• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada kasus terapi diabetes melitus tipe 2 rawat inap : studi kasus di RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta periode Maret-Desember 2013 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada kasus terapi diabetes melitus tipe 2 rawat inap : studi kasus di RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta periode Maret-Desember 2013 - USD Repository"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA KASUS TERAPI

DIABETES MELITUS TIPE 2 RAWAT INAP (STUDI KASUS DI RSUP.

DR. SARDJITO YOGYAKARTA PERIODE MARET-DESEMBER 2013)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Mega Wiro Sanu Sinaga

108114189

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan

kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir

Pengkotbah 3: 11

“Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat”

Ibrani 11 : 1

Karya ini kupersembahkan untuk :

Yesus Kristus Allahku,

Papa, Mama, terhebatku

Kakakku, Lambok Surya Diah Sinaga di rumah Bapa,

(5)
(6)
(7)

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan pada Tuhan Yang Maha Baik atas segala

rahmat dan lindungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Kasus Terapi Diabetes

Melitus Tipe 2 Rawat Inap (Studi Kasus di RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta

Periode Maret-Desember 2013)” ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah

satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta. Pada kesempatan kali ini, penulis hendak mengucapkan terima kasih

kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini antara

lain :

1. Kedua orangtuaku Ardin Rustam Effendi Sinaga dan Roida Sibarani yang

telah memberikan dukungan berupa doa, penguatan, penghiburan maupun

materi dalam setiap langkah hidup penulis.

2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma atas bimbingannya

selama penulis melakukan proses pembelajaran di Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt selaku dosen pembimbing dan

penguji atas dukungan, arahan, yang diberikan kepada penulis selama

proses penyusunan skripsi.

4. Ibu Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah

memberikan saran dan masukan dalam proses penyusunan skripsi ini.

5. Ibu Dita Maria Virginia, S, Farm., Apt, M.Sc. selaku dosen penguji yang

(8)
(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... Ii HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... Iv LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

INTISARI ... xvii

ABSTRACT ... xviii

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Rumusan Masalah ... 2

2. Manfaat Penelitian ... 3

3. Keaslian Penelitian ... 3

B. Tujuan Penelitian ... 5

(10)

2. Tujuan Khusus ... 5

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 6

A. Pharmaceutical Care ... 6

B. Diabetes Melitus ... 6

1. Definisi ... 6

2. Diagnosis ... 6

3. Faktor Resiko ... 7

4. Klasifikasi ... 8

5. Patogenesis ... 9

6. Penatalaksanaan dan Terapi ... 10

a. Terapi nonfarmakologis ... 11

b. Terapi farmakologis ... 12

C. Keterangan Empiris ... 16

BAB III. METODE PENELITIAN ... 17

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 17

B. Variabel dan Definisi Operasional... 17

C. Subyek Penelitian ... 19

D. Tata Cara Penelitian ... 20

1. Observasi awal atau analisis situasi ... 20

2. Permohonan izin ... 20

3. Tahap pengambilan data ... 21

E. Kesulitan dan Kelemahan Penelitian ... 22

(11)

A. Karakteristik Kasus ... 23

1. Jenis kelamin ... 23

2. Umur ... 24

B. Profil Obat ………...………... 24

a. Kelas terapi …………...………. 24

b.Golongan obat …………..………. 25

C. Evaluasi DRPs ……… 36

a. Tidak perlu obat ……….…………..……... 37

b. Perlu obat ……… 38

c. Obat salah………... 38

d. Dosis kurang ………..…. 38

e. Dosis berlebih……….. 38

f. Efek samping dan interaksi obat ... 40

D. Outcome therapy……… 42

E. Rangkuman Pembahasan ………... 43

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………... 46

A. Kesimpulan ……… 47

B. Saran ………... 48

DAFTAR PUSTAKA ……… 49

LAMPIRAN ……….. 54

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel I. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan

Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dL) ... 7

Tabel II. SasaranTerapi dari Pengobatan DM ... 10

Tabel III. Penelitian Terdahulu Terkait DRPs pada Kasus Terapi DM

Tipe 2 ... 16

Tabel IV. Distribusi Kasus Terapi DM Tipe 2 Rawat Inap di RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta Periode Maret-Desember 2013

Berdasarkan Usia ... 24

Tabel V. Kelas Terapi Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat

Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Maret-Desember

2013 ... 25

Tabel VI. Penggunaan Obat Sistem Endokrin Pada Kasus Terapi DM

Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Periode Maret-Desember 2013 ... 26

Table VII. Penggunaan Obat Sistem Kardiovaskular Pada Kasus Terapi

DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta Periode Maret-Desember 2013 ... 27

Tabel VIII. Penggunaan Anti Infeksi Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di

Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode

(13)

Tabel VIX. Penggunaan Obat Sistem Saraf Pusat Pada Kasus Terapi DM

Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Periode Maret-Desember 2013 ... 30

Tabel X. Penggunaan Obat Skelet dan Sendi Pada Kasus Terapi DM

Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Periode Maret-Desember 2013 ... 31

Tabel XI. Penggunaan Obat Saluran Pernafasan Pada Kasus Terapi DM

Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Periode Maret-Desember 2013 ... 32

Tabel XII. Penggunaan Obat Saluran Pencernaan Pada Kasus Terapi DM

Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Periode Maret-Desember 2013 ... 33

Tabel XIII. Penggunaan Obat Gizi dan Darah Pada Kasus Terapi DM Tipe

2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Periode Maret-Desember 2013 ... 34

Tabel XIV. Penggunaan Obat Keganasan dan Imunosupressi Pada Kasus

Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta Periode Maret-Desember 2013 ... 35

Tabel XV. Penggunaan Obat Mata Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di

Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode

(14)

Tabel XVI. Kasus DRP yang Teridentifikasi pada Kasus Terapi DM Tipe 2

Rawat Inap di RSUP DR. Sardjito Yogyakarta Periode

Maret-Desember 2013 ... 37

Tabel XVII. Hasil Evaluasi DRPs dan Status Keluar Kasus DM Tipe 2

Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode

Maret-Desember 2013 ... 45

Tabel XVIII. Daftar Obat yang Digunakan Pada Kasus DM Tipe 2 Rawat

Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Maret–

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerusakan Metabolisme pada DM Tipe 2... 10

Gambar 2. Algoritme Pengelolaan DM Tipe-2 Tanpa Dekompensasi ... 11

Gambar 4. Skema Pemilihan Subyek Penelitian di RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta periode Maret – Desember 2013 ... 20

Gambar 4. Diagram Prosentase Kasus DM Tipe 2 Bersasarkan Jenis

Kelamin di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode

Maret-Desember 2013 ... 23

Gambar 5. Alasan Meninggalkan Rumah sakit Pada Kasus Terapi DM Tipe

2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Analisis Drug Related Problems pada kasus Terapi DM tipe 2 di instalasi rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Tahun 2013 ... 55

Lampiran 2. Daftar Obat yang Digunakan Pada Kasus DM Tipe 2 Rawat

Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode

Maret-Desember 2013 ... 133

Lampiran 3. Surat keterangan Ethics Committee Approval ... 137

(17)

INTISARI

Drug Related Problems (DRPs) adalah konsekuensi yang terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan pengobatan pasien. Drug Related Problems (DRPs) sering terjadi pada pasien, terutama pada pasien yang mendapatkan obat lebih dari satu, sehingga diharapkan dengan adanya penelitian mengenai DRPs dapat mengurangi angka kejadian DRPs pada pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola pengguanaan obat, DRPs, dan outcome therapy pada kasus DM tipe 2 rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

Jenis penelitian ini adalah observasional dengan rancangan penelitian

cross sectional dengan menggunakan data retrospektif. Data diambil dari rekam medis meliputi catatan keperawatan, diagnosis dan penatalaksanaan obat. Kasus yang menjadi subyek penelitian harus memenuhi kriteria inklusi yaitu kasus dengan diagnosis masuk DM tipe 2 rawat inap, serta kriteria eksklusi yaitu rekam medis yang tidak ditemukan dan rekam medis dengan tulisan yang tidak bisa dikonfirmasikan kepada tenaga kesehatan. Kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian sebanyak 24 kasus.

Kelas terapi yang paling banyak digunakan adalah kelas terapi sistem kardiovaskular serta gizi dan darah sebesar 91,6%. Dari hasil evaluasi, diperoleh 17 kasus mengalami DRPs terkait dengan penatalaksanaan obat antidiabetika yaitu 2 kasus tidak perlu obat, 1 kasus perlu obat, 5 kasus dosis berlebih, serta 9 kasus efek samping obat dan interaksi obat.

