriteria inklusi yang telah
ditetapkan. Terdapat populasi kasus sebanyak 300 kasus rawat inap di RS Dr.
Sardjito periode Maret Desember 2013 dimana 51 diantaranya merupakan kasus
dengan diagnosis masuk DM tipe 2. Kasus yang tidak dimasukkan ke dalam
subyek penelitian disebabkan beberapa hal yaitu, 9 kasus yang ditemukan tidak
memiliki diagnosis masuk DM tipe 2, 3 kasus tidak mendapatkan terapi
farmakologi, 13 kasus tidak dapat ditemukan, dan 2 kasus yang tidak dapat
Gambar 3. Skema Pemilihan Subyek Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Maret – Desember 2013
D.Tata Cara Penelitian
1. Observasi awal atau analisis situasi
Observasi awal dilakukan untuk mencari informasi – informasi awal
terkait dengan topik penelitian ini yaitu sebagai berikut:
a. Informasi mengenai rata – rata jumlah kasus DM tipe 2 di instalasi rawat inap
di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Informasi ini digunakan untuk menentukan
lamanya periode pengambilan data untuk penelitian ini yang akan berkaitan
dengan perkiraan jumlah kasus yang akan dievaluasi.
b. Informasi terkait dengan tatacara perijinan dan tatacara pengambilan data.
2. Permohonan izin
Berdasarkan hasil analisis situasi di peroleh informasi bahwa
permohonan ijin penelitian dilakukan dengan mengajukan Ethical Clereance ke Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran
untuk memenuhi etika penelitian dengan catatan rekam medis. Permohonan ijin
selanjutnya ditujukan kepada Direktur SDM dan Pendidikan RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta.
3. Tahap pengambilan data
a. Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan meliputi identitas kasus, gejala, dan tanda,
riwayat pengobatan, riwayat penyakit, keluhan, diagnosis, anamnesis, data
laboratorium, terapi yang diberikan, catatan keperawatan yang terkait dan kondisi
kasus ketika keluar dari rumah sakit.
b. Pengolahan dan analisis data
Pola penggunaan obat diidentifikasi dengan mengelompokkan obat yang
digunakan selama proses terapi DM tipe 2 berdasarkan golongan obat yang
digunakan, kemudian dihitung persentasi penggunaan masing-masing obat.
Rekam Medis yang didapat di analisis dengan menggunakan sarana
SOAP (Subjective, Objective, Assesment, dan Planning/Recommendation), kemudian dibandingkan dengan Standar terapi yang berlaku di RSUP Dr. Sardjito,
dan pustaka acuan yang sesuai seperti DIH (Drug Information Handbook), , Medscape : Multi drugs interaction checker, serta jurnal terkait, lalu dihitung jumlah kasus yang terjadi DRPs, kemudian di kelompokkan berdasarkan jenis
DRPs dan dihitung presentase kasus DRPs nya. Aspek kepatuhan tidak diamati
dalam penelitian ini, karena penelitian ini bersifat retrospektif.
c. Kerahasiaan data
Seluruh data yang di ambil oleh peneliti yang berupa rekam medis pasien
akan digunakan sebagai bahan penilitian. identitas akan digantikan dengan kode,
mengenai hal tersebut, peneliti akan menjaga kerahasiaan seluruh data yang di
dapat dari rekam medis sesuai dengan peraturan dan etika yang berlaku.
E.Kesulitan dan Kelemahan Penelitian
Penelitian ini tidak mengevaluasi DRPs dari keseluruhan penggunaan
obat yang diberikan kepada sebab evaluasi difokuskan pada obat antidiabetika
yang disesuaikan dengan kondisi pasien, jadi evaluasi tidak dapat melihat
keseluruhan terapi yang diberikan pada pasien.
Kesulitan dalam penelitian ini adalah banyak rekam medis yang tidak
ditemukan, tidak lengkapnya catatan dokter maupun keperawatan dan terdapat
tulisan yang tidak terbaca. Untuk rekam medis yang tidak dapat dibaca dilakukan
klarifikasi tulisan pada tenaga kesehatan di instalasi catatan medis. Dalam
membaca rekam medis peneliti tidak dapat melihat obyektifitas dari pasien,
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian mengenai “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Pada
Kasus Terapi Diabetes Melitus Tipe 2 Rawat Inap (Studi Kasus Di RSUP. DR.
