• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

C. Stroke

6. Penatalaksanaan Stroke Berulang

Penatalaksanaan stroke berulang dibagi kedalam terapi farmakologis, terapi non-farmakologis dan terapi pembedahan.

a. Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis yang dapat diberikan adalah terapi antiplatelet, terapi antiplatelet secara signifikan mengurangi risiko gangguan vascular berikutnya, seperti stroke dan infark miokard (National Stroke Foundation, 2007). Agen terapi antiplatelet yang umum digunakan antara lain, aspirin, dipiridamol, dan clopidogrel (Hankey, 2007).

Agen terapi antikoagulan antara lain warfarin dan heparin. Suatu fakta yang jelas adalah antikoagulan tidak banyak artinya bilamana stroke telah terjadi, baik apakah stroke itu berupa infark lakuner atau infark massif dengan hemiplegia. Risiko pemberian antikoagulan termasuk perdarahan intrakranial, perdarahan sistemik hingga kematian. Oleh karena itu, penggunaan heparin pada semua pasien dengan stroke iskemik akut sudah tidak direkomendasikan. Heparin diindikasikan untuk mencegah stroke berulang pada pasien yang memiliki risiko kardiak emboli (Bowman dalam Black & Hawks, 2009).

b. Terapi Non-farmakologis

Salah satu bentuk terapi non-farmakologis untuk mencegah kejadian stroke dan stroke berulang adalah dengan perubahan perilaku

(behaviour change). Perubahan perilaku untuk mencegah kejadian stroke ini mencakup perubahan kebiasaan kesehatan yang buruk dengan mengubah gaya hidup (lifestyle change). Mengubah gaya hidup untuk mencegah stroke berulang antara lain dengan mengontrol tekanan darah, mengontrol kolesterol darah, mengontrol gula darah, olahraga, diet, mereduksi stress, dan menghentikan penggunaan rokok.

1) Mengontrol tekanan darah

Tekanan darah tinggi dikenal sebagai faktor risiko stroke yang paling penting, dengan dua kali lipat risiko stroke untuk setiap kenaikan tekanan darah sistolik 10-12 mmHg atau kenaikan tekanan darah diastolik 7-8 mmHg (Lawes et al, 2004 dalam Williams et al, 2010). Risiko stroke dapat direduksi hingga 50% dengan perawatan yang tepat pada hipertensi (Zomorodi dalam Lewis, Sharon L et al, 2011). Pada kebanyakan orang, hipertensi dapat dikontrol melalui diet, obat-obatan, dan olahraga atau kombinasi dari ketiganya. (National Stroke Association, 2013). Berbagai obat antihipertensi memiliki kerja yang berbeda, yaitu diuretik mengurangi volume darah dengan meningkatkan ekskresi natrium. Pengobatan lain yang umum adalah beta adrenergik blocker, yang mempengaruhi penurunan cardiac output dan penurunan aktivitas plasma renin. Inhibitor adrenergik sentral juga digunakan untuk mengurangi tekanan darah dengan mengurangi aliran simpatis dari sistem saraf pusat.

Inhibitor adrenergik perifer juga digunakan untuk menghabiskan katekolamin dari otak dan medula adrenal. Alpha adrenergic blocker, vasodilator, angiotensin converting inhibitor enzim (ACE inhibitor), dan calcium channel blocker juga telah digunakan dalam pengobatan hipertensi (Taylor, 2006)

Dalam studi PROGRESS, pengobatan dengan kombinasi perindopril dan indapamide untuk menurunkan tekanan darah tekanan darah dengan 12 mmHg (sistolik) dan 5 mmHg (diastolik) dan pengurangan risiko relatif stroke 43% (PROGRESS Collaborative Group, 2001 dalam Williams et al, 2010). Pemeriksaan terhadap perawatan stroke telah menunjukkan bahwa kontrol tekanan darah yang buruk adalah faktor yang paling penting dalam kematian akibat stroke, ditambah lagi tekanan darah merupakan faktor risiko yang dapat dihindari dan diobati (Rashid et al, 2003; Rudd et al, 2004 dalam Williams et al, 2010).