(18)

ABSTRACT

Drug Related Problems (DRPs) is a consequence that happen because of

patient’s medication needs cannot be fulfilled. Drug Related problems often

happen in patient that got more than one medication, with DRPs study decrease in DRPs rate occurrences to be expected. This study’s purpose are to identified drug usage pattern, DRPs, and outcome therapy in hospitalized type 2 DM patient in RSUP Dr. Sardjito.

This study is an observational study with cross sectional study design using retrospective data. Data taken from medical records including nursing record, diagnosis and management of medications. Patient that chosen as subject of this study have to fulfill inclusion criteria whish is hospitalized patient diagnosed with type 2 DM , and exclusion criteria such as : medical records that cannot be found, and medical records with writing that cannot be confirmed to health care providers. There are 24 case that met the inclusion criteria.

Therapy class that used the most often is cardiovascular system and also nutrition and blood by 91,6%. Form evaluation’s result 17 cases related to management of anti diabetic has been found consist of 9 cases of adverse drug reaction and drug interaction, 7 cases of dosage too high, 2 case of unnecessary drug therapy, and 1 case of needs additional drug therapy.

(19)

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) adalah kelainan metabolik yang dicirikan dengan

hiperglikemia. Diabetes Melitus dihubungkan dengan abnormalitas pada

metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang berakibat pada komplikasi

kronik termasuk kelainan mikrovaskuler, makrovaskuler, dan neuropati (Dipiro,

Talbert, Yee, Matzke, Wells and Posey, 2008).

Populasi penderita diabetes di Indonesia diperkirakan antara 1,5% sampai

2,5 %, kecuali di Manado 6 %. Dengan jumlah penduduk sekitar 200 juta jiwa,

berarti kurang lebih 3-5 juta penduduk Indonesia menderita diabetes. Penderita

DM tipe 2 mencapai 90-95 % dari keseluruhan penderita diabetes, yang pada

umumnya berusia di atas 45 tahun (Depkes RI, 2005). Pada tahun 2030

mendatang diprediksi ada 11,8 juta orang Indonesia mengidap diabetes, atau

meningkat 6% setiap tahunnya (Rachmaningtyas, 2013).

Pharmaceutical care adalah praktek kefarmasian yang berpusat pada pasien dimana farmasis bertanggungjawab dan berkomitmen atas kebutuhan

pasien yang berkaitan dengan obat. Drug Related Problems (DRPs) adalah konsekuensi yang terjadi karena kebutuhan yang berhubungan dengan obat tidak

dapat terpenuhi. Drug Related Problems (DRPs) sering terjadi pada pasien, terutama pada pasien yang mendapatkan obat lebih dari satu (polifarmasi),

sehingga diharapkan dengan adanya penelitian mengenai DRPs dapat mengurangi

(20)

Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta merupakan

rumah sakit rujukan dari beberapa rumah sakit di Yogyakarta dan memiliki

pelayanan spesialis Diabetes terpadu. Hasil orientasi pendahuluan menunjukkan

pasien DM di RSUP Dr. Sardjito periode Januari-Agustus berjumlah 45 pasien.

Berbagai macam karaketeristik pasien DM yang dirawat di RSUP. Dr. Sardjito

dengan berbagai macam tingkat keparahan DM yang diderita, terapi pada pasien

DM ini semakin perlu diperhatikan ketepatan dan kerasionalitasan penggunaan

obat agar mendapatkan pengobatan yang rasional.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran lebih detail

tentang DRPs. Dengan demikian dapat meningkatkan rasionalitas penggunaan

obat pada kasus terapi DM tipe 2 rawat inap di RSUP. Dr. Sardjito diharapkan

dapat ditingkatkan.

1. Rumusan Masalah

a. Seperti apa karakteristik kasus DM tipe 2 rawat inap di RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta Periode Maret-Desember 2013?

b. Seperti apa pola penggunaan obat pada kasus Diabetes Melitus Tipe 2

rawat inap di RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta?

c. Apakah terjadi Drug Related Problems (DRPs) pada kasus terapi DM tipe 2 rawat inap di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, yang meliputi:tidak

perlu obat, perlu obat, obat salah, dosis kurang, dosis berlebih, serta efek

samping dan interaksi obat?

(21)

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis: hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu

sumber informasi tentang Drug Related Problem (DRPs) pada terapi DM tipe 2 dan menambah referensi pengetahuan kesehatan mengenai DM

tipe 2.

b. Manfaat praktis: hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan

pelayanan terapi pada kasus DM tipe 2 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

3. Keaslian Penelitian

Penelitian yang telah dilaksanakan dan terkait dengan penelitian ini

antara lain :

a. “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 komplikasi hipertensi di Rumah Sakit Umum DR. Sardjito

Yogyakarta Periode Tahun 2007-2008” (Herlinawati, 2009).

Penelitian ini dilakukan oleh Herlinawati (2009). Penelitian ini

melibatkan 32 kasus pasien diabetes melitus tipe 2 dengan komplikasi

hipertensi di Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun

2007-2008. Penelitian ini termasuk penelitian non eksperimental dengan

rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif, teknik pengambilan

sampel dengan cara simple random sampling termasuk dalam probability sampling. Hasil penelitian menunjukkan drug related problem yang terjadi adalah butuh obat sebesar 12,5%; tidak butuh obat sebesar 3,1%; dosis

terlalu tinggi sebesar 6,3%; obat tidak efektif sebesar 6,3% ; dan ADR dan

(22)

b. “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini

Yogykarta Periode Januari 2009-Maret 2010” (Indriani, 2010).

Penelitian ini dilakukan oleh Indriani (2010), dengan jumlah

subyek penelitian sebanyak 14 kasus pasien diabetes melitus. Penelitian ini

termasuk penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif

evaluatif yang bersifat retrospektif. Hasil penelitian menunjukkan drug related problem yang terjadi adalah butuh obat sebesar 14%; tidak butuh obat sebesar 7%; ADR sebesar 7%; dan interaksi obat sebesar 29%.

“Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Kasus Terapi

Diabetes Melitus Tipe 2 Rawat Inap (Studi Kasus di RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta Periode Maret-Desember 2013)”

Penelitian ini dilakukan pada periode Maret-Desember 2013

dengan subyek penelitian kasus DM tipe 2 rawat inap di RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta. Subyek penelitian tidak dibatasi usia maupun komplikasi yang

di alami oleh subyek penelitian, tetapi peneliti hanya membatasi periode

penelitiannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola

penggunaan obat, DRPs, dan outcome terapi pada kasus DM tipe 2 rawat inap di RSUP Dr. Sardjtio Yogyakarta. Aspek DRPs yang dikaji adalah

tidak perlu obat, perlu obat, obat salah, dosis kurang, dosis berlebih serta

efek samping dan interaksi obat.

Berdasarkan indormasi yang didapatkan penulis, penelitian mengenai

(23)

Tipe 2 Rawat Inap (Studi Kasus di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode

Maret-Desember 2013)” belum pernah dilakukan sebelumnya.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengevaluasi Drug-related Problems (DRPs) pada terapi kasus Diabetes Melitus tipe 2 di instalasi rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

2. Tujuan Khusus

a. Memberi gambaran karakteristik kasus Diabetes Melitus tipe 2 rawat inap

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

b. Mengidentifikasi pola penggunaan obat pada kasus Diabetes Melitus tipe 2

rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

c. Mengidentifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada kasus terapi Diabetes Melitus Tipe 2 rawat inap di RSUP Dr. Sardjito dengan

membandingkan lembar rekam medis dengan pustaka acuan.

(24)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A.Pharmaceutical Care

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

1197/Menkes/SK/2004 : Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu

kegiatan di rumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu.

Pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) merupakan tanggung jawab seorang apoteker dalam pelayanan obat terhadap pasien. Pharmaceutical care

merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi,

mencegah dan menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan penggunaan

obat atau drug-related problems dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan. Pengkajian penggunaan obat merupakan evaluasi penggunaan obat

yang terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat-obat yang

digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau oleh pasien.