Sardjito Yogyakarta Periode Maret-Desember 2013)” dilakukan dengan
menelusuri data rekam medis yang terdiagnosis masuk sebagai penderita diabetes
mellitus tipe 2. Berdasarkan data rekam medis yang didapatkan, diperoleh 24
kasus yang digunakan sebagai subyek penelitian.
A. Karakteristik Kasus
1. Jenis kelamin
Dari data yang diperoleh (Gambar 4), terlihat prevalensi laki-laki jauh
lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.
2. Umur
Berdasarkan Izenberg (2000), penderita DM tipe 2 dibagi menjadi 8
kelompok umur. Hasil penelitian menunjukkan kasus DM tipe 2 paling banyak
terdapat pada kelompok umur 46-59 tahun yaitu sebanyak 29.2% dari 24 kasus
yang dievaluasi. Berdasarkan teori, DM tipe 2 biasanya muncul setelah umur 40
tahun yang disebabkan pola makan dan gaya hidup yang salah, seperti jarang
berolahraga, perokok aktif, serta pola istirahat yang tidak teratur.
Tabel IV. Distribusi Kasus DM Tipe 2 Rawat Inap ddi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Maret- Desember 2013 Berdasarkan
Usia
Kriteria Kelompok
Umur (Thn)
Jumlah Kasus
Persentase (%) (n = 24)
Dewasa 18-45 3 12.5
Usia Pertengahan 46-59 11 45.8
Lanjut Usia 60-74 7 29.2
Lansia tua 75-90 3 12.5
B. Profil Obat
1. Kelas terapi
Kelas terapi adalah kelompok besar obat yang terdiri dari beberapa
golongan obat yang mempunyai sasaran pengobatan yang sama, yang diberikan
pada kasus selama menjalani rawat inap yang berupa obat antibetika oral maupun
obat lainnya untuk mengobati penyakit yang diderita maupun komplikasinya. Dari
data yang dievaluasi terdapat 10 kelas terapi berdasarkan Informatorium Obat
Tabel V. Kelas Terapi Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Maret-Desember 2013
Kelas Terapi Jumlah Persentase (%)
(n = 24)
Sistem Endokrin 21 87,5
Sistem Kardiovaskular 22 91,6
Infeksi 14 58,3
Sistem Saraf Pusat 13 54,1
Otot Skelet dan Sendi 6 25
Sistem Saluran Nafas 3 12,5
Sistem Saluran Cerna 8 33,3
Gizi dan Darah 22 91,6
Keganasan dan Imunosupresi 1 4,2
Mata 1 4,2
2. Golongan Obat
a. Sistem Endokrin
Obat yang mempengaruhi sistem endokrin yang digunakan dalam
penelitian ini adalah obat antidiabetik, kortikosteroid dan bifosfonat. Obat
antidiabetik digunakan untuk penyakit diabetes melitus. Obat antidiabetik
dibedakan menjadi obat antidiabetik oral dan insulin. Tujuan utama dari terapi
DM adalah mengurangi resiko terjadinya komplikasi makrovaskular dan
mikrovaskular, memperbaiki gejala yang muncul, mengurangi angka kematian
dan meningkatkan kualitas hidup pasien (Perkeni, 2011).
Insulin biasanya digunakan pada kasus DM tipe 1, tetapi pada kasus DM
tipe 2 terdapat kemungkinan mendapatkan terapi insulin. Pada penelitian ini
banyak kasus yang mendapatkan terapi dengan insulin, hal ini dikarenakan efek
insulin lebih cepat dibandingkan dengan obat antidiabetika oral. Menurut
tipe 2 dapat mengurangi resiko komplikasi yang disebabkan oleh diabetes serta
menjamin penanganan glikemia yang lebih menyeluruh. Selain insulin, pada
penelitian ini banyak kasus yang mendapatkan pengobatan dengan menggunakan
antidiabetika oral. Golongan obat yang diberikan pada kasus dalam penelitian ini
yaitu golongan sulfonilurea, biguanida, dan kombinasi.
Tabel VI. Penggunaan Obat Sistem Endokrin Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Maret-Desember
2013
Sulfonilurea Glimepirid 1 22
Gliquidone Glurenorm® 1 12
Kortikosteroid Glukokortikoid Metilprednisolon 3 18, 22,
24
b. Sistem kardiovaskular
Pada penelitian ini, obat kardiovaskular yang digunakan adalah golongan
mempengaruhi darah, antikoagulan dan protamin, antiplatelet, gangguan sirkulasi
darah serta syok dan hipotensi.
