• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

9. Penatalaksanaan terapi

Terapi non-farmakologi meliputi 2 komponen utama, yaitu edukasi pada pasien atau yang merawat mengenai beebagai hal tentang asma, dan kontrol terhadap faktor-faktor pemicu serangan asma. Untuk memastikan alergen pemicu serangan asma pada pasien maka direkomendasikan untuk mengetahui riwayat kesehatan pasien serta uji kulit (skin test). Pasien juga diberikan edukasi mengenai pathogenesis asma, bagaimana mengenal pemicu asmanya, mengenal tanda dan gejala asma, cara penggunaan obat yang tepat (Ikawati, 2007).

b. Terapi farmakologi

Terapi farmakologi merupakan salah satu bagian dari penanganan asma yang bertujuan mengurangi dampak penyakit dan mempertahankan kualitas hidup, yang dikenal dengan tujuan pengelolaan asma. Pemahaman bahwa asma bukan hanya suatu penyakit episodik tetapi asma adalah suatu penyakit kronik menyebabkan pergeseran penanganan dari pengobatan hanya untuk serangan akut menjadi pengobatan jangka panjang dengan tujuan mencegah serangan, mengontrol atau mengubah perjalanan penyakit (Mangunnegoro, 2004). Berdasarkan Global Innitiative for Asthma (2012), tatalaksana pengobatan asma dapat dilihat pada tabel II.

Tabel II. Tatalaksana Pengobatan Asma

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5

SABA SABA

Pilihan obat pengontrol***

Pilih salah

satu Pilih salah satu Ke tahap 3, pilih salah satu Ke tahap 4, pilih salah satu

ICS dosis

rendah* ICS rendah dan dosis LABA ICS dosis sedang atau tinggi dan LABA Glukokortiko steroid oral dalam dosis rendah Modifikator

leukotrien** ICS sedang atau dosis tinggi ICS dosis rendah dan modifikator leukotrien Modifikator leukotrien Teofilin sustained release Anti Ig-E ICS dosis rendah dan teofilin sustained release Keterangan :

*ICS = inhalasi glukokortikosteroid

**= Antagonis reseptor atau inhibitor sintesis

***= Pengobatan yang direkomendasikan (kolom berwarna)

Berdasarkan penggunaannya, obat asma terbagi menjadi 2 golongan yaitu pengobatan jangka panjang (long-term medication) untuk mengontrol gejala asma, dan pengobatan cepat (quick-relief medication) untuk mengatasi serangan asma akut. Beberapa obat yang digunakan untuk pengobatan dalam jangka panjang antara lain inhalasi steroid, β2 agonis aksi panjang (LABA), sodium kromoglikat atau kromolin, nedokromil, modifier leukotrin dan golongan metil ksantin. Sedangkan untuk pengobatan cepat, obat yang sering digunakan adalah suatu bronkodilator (β2 agonis aksi cepat atau SABA, antikolinergik, metilksantin), dan kortikosteroid oral (sistemik).

Obat-obat asma dapat dijumpai dalam bentuk oral, larutan nebulizer, dan metered-dose inhaler (MDI) (Matfin dan Porth, 2009).

1) Agonis β2

Merupakan bronkodilator yang paling efektif. Stimulasi reseptor β2-adenergik mengaktivasi adenil siklase, yang menghasilkan peningkatan AMP siklik intraseluler. Hal ini menyebabkan relaksasi otot polos, stabilisasi membrane sel mast, dan stimulasi otot skelet. Albuterol dan inhalasi agonis β2 selektif aksi pendek lain diindikasikan untuk penaganan episode bronkospasmus irregular dan merupakan pilihan pertama dalam penanganan asma akut. Karena agonis β2 inhaler aksi pendek maka tidak meningkatkan kontrol pada gejala jangka panjang, pemakaiannya dapat digunakan sebagai ukuran kontrol asma (Sukandar, Andrajati, Sigit, Adnyana, Setiadi dan Kusnandar, 2008).

Agonis β2 ini dibagi menjadi 2, yaitu : a) Short-acting beta2-agonists (SABAs)

Obat-obat yang termasuk kelas ini meliputi albuterol (proventil, ventolin), levalbuterol, (R)-enantiomer albuterol (xopenex), metaproterenol (alupent), terbutalin (brethaire) dan pirbuterol (maxair). Obat-obat ini digunakan untuk pengobatan inhalasi akut pada bronkospasme. Terbutalin (brethine, bricanyl), albuterol, dan meraproterenol juga tersedia dalam bentuk sediaan oral. Setiap obat inhalasi ini mempunyai onset sekitar 1-5 menit dan

menyebabkan bronkodilatasi selama 2-6 jam (Bruton, Parker, Blumenthal and Buxton, 2008).

b) Long-acting beta2-agonists (LABAs)

Salmeterol xinafoat (severent) dan formoterol (foradil) adalah senyawa adrenergik kerja panjang dan selektivitasnya sangat tinggi terhadap subtipe reseptor β2, bronkodiltasi berlangsung lebih dari 12 jam. Mekanisme yang mendasari perpanjangan durasi kerja salmeterol berhubungan dengan sifat lipofiliknya yang tinggi. Setelah terikat dengan reseptor, agonis kerja pendek yang bersifat kurang lipofilik akan berpindah secara cepat dari lingkungan reseptor melalui difusi dalam fase cair, sedangkan salmeterol tetap berada dalam membrane dan hanya terurai secara lambat dari lingkungan reseptornya (Bruton et al., 2008).