B. Diabetes Melitus

1. Definisi

Diabetes melitus adalah kelainan metabolik yang dicirikan dengan

hiperglikemia. Diabetes melitus dihubungkan dengan abnormalitas metabolisme

karbohidrat, lemak, dan protein yang berakibat pada komplikasi kronik termasuk

(25)

2. Diagnosis

Kriteria diagnosis Diabetes mellitus menurut Carruthers, Hoffman,

Melmon and Nierenberg (2000) adalah sebagai berikut:

a. Konsentrasi glukosa yang di dapat secara acak ≥ 200 mg/dL, yang disertai

dengan tanda-tanda diabetes (polidipsia, poliuria, kehilangan berat badan)

atau

b. Glukosa darah puasa > 126 mg/dL, atau

c. Glukosa plasma > 200 mg/dL 2 jam setelah pemberian 75 g glukosa

Tabel I. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dL)

Bukan DM

Belum

pasti DM DM

Kadal glukosa darah sewaktu

(mg/dL)

Plasma

vena <100 100-199 ≥200

Darah

kapiler <90 90-199 ≥200

Kadar glukosa darah puasa

Plasma

vena <100 100-125 ≥126

Darah

kapiler <90 90-99 ≥100

(Perkeni, 2011)

3. Faktor resiko

Faktor resiko Diabetes mellitus tipe 2 menurut Carruthers, Hoffman,

Melmon, Nierenberg (2000):

a. Obesitas (BMI > 27 kg/m2)

b. Riwayat penyakit diabetes mellitus gestasional atau melahirkan bayi

dengan berat badan > 9 lb

(26)

d. Kolestrol HDL ≤ 35 mg/dL dan/atau konsentrasi trigliserida puasa ≥ 250

mg/dL

4. Klasifikasi

Diabetes adalah gangguan metabolik yang dikarakteristikkan dengan

resistensi aksi dari insulin, kurangnya jumlah insulin yang disekresikan, atau

keduanya. Manifestasi klinis dari gangguan ini adalah hiperglikemia. Diabetes

menurut Dipiro., et al., (2008) diklasifikasikan menjadi : a. Diabetes Tipe 1

Tipe diabetes ini disebabkan oleh kurangnya jumlah insulin yang ada

yang merupakan hasil dari kerusakan autoimun dari sel β pankreas. Diabetes ini

biasanya terjadi pada anak-anak dan dewasa, pada berbagai macam umur. Pada

individu yang lebih muda biasanya memiliki kerusakan sel β pankreas yang cepat

dan menunjukkan adanya ketoasidosis, sementara individu dewasa pada

umumnya dapat menjaga sekresi insulin yang cukup untuk mencegah ketoasidosis

selama beberapa tahun, yang biasa di sebut dengan latent autoimmune diabetes in adults (LADA).

b. Diabetes tipe 2

Diabetes tipe 2 ditunjukkan dengan adanya resistensi insulin dimana

terjadi kompensasi peningkatan sekresi insulin yang tidak cukup. Kebanyakan

individu dengan diabetes tipe 2 menunjukkan obesitas perut yang mana juga dapat

menyebabkan resistensi insulin.

(27)

Wanita yang mengalami diabetes karena stress akibat kehamilan

dikategorikan memiliki diabetes gestasional. Diabetes gestasional di definisikan

sebagai intoleransi yang pertama kali dapat dilihat selama kehamilan.

5. Patogenesis

Diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit metabolik kronis yang

mempengaruhi kemampuan tubuh untuk mengubah makanan menjadi energi.

Umumnya, setelah makan, gula dalam bentuk glukosa dari makanan masuk ke

dalam pembuluh darah. Seiring dengan peningkatan kadar glukosa di pembuluh

darah hormon insulin di lepaskan dari pankreas bertanggung jawab untuk

mentranspor glukosa ke dalam sel yang akan digunakan sebagai bahan bakar

(Metacure, 2012).

Pada diabetes mellitus tipe 2, tubuh tidak merespon baik insulin,

sehingga sel tidak dapat mengabsorbsi glukosa dengan baik dan terkumpul di

dalam pembuluh darah. Hal ini mengakibatkan kerusakan pada bagian dalam

pembuluh darah kecil. Diabetes yang tidak terkontrol dapat menyebabkan

kebutaan, amputasi bagian alat gerak, gagal ginjal, dan kerusakan saraf. Diabetes

juga merupakan faktor penting yang mempercepat pengerasan dan penyempitan

(28)

Gambar 1. Kerusakan Metabolisme pada DM Tipe 2

(Metacure, 2012)

6. Penatalaksanaan dan Terapi

Tujuan utama dari penanganan DM adalah untuk mengurangi resiko

terjadinya komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular, mengatasi gejala,

mengurangi angka kematian dan meningkatkan kualitas hidup dari pasien (Dipiro

et. al, 2008).

Tabel II. SasaranTerapi dari Pengobatan DM

Biochemical Index ADA ACE dan AACE

Hemoglobin A1C <7% ≤6.5%

Preprandial plasma glucose

90-130 mg/dL

(5-7.2 mmol/L) <110 mg/dL

Postprandial plasma glucose

<180 mg/dL

(<10 mmol/L) <140 mg/dL

ADA, American Diabetes Association; ACE, American College of Endocrinoligy; AACE, American Association of Clinical Endocrinology

(29)

Gambar 2. Algoritme Pengelolaan DM Tipe-2 Tanpa Dekompensasi

(Perkeni, 2011)

a. Terapi Nonfarmalogis

1) Diet

Terapi nutrisi medis direkomendasikan untuk seluruh pasien dengan DM.

Walaupun masih dalam perdebatan, kebanyakan orang dengan diabetes

membutuhkan rencana makan yang mengandung karbohidrat sedang dan rendah

lemak jenuh, yang fokus dalam makanan seimbang. Pasien dengan DM tipe 2

sering membutuhkan pembatasan kalori untuk meningkatkan penghilangan berat

(30)

2) Aktivitas

Latihan aerobik meningkatkan resistensi insulin dan kontrol glikemik di

sebagian besar individu, dan mengurangi faktor resiko kardiovaskular, berperan

dalam penghilangan atau mempertahankan berat badan (Dipiro et.al., 2008). b. Terapi farmakologi

Berikut beberapa terapi anti-diabetik yang biasa digunakan :

1) Insulin

Insulin menurunkan kadar gula darah dengam menstimulasi pengambilan

glukosa perifer dan menghambat produksi glukosa hepatik. Insulin biasanya

digunakan untuk terapi DM tipe 1, DM tipe 2 yang gula darahnya tidak dapat

dikendalikan dengan diet dan anti-diabetik oral, DM dengan komplikasi akut, DM

dengan kehamilan. Efek samping yang paling sering muncul dalam terapi

menggunakan insulin adalah hipoglikemia, serta alergi (Sukandar, Andrajati,

Sigit, Adnyana, Setiadi, dan Kusnandar, 2008).

2) Sulfonilurea

Sulfonilurea bekerja dengan merangsang sekresi insulin pada pangkreas,

terapi dengan golongan obat ini hanya dapat efektif bila sel beta pangkreas masih

dapat berproduksi. Sulfonilurea di indikasikan untuk DM tipe 2 ringan-sedang.

Contoh obat-obat yang termasuk dalam golongan sulfonylurea : klorpropamid,

tolbutamid, glibenklamid, dan lain sebagainya (Sukandar, et. al., 2008). 3) Biguanida

Biguanida bekerja dengan menghambat glukogenesis dan meningkatkan

(31)

Metformin di indikasikan untuk DM tipe 2 yang gagal dikendalikan dengan diet

dan obat golongan sulfonilurea (Sukandar, et. al., 2008). 4) Tiazolidindion

Obat golongan ini bekerja dengan meningkatkan sensitivitas insulin pada

otot dan jaringan adipose dan menghambat glukogenesis hepatik. Tiazolindion di

indikasikan untuk hiperglikemia, contoh dari obat golongan ini adalah

pioglitazon, dan rosiglitazon (Sukandar, et. al., 2008). 5) Penghambat α-glukosidase

Obat pada golongan ini menghambat α-glukosidase sehingga mencegah

penguraian sukrosa dan karbohidrat kompleks dalam usus halus dengan demikian

memperlambat dan menghambat penyerapan karbohidrat. Contoh dari obat

goolongan ini adalah akarbosa dan miglitol. Obat golongan ini di indikasikan

sebagai tambahan terhadap sulfonilurea atau biguanid pada DM yang tidak dapat

dikendalikan dengan diet dan diet (Sukandar, et. al., 2008).