2) Mengontrol kolesterol darah

Kolesterol dan lipid yang tinggi dalam darah berhubungan dengan risiko tinggi dari stroke dan serangan jantung. Pengurangan agresif dari low-density lipoprotein kolesterol cenderung menghasilkan manfaat yang lebih besar. Pengurangan risiko relatif terhadap kejadian vaskular untuk pasien dengan riwayat stroke tanpa penyakit arteri koroner yang dirawat dengan agen statin.adalah sekitar 20%-30% (Lindsay et al,

2012; Humphrey et al dalam Williams et al, 2010). Pengurangan risiko tersebut diterapkan tidak hanya untuk pasien dengan peningkatan total kolesterol lebih dari 5,2 mmol/l tetapi juga untuk pasien dengan total kolesterol yang tidak teratur serendah 3,5 mmol/l.

Statin bertindak sebagai inhibitor enzim HMG-CoA reduktase yang mengontrol sintesis kolesterol dalam hati. Statin juga memberikan efek perlindungan tambahan dengan menstabilkan plak ateromatosa pada arteri, sehingga mengurangi risiko pecahnya plak dan trombosis. Terapi statin yang lebih intensif yaitu dengan menggunakan statin dosis tinggi, misalnya atorvastatin 80 mg, akan memberikan manfaat yang lebih besar (Amarenco et al, 2006; Topol, 2004 dalam Williams et al, 2010). Simvastatin 40 mg per hari direkomendasikan untuk pasien dengan TIA dan stroke yang memiliki kolesterol total lebih dari 3,5 mmol/l, kecuali dengan kontraindikasi (Drugs and Therapeutic Bulletin, 2007; Hankey, 2006 dalam Williams et al, 2010).

Selain penggunaan statin, pengontrolan kadar kolesterol darah dapat dilakukan dengan makan makanan rendah lemak terutama makanan rendah lemak jenuh, termasuk sayuran, buah-buahan, daging tanpa lemak seperti ayam dan ikan, produk susu rendah lemak dan kuning telur. Makanan yang kaya serat, termasuk

biji-bijian atau kacang kering (National Stroke Association, 2013).

3) Mengontrol gula darah

Diabetes merupakan faktor risiko utama untuk penyakit jantung dan diakui sebagai faktor risiko independen untuk iskemik stroke. Kebanyakan orang dewasa dengan diabetes tipe 1 atau 2 memiliki risiko tinggi untuk penyakit vaskular (Lindsay et al, 2012). Dalam review stroke dan diabetes, Idris et al menyatakan bahwa kombinasi antara diabetes dan stroke merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Bukti dari uji klinis yang dilakukan pada pasien dengan diabetes mendukung kebutuhan untuk intervensi dini dan agresif untuk pasien dengan gangguan kardiovaskular untuk mencegah timbulnya, kekambuhan dan perkembangan stroke akut (Idris et al, 2006 dalam Lindsay et al, 2012 )

Diabetes merupakan faktor risiko stroke yang dapat diubah. Penanganan diabetes tipe I dapat dialkukan dengan memonitor gula darah dan insulin. Tipe II, yang kadang diperburuk dengan obesitas, sering dapat dikendalikan melalui penurunan berat badan, olahraga, dan perubahan dalam kebiasaan makan. Suntikan insulin tidak selalu dibutuhkan (National Stroke Association, 2013).

4) Olahraga

Aktivitas fisik dapat mengurangi risiko stroke karena memiliki efek menguntungkan pada tekanan darah, diabetes dan berat badan (Lee et al 2003, Wendel-Vos et al 2004 dalam Lawrence et al, 2011). Pelatihan kebugaran fisik setelah stroke memiliki manfaat kesehatan yang positif tetapi, manfaat terhadap kesehatan tersebut hilang jika latihan berhenti (Saunders et al, 2009). Pedoman merekomendasikan aktivitas fisik selama 20 sampai 30 menit setiap hari dalam seminggu (SIGN 2008 dalam Lawrence et al, 2011). Sebuah penelitian baru menunjukkan bahwa orang yang berolahraga 5 kali atau lebih per minggu memiliki risiko stroke berkurang (National Stroke Association, 2013).