Pasien DM tipe 2 memiliki resiko tinggi terkena gangguan
kardiovaskuler. Komplikasi kardiovaskuler merupakan penyebab kematian
tertinggi pada pasien DM tipe 2 (Buse, Ginsberg, Bakris, Clarck, Costa, Eckel, et. al., 2007)..
Tujuan diberikan obat antihipertensi pada penelitian ini adalah untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular akibat tekanan darah tinggi.
Tekanan darah yang diharapkan adalah dibawah 130/80 mmHg (BPOM, 2008).
Dari penelitian, penggunaan obat kardiovaskular paling banyak adalah kelompok
diuretik yaitu furosemid sebanyak 7 kali.
Tabel VII. Penggunaan Obat Sistem Kardiovaskuler Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode
Maret-Desember 2013
Golongan obat Kelompok Nama
Generik
Nama Dagang
Σ No Kasus
Antihipertensi ACE inhibitor Kaptopril 3 3, 4, 20
Imidapril Tanapress® 1 20
Antiangina Calcium
Channel
Nitrat Isosorbid
dinitrat
1 3
Tabel VII. Lanjutan
Golongan obat Kelompok Nama
Generik
Nama Dagang
Σ No Kasus
Antiaritmia Digoksin Digoksin Lanoxin® 1 22
Diuretik Diuretik kuat Furosemid Lasix® 7 4, 5, 7,
Pada penelitian ini, antibiotik digunakan untuk mengatasi penyakit
penyerta atau komplikasi pada kasus seperti infeksi saluran kencing (ISK) dan
Penggunaan antibiotik yang paling banyak adalah golongan antibakteri kelompok
sefalosporin dan β-laktam sebanyak 20 kali.
Tabel VIII. Penggunaan Obat Anti Infeksi Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode
Maret-Desember 2013 Golongan
Obat
Kelompok Nama Generik Nama
Dagang
Σ No. Kasus Antibakteri Sefalosporin
dan β-lactam
Kuinolon Levofloksasin 1 24
Siprofloksasin 2 6, 24
Makrolida Azitromisin 2 4, 24
Penisillin Ampisilin, sulbaktam
d. Sistem Saraf Pusat
Penyakit DM dapat menyebabkan 2 komplikasi yaitu komplikasi
makrovaskular dan mikrovaskular. Komplikasi mikrovaskular yang dapat terjadi
seperti retinopati dan neuropati (Fowler, 2008). Obat sistem saraf yang paling
Tabel IX. Penggunaan Obat Sistem Saraf Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode
Maret-Desember 2013
Golongan Obat Kelompok Nama Generik Nama
Dagang
Σ No. Kasus
Antikonvulsan Gabapentin Nepatic® 5 1, 10,
17, 22,
Antipsikosis Haloperidol Serenace® 2 15, 24
Mual dan
Anastetik lokal Pilocarpin 1 13
Demensia Donepzil HCL Aricept® 1 10
Trihexyphenidyl 1 15
Fitofarmaka Ekstrak
Gingoflavon
Tebokan Forte®
e. Otot Skelet dan Sendi
Pada penelitian ini obat skelet dan sendi yang digunakan untuk mengatasi
penyakit penyerta serta keluhan yang dialami oleh pasien misalnya keluhan nyeri
sendi yang dirasakan oleh pasien. Golongan yang paling banyak digunakan adalah
Anti inflamasi non steroid (AINS). AINS diindikasikan untuk mengatasi nyeri dan
kekakuan yang timbul akibat penyakit reumatik yang meradang. Dalam dosis
tunggal, AINS memiliki aktivitas analgesik yang setara dengan parasetamol,
tetapi parasetamol lebih disukai terutama untuk kasus usia lanjut. Tetapi dalam
dosis penuh, AINS sekaligus memperlihatklan efek analgesik yang bertahan lama
dan efek anti inflamasi yang membuatnya sangat berguna untuk pengobatan nyeri
berlanjut atau nyeri berulang akibat radang (BPOM, 2008).