Penatalaksanaan DM dapat menimbulkan masalah-masalah yang terkait

dengan DRPs. DRPs menurut Cipolle, Strand and Morley (2004) dikategorikan

menjadi :

1. Tidak perlu obat

Obat yang diberikan ke pasien tidak diperlukan, karena pasien tidak

memiliki indikasi klinis yang sesuai dengan fungsi obat tersebut pada saat obat

tersebut diberikan. Contohnya : pasien mendapat 3 laxative yang berbeda untuk

(32)

2. Perlu obat

Diperlukan obat tambahan untuk mengobati atau mencegah penyakit

untuk berkembang, dimana pencegahan adalah tujuan utama dari praktek

pharmaceutical care. Contohnya : seorang pasien memiliki resiko tinggi menderita pneumonia, maka dari itu pasien tersebut membutuhkan vaksin

pneumococcal. 3. Obat salah

Obat salah merupakan pemberian obat pada pasien dengan kondisi yang

di kontraindikasikan dengan kondisi pasien.

4. Dosis kurang

Dosis obat yang diberikan terlalu renfsh untuk menghasilkan respon yang

di inginkan. Contohnya : glipizine 10 mg per hari yang diberikan pada seorang

pasien terlalu rendah untuk mengontrol gula darah pasien tersebut. Regimen obat

memiliki banyak bagian-bagian termasuk produk obat, dosis, interval dosis, dan

lama waktu terapi. Semua komponen ini harus sesuai agar dapat menghasilkan

outcome yang diharapkan. Memastikan bahwa pasien mendapatkan dosis obat yang sesuai untuk mendapatkan efek yang di inginkan merupakan kewajiban dari

farmasis, karena satu dosis belum tentu sesuai untuk semua pasien.

5. Dosis berlebih

Dosis obat yang diberikan pada pasien terlalu tinggi, sehingga

menimbulkan efek yang tidak di inginkan.

(33)

Obat yang diberikan ke pasien menimbulkan efek samping yang tidak

diharapkan. Contohnya : seorang pasien mengalami ruam karena contrimoxazole

yang di gunakannya untuk mengobati luka infeksi.

7. Noncomplience

Pasien tidak bisa menjalankan terapi sesuai dengan yang diharapkan.

Contohnya : pasien tidak ingat untuk menggunakan tetes mata timolol dua kali

sehari untuk mengobati glaukomanya.

Drug Related Problems didefinisikan sebagai masalah terapi yang tidak di inginkan, yang di alami oleh pasien yang dicurigai melibatkan terapi dan

(34)

Tabel III. Penelitian Terdahulu Terkait DRPs pada Kasus Terapi DM Tipe 2

No Pengarang Thn Judul Metode Hasil Penelitian

1 Dian Verina

Indriani 2010

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Non

Komplikasi di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Januari 2009-Maret 2010 evaluatif yang bersifat

retrospektif. Data di analisis dnegan metode SOAP

Terjadi DRPs

interaksi obat sebesar 29%,

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Komplikasi Hipertensi di Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Tahun 2007-2008 yang bersifat retrospektif. Data di analisis dnegan metode SOAP dosis terlalu besar sebesar 6,3% serta ADR dan interaksis obat sebesar 18,8% Diabetes Melitus Tipe

2 Disertai Hipertensi dan Gagal Ginjal kronis di Instalasi Rawat Inap Rumah

SAkit Panti Rapih Yogyakarta yang bersifat retrospektif. Data di analisis dnegan metode SOAP

DRPs yang terjadi adalah terapi obat

yang tidak

dibutuhkan

sebesar 12,5%, butuh obat 53,1%,

ADR sebesar

34,4% dan dosis terlalu tinggi sebesar 18,8%

C. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data tentang DRPs pada

terapi diabetes melitus tipe 2 rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, yang

meliputi tidak butuh obat, butuh obat, dosis kurang, efek samping dan interaksi

(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada

Kasus Terapi Diabetes Melitus Tipe 2 Rawat Inap (Studi Kasus di RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta Periode Maret-Desember 2013)” ini merupakan jenis

penelitian non-eksperimental atau observasional deskriptif evaluatif karena tidak

ada perlakuan yang dilakukan pada subyek uji dengan rancangan penelitian cross sectional. Data yang digunakan bersifat retrospektif karena peneliti menggunakan data di masa lalu (Lapau, 2012). Data secara retospektif akan diambil dari lembar

rekam medis kasus diabetes mellitus tipe 2 di instalasi rawat inap RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta.

B.Variabel dan Definisi Operasional

1. Kelas terapi adalah kelompok besar obat yang terdiri dari beberapa golongan

obat yang mempunyai sasaran pengobatan yang sama

2. Golongan obat adalah kelompok obat berdasarkan mekanisme aksi yang

sama. Dalam penelitian ini contohnya adalah golongan obat sulfonilurea,

biguanida, tiazolidindion, dan penghambat α-glukosidase.

3. Terdapat 3 kelompok besar DRPs yaitu indikasi, efektivitas, dan keamanan yang kemudian dibagi menjadi 6 kelompok kecil yang dilihat dalam

penelitian ini yaitu : tidak perlu obat, perlu obat, obat salah, dosis kurang,

(36)

a. Tidak perlu obat adalah obat yang tidak perlu atau tidak dibutuhkan oleh

kasus dalam menjalani pengobatan.

b. Perlu obat adalah dibutuhkan tambahan obat dalam pengobatan yang

sesuai dengan indikasi klinis kasus.

c. Obat salah adalah obat yang diberikan kontraindikasi dengan kondisi

pasien.

d. Dosis kurang adalah dosis yang diberikan ke kasus lebih rendah dari

dosis terapi.

e. Dosis berlebih adalah dosis obat yang diberikan ke kasus melebihi dosis

terapi

f. Efek samping dan interaksi obat adalah obat yang diberikan ke kasus

memberikan efek samping yang tidak diharapkan, baik karena obat itu

sendiri ataupun karena kombinasi obat yang diberikan, serta terjadi

interaksi antar obat yang diberikan pada pasien.

4. DRPs yang dilihat merupakan DRPs yang terkait dengan obat antidiabetika

yang diberikan pada kasus.

5. Data outcome therapy kasus akan didapatkan berdasarkan pernyataan dokter yang ditulis di RM atau alasan kasus pulang yang ditulis oleh dokter di RM.

6. Rekam medis (RM) adalah catatan kesehatan kasus yang secara umum

memuat data tentang identitas (nama, umur, jenis kelamin, berat badan,

alamat), diagnosis, instruksi dokter, catatan keperawatan, riwayat penyakit

dan terapi, serta hasil laboratorium jika ada. Dalam penelitian ini RM yang

(37)

instalasi rawat inap di RSUP Dr. Sardjito pada periode Maret-Desember

2013.

C.Subyek Penelitian

Kriteria inklusi:

Kasus yang di diagnosis masuk DM tipe 2 rawat inap baik dengan

penyakit penyerta maupun tidak dengan penyakit penyerta di RSUP Dr. Sardjito

periode Maret-Desember 2013.

Kriteria eksklusi.:

1. Rekam Medis yang tidak ditemukan

2. Rekam Medis yang tidak bisa di konfirmasi kepada tenaga kesehatan

Pemilihan subyek penelitian dipilih sesuai kriteria inklusi yang telah

ditetapkan. Terdapat populasi kasus sebanyak 300 kasus rawat inap di RS Dr.

Sardjito periode Maret Desember 2013 dimana 51 diantaranya merupakan kasus

dengan diagnosis masuk DM tipe 2. Kasus yang tidak dimasukkan ke dalam

subyek penelitian disebabkan beberapa hal yaitu, 9 kasus yang ditemukan tidak

memiliki diagnosis masuk DM tipe 2, 3 kasus tidak mendapatkan terapi

farmakologi, 13 kasus tidak dapat ditemukan, dan 2 kasus yang tidak dapat

(38)

Gambar 3. Skema Pemilihan Subyek Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Maret – Desember 2013

D.Tata Cara Penelitian

1. Observasi awal atau analisis situasi

Observasi awal dilakukan untuk mencari informasi – informasi awal

terkait dengan topik penelitian ini yaitu sebagai berikut:

a. Informasi mengenai rata – rata jumlah kasus DM tipe 2 di instalasi rawat inap

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Informasi ini digunakan untuk menentukan

lamanya periode pengambilan data untuk penelitian ini yang akan berkaitan

dengan perkiraan jumlah kasus yang akan dievaluasi.

b. Informasi terkait dengan tatacara perijinan dan tatacara pengambilan data.

2. Permohonan izin

Berdasarkan hasil analisis situasi di peroleh informasi bahwa

permohonan ijin penelitian dilakukan dengan mengajukan Ethical Clereance ke Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran

(39)

untuk memenuhi etika penelitian dengan catatan rekam medis. Permohonan ijin

selanjutnya ditujukan kepada Direktur SDM dan Pendidikan RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta.

