• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. PEMBAHASAN

5.4. Pengaruh Penatalaksanaan Gizi terhadap Keberhasilan

Soegianto (2008) menyebutkan bahwa alternatif lain dalam memecahkan masalah gizi buruk yang telah dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan penatalaksanaan gizi balita gizi buruk yang bermutu di posyandu dengan koordinasi penuh dari puskesmas, dan penanganannya harus secara serius karena menyangkut kelangsungan hidup anak.

Penelitian WHO (1993) pendekatan paling baik dalam penanganan gizi buruk yang umumnya terjadi pada anak balita adalah dengan melakukan penatalaksanaan gizi, yang mempunyai dampak paling besar dalam menurunkan beban global dari penyakit dibanding intervensi lain.

Berdasarkan standar pelayanan rumah sakit (2006) menyatakan bahwa penatalaksanaan gizi disebut juga dengan asuhan gizi (nutritional care) yaitu dengan pemberian zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien agar mencapai

status gizi optimal oleh ahli gizi, melakukan beberapa proses mulai dari pengukuran antropometri, diagnosa status gizi, intervensi gizi dan melakukan monitoring dan evaluasi gizi.

Model asuhan gizi atau penatalaksanaan gizi berdasarkan ASDI (2009) adalah suatu metode pemecahan masalah yang sistematis, dimana ahli gizi (dietisien) di tuntut dapat berpikir kritis dan membuat keputusan yang tepat terkait dalam memecahkan masalah gizi dan dapat melaksanakan asuhan gizi atau penatalaksanaan gizi yang berkualitas, aman dan efektif.

Menurut Sarjono (1999) penatalaksanaan gizi adalah suatu paket program komprehensif yang memadukan upaya promotif dan kuratif, mengkombinasikan pengobatan semua penyakit penyerta yang sering diderita atau bahkan penyakit itu sendiri yang membuat keadaan anak menjadi gizi buruk, merujuk penyakit secara cepat, menilai status gizi serta menangani dan memberi konseling bagi ibu bagaimana perawatan anak dirumah, nasehat pemberian makan dan kapan harus kembali segera atau kapan harus kembali untuk tindak lanjut dan konseling bagi ibu untuk perawatan dirinya. Semua kegiatan tersebut sepenuhnya harus dipahami dan dilakukan oleh petugas kesehatan khususnya tenaga pelaksana gizi di puskesmas, sehingga diharapkan tenaga pelaksana gizi telah dan mempunyai keterampilan serta mempunyai tingkat pengetahuan yang baik tentang apa dan bagaimana cara penanganan kasus dan sesuai dengan standar tatalaksana gizi buruk.

5.4.1.Pengaruh Pengorganisasian Penatalaksanaan Gizi terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di Puskesmas se-Kota Medan

Hasil penelitian tentang pengorganisasian penatalaksanaan gizi ditemukan bahwa dengan pengorganisasian yang baik diketahui hasilnya kurang mengalami keberhasilan dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk yaitu sebesar 64,3%. Uji statistik menunjukkan variabel pengorganisasian tidak berpengaruh terhadap keberhasilan Puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk. Mengacu pada hasil uji tersebut dapat dijelaskan semakin baik pengorganisasian belum tentu dapat meningkatkan keberhasilan Puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk.

Pada penelitian ini pengorganisasian tidak berpengaruh pada keberhasilan puskesmas dalam perbaikan status gizi balita gizi buruk, mungkin faktor lain yang lebih memengaruhi. Bukan berarti bahwa pengorganisasian yang baik tidak diperlukan dalam pelaksanaan perbaikan status gizi balita. Tetapi pengorganisasian penatalaksanaan gizi yang baik lebih menyempurnakan kegiatan dalam hal penatalaksanaan gizi buruk menjadi lebih baik. Pada pengorganisasian juga harus ada petunjuk teknis dan buku pedoman tentang tatalaksana gizi buruk sehingga tatalaksana yang dilakukan sesuai dengan petunjuk teknis yang telah ditetapkan, dari hasil penelitian yang ditemukan bahwa belum semua Puskesmas memiliki buku pedoman dan petunjuk teknis tentang tatalaksana gizi buruk, hal ini kemungkinan besar belum didistribusikannya petunjuk tehins dan buku pedoman tersebut oleh Dinas Kesehatan Kota Medan, mengingat bahwa buku pedoman dan petunjuk teknis

tersebut telah didistribusikan langsung dari Kementerian Kesehatan RI ke Kabupaten/Kota masing-masing.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini tidak ada pengaruh pengorganisasian terhadap keberhasilan Puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk, dikarenakan belum semua Puskesmas mempunyai tim asuhan gizi sehingga dalam pelaksanaannya memang pengorganisasian belum terkelola dengan baik, kemudian belum semua Puskesmas mempunyai petunjuk teknis dan buku pedoman tentang tatalaksana gizi buruk, sehingga kemungkinan besar pada pelaksanaan kegiatan di lapangan belum sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan faktor inilah yang kemungkinan besar menyebabkan keberhasilan dalam perbaikan status gizi balita gizi buruk juga menjadi kurang berhasil.