Tabel X. Penggunaan Obat Otot Skelet dan Sendi Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode
Maret-Desember 013 Golongan
Obat
Kelompok Nama Generik Nama Dagang Σ No.
Kasus Obat reumatik
dan gout
AINS Ketorolak Toradol® 2 6, 16
Dexketoprofen Trometamol
Ketesse® 1 9
Celecoxib Celebrex® 1 22
Obat yang menekan
proses reumatik
Allopurinol 1 2
Kortikosteroid Dexamethakson Kalmethason® 1 13, 21 Obat yang
digunakan dalam gangguan neuromuskular
Pelemas otot skelet
f. Obat Saluran Pernafasan
Obat saluran pernafasan yang diberikan pada kasus DM ditujukan
untuk menterapi penyakit penyerta. Obat saluran nafas yang digunakan
pada peneltiin ini adalah mukolitik, antitusif dan ekspektoran serta
antiasma dan bronkodilator.
Tabel XI. Penggunaan Obat Saluran Pernafasan Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode
Maret-Desember 2013
Golongan Obat Kelompok Nama Generik Nama
Dagang
Σ No. Kasus
Mukolitik Ambroxol 1 4
Kortikosteroid Budesonida Pulmicert® 1 12
Antitusif dan Ekspektoran
Antitusif Dekstrometorfan 1 12
Kodein 2 12, 18
Antiasma dan Bronkodilator
Bronkodilator antimuskarinik
Ipratropium Farbivent® 1 12
Antihistamin, Hiposensitisasi dan kedarurtan
alergi
Antihistamin Setirizin 1 18
g. Obat Saluran Pencernaan
Pada penelitian ini obat saluran pencernaan yang digunakan untuk
mengatasi efek samping dari obat lain yang diberikan, serta untuk menterapi
Tabel XII. Penggunaan Obat Saluran Pencernaan Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode
Maret-Desember 2013 Golongan
Obat
Kelompok Nama Generik Nama
Dagang
Σ No. kasus Antasida/
Antirefluks
Antagonis Histamin H2
Ranitidin HCL 4 13, 16,
17, 21 Kalsium
Polystyrene Sulfonat
Kalitake® 1 21
Proton Pump Inhibiotor
Lansoprazol 2 10, 13
Omeprazole OMZ® 4 6, 17,
18, 24 Pumpitor®
h. Gizi dan Darah
Pemberian gizi tambahan pada kasus DM tipe 2 ditujukan untuk mencapai
dan menjaga metabolic outcome yag optimal diantaranya menjaga gula darah tetap pada kondisi normal atau mendekati normal untuk mencegah atau
mengurangi resiko terjadinya komplikasi, profil lipid dan lipoprotein untuk
mengurangi resiko gangguan makrovaskuler, tekanan darah untuk mengurangi
gangguan vaskuler. Mencegah dan mengatasi komplikasi diabetes, memodifikasi
intake gizi dan gaya hidup agar sesuai untuk mencegah dan mengatasi obesitas,
Tabel XIII. Penggunaan Obat Gizi dan Darah Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Maret-Desember 2013
Golongan Obat Kelompok Nama generik Nama
Dagang
Multivitamin Fursultiamina HCL speciosa, Cinna
momum burmannii extr
Inlacin® 1 15
Mineral Kalsium
i. Keganasan dan Imunosupressi
Pada penelitian ini obat immunosupressi yang digunakan untuk
mengatasi penyakit penyerta misalnya rematik. Golongan yang paling banyak
digunakan adalah takrolimus. Takrolimus merupakan penghambat calcineurin.
Walaupun tidak berhubungan secara kimia dengan siklosporin tetapi memiliki
mekanisme kerja dan efek samping yang sama, namun kasus neurotoksisitas dan
nefrotoksisitas akibat takrolimus lebih banyak. Gangguan metabolisme glukosa
yang disebabkan oleh takrolimus lebih signifikan, tapi hipertrikhosis lebih rendah
dibanding siklosporin (BPOM, 2008).