3. Tahap pengambilan data

a. Pengumpulan data

Data yang dikumpulkan meliputi identitas kasus, gejala, dan tanda,

riwayat pengobatan, riwayat penyakit, keluhan, diagnosis, anamnesis, data

laboratorium, terapi yang diberikan, catatan keperawatan yang terkait dan kondisi

kasus ketika keluar dari rumah sakit.

b. Pengolahan dan analisis data

Pola penggunaan obat diidentifikasi dengan mengelompokkan obat yang

digunakan selama proses terapi DM tipe 2 berdasarkan golongan obat yang

digunakan, kemudian dihitung persentasi penggunaan masing-masing obat.

Rekam Medis yang didapat di analisis dengan menggunakan sarana

SOAP (Subjective, Objective, Assesment, dan Planning/Recommendation), kemudian dibandingkan dengan Standar terapi yang berlaku di RSUP Dr. Sardjito,

dan pustaka acuan yang sesuai seperti DIH (Drug Information Handbook), , Medscape : Multi drugs interaction checker, serta jurnal terkait, lalu dihitung jumlah kasus yang terjadi DRPs, kemudian di kelompokkan berdasarkan jenis

DRPs dan dihitung presentase kasus DRPs nya. Aspek kepatuhan tidak diamati

dalam penelitian ini, karena penelitian ini bersifat retrospektif.

(40)

c. Kerahasiaan data

Seluruh data yang di ambil oleh peneliti yang berupa rekam medis pasien

akan digunakan sebagai bahan penilitian. identitas akan digantikan dengan kode,

mengenai hal tersebut, peneliti akan menjaga kerahasiaan seluruh data yang di

dapat dari rekam medis sesuai dengan peraturan dan etika yang berlaku.

E.Kesulitan dan Kelemahan Penelitian

Penelitian ini tidak mengevaluasi DRPs dari keseluruhan penggunaan

obat yang diberikan kepada sebab evaluasi difokuskan pada obat antidiabetika

yang disesuaikan dengan kondisi pasien, jadi evaluasi tidak dapat melihat

keseluruhan terapi yang diberikan pada pasien.

Kesulitan dalam penelitian ini adalah banyak rekam medis yang tidak

ditemukan, tidak lengkapnya catatan dokter maupun keperawatan dan terdapat

tulisan yang tidak terbaca. Untuk rekam medis yang tidak dapat dibaca dilakukan

klarifikasi tulisan pada tenaga kesehatan di instalasi catatan medis. Dalam

membaca rekam medis peneliti tidak dapat melihat obyektifitas dari pasien,

(41)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian mengenai “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Pada

Kasus Terapi Diabetes Melitus Tipe 2 Rawat Inap (Studi Kasus Di RSUP. DR.

Sardjito Yogyakarta Periode Maret-Desember 2013)” dilakukan dengan

menelusuri data rekam medis yang terdiagnosis masuk sebagai penderita diabetes

mellitus tipe 2. Berdasarkan data rekam medis yang didapatkan, diperoleh 24

kasus yang digunakan sebagai subyek penelitian.

A. Karakteristik Kasus

1. Jenis kelamin

Dari data yang diperoleh (Gambar 4), terlihat prevalensi laki-laki jauh

lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.

(42)

2. Umur

Berdasarkan Izenberg (2000), penderita DM tipe 2 dibagi menjadi 8

kelompok umur. Hasil penelitian menunjukkan kasus DM tipe 2 paling banyak

terdapat pada kelompok umur 46-59 tahun yaitu sebanyak 29.2% dari 24 kasus

yang dievaluasi. Berdasarkan teori, DM tipe 2 biasanya muncul setelah umur 40

tahun yang disebabkan pola makan dan gaya hidup yang salah, seperti jarang

berolahraga, perokok aktif, serta pola istirahat yang tidak teratur.

Tabel IV. Distribusi Kasus DM Tipe 2 Rawat Inap ddi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Maret- Desember 2013 Berdasarkan

Usia

Kriteria Kelompok

Umur (Thn)

Jumlah Kasus

Persentase (%) (n = 24)

Dewasa 18-45 3 12.5

Usia Pertengahan 46-59 11 45.8

Lanjut Usia 60-74 7 29.2

Lansia tua 75-90 3 12.5

B. Profil Obat

1. Kelas terapi

Kelas terapi adalah kelompok besar obat yang terdiri dari beberapa

golongan obat yang mempunyai sasaran pengobatan yang sama, yang diberikan

pada kasus selama menjalani rawat inap yang berupa obat antibetika oral maupun

obat lainnya untuk mengobati penyakit yang diderita maupun komplikasinya. Dari

data yang dievaluasi terdapat 10 kelas terapi berdasarkan Informatorium Obat

(43)

Tabel V. Kelas Terapi Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Maret-Desember 2013

Kelas Terapi Jumlah Persentase (%)

(n = 24)

Sistem Endokrin 21 87,5

Sistem Kardiovaskular 22 91,6

Infeksi 14 58,3

Sistem Saraf Pusat 13 54,1

Otot Skelet dan Sendi 6 25

Sistem Saluran Nafas 3 12,5

Sistem Saluran Cerna 8 33,3

Gizi dan Darah 22 91,6

Keganasan dan Imunosupresi 1 4,2

Mata 1 4,2

2. Golongan Obat

a. Sistem Endokrin

Obat yang mempengaruhi sistem endokrin yang digunakan dalam

penelitian ini adalah obat antidiabetik, kortikosteroid dan bifosfonat. Obat

antidiabetik digunakan untuk penyakit diabetes melitus. Obat antidiabetik

dibedakan menjadi obat antidiabetik oral dan insulin. Tujuan utama dari terapi

DM adalah mengurangi resiko terjadinya komplikasi makrovaskular dan

mikrovaskular, memperbaiki gejala yang muncul, mengurangi angka kematian

dan meningkatkan kualitas hidup pasien (Perkeni, 2011).

Insulin biasanya digunakan pada kasus DM tipe 1, tetapi pada kasus DM

tipe 2 terdapat kemungkinan mendapatkan terapi insulin. Pada penelitian ini

banyak kasus yang mendapatkan terapi dengan insulin, hal ini dikarenakan efek

insulin lebih cepat dibandingkan dengan obat antidiabetika oral. Menurut

(44)

tipe 2 dapat mengurangi resiko komplikasi yang disebabkan oleh diabetes serta

menjamin penanganan glikemia yang lebih menyeluruh. Selain insulin, pada

penelitian ini banyak kasus yang mendapatkan pengobatan dengan menggunakan

antidiabetika oral. Golongan obat yang diberikan pada kasus dalam penelitian ini

yaitu golongan sulfonilurea, biguanida, dan kombinasi.

Tabel VI. Penggunaan Obat Sistem Endokrin Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Maret-Desember

2013

Sulfonilurea Glimepirid 1 22

Gliquidone Glurenorm® 1 12

Kortikosteroid Glukokortikoid Metilprednisolon 3 18, 22,

24

b. Sistem kardiovaskular

Pada penelitian ini, obat kardiovaskular yang digunakan adalah golongan

(45)

mempengaruhi darah, antikoagulan dan protamin, antiplatelet, gangguan sirkulasi

darah serta syok dan hipotensi.

Pasien DM tipe 2 memiliki resiko tinggi terkena gangguan

kardiovaskuler. Komplikasi kardiovaskuler merupakan penyebab kematian

tertinggi pada pasien DM tipe 2 (Buse, Ginsberg, Bakris, Clarck, Costa, Eckel, et. al., 2007)..

Tujuan diberikan obat antihipertensi pada penelitian ini adalah untuk

mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular akibat tekanan darah tinggi.

Tekanan darah yang diharapkan adalah dibawah 130/80 mmHg (BPOM, 2008).

Dari penelitian, penggunaan obat kardiovaskular paling banyak adalah kelompok

diuretik yaitu furosemid sebanyak 7 kali.

Tabel VII. Penggunaan Obat Sistem Kardiovaskuler Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode

Maret-Desember 2013

Golongan obat Kelompok Nama

Generik

Nama Dagang

Σ No Kasus

Antihipertensi ACE inhibitor Kaptopril 3 3, 4, 20

Imidapril Tanapress® 1 20

Antiangina Calcium

Channel

Nitrat Isosorbid

dinitrat

1 3

(46)

Tabel VII. Lanjutan

Golongan obat Kelompok Nama

Generik

Nama Dagang

Σ No Kasus

Antiaritmia Digoksin Digoksin Lanoxin® 1 22

Diuretik Diuretik kuat Furosemid Lasix® 7 4, 5, 7,

Pada penelitian ini, antibiotik digunakan untuk mengatasi penyakit

penyerta atau komplikasi pada kasus seperti infeksi saluran kencing (ISK) dan

(47)

Penggunaan antibiotik yang paling banyak adalah golongan antibakteri kelompok

sefalosporin dan β-laktam sebanyak 20 kali.