5) Diet

Banyak faktor makanan yang berhubungan dengan risiko stroke. Risiko stroke diturunkan dengan mengurangi jumlah asupan lemak (Hooper et al 2011 dalam Lawrence et al, 2011). Diet yang rendah garam dan kaya dengan sayuran, buah-buahan dan rendah lemak dapat membantu menurunkan tekanan darah. Studi terbaru juga menunjukkan bahwa peningkatan asupan potasium, (misalnya, buah-buahan segar dan sayuran), dapat membantu menurunkan tekanan darah (National Stroke Association, 2013).

Sebuah studi di Universitas Harvard baru-baru ini menyimpulkan bahwa makan lima porsi harian buah-buahan dan sayuran dapat menurunkan risiko stroke sebesar 30%. Buah jeruk dan sayuran seperti brokoli atau kembang kol sangat bermanfaat. Konsentrasi yang lebih tinggi dari asam folat, serat, dan potasium mungkin menjadi kunci untuk mengurangi penyakit jantung dan stroke (National Stroke Association, 2013). Banyak penelitian mendukung hubungan antara kadar homosistein dan penyakit pembuluh darah. Untuk mengurangi kadar homosistein yaotu dengan asam folat dan vitamin B sejauh belum memperoleh hasil yang memuaskan (Goldstein & Rothwell, 2007 dalam Williams et al, 2010)

6) Stres

Jood et al (2009) mengidentifikasi asosiasi antara subtipe tertentu stroke iskemik dan self-stress yang dirasakan dalam lima tahun sebelum stroke (Lawrence M et al 2011). Menghindari stress dan istirahat yang cukup merupakan salah satu cara untuk mengurangi risiko stroke berulang. Hal ini antara lain dapat dilakukan dengan istirahat cukup dan tidur teratur antara 6-8 jam sehari. Menurut WHO, mengendalikan stress dengan cara berpikir positif dan meningkatkan spiritualitas pasien (PERDOSSI, 2004). Konseling, sedative, dan tranquilizer diberikan ketika stress dan kecemasan terlalu berlebihan.

7) Menghentikan penggunaan rokok

Merokok adalah faktor independen untuk stroke (Donnan et al, 1993; Shinton & Beevers, 1989 dalam Williams et al, 2010). Menghentikan penggunaan rokok akan mengurangi risiko stroke. Pengalaman memiliki stroke atau TIA dapat meningkatkan motivasi pasien untuk berhenti merokok. Dukungan sosial dan menejemen stress juga dapat membantu perokok untuk dapat berhenti menggunakan rokok. Mantan perokok lebih mungkin untuk berhasil dalam jangka pendek jika mereka memiliki mitra yang mendukung dan teman yang tidak merokok. Bagi beberapa orang, merokok sebagai penenang, karena itu, latihan relaksasi juga telah dimasukkan ke dalam beberapa program berhenti merokok (Williams et al, 2010). Bantuan farmakologis seperti penggantian nikotin, bupropion, dan Varenicline akan meningkatkan kemungkinan keberhasilan dan biasanya dapat digunakan secara aman setelah TIA atau stroke.

c. Terapi Pembedahan

Pasien yang dipertimbangkan untuk menjalankan pembedahan adalah mereka yang memiliki risiko rendah morbiditas dan mortalitas post operasi dan salah satu dari: (1) penyakit arteri karotis asimtomatik dengan 50% atau lebih stenosis atau (2) penyakit arteri karotis dengan 70% atau lebih stenosis. Pada pasien tersebut, insiden stroke dengan penatalaksaan bedah secara signifikan berkurang dibandingkan

dengan penatalaksaan medis (Bowman dalam Black & Hawks, 2009). Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan pada pasien post stroke antara lain karotis endarterektomi, Extracranial/Intracranial Arterial Bypass, Angioplasti dan Sten Intraluminal.

Dokumen terkait