Tabel XIV. Penggunaan Obat Keganasan dan Imunosupressi Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta Periode Maret-Desember 2013 Golongan
Obat
Kelompok Nama
Generik
Nama Dagang
Σ No. Kasus
Obat yang
mempengaruhi sistem imun
Kortikosteroid dan
Imunosupressan lain
Takrolimus Prograf® 1 18
j. Obat Mata
Pada penelitian ini obat mata yang digunakan untuk mengatasi penyakit
penyerta misalnya glaukoma. Golongan yang paling banyak digunakan adalah
Tabel XV. Penggunaan Obat Mata Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode
Maret-Desember 2013 Golongan
Obat
Kelompok Nama
Generik
Nama Dagang
Σ No. Kasus Antiinfeksi
untuk mata
Antibakteri Ofloxacin Pharflox 1 13
Pengobatan Glaukoma
Timol 1 13
Manitol 1 13
Brinzolamid Azopt® 1
Asetazolamid Glaucon® 1 13
Latanoprost Glaupen® 1 13
Deksamet Na fosfat, Neomisin
sulfat, polimiksin B
sulfat
Cendo Xitrol®
1 13
C. Evaluasi DRPs
Evaluasi DRPs ini dilakukan untuk mengetahui masalah-masalah yang
berkaitan dengan peresepan pada kasus terapi DM tipe 2 di RSUP. Dr. Sardjito
Yogyakarta. Drug Related Problems yang diamati pada penelitian ini meliputi : Tidak perlu obat, perlu obat, obat salah, dosis kurang, dosis berlebih, serta efek
samping dan interaksi obat.. Noncompliance tidak diamati, karena penelitian ini bersifat retrospektif. Penelitian dilakukan dengan menelusuri data rekam medis
kasus DM tipe 2 rawat inap di RSUP. Dr. Sardjito dari Maret hingga Desember
2013. Berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi didapatkan 24 kasus untuk
dievaluasi.
Berdasarkan hasil penelitian dari 24 kasus yang dievaluasi, ada 17 kasus
ada beberapa yang tiap kasus terdiri dari lebih dari satu DRP. Kasus DRP yang
paling banyak terjadi adalah interaksi obat yaitu sebanyak 9 kasus.
Tabel XVI. Kasus DRP yang Teridentifikasi pada Kasus Terapi DM Tipe 2 Rawat Inap di RSUP DR. Sardjito Yogyakarta Periode Maret-Desember 2013
No Jenis DRPs Nomor Kasus
(seperti lampiran)
Kasus DRPs (n=24)
1 Tidak perlu obat 9 dan 11 2
2 Perlu obat 16 1
3 Obat salah 0 0
4 Dosis kurang 0 0
5 Dosis berlebih 5, 8, 9, 11 dan 15 5
6 Efek samping dan interaksi obat 3, 4, 5, 6, 9, 13, 17, 20, dan 22
9
Total 17
Drug Related Problems ADR yang terjadi pada kasus terapi DM tipe 2 sebanyak 9 kasus. Hal ini terjadi karena terdapat efek samping yang timbul dari
pemberian obat pada kasus serta interaksi antar obat yang diberikan bersamaan
yang dapat menimbulkan reaksi pada tubuh atau pada obat itu sendiri.
1. Tidak perlu obat
Pada kasus 9, pasien mendapatkan Novomix® dengan dosis 5 unit/8 jam
untuk gula darah <150. Menurut Inzucchi (2011) tidak perlu diberikan Novomix®
ada kasus dengan range gula darah <150 mg/dL. Rekomendasi yang diberikan
adalah pemberhentian insulin pada kasus ini.
Pada kasus 11, pada tanggal 5, 6, dan 7 kasus mendapatkan insulin
dengan dosis 3x14 unit padahal menurut Inzucchi (2011) tidak diperlukan
pemberian insulin pada kasus dengan range gula darah <150. Rekomendasi yang
2. Perlu obat
Pada kasus 16, terjadi DRPs perlu obat sebab pada tanggal 17 kasus tidak
mendapatkan terapi untuk mengontrol kadar gula darah kasus. Rekomendasi obat
yang diberikan adalah memberikan regular insulin dengan dosis yang disesuaikan
dengan gula darah kasus.
3. Obat salah
Jenis DRPs obat salah tidak ditemukan pada penatalaksanaan kasus DM
tipe 2 rawat inap di RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta periode Maret – Desember
2013.
4. Dosis kurang
Jenis DRPs dosis kurang tidak ditemukan pada penatalaksanaan kasus
DM tipe 2 rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Maret –
Desember 2013.
5. Dosis Berlebih (dosage too high)
Pemberian dosis berlebih dapat mengakibatkan respon yang diberikan
berlebih atau dapat melewati kadar toksik minimum (KTM) dair obat tersebut.