Tabel VIII. Penggunaan Obat Anti Infeksi Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode

Maret-Desember 2013 Golongan

Obat

Kelompok Nama Generik Nama

Dagang

Σ No. Kasus Antibakteri Sefalosporin

dan β-lactam

Kuinolon Levofloksasin 1 24

Siprofloksasin 2 6, 24

Makrolida Azitromisin 2 4, 24

Penisillin Ampisilin, sulbaktam

d. Sistem Saraf Pusat

Penyakit DM dapat menyebabkan 2 komplikasi yaitu komplikasi

makrovaskular dan mikrovaskular. Komplikasi mikrovaskular yang dapat terjadi

seperti retinopati dan neuropati (Fowler, 2008). Obat sistem saraf yang paling

(48)

Tabel IX. Penggunaan Obat Sistem Saraf Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode

Maret-Desember 2013

Golongan Obat Kelompok Nama Generik Nama

Dagang

Σ No. Kasus

Antikonvulsan Gabapentin Nepatic® 5 1, 10,

17, 22,

Antipsikosis Haloperidol Serenace® 2 15, 24

Mual dan

Anastetik lokal Pilocarpin 1 13

Demensia Donepzil HCL Aricept® 1 10

Trihexyphenidyl 1 15

Fitofarmaka Ekstrak

Gingoflavon

Tebokan Forte®

(49)

e. Otot Skelet dan Sendi

Pada penelitian ini obat skelet dan sendi yang digunakan untuk mengatasi

penyakit penyerta serta keluhan yang dialami oleh pasien misalnya keluhan nyeri

sendi yang dirasakan oleh pasien. Golongan yang paling banyak digunakan adalah

Anti inflamasi non steroid (AINS). AINS diindikasikan untuk mengatasi nyeri dan

kekakuan yang timbul akibat penyakit reumatik yang meradang. Dalam dosis

tunggal, AINS memiliki aktivitas analgesik yang setara dengan parasetamol,

tetapi parasetamol lebih disukai terutama untuk kasus usia lanjut. Tetapi dalam

dosis penuh, AINS sekaligus memperlihatklan efek analgesik yang bertahan lama

dan efek anti inflamasi yang membuatnya sangat berguna untuk pengobatan nyeri

berlanjut atau nyeri berulang akibat radang (BPOM, 2008).

Tabel X. Penggunaan Obat Otot Skelet dan Sendi Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode

Maret-Desember 013 Golongan

Obat

Kelompok Nama Generik Nama Dagang Σ No.

Kasus Obat reumatik

dan gout

AINS Ketorolak Toradol® 2 6, 16

Dexketoprofen Trometamol

Ketesse® 1 9

Celecoxib Celebrex® 1 22

Obat yang menekan

proses reumatik

Allopurinol 1 2

Kortikosteroid Dexamethakson Kalmethason® 1 13, 21 Obat yang

digunakan dalam gangguan neuromuskular

Pelemas otot skelet

(50)

f. Obat Saluran Pernafasan

Obat saluran pernafasan yang diberikan pada kasus DM ditujukan

untuk menterapi penyakit penyerta. Obat saluran nafas yang digunakan

pada peneltiin ini adalah mukolitik, antitusif dan ekspektoran serta

antiasma dan bronkodilator.

Tabel XI. Penggunaan Obat Saluran Pernafasan Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode

Maret-Desember 2013

Golongan Obat Kelompok Nama Generik Nama

Dagang

Σ No. Kasus

Mukolitik Ambroxol 1 4

Kortikosteroid Budesonida Pulmicert® 1 12

Antitusif dan Ekspektoran

Antitusif Dekstrometorfan 1 12

Kodein 2 12, 18

Antiasma dan Bronkodilator

Bronkodilator antimuskarinik

Ipratropium Farbivent® 1 12

Antihistamin, Hiposensitisasi dan kedarurtan

alergi

Antihistamin Setirizin 1 18

g. Obat Saluran Pencernaan

Pada penelitian ini obat saluran pencernaan yang digunakan untuk

mengatasi efek samping dari obat lain yang diberikan, serta untuk menterapi

(51)

Tabel XII. Penggunaan Obat Saluran Pencernaan Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode

Maret-Desember 2013 Golongan

Obat

Kelompok Nama Generik Nama

Dagang

Σ No. kasus Antasida/

Antirefluks

Antagonis Histamin H2

Ranitidin HCL 4 13, 16,

17, 21 Kalsium

Polystyrene Sulfonat

Kalitake® 1 21

Proton Pump Inhibiotor

Lansoprazol 2 10, 13

Omeprazole OMZ® 4 6, 17,

18, 24 Pumpitor®

h. Gizi dan Darah

Pemberian gizi tambahan pada kasus DM tipe 2 ditujukan untuk mencapai

dan menjaga metabolic outcome yag optimal diantaranya menjaga gula darah tetap pada kondisi normal atau mendekati normal untuk mencegah atau

mengurangi resiko terjadinya komplikasi, profil lipid dan lipoprotein untuk

mengurangi resiko gangguan makrovaskuler, tekanan darah untuk mengurangi

gangguan vaskuler. Mencegah dan mengatasi komplikasi diabetes, memodifikasi

intake gizi dan gaya hidup agar sesuai untuk mencegah dan mengatasi obesitas,

(52)

Tabel XIII. Penggunaan Obat Gizi dan Darah Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Maret-Desember 2013

Golongan Obat Kelompok Nama generik Nama

Dagang

Multivitamin Fursultiamina HCL speciosa, Cinna

momum burmannii extr

Inlacin® 1 15

Mineral Kalsium

(53)

i. Keganasan dan Imunosupressi

Pada penelitian ini obat immunosupressi yang digunakan untuk

mengatasi penyakit penyerta misalnya rematik. Golongan yang paling banyak

digunakan adalah takrolimus. Takrolimus merupakan penghambat calcineurin.

Walaupun tidak berhubungan secara kimia dengan siklosporin tetapi memiliki

mekanisme kerja dan efek samping yang sama, namun kasus neurotoksisitas dan

nefrotoksisitas akibat takrolimus lebih banyak. Gangguan metabolisme glukosa

yang disebabkan oleh takrolimus lebih signifikan, tapi hipertrikhosis lebih rendah

dibanding siklosporin (BPOM, 2008).

Tabel XIV. Penggunaan Obat Keganasan dan Imunosupressi Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta Periode Maret-Desember 2013 Golongan

Obat

Kelompok Nama

Generik

Nama Dagang

Σ No. Kasus

Obat yang

mempengaruhi sistem imun

Kortikosteroid dan

Imunosupressan lain

Takrolimus Prograf® 1 18

j. Obat Mata

Pada penelitian ini obat mata yang digunakan untuk mengatasi penyakit

penyerta misalnya glaukoma. Golongan yang paling banyak digunakan adalah

(54)

Tabel XV. Penggunaan Obat Mata Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode

Maret-Desember 2013 Golongan

Obat

Kelompok Nama

Generik

Nama Dagang

Σ No. Kasus Antiinfeksi

untuk mata

Antibakteri Ofloxacin Pharflox 1 13

Pengobatan Glaukoma

Timol 1 13

Manitol 1 13

Brinzolamid Azopt® 1

Asetazolamid Glaucon® 1 13

Latanoprost Glaupen® 1 13

Deksamet Na fosfat, Neomisin

sulfat, polimiksin B

sulfat

Cendo Xitrol®

1 13

C. Evaluasi DRPs

Evaluasi DRPs ini dilakukan untuk mengetahui masalah-masalah yang

berkaitan dengan peresepan pada kasus terapi DM tipe 2 di RSUP. Dr. Sardjito

Yogyakarta. Drug Related Problems yang diamati pada penelitian ini meliputi : Tidak perlu obat, perlu obat, obat salah, dosis kurang, dosis berlebih, serta efek

samping dan interaksi obat.. Noncompliance tidak diamati, karena penelitian ini bersifat retrospektif. Penelitian dilakukan dengan menelusuri data rekam medis

kasus DM tipe 2 rawat inap di RSUP. Dr. Sardjito dari Maret hingga Desember

2013. Berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi didapatkan 24 kasus untuk

dievaluasi.