Pengorganisasian mencakup ada tidaknya tim asuhan gizi yang sudah terlatih, tim asuhan gizi adalah sekelompok petugas kesehatan yang berada di rumah sakit ataupun puskesmas yang terkait dengan pelayanan gizi, terdiri dari dokter/dokter spesialis, tenaga pelaksana gizi, dan perawat bidan dari setiap unit pelayanan, bertugas untuk menyelenggarakan asuhan gizi (nutrition care) untuk mencapai pelayanan paripurna yang bermutu. Terry (1980) mengatakan bahwa pengorganisasian adalah tindakan mengusahakan hubungan-hubungan perilaku yang efektif antara masing-masing orang, sehingga mereka dapat bekerja sama secara efesien untuk dapat mencapai tujuan yang diinginkan.

Siagian (2002) yang mengatakan bahwa pengorganisasian ini penting karena merupakan alat untuk mengatur semua kegiatan yang berkaitan dengan personil, finansial, material dan tatacara untuk mencapai tujuan.

5.4.2.Pengaruh Tatacara Penatalaksanaan Gizi terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di Puskesmas se-Kota Medan

Hasil penelitian tentang variabel tatacara penatalaksanaan gizi, diketahui bahwa dengan tatacara penatalaksanaan gizi yang baik hasilnya mengalami keberhasilan dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk yaitu sebesar 84,6%. Uji statistik menunjukkan bahwa variabel tatacara mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk. Mengacu pada hasil uji tersebut dapat dijelaskan semakin baik tatacara penatalaksanaan gizi yang dilakukan oleh tenaga pelaksana gizi akan meningkatkan keberhasilan dalam perbaikan status gizi balita gizi buruk di wilayah kerja masing-masing.

Tenaga pelaksana gizi sebenarnya sudah memiliki kompetensi dalam penatalaksanaan gizi, tetapi dalam penelitian ini tenaga pelaksana gizi kurang memperhatikan tingkat keberhasilan yang akan dicapai, sehingga diperlukan suatu kesadaran, agar lebih meningkatkan perhatiannya terhadap perbaikan status gizi pada anak balita gizi buruk, karena mereka sangat memerlukan perbaikan dari apa yang sedang mereka alami.

Sehingga dapat disimpulkan hasil penelitian ini bahwa ada pengaruh tatacara penatalaksanaan gizi terhadap keberhasilan puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk, karena apabila tatacara penatalaksanaan gizi dilakukan secara

baik dan sesuai standar yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan hasil uji menunjukkan bahwa apabila tatacara penatalaksanaan gizi yang dilakukan TPG baik akan meningkatkan 37,3 kali keberhasilan Puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk.

Nency (2006) yang mengatakan bahwa penundaan pemberian perhatian atau pemeliharaan gizi yang kurang tepat terhadap balita akan menurunkan status gizinya sehingga potensi mereka sebagai sumber daya pembangunan juga akan menurun.

Pada penelitian Primasari (2007) diketahui bahwa gambaran pertumbuhan anak yang pernah mengikuti program penatalaksanaan gizi buruk di Dinas Kesehatan Semarang tahun 2007, persentasi status gizi buruk menunjukkan penurunan yaitu dari 80% pada akhir 2007 menjadi 50% pada Juli 2009 dan 56,3% pada Agustus 2009. Ini menunjukkan apabila kasus gizi buruk yang ditangani dan dilakukan penatalaksanaan gizi secara baik dan bermutu sesuai dengan pedoman dan prosedur tatalaksana gizi buruk, akan menurunkan angka kejadian kasus gizi buruk.

Arnelia (1992) hasil penelitiannya menunjukkan sebanyak 20% anak balita yang awalnya menderita gizi buruk, pasca pemulihan di klinik gizi (pusat penelitian gizi dan makanan, Depkes) masih dalam kondisi gizi buruk. Arnelia menyakini bahwa ada suatu hal yang menyebabkan berulangnya kondisi gizi buruk tersebut yang disebabkan oleh banyak faktor lain yang mungkin menjadi penyebabnya.