Pada kasus 5, pada tanggal 22 kasus mendapatkan dosis insulin aspart 2 x 10 unit
untuk GD2JPP : 180, padahal menurut Inzucchi (2011) untuk mengatasi gula
darah sebesar 180 diperlukan insulin 1-3 unit. Rekomendasi yang diberikan yaitu
penurunan dosis insulin pada tanggal 22 menjadi 1-3 unit.
Pada kasus 8, dan 11, kasus mendapatkan insulin dengan dosis 3x4 unit
150-199 adalah 1-3 unit. Rekomendai yang diberikan adalah penurunan dosis
penurunan dosis insulin menjadi 1-3 unit.
Pada kasus 9, kasus mendapatkan insulin dengan dosis 3x4 unit padahal
menurut Inzucchi (2011) untuk mengatasi hiperglikemia dengan GDS 150-199
adalah 1-3 unit. Menurut Berns and Glickman (2014) diperlukan penurunan dosis
insulin sebanyak 75% untuk pasien dengan GFR 10-50 ml/menit, dan tidak
diperlukan penurunan dosis untuk GFR > 50 ml/menit. Pada kasus ini kadar
Creatinine (Cr) pasien pada tanggal 20 sebesar 1.86 mg/dL, tanggal 22 sebesar
1,88 mg/dL, tanggal 29 sebesar 2,2 mg/dL dan pada tanggal 1 sebesar 1.37
mg/dL. Berdasarkan perhitungan MDRD eGFR pasien menurut Levey, Bosch,
Lewis, Greene, Rogers, and Roth (2014) pada tanggal 20 sebesar 40,1 ml/menit,
tanggal 29 sebesar 3,97 ml/menit, tanggal 29 sebesar 33,1 ml/menit, dan pada
tanggal 1 sebesar 57,1 ml/menit. Dengan pengurangan dosis, pada tanggal 20, 22,
dan 29 dosis insulin yang diberikan pada kasus menjadi 0,75-2,25 unit. Pada
kasus ini pasien mendapatkan dosis insulin sebesar 5 unit. Rekomendasi yang
diberikan adalah penurunan dosis Insulin yang diberikan menjadi 0,75 – 2, 25
unit.
Pada kasus 15, kasus mendapatkan insulin dengan dosis 3x8 unit padahal
menurut Inzucchi (2011) untuk mengatasi hiperglikemia dengan GDS 200-249
adalah 2-6 unit. Menurut Berns and Glickman (2014) diperlukan penurunan dosis
insulin sebanyak 75% untuk pasien dengan GFR 10-50 ml/menit. Pada kasus ini
kadar Creatinine (Cr) pasien pada tanggal 31 sebesar 1,71 mg/dL. erdasarkan
and Roth (2014) pada tanggal 31 sebesar 41,2 ml/menit. Dengan penurunan dosis
insulin, kasus seharusnya mendapatkan insulin pada tanggal 31 sebanyak 1,5 – 4,5
unit. Insulin aspart diberikan setiap 6 jam, atau sekitar 4 – 6 jam (Inzucchi, 2014).
Pada kasus ini, insulin aspart pagi diberikan pada pukul 6.00 kemudian diberikan
kembali pada pukul 8.00. Rekomendasi yang diberikan adalah penurunan dosis
insulin menjadi 1,5 – 4,5 unit, serta penyesuaian interval pemberian insulin aspart
menjadi setiap 4 – 6 jam.
6. Efek samping dan interaksi obat
Interaksi obat terjadi karena pemberian lebih dari satu obat bersamaan,
interaksi obat dapat menimbulkan efek yang positif maupun yang negatif. Pada
kasus 3, terdapat interaksi antara kaptopril dengan insulin aspart (Novorapid dan
Novomix) yang dapat meningkatkan efek dari insulin aspart (Medscape Drug Interaction Checker, 2014). Rekomendasi yang diberikan adalah perubahan waktu pemberian kaptopril 81 menit setelah kasus pemberian insulin aspart untuk
menghindari interaksi yang dapat terjadi antara kedua obat tersebut, monitoring
gula darah kasus, agar dapat diketahui apakah terjadi interaksi antara kaptopril
dan insulin aspart dalam tubuh kasus atau tidak. Oleh karena itu, jenis DRPs yang
terjadi ini merupakan DRPs potensial.