Berdasarkan hasil penelitian dari 24 kasus yang dievaluasi, ada 17 kasus

(55)

ada beberapa yang tiap kasus terdiri dari lebih dari satu DRP. Kasus DRP yang

paling banyak terjadi adalah interaksi obat yaitu sebanyak 9 kasus.

Tabel XVI. Kasus DRP yang Teridentifikasi pada Kasus Terapi DM Tipe 2 Rawat Inap di RSUP DR. Sardjito Yogyakarta Periode Maret-Desember 2013

No Jenis DRPs Nomor Kasus

(seperti lampiran)

Kasus DRPs (n=24)

1 Tidak perlu obat 9 dan 11 2

2 Perlu obat 16 1

3 Obat salah 0 0

4 Dosis kurang 0 0

5 Dosis berlebih 5, 8, 9, 11 dan 15 5

6 Efek samping dan interaksi obat 3, 4, 5, 6, 9, 13, 17, 20, dan 22

9

Total 17

Drug Related Problems ADR yang terjadi pada kasus terapi DM tipe 2 sebanyak 9 kasus. Hal ini terjadi karena terdapat efek samping yang timbul dari

pemberian obat pada kasus serta interaksi antar obat yang diberikan bersamaan

yang dapat menimbulkan reaksi pada tubuh atau pada obat itu sendiri.

1. Tidak perlu obat

Pada kasus 9, pasien mendapatkan Novomix® dengan dosis 5 unit/8 jam

untuk gula darah <150. Menurut Inzucchi (2011) tidak perlu diberikan Novomix®

ada kasus dengan range gula darah <150 mg/dL. Rekomendasi yang diberikan

adalah pemberhentian insulin pada kasus ini.

Pada kasus 11, pada tanggal 5, 6, dan 7 kasus mendapatkan insulin

dengan dosis 3x14 unit padahal menurut Inzucchi (2011) tidak diperlukan

pemberian insulin pada kasus dengan range gula darah <150. Rekomendasi yang

(56)

2. Perlu obat

Pada kasus 16, terjadi DRPs perlu obat sebab pada tanggal 17 kasus tidak

mendapatkan terapi untuk mengontrol kadar gula darah kasus. Rekomendasi obat

yang diberikan adalah memberikan regular insulin dengan dosis yang disesuaikan

dengan gula darah kasus.

3. Obat salah

Jenis DRPs obat salah tidak ditemukan pada penatalaksanaan kasus DM

tipe 2 rawat inap di RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta periode Maret – Desember

2013.

4. Dosis kurang

Jenis DRPs dosis kurang tidak ditemukan pada penatalaksanaan kasus

DM tipe 2 rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Maret –

Desember 2013.

5. Dosis Berlebih (dosage too high)

Pemberian dosis berlebih dapat mengakibatkan respon yang diberikan

berlebih atau dapat melewati kadar toksik minimum (KTM) dair obat tersebut.

Pada kasus 5, pada tanggal 22 kasus mendapatkan dosis insulin aspart 2 x 10 unit

untuk GD2JPP : 180, padahal menurut Inzucchi (2011) untuk mengatasi gula

darah sebesar 180 diperlukan insulin 1-3 unit. Rekomendasi yang diberikan yaitu

penurunan dosis insulin pada tanggal 22 menjadi 1-3 unit.

Pada kasus 8, dan 11, kasus mendapatkan insulin dengan dosis 3x4 unit

(57)

150-199 adalah 1-3 unit. Rekomendai yang diberikan adalah penurunan dosis

penurunan dosis insulin menjadi 1-3 unit.

Pada kasus 9, kasus mendapatkan insulin dengan dosis 3x4 unit padahal

menurut Inzucchi (2011) untuk mengatasi hiperglikemia dengan GDS 150-199

adalah 1-3 unit. Menurut Berns and Glickman (2014) diperlukan penurunan dosis

insulin sebanyak 75% untuk pasien dengan GFR 10-50 ml/menit, dan tidak

diperlukan penurunan dosis untuk GFR > 50 ml/menit. Pada kasus ini kadar

Creatinine (Cr) pasien pada tanggal 20 sebesar 1.86 mg/dL, tanggal 22 sebesar

1,88 mg/dL, tanggal 29 sebesar 2,2 mg/dL dan pada tanggal 1 sebesar 1.37

mg/dL. Berdasarkan perhitungan MDRD eGFR pasien menurut Levey, Bosch,

Lewis, Greene, Rogers, and Roth (2014) pada tanggal 20 sebesar 40,1 ml/menit,

tanggal 29 sebesar 3,97 ml/menit, tanggal 29 sebesar 33,1 ml/menit, dan pada

tanggal 1 sebesar 57,1 ml/menit. Dengan pengurangan dosis, pada tanggal 20, 22,

dan 29 dosis insulin yang diberikan pada kasus menjadi 0,75-2,25 unit. Pada

kasus ini pasien mendapatkan dosis insulin sebesar 5 unit. Rekomendasi yang

diberikan adalah penurunan dosis Insulin yang diberikan menjadi 0,75 – 2, 25

unit.

Pada kasus 15, kasus mendapatkan insulin dengan dosis 3x8 unit padahal

menurut Inzucchi (2011) untuk mengatasi hiperglikemia dengan GDS 200-249

adalah 2-6 unit. Menurut Berns and Glickman (2014) diperlukan penurunan dosis

insulin sebanyak 75% untuk pasien dengan GFR 10-50 ml/menit. Pada kasus ini

kadar Creatinine (Cr) pasien pada tanggal 31 sebesar 1,71 mg/dL. erdasarkan

(58)

and Roth (2014) pada tanggal 31 sebesar 41,2 ml/menit. Dengan penurunan dosis

insulin, kasus seharusnya mendapatkan insulin pada tanggal 31 sebanyak 1,5 – 4,5

unit. Insulin aspart diberikan setiap 6 jam, atau sekitar 4 – 6 jam (Inzucchi, 2014).

Pada kasus ini, insulin aspart pagi diberikan pada pukul 6.00 kemudian diberikan

kembali pada pukul 8.00. Rekomendasi yang diberikan adalah penurunan dosis

insulin menjadi 1,5 – 4,5 unit, serta penyesuaian interval pemberian insulin aspart

menjadi setiap 4 – 6 jam.

6. Efek samping dan interaksi obat

Interaksi obat terjadi karena pemberian lebih dari satu obat bersamaan,

interaksi obat dapat menimbulkan efek yang positif maupun yang negatif. Pada

kasus 3, terdapat interaksi antara kaptopril dengan insulin aspart (Novorapid dan

Novomix) yang dapat meningkatkan efek dari insulin aspart (Medscape Drug Interaction Checker, 2014). Rekomendasi yang diberikan adalah perubahan waktu pemberian kaptopril 81 menit setelah kasus pemberian insulin aspart untuk

menghindari interaksi yang dapat terjadi antara kedua obat tersebut, monitoring

gula darah kasus, agar dapat diketahui apakah terjadi interaksi antara kaptopril

dan insulin aspart dalam tubuh kasus atau tidak. Oleh karena itu, jenis DRPs yang

terjadi ini merupakan DRPs potensial.

Pada kasus 4, terjadi interaksi anatara insulin aspart (Novorapid) dan

aspirin (Aspilet®) serta interaksi antara kaptopril dan insulin aspart, dimana

(59)

menit setelah pemberian insulin aspart, serta dilakukan monitoring gula darah

kasus, agar dapat diketahui apakah terjadi interaksi antara kaptopril dan insulin

aspart serta aspirin dan insulin aspart dalam tubuh kasus atau tidak. Oleh karena

itu, jenis DRPs yang terjadi ini merupakan DRPs potensial.

Pada kasus 5, 6 dan 9, terdapat interaksi antara insulin aspart dan aspirin,

dimana aspirin dapat meningkatkan efek dari insulin aspart (Medscape Drug Interaction Checker, 2014). Rekomendasi yang diberikan adalah pemberian aspirin pada malam hari dengan waktu pemberian 81 menit setelah pemberian

insulin aspart, dilakukan monitoring gula darah kasus, agar dapat diketahui

apakah terjadi interaksi antara aspirin dan insulin aspart dalam tubuh kasus atau

tidak. Oleh karena itu, jenis DRPs yang terjadi ini merupakan DRPs potensial.

