• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Penatalaksanaan Gizi Buruk pada Balita

Penatalaksanaan gizi buruk adalah suatu kegiatan pelaksanaan pelayanan /penanganan gizi yang dilakukan guna mendukung penyembuhan penyakit yang disebabkan oleh kekurangan gizi sampai gizi buruk dengan komplikasi atau tanpa komplikasi, ditangani secara serius sampai dinyatakan sembuh (Depkes, 2006).

Tatalaksana gizi berarti mengelola atau melaksanakan pelayanan dan pemberian zat gizi sesuai kebutuhan kepada pasien/balita yang mempunyai masalah gizi sampai pasien/balita tersebut sembuh dan status gizinya kembali pulih atau normal (Depkes, 2009). Berdasarkan standar pelayanan rumah sakit (2006) penatalaksanaan gizi di rumah sakit disebut juga dengan asuhan gizi (nutritional care) yaitu dengan pemberian zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi

pasien agar mencapai status gizi optimal oleh ahli gizi, yaitu dengan melakukan beberapa proses mulai dari pengukuran antropometri, diagnosa status gizi, intervensi gizi dan melakukan monitoring dan evaluasi gizi.

Menurut WHO (2000) dalam Suwanti (2003) menyebutkan bahwa, cara pemulihan gizi buruk yang paling ideal adalah dengan rawat inap dirumah sakit, tetapi pada kenyataannya hanya sedikit anak dengan gizi buruk yang dirawat karena berbagai alasan. Salah satu contohnya dari keluarga yang tidak mampu, karena rawat inap memerlukan biaya yang besar dan dapat mengganggu sosial ekonomi sehari- hari.

Menurut ASDI (2009) model asuhan gizi atau penatalaksanaan gizi adalah suatu metode pemecahan masalah yang sistematis, dimana ahli gizi (dietisien) di tuntut dapat berpikir kritis dan membuat keputusan yang tepat terkait dalam memecahkan masalah gizi dan dapat melaksanakan asuhan gizi atau penatalaksanaan gizi yang berkualitas, aman dan efektif.

Alternatif lain dalam memecahkan masalah gizi buruk adalah dengan melakukan penatalaksanaan gizi balita gizi buruk yang bermutu di posyandu dengan koordinasi penuh dari puskesmas, dan penanganannya harus secara serius karena menyangkut kelangsungan hidup anak. Selain itu dalam rangka menjamin mutu

(quality assurance) pelaksanaan tatalaksana gizi buruk tersebut maka itu telah

dilaksanakan pelatihan tatalaksana anak gizi buruk (TLAGB) kepada tim asuhan gizi yang terdiri dari dokter, ahli gizi dan perawat yang bertugas di puskesmas dan rumah sakit (Depkes, 2009).

Dari berbagai kajian terhadap pelaksanaan pemantauan pertumbuhan ditemukan juga beberapa masalah yaitu seringkali balita yang mengalami gangguan pertumbuhan bahkan gizi buruk tidak dirujuk ke puskesmas/rumah sakit untuk tindak lanjut sebagaimana mestinya sesuai tatalaksana gizi buruk. Kendala lain seperti, masalah kemiskinan dan anak yang menderita infeksi, selain itu juga pengetahuan orang tua yang kurang tentang pola asuh anak, sehingga asupan gizi yang cukup tidak terpenuhi (Depkes, 2009).

2.2.1. Aspek-Aspek Penatalaksanaan Gizi pada Balita

Pelaksanaan tatalaksana gizi menyangkut banyak aspek seperti adanya tim asuhan gizi yang diperlukan untuk melakukan kegiatan anamnesa, penentuan status gizi dan melakukan pelayanan gizi, baik perawatan, maupun penyelenggaraan makanan, sampai balita gizi buruk dinyatakan sembuh (Depkes, 2006).