Pada kasus 4, terjadi interaksi anatara insulin aspart (Novorapid) dan
aspirin (Aspilet®) serta interaksi antara kaptopril dan insulin aspart, dimana
menit setelah pemberian insulin aspart, serta dilakukan monitoring gula darah
kasus, agar dapat diketahui apakah terjadi interaksi antara kaptopril dan insulin
aspart serta aspirin dan insulin aspart dalam tubuh kasus atau tidak. Oleh karena
itu, jenis DRPs yang terjadi ini merupakan DRPs potensial.
Pada kasus 5, 6 dan 9, terdapat interaksi antara insulin aspart dan aspirin,
dimana aspirin dapat meningkatkan efek dari insulin aspart (Medscape Drug Interaction Checker, 2014). Rekomendasi yang diberikan adalah pemberian aspirin pada malam hari dengan waktu pemberian 81 menit setelah pemberian
insulin aspart, dilakukan monitoring gula darah kasus, agar dapat diketahui
apakah terjadi interaksi antara aspirin dan insulin aspart dalam tubuh kasus atau
tidak. Oleh karena itu, jenis DRPs yang terjadi ini merupakan DRPs potensial.
Pada kasus 13 terdapat interaksi antara ofloxacin, dexamethasone dan
insulin lispro, dimana ofloxacin dapat meningkatkan efek dari insulin sedangkan
dexamethasone menurunkan efek dari insulin (Medscape Drug Interaction Checker, 2014). Rekomendasi yang diberikan adalah pemberian ofloxacin 1 jam setelah pemberian insulin lispro untuk menghindari terjadinya reaksi antara kedua
obat tersebut, dilakukan monitoring gula darah kasus, agar dapat diketahui apakah
terjadi interaksi antara ofloxacin, dexamethasone dan insulin lispro dalam tubuh
kasus atau tidak. Oleh karena itu, jenis DRPs yang terjadi ini merupakan DRPs
potensial.
Pada kasus 17, terdapat interaksi antara mesalamine dan insulin glargine
insulin glargine, monitoring gula darah kasus, agar dapat diketahui apakah terjadi
interaksi antara mesalamine dan insulin glargine dalam tubuh kasus atau tidak.
Oleh karena itu, jenis DRPs yang terjadi ini merupakan DRPs potensial.
Pada kasus 20, terjadi interaksi antara ko-enzyme Q10 dan insulin aspart,
dimana fenofibrat dapat meningkatkan efek dari insulin aspart yang dapat
menyebabkan hipoglikemia dan meningkatkan resiko hipoalbuminemia
(MedscapeDrug Interaction Checker, 2014). Rekomendasi yang diberikan adalah merubah waktu pemberian ko-enzyme Q10 menjadi 81 menit setelah pemberian
insulin aspart untuk menghindari interaksi antara kedua obat tersebut, dilakukan
monitoring gula darah dan kadar albumin kasus, agar dapat diketahui apakah
terjadi interaksi antara fenofibrat dan insulin aspart dalam tubuh kasus atau tidak.
Oleh karena itu, jenis DRPs yang terjadi ini merupakan DRPs potensial.
Pada kasus 22, terjadi interaksi antara glimepirid dan aspirin, dimana
aspirin dapat meningkatkan efek dari glimepirid yang beresiko menyebabkan
hipoglikemia, serta terjadi interaksi antara metilprednisolon dan glimepirid,
dimana merilprednisolon menurunkan efek dari glimepirid (Medscape Drug Interaction Checker, 2014). Rekomendasi yang diberikan adalah merubah waktu pemberian Aspirin menjadi malam hari, atau 5-9 jam setelah pemberian
glimepirid , dilakukan monitoring gula darah kasus, agar dapat diketahui apakah
terjadi interaksi antara glimepirid dengan aspirin dan metilprednisolon dalam
tubuh kasus atau tidak. Oleh karena itu, jenis DRPs yang terjadi ini merupakan
DRPs potensial.