Menurut Arnelia (2009) saat ini penanganan gizi buruk tidak hanya terpusat pada rumah sakit, tetapi lebih diarahkan agar puskesmas mempunyai kemampuan dalam penanganan gizi buruk. Perawatan gizi dapat dilakukan secara rawat inap

ataupun secara rawat jalan di Puskesmas melalui klinik gizi, atau yang lebih dikenal dengan TFC (therapeutic feeding centre) dikenal juga dengan PPG (panti pemulihan gizi).

5.4.3.Pengaruh Tindak Lanjut terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di Puskesmas se-Kota Medan

Hasil penelitian tentang variabel tindak lanjut yang baik diketahui bahwa 84,6% mengalami keberhasilan dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk. Uji statistik menunjukkan variabel tindak lanjut mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan Puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk. Mengacu pada hasil uji tersebut dapat dijelaskan semakin baik tindak lanjut yang dilakukan maka akan meningkatkan keberhasilan dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindak lanjut yang baik yaitu dengan melakukan pemberian makanan pemulihan yang tepat dan melakukan perawatan secara optimal, hasil uji menunjukkan 20,4 kali akan dapat meningkatkan keberhasilan Puskesmas dalam upaya perbaikan status gizi balita gizi buruk di Puskesmas.

Almatsier (2002) mengatakan bahwa status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin.

Luh Putu (2006) melihat bahwa perkembangan masalah gizi di Indonesia, berdasarkan hasil surveilens dari seluruh Dinas Kesehatan Provinsi sejak tahun 2005 didapatkan bahwa setiap bulan kasus gizi buruk mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan karena anak yang menderita gizi buruk mendapat perawatan yang baik di Puskesmas maupun rumah sakit. Dilanjutkan perawatan tindak lanjut yang berupa rawat jalan melalui posyandu, untuk memantau kenaikan berat badan serta mendapatkan makanan tambahan pemulihan. pendapat Almatsier (2002) bahwa PMT pemulihan bertujuan memulihkan gizi penderita gizi buruk, dengan memberikan makanan dengan kandungan gizi yang cukup, sehingga kebutuhannya terpenuhi.

Menurut WHO (2000) dalam Suwanti (2003) menyebutkan bahwa, cara pemulihan gizi buruk yang paling ideal adalah dengan rawat inap. WHO (1993) pendekatan penatalaksanaan gizi buruk yang umumnya terjadi pada balita, mempunyai dampak yang paling besar dibanding intervensi lain.

5.4.4.Pengaruh Pengawasan terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di Puskesmas se-Kota Medan

Hasil penelitian tentang variabel pengawasan diketahui bahwa dengan pengawasan yang baik 81,3% mengalami keberhasilan dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk. Uji statistik menunjukkan variabel pengawasan mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan Puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk. Mengacu pada hasil uji tersebut dapat dijelaskan semakin baik

pengawasan oleh tenaga pelaksana gizi akan meningkatkan keberhasilan puskesmas dalam perbaikan status gizi balita gizi buruk.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengawasan pada saat dilakukannya penatalaksanaan gizi ataupun pasca penatalaksanaan gizi sangat diperlukan sehingga balita yang sudah dinyatakan sembuh atau status gizi sudah mulai baik dan dapat dipulangkan, akan tetap terpantau berat badannya secara berkala, serta adanya pencatatan pelaporan yang dibuat secara baik, lengkap dan rapi, sehingga pada saat keadaan status gizi kembali memburuk catatan dan status pasien dapat dibuka dan dilakukan penanganan dengan cepat dan dapat dicari akar permasalahan kenapa dan bagaimana kondisi gizinya dapat kembali memburuk, sehingga dapat dicarikan solusi penanganan yang akan dilakukan secara dengan tepat dan pasti, serta tujuan dari penatalaksanaan gizi dapat dicapai secara optimal. Hasil Uji menyatakan bahwa pengawasan penatalaksanaan gizi yang baik akan meningkatkan 16,3 kali keberhasilan Puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk.

Terry (1980)berpendapat bahwa berdasarkan fungsi manajemen yang dipakai

Departemen Kesehatan, pengawasan yang dilakukan secara terus menerus terhadap pelaksanaan kegiatan akan menjamin keberhasilan program yang ditetapkan, apabila ada penyimpangan dan kesenjangan yang terjadi pada penatalaksanaan harus segera diatasi. Siagian (2002) juga berpendapat pengawasan itu menentukan apa yang telah dicapai. Artinya dapat menilai hasil pekerjaan dan bila perlu dilakukan perbaikan sehingga hasilnya sesuai yang diinginkan dan tercapai secara optimal.

Arnisam (2007) mengatakan bahwa petugas kesehatan perlu melakukan kunjungan (visit) ke rumah anak balita gizi buruk untuk mengawasi dan membantu keluarga dalam mempraktekkan perawatan dan pengasuhan terhadap anak dengan gizi buruk secara benar sesuai standar yang telah ditetapkan.