Menurut Departemen Kesehatan (2009) untuk melihat prosedur tatalaksana gizi buruk dan rujukannya dilakukan dengan mengambil satu contoh atau lebih status pasien anak gizi buruk di puskesmas yaitu dengan melihat tahap-tahap yang dilakukan seperti, pengorganisasian yaitu dengan melihat apakah ada atau tidak tenaga gizi yang telah dilatih untuk menjadi tim asuhan gizi, serta hal-hal lain yang mendukung terlaksananya penatalaksanaan gizi buruk di puskesmas, tatacara/prosedur tatalaksana gizi seperti identifikasi/penemuan kasus baik di posyandu ataupun dipuskesmas, dan penentuan status gizi balita secara benar, serta rujukan/tindak lanjut yang dilakukan, selain itu setelah dilakukan penatalaksanaan gizi dengan benar sesuai prosedur harus dilakukan juga monitoring/pengawasan

sehingga balita yang sudah dinyatakan sembuh tetap terpantau berat badannya serta adanya pencatatan pelaporan yang baik.

1. Pengorganisasian

Siagian (2002) fungsi pengorganisasian merupakan alat untuk mengatur semua kegiatan yang berkaitan dengan personil, finansial, material dan tatacara untuk mencapai tujuan. Pengorganisasian adalah langkah untuk menetapkan, menggolongkan dan mengatur berbagai macam kegiatan, menetapkan tugas-tugas pokok dan wewenang, serta pendelegasian dari pimpinan ke staf untuk mencapai tujuan organisasi. Pada pengorganisasian ini mencakup ada tidaknya tim asuhan gizi yang sudah terlatih, tim asuhan gizi adalah sekelompok petugas kesehatan yang berada di rumah sakit ataupun puskesmas yang terkait dengan pelayanan gizi, terdiri dari dokter/dokter spesialis, tenaga pelaksana gizi, dan perawat bidan dari setiap unit pelayanan, bertugas menyelenggarakan asuhan gizi (nutrition care) untuk mencapai pelayanan paripurna yang bermutu (Depkes, 2009).

2. Tatacara (prosedur) dan Tindak Lanjut Tatalaksana Gizi Buruk

Tatacara / prosedur tatalaksana gizi dapat dimulai dengan penemuan kasus balita kurang energi protein (KEP)/gizi buruk dapat dimulai dari posyandu ataupun dari puskesmas dimana ditemukannya balita dengan berat badan <-3 standar deviasi (sesuai standar WHO-2005).

Untuk melihat prosedur tatalaksana anak gizi buruk dan rujukannya dilakukan dengan mengambil satu contoh atau lebih status pasien anak gizi buruk di puskesmas dimulai dari : Tahap identifikasi identitas anak, kemudian dilakukan

anamnesis, pemeriksaan fisik serta penentuan status gizi sehingga diketahui dengan jelas kondisi gizi buruk yang dialami pasien. Rujukan dan persiapan tindak lanjut di puskesmas yaitu menerima rujukan gizi buruk dari Posyandu dalam wilayah kerjanya serta pasien pulang dari rawat inap di rumah sakit, kemudian menyeleksi dengan cara menimbang ulang dan dicek dengan tabel BB/TB, WHO-2005 (Depkes, 2009).

Anak dengan kurang energi protein berat/gizi buruk dengan komplikasi serta tanda-tanda kegawat daruratan harus segera dirujuk ke rumah sakit. Tindakan yang dapat dilakukan di puskesmas pada anak gizi buruk tanpa komplikasi yaitu : Memberikan penyuluhan gizi dan konseling diet KEP berat/gizi buruk (dilakukan dipojok gizi), melakukan pemeriksaan fisik dan pengobatan minimal 1 kali perminggu, melakukan evaluasi pertumbuhan berat badan balita gizi buruk setiap dua minggu sekali, melakukan peragaan cara menyiapkan makanan untuk KEP berat/gizi buruk, melakukan pencatatan dan pelaporan tentang perkembangan berat badan dan kemajuan asupan makanan, untuk keperluan data pemantauan gizi buruk di lapangan, posyandu, dan puskesmas. Diperlukan laporan segera jumlah balita KEP berat/gizi buruk ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam 24 jam (Depkes, 2002).