Berdasarkan dari 24 data yang dievaluasi sebagian besar kasus
meninggalkan rumah sakit dalam kondisi membaik dan diizinkan pulang. Jumlah
kasus membaik dan diizinkan pulang sebanyak 20 kasus atau 83,3%, kasus yang
belum sembuh dan pulang atas permintaan (APS) sendiri sebanyak 2 kasus atau
8,3%. dan kasus yang meninggal sebanyak 2 kasus atau 8,3%. Alasan pulang
dengan permintaan sendiri mungkin dikarenakan alasan biaya atau tidak betah
tinggal di rumah sakit.
Gambar 5. Alasan Meninggalkan Rumah sakit Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode
Maret-Desember 2013
E. Rangkuman Pembahasan
Selama periode Maret-Desember 2013 terdapat 70 kasus yang
terdiagnosis masuk diabetes mellitus tipe 2 yang dirawat di instalasi rawat inap
RSUP. Dr. Sardjito. Dari 70 kasus tersebut, terdapat 24 rekam medis yang
memenuhi kriteria inklusi, kemudian dari 24 rekam medis tersebut dilakukan
Berdasarkan 24 kasus yang dievaluasi diketahui bahwa kasus DM tipe 2
banyak terjadi pada range umur 50-59 tahun yaitu sebesar 41%. Kasus ini lebih
banyak terjadi pada laki-laki sebesar 75% dibandingkan dengan wanita sebesar
25%.
Obat yang diberikan pada kasus DM tipe 2 dibagi menjadi 10 kelas terapi
yaitu sistem endokrin, sistem kardiovaskular, infeksi, sistem saraf pusat, otot
skelet dan sendi, sistem saluran nafas, sistem saluran pencernaan, gizi dan darah,
keganasan dan imunosupressi, serta mata. Penggunaan obat yang banyak
digunakan adalah obat dari kelas obat kardiovaskular.
Pada penelitian ditemukan 17 kasus DRPs yang terjadi dimana 1 kasus
terjadi lebih dari 1 jenis DRPs pada penatalaksanaan terapi pada kasus DM tipe 2
yang menjalani rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode
Maret-Desember 2013. Kasus DRPs yang ditemukan meliputi 2 kasus tidak butuh obat, 1
kasus butuh obat, 9 kasus efek samping obat dan interaksi obat dan 5 kasus dosis
berlebih. Jenis DRPs yang terjadi dibagi menjadi 2 yaitu aktual dan juga potensial.
Jenis DRPs aktual yaitu DRPs yang benar-benar terjadi pada kasus sehingga
menimbulkan kerugian yang diakibatkan karena terjadinya DRPs tersebut. Jenis
DRPs potensial yaitu DRPs yang mungkin terjadi tetapi tidak terlihat dari keluhan
Tabel XVII. Hasil Evaluasi DRPs dan Status Keluar Kasus DM Tipe 2 Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode
Maret-Desember 2013
Kasus DRPs Jenis
DRPs Status Keluar Kasus
1 - - Membaik, diizinkan
2 - - Belum sembuh, pulang paksa
3 Efek samping dan Interaksi obat
Potensial Membaik, diizinkan
4 Efek samping dan Interaksi obat
Potensial Membaik, diizinkan
5a Efek samping dan Interaksi obat
Potensial Meninggal
5b Dosis berlebih Potensial Meninggal
6a Efek samping dan Interaksi obat
Potensial Membaik, diizinkan
7 - - Membaik, diizinkan
8 Dosis berlebih Potensial Membaik, diizinkan
9a Efek samping dan Interaksi obat
Potensial Membaik, diizinkan
9b Dosis berlebih Potensial Membaik, diizinkan
9c Tidak perlu obat Potensial Membaik, diizinkan
10 - - Membaik, diizinkan
11a Tidak butuh obat Potensial Sembuh, diizinkan
11b Dosis berlebih Potensial Sembuh, diizinkan
12 - - Membaik, diizinkan
13 Efek samping dan Interaksi obat
Potensial Sembuh, diizinkan
14 - - Belum sembuh, pulang paksa
15 Dosis berlebih Potensial Membaik, diizinkan
16 Perlu obat Potensial Sembuh, diizinkan
17 Efek samping dan Interaksi obat
Potensial Membaik, diizinkan
18 - - Membaik, diizinkan
19 - - Sembuh, diizinkan
20 Efek samping dan Interaksi obat
Potensial Membaik, diizinkan
21 - - Membaik, diizinkan
22 Efek samping dan Interaksi obat
Potensial Membaik, diizinkan
23 - - Membaik, diizinkan