.

5.5.Pengaruh Pengetahuan Tenaga Pelaksana Gizi terhadap Keberhasilan Puskesmas dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk di Puskesmas se-Kota Medan

Hasil penelitian tentang variabel pengetahuan ditemukan bahwa TPG yang berpengetahuan baik sebagian besar mengalami keberhasilan dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk yaitu sebesar 72,7% sedangkan TPG dengan pengetahuan kurang sebagian besar tidak mengalami keberhasilan dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk yaitu sebesar 57,9%.

Secara faktual bahwa adanya perbedaan pada hasil penelitian ini yaitu pengetahuan tenaga pelaksana gizi baik dan keberhasilan dalam perbaikan status gizi balita gizi buruk juga baik tetapi secara statistik tidak ada pengaruh. Hal ini kemungkinan disebabkan karena keterbatasan jumlah sampel, apabila jumlah sampel besar >30, hasil dari penelitian juga kemungkinan besar akan berubah.

Apabila petugas kesehatan mempunyai pengetahuan pada materi tatalaksana gizi buruk yang telah dipelajari sebelumnya maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk menjelaskan secara benar dan dapat menggunakan atau berperilaku sesuai dengan pengetahuannya. Petugas kesehatan mempunyai kemampuan menganalisa, menyusun formulasi baru berdasarkan ilmu pengetahuan

yang dapat dipertanggung jawabkan sehingga dapat melakukan evaluasi sejauh mana kemampuannya dalam melaksanakan penatalaksanaan gizi buruk sesuai standar yang telah ditetapkan.

Dalam penentuan antropometri juga masih ditemukan bahwa pengetahuan tenaga pelaksana gizi puskesmas dalam penimbangan dan menentukan BB dan TB balita gizi buruk, masih berkesan asal-asalan, ini ditemukan dari data antropometri tiap bulannya di beberapa Puskesmas, bahwa TB selalu naik mengikuti BB, padahal pada kenyataannya tidak selalu BB naik maka harus naik pula TB, tetapi dari hasil penelitian yang ditemukan, kenaikan TB sangat fantastis, hal ini menyebabkan status gizinya tidak naik atau tidak ada perbaikan tiap bulannya pada balita gizi buruk.

Dalam membandingkan BB/TB balita gizi buruk dengan Tabel WHO-2005 juga belum semua tenaga pelaksana gizi mampu membaca hasil, sehingga mereka jarang atau tidak menentukan kenaikan/perbaikan status gizi tiap bulan dengan melihat tabel WHO-2005. TPG beberapa Puskesmas berpendapat bahwa apabila BB dan TB yang bertambah, maka itu menunjukkan bahwa ada perbaikan pada status gizi balita gizi buruk tersebut, padahal tidak demikian seharusnya. Kenaikan BB dan TB tiap bulannya harus di bandingkan dengan tabel WHO-2005 baru dapat diketahui hasilnya apakah status gizinya ada perbaikan atau tidak ada perbaikan dibandingkan kondisi awal balita gizi buruk tersebut ditemukan.

Notoatmodjo (2003) berpendapat bahwa tingkat pengetahuan biasanya berkaitan erat dengan tingkat pendidikan, karena semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan menunjang tingkat pengetahuan. Menurut Winkel (1996) diketahui bahwa

melalui proses pendidikan seseorang memperoleh pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan sikap serta nilai-nilai yang menghantarkan kearah kedewasaan dalam bertindak.

Hasil penelitian Setyaningsih (2009) proses pemulihan pada gizi buruk tidak hanya berfokus pada pengetahuan tenaga pelaksana gizi saja, tetapi faktor lain juga berperan seperti dari orang tua dan keluarga yang kurang memperhatikan anaknya dalam hal memberikan makan dan penyediaan makanan.

Pendapat Cholil (2004), bahwa pentingnya aspek pengetahuan tenaga pelaksana gizi dalam perbaikan status gizi perlu dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan status kesehatan balita. Ketidakmengertian tenaga pelaksana gizi terhadap penatalaksanaan gizi berdampak pada tidak adanya perbaikan status gizi pada balita gizi buruk.

Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa pengetahuan adalah informasi yang diketahui atau disadari oleh seseorang, dan merupakan hasil “tahu” yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu atau berbagai gejala yang ditemui dan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.

Friedman (2005) mengatakan bahwa pengetahuan merupakan domain dari

perilaku. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang, maka perilaku akan lebih bersifat langgeng. Dengan kata lain tenaga pelaksana gizi yang tahu dan paham tentang prosedur pelaksanaan perbaikan gizi, maka dia akan bertindak sesuai dengan apa yang ia ketahui.

Dokumen terkait