Pada kasus 13 terdapat interaksi antara ofloxacin, dexamethasone dan

insulin lispro, dimana ofloxacin dapat meningkatkan efek dari insulin sedangkan

dexamethasone menurunkan efek dari insulin (Medscape Drug Interaction Checker, 2014). Rekomendasi yang diberikan adalah pemberian ofloxacin 1 jam setelah pemberian insulin lispro untuk menghindari terjadinya reaksi antara kedua

obat tersebut, dilakukan monitoring gula darah kasus, agar dapat diketahui apakah

terjadi interaksi antara ofloxacin, dexamethasone dan insulin lispro dalam tubuh

kasus atau tidak. Oleh karena itu, jenis DRPs yang terjadi ini merupakan DRPs

potensial.

Pada kasus 17, terdapat interaksi antara mesalamine dan insulin glargine

(60)

insulin glargine, monitoring gula darah kasus, agar dapat diketahui apakah terjadi

interaksi antara mesalamine dan insulin glargine dalam tubuh kasus atau tidak.

Oleh karena itu, jenis DRPs yang terjadi ini merupakan DRPs potensial.

Pada kasus 20, terjadi interaksi antara ko-enzyme Q10 dan insulin aspart,

dimana fenofibrat dapat meningkatkan efek dari insulin aspart yang dapat

menyebabkan hipoglikemia dan meningkatkan resiko hipoalbuminemia

(MedscapeDrug Interaction Checker, 2014). Rekomendasi yang diberikan adalah merubah waktu pemberian ko-enzyme Q10 menjadi 81 menit setelah pemberian

insulin aspart untuk menghindari interaksi antara kedua obat tersebut, dilakukan

monitoring gula darah dan kadar albumin kasus, agar dapat diketahui apakah

terjadi interaksi antara fenofibrat dan insulin aspart dalam tubuh kasus atau tidak.

Oleh karena itu, jenis DRPs yang terjadi ini merupakan DRPs potensial.

Pada kasus 22, terjadi interaksi antara glimepirid dan aspirin, dimana

aspirin dapat meningkatkan efek dari glimepirid yang beresiko menyebabkan

hipoglikemia, serta terjadi interaksi antara metilprednisolon dan glimepirid,

dimana merilprednisolon menurunkan efek dari glimepirid (Medscape Drug Interaction Checker, 2014). Rekomendasi yang diberikan adalah merubah waktu pemberian Aspirin menjadi malam hari, atau 5-9 jam setelah pemberian

glimepirid , dilakukan monitoring gula darah kasus, agar dapat diketahui apakah

terjadi interaksi antara glimepirid dengan aspirin dan metilprednisolon dalam

tubuh kasus atau tidak. Oleh karena itu, jenis DRPs yang terjadi ini merupakan

DRPs potensial.

(61)

Berdasarkan dari 24 data yang dievaluasi sebagian besar kasus

meninggalkan rumah sakit dalam kondisi membaik dan diizinkan pulang. Jumlah

kasus membaik dan diizinkan pulang sebanyak 20 kasus atau 83,3%, kasus yang

belum sembuh dan pulang atas permintaan (APS) sendiri sebanyak 2 kasus atau

8,3%. dan kasus yang meninggal sebanyak 2 kasus atau 8,3%. Alasan pulang

dengan permintaan sendiri mungkin dikarenakan alasan biaya atau tidak betah

tinggal di rumah sakit.

Gambar 5. Alasan Meninggalkan Rumah sakit Pada Kasus Terapi DM Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode

Maret-Desember 2013

E. Rangkuman Pembahasan

Selama periode Maret-Desember 2013 terdapat 70 kasus yang

terdiagnosis masuk diabetes mellitus tipe 2 yang dirawat di instalasi rawat inap

RSUP. Dr. Sardjito. Dari 70 kasus tersebut, terdapat 24 rekam medis yang

memenuhi kriteria inklusi, kemudian dari 24 rekam medis tersebut dilakukan

(62)

Berdasarkan 24 kasus yang dievaluasi diketahui bahwa kasus DM tipe 2

banyak terjadi pada range umur 50-59 tahun yaitu sebesar 41%. Kasus ini lebih

banyak terjadi pada laki-laki sebesar 75% dibandingkan dengan wanita sebesar

25%.

Obat yang diberikan pada kasus DM tipe 2 dibagi menjadi 10 kelas terapi

yaitu sistem endokrin, sistem kardiovaskular, infeksi, sistem saraf pusat, otot

skelet dan sendi, sistem saluran nafas, sistem saluran pencernaan, gizi dan darah,

keganasan dan imunosupressi, serta mata. Penggunaan obat yang banyak

digunakan adalah obat dari kelas obat kardiovaskular.

Pada penelitian ditemukan 17 kasus DRPs yang terjadi dimana 1 kasus

terjadi lebih dari 1 jenis DRPs pada penatalaksanaan terapi pada kasus DM tipe 2

yang menjalani rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode

Maret-Desember 2013. Kasus DRPs yang ditemukan meliputi 2 kasus tidak butuh obat, 1

kasus butuh obat, 9 kasus efek samping obat dan interaksi obat dan 5 kasus dosis

berlebih. Jenis DRPs yang terjadi dibagi menjadi 2 yaitu aktual dan juga potensial.

Jenis DRPs aktual yaitu DRPs yang benar-benar terjadi pada kasus sehingga

menimbulkan kerugian yang diakibatkan karena terjadinya DRPs tersebut. Jenis

DRPs potensial yaitu DRPs yang mungkin terjadi tetapi tidak terlihat dari keluhan

(63)

Tabel XVII. Hasil Evaluasi DRPs dan Status Keluar Kasus DM Tipe 2 Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode

Maret-Desember 2013

Kasus DRPs Jenis

DRPs Status Keluar Kasus

1 - - Membaik, diizinkan

2 - - Belum sembuh, pulang paksa

3 Efek samping dan Interaksi obat

Potensial Membaik, diizinkan

4 Efek samping dan Interaksi obat

Potensial Membaik, diizinkan

5a Efek samping dan Interaksi obat

Potensial Meninggal

5b Dosis berlebih Potensial Meninggal

6a Efek samping dan Interaksi obat

Potensial Membaik, diizinkan

7 - - Membaik, diizinkan

8 Dosis berlebih Potensial Membaik, diizinkan

9a Efek samping dan Interaksi obat

Potensial Membaik, diizinkan

9b Dosis berlebih Potensial Membaik, diizinkan

9c Tidak perlu obat Potensial Membaik, diizinkan

10 - - Membaik, diizinkan

11a Tidak butuh obat Potensial Sembuh, diizinkan

11b Dosis berlebih Potensial Sembuh, diizinkan

12 - - Membaik, diizinkan

13 Efek samping dan Interaksi obat

Potensial Sembuh, diizinkan

14 - - Belum sembuh, pulang paksa

15 Dosis berlebih Potensial Membaik, diizinkan

16 Perlu obat Potensial Sembuh, diizinkan

17 Efek samping dan Interaksi obat

Potensial Membaik, diizinkan

18 - - Membaik, diizinkan

19 - - Sembuh, diizinkan

20 Efek samping dan Interaksi obat

Potensial Membaik, diizinkan

21 - - Membaik, diizinkan

22 Efek samping dan Interaksi obat

Potensial Membaik, diizinkan

23 - - Membaik, diizinkan

Gambar

Tabel I.  Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan
Tabel X. Penggunaan Obat Skelet dan Sendi Pada Kasus Terapi DM
Tabel XVII. Hasil Evaluasi DRPs dan Status Keluar Kasus DM Tipe 2
Gambar 1. Kerusakan Metabolisme pada DM Tipe 2.....................................
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu penyebab dari rendahnya nilai siswa karena kurangnya kemampuan guru dalam menerapkan metode pembelajaran yang inovatif sehingga cenderung monoton, serta

Oleh karena itu, informasi komparatif tanggal 31 Desember 2014 dan untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut, dan laporan posisi keuangan konsolidasian tanggal 1

[r]

Kondisi ekonomi pasca konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak di Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan.. Kondisi ekonomi pasca konversi hutan

Dekomposisi beberapa tanaman penutup tanah dan pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah, serta pertumbuhan dan produksi jagung pada ultisol Lampung.Thesis.. Program

[r]

Bila Penggugat danTergugat bertempat kediaman diluar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilana Agama/ Makhamah Syar’iah yang yang daerah hukumnya meliputi tempat

Tahap ini berfungsi untuk mengetahui siapa saja manajemen RSMB yang akan terlibat dalam peningkatan kualitas pelayanan rawat inap baik dalam tahap penyusunan