3. Pengawasan (Monitoring)

Menurut George Terry berdasarkan fungsi manajemen yang dipakai Depkes, fungsi merupakan fungsi yang terakhir dari proses manajemen, fungsi pengawasan adalah proses untuk mengawasi secara terus menerus pelaksanaan

kegiatan sesuai dengan rencana kerja yang disusun. Melalui fungsi ini standar keberhasilan program yang ditetapkan dibandingkan dengan hasil yang dicapai, apabila ada penyimpangan dan kesenjangan yang terjadi harus segera diatasi. 2.2.2.Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Penatalaksanaan Gizi

Buruk pada Balita

Perkembangan masalah gizi di Indonesia berdasarkan hasil surveilens dari seluruh Dinas Kesehatan Provinsi sejak tahun 2005 didapatkan bahwa setiap bulan kasus gizi buruk mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan karena anak yang menderita gizi buruk mendapat perawatan yang baik di puskesmas maupun rumah sakit. Dilanjutkan perawatan tindak lanjut yang berupa rawat jalan melalui posyandu, untuk memantau kenaikan berat badan serta mendapatkan makanan tambahan (Depkes ,2005).

Oleh karena itu dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan penatalaksanaan gizi buruk antara lain : Faktor tenaga kesehatan, faktor ibu, faktor program kesehatan, faktor kerjasama lintas sektor, faktor ekonomi dan faktor penyakit.

1. Faktor Tenaga Kesehatan

Pemerintah meningkatkan akses pelayanan kesehatan gizi yang bermutu, melalui penempatan tenaga pelaksana gizi di puskesmas dan peningkatan kemampuan tenaga kesehatan dalam mendeteksi, menemukan dan menangani kasus gizi buruk sedini mungkin. Selain itu pemerintah juga membentuk tim asuhan gizi yang terdiri dari dokter, perawat, bidan, ahli gizi dan dibantu oleh tenaga kesehatan

lainnya. Diharapkan dapat memberikan penanganan yang cepat dan tepat pada kasus gizi buruk, baik di puskesmas maupun rumah sakit (Depkes, 2006).

2. Faktor Ibu

Pengetahuan ibu dalam pemberian gizi yang baik pada anaknya merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh bagi keberhasilan pemulihan gizi buruk pada anak balita, sehingga diharapkan tidak terjadi kesalahan dalam pola asuh anaknya. Pada saat pemulihan selain intervensi medis, seharusnya orang tua mendapatkan pembinaan yang berkelanjutan, agar anaknya tidak jatuh dalam kondisi buruk lagi (Depkes, 2006), melalui kegiatan antara lain: memberikan ASI secara ekslusif, menimbang berat badan balitanya secara teratur di posyandu, mengkonsumsi makanan beraneka ragam, serta menggunakan garam beryodium serta mengkonsumsi suplemen gizi (Depkes, 2007).

3. Faktor Program Kesehatan

Intervensi yang dilakukan oleh pemerintah melalui upaya promotif dan preventif, untuk melakukan pemantauan pertumbuhan anak melalui kegiatan posyandu, pemberian makanan tambahan, pendidikan dan konseling gizi serta pendampingan keluarga sadar gizi. Pemerintah juga membentuk SKPG (Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi) dalam rangka mendeteksi, menemukan dan menangani kasus gizi buruk sedini mungkin. Untuk meningkatkan status gizi anak dilakukan upaya melalui pemberian perawatan anak gizi buruk di puskesmas perawatan dan rumah sakit (Depkes, 2006).