2) Kortikosteroid

Obat-obat kortikosteroid ini dapat menurunkan jumlah dan aktivitas sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung (Depkes RI, 2007).

Kortikosteroid sistemik diindikasikan untuk pasien dengan asma akut yang tidak berespon dengan terapi awal menggunakan β2-agonis. Obat-obat ini merupakan adrenokortikal steroid sintetik dengan cara

kerja dan efek yang sama dengan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung. Contoh obatnya: deksametason, metilprednisolon, prednisolon (Kelly and Sorkness, 2008).

Kortikosteroid Inhalasi (ICS) hingga saat ini masih merupakan obat yang paling efektif untuk penatalaksanaan asma dan diindikasikan untuk pencegahan jangka panjang dan pengontrolan gejala asma. Steroid Inhalasi sangat lipofilik dan masuk secara cepat ke sel target di saluran nafas dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid di sitosol (Ikawati, 2007).

Keuntungan kortikosteroid inhalasi dibandingkan dengan yang oral adalah efek lokalnya langsung tanpa diserap kedalam darah. Dengan demikian, tidak menimbulkan efek samping sistemis yang serius seperti; osteoporosis, tukak, pendarahan dilambung, gipertensi dan diabetes (Tjay dan Rahardja, 2007).

3) Antikolinergik (Ipratropium bromida)

Ipratropium bromida adalah suatu senyawa amina kuertener yang sulit diabsorpsi sehingga tidak banyak memberikan efek sistemik. Ipratropium bromida merupakan bronkodilator antikolinergik yang dapat mengurangi bronkokontriksi, hipersekresi lendir dan melawan batuk

yang disebabkan oleh iritan dengan mengikat asetilkolin pada reseptor muskarinik di otot polos bronkus (Marcdante, Kliegman, Jenson, Behrman, 2011). Penggunaan antikolinergik inhalasi seperti ipratropium bromida umumnya menghasilkan perbaikan pada fungsi paru 10-15% dibandingkan dengan jika menggunakan β agonis saja (Ikawati, 2007). Mekanisme kerjanya yaitu memblok efek pelepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan nafas dan menghambat reflek bronkokontriksi yang disebabkan oleh iritan (Mangunnegoro, 2004).

4) Metilxantin

Mekanisme kerja dari metilxantin (teofilin, garamnya yang mudah larut dan turunannya) akan merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah pulmonal, merangsang sistem saraf pusat, menginduksi diuresis, meningkatkan sekresi asam lambung (Depkes RI, 2007).

Teofilin merupakan metilxantin yang utama, menghasilkan bronkodilatasi dengan menginhibisi fosfodiesterase yang juga dapat menghasilkan antiinflamasi melalui inhibisi pelepasan mediator sel mast, penurunan pelepasan protein dasar eosinofil, penurunan poliferasi limfosit T, penurunan pelepasan sitokin sel T dan penurunan eksudasi plasma. Teofilin juga menginhibisi permeabilitas vaskuler, meningkatkan klirens mukosiliar, dan memperkuat kontraksi diafragma. Metilxantin tidak efektif dalam bentuk aerosol dan harus diberikan secara sistemik

(p.o atau i.v). Rentang steady state 5-15 mcg/mL efektif dan aman untuk kebanyakan pasien (Kelly and Sorkness, 2008).

5) Obat anti alergi (Kromolin Natrium dan Nedokromil Natrium) Kromolin Natrium dan Nedokromil Natrium mempunyai efek menguntungkan yang merupakan hasil dari stabilisasi membrane sel mast, mengihinbisi respon terhadap paparan alergen dan bronkospasme yang diinduksi tetapi tidak menyebakan bronkodilatasi. Kromolin Natrium dan Nedokromil Natrium diindikasikan untuk profilaksis asma persisten ringan pada anak dan dewasa tanpa melihat etiologinya. Kromolin merupakan obat pilihan kedua untuk pencegahan bronkospasme yang diinduksi latihan fisik dan dapat digunakan bersama agonis β2 dalam kasus yang lebih parah namun tidak berespon pada tiap zat masing-masing. Kromolin Natrium dan Nedokromil Natrium hanya efektif jika dihirup dan tersedia sebagai obat inhalasi dosis terukur. Pasien pada awalnya menerima Kromolin Natrium atau Nedokromil Natrium 4x sehari, setelah stabilisasi gejala frekuensi dapat diturunkan hingga 2x sehari untuk nedokromil dan 3x sehari untuk kromolin (Kelly and Sorkness, 2008).

6) Modifikator Leukotrein

Zafirlukas dan montelukas merupakan antagonis reseptor leukotrien lokal yang mengurangi proinflamasi (peningkatan

permeabilitas mikrovaskular dan edema jalur udara) dan efek bronkokonstriksi leukotrien D4 (Sukandar dkk., 2008).

7) Omalizumab (Anti IgE)

Omalizumab merupakan antibodi monoklanal manusia rekombinan dari subkelas IgG1k, yang di targetkan untuk melawan IgE. IgE yang terikat dengan omalizumab tidak dapat berikatan dengan reseptor pada sel mast dan basofil, sehingga mencegah reaksi alergi pada tahap proses yang sangat awal (Bruton et al.,2008).

Obat ini hanya diindikasikan untuk pasien atopik bergantung kortikosteroid yang memerlukan kortikosteroid dosis tinggi dengan berlanjutnya gejala dan kadar IgE tinggi (Kelly and Sorkness, 2008).

Dokumen terkait