Menurut Mardiyah (2007) mengingat penyebabnya sangat kompleks, penatalaksanaan gizi buruk memerlukan kerjasama yang komprehensif dari semua pihak, tidak hanya dokter dan tenaga kesehatan saja tetapi juga dari pihak orang tua, keluarga, pemuka masyarakat, pemuka agama dan pemerintah. Oleh karena itu penanggulangan masalah gizi buruk merupakan tanggung jawab bersama, yang melibatkan masyarakat dan banyak sektor yang terkait dalam pelayanan kesehatan. Meliputi sektor ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, pemberdayaan perempuan, PKK dan pertanian yang menyangkut ketersediaan pangan dalam rumah tangga. 5. Faktor Ekonomi

Adanya krisis ekonomi menyebabkan penurunan pendapatan masyarakat dan peningkatan harga pangan. Dalam kehidupan sehari-hari pengaruh tersebut sangat dirasakan oleh masyarakat dalam bentuk pengurangan jumlah dan mutu konsumsi makanan sehari-hari (Depkes, 2000). Pada tahun 2000 jaringan pengaman sosial bidang kesehatan (JPSBK) telah berhasil meningkatkan akses keluarga miskin terhadap pelayanan kesehatan. Sehingga derajat kesehatan masyarakat miskin cenderung meningkat dan status gizi buruk mulai menurun (Media Ind, 2008). 6. Faktor Penyakit

Salah satu faktor penyebab gizi buruk pada anak balita adalah faktor penyakit yang diderita anak, baik penyakit bawaan seperti penyakit jantung, penyakit infeksi seperti, saluran pernafasan dan diare. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan mengatasi masalah

masalah penyakit pada anak, misalnya memberikan imunisasi kepada ibu hamil dan bayi untuk mencegah terjadinya penyakit (IDAI, 2008).

2.3.Pengetahuan

2.3.1.Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge) adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yakni : Indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba (Notoadmojo, 2003).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior). Suatu perbuatan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perbuatan yang tidak didasari oleh pengetahuan, dan orang yang mengadopsi perbuatan dalam diri seseorang tersebut akan terjadi proses sebagai berikut :

1. Kesadaran (awareness) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap obyek (stimulus).

2. Merasa tertarik (interest) terhadap stimulus atau obyek tertentu. Disini sikap subyek sudah mulai timbul.

3. Menimbang-nimbang (evaluation) terhadap baik dan tidaknya terhadap stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah tidak baik lagi.

4. Trial, dimana subyek mulai melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang

5. Adopsi (adoption), dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

2.3.2.Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoadmodjo (2007), pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu :

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, “tahu” ini adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. 3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi rill (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, adanya prinsip terhadap obyek yang dipelajari.

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lainnya.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dalam kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan suatu justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

Penilaian-penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

2.3.3.Faktor yang Memengaruhi Pengetahuan

Faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan menurut Notoadmodjo (2003) antara lain :

1. Tingkat Pendidikan

Pendidikan adalah upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga terjadi perubahan perilaku positif yang meningkat. Pendidikan digolongkan sebagai berikut : Tamat SD, Tamat SLTP, Tamat SLTA, Tamat Perguruan Tinggi dan

seterusnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang diharapkan akan semakin tinggi tingkat pengetahuannya.

2. Informasi

Seseorang dengan sumber informasi yang lebih banyak akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas.

3. Budaya

Tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhan yang meliputi sikap dan kepercayaan.

4. Pengalaman

Sesuatu yang pernah dialami seseorang akan menambah pengetahuannya tentang sesuatu yang bersifat informal.

5. Sosial Ekonomi

Sosial ekonomi disini maksudnya adalah tingkat kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi akan semakin tinggi tingkat pengetahuan yang dimiliki karena dengan tingkat sosial ekonomi yang tinggi memungkinkannya untuk mempunyai fasilitas-fasilitas yang mendukung seseorang mendapatkan informasi dan pengalaman yang lebih banyak.

2.4.Penatalaksanaan Gizi dan Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk

Dokumen terkait