EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN ASMA PEDIATRI RAWAT INAP (STUDI KASUS DI RSUP Dr. SARDJITO
YOGYAKARTA TAHUN 2013)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Anggun Indah Ciptanti
NIM : 108114099
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN ASMA PEDIATRI RAWAT INAP (STUDI KASUS DI RSUP Dr. SARDJITO
YOGYAKARTA TAHUN 2013)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Anggun Indah Ciptanti
NIM : 108114099
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
vii PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat, rahmat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi yang berjudul “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada
Pasien Asma Pediatri Rawat Inap (Studi Kasus di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Tahun 2013)” dengan baik sebagai salah salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi (S.Farm) program studi Farmasi Universitas Sanata Dharma.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak
langsung baik berupa moral, materiil maupun spiritual. Oleh sebab itu, penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
2. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dosen Pembimbing skripsi atas
perhatian, kesabaran, bimbingan, masukan dan motivasi kepada penulis
dalam proses penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt. selaku Dosen Pembimbing skripsi
atas perhatian, kesabaran, bimbingan, masukan dan motivasi kepada penulis
dalam proses penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Dita Maria Virginia, M.Sc., Apt. sebagai dosen penguji yang telah
memberikan kritik dan saran yang membangun selama proses pembuatan
viii
5. Ibu Iriati dan Mas Danang, selaku petugas Instalasi Catatan Medik (ICM) di
RSUP Dr. Sardjito yang telah membantu penulis dengan memberi bantuan
dan memberi saran dalam penyusunan skripsi ini.
6. Dokter-dokter di RSUP Dr. Sardjito yang telah membantu selama proses
penelitian.
7. Papa dan mama tercinta atas doa, kasih sayang, semangat, dukungan, dan pengertian serta bantuan finansial hingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik.
8. Kakak-kakakku tersayang Teddy Prasetya, Adi Wibowo, Randy Julius yang
telah membimbing penulis serta menjadi inspirasi dan motivasi bagi penulis
dalam menyelesaikan skripsi.
9. Triwibowo Hertanto yang selalu memberikan doa dan sebagai pengingat
yang selalu ada dengan memberikan dukungan dan semangat selama proses
pembuatan skripsi ini.
10. Sahabatku Lilin, Rosi, Chelly, Nita, Henny, Verica terimakasih untuk tawa
dan semangatnya selama pengerjaan skripsi ini.
11. Teman-teman seperjuangan dalam tim Jessi dan Mega untuk semangat, kerjasama, bantuan, dan informasi yang selalu di bagikan dalam proses
penyusunan skripsi ini dari awal hingga akhir.
12. Teman-teman FSM C 2010 dan FKK B 2010, terima kasih atas
kebersamaannya dan pengalaman yang tak terlupakan selama menjalani
ix
Penulis menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Demikian juga
dengan tugas akhir ini yang belum sempurna dan masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak agar skripsi ini dapat menjadi lebih baik. Akhir kata, penulis
berharap semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama
demi kemajuan pengetahuan di bidang Farmasi.
Yogyakarta, 11 Agustus 2014
x DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAANKEASLIAN KARYA ... v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... vi
PRAKATA ... vii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
INTISARI ... xviii
ABSTRACT ... xix
BAB I. PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Perumusan Masalah ... 3
2. Keaslian Penelitian ... 4
3. Manfaat Penelitian ... 7
B. Tujuan Penelitian ... 7
xi
2. Tujuan khusus ... 7
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 9
A. Asma ... 9
1. Definisi ... 9
2. Epidemiologi ... 10
3. Etiologi ... 10
4. Manifestasi klinik ... 11
5. Faktor resiko ... 11
6. Patofisiologi ... 14
7. Diagnosis ... 17
8. Klasifikasi ... 20
9. Penatalaksanaan terapi ... 21
B. Drug Related Problems (DRPs) ... 28
1. Tidak perlu obat (unnecessary drug therapy) ... 29
2. Perlu obat (need for additional drug therapy) ... 29
3. Obat salah (wrong drug) ... 29
4. Dosis kurang (dosage too low) ... 30
5. Efek samping obat dan interaksi obat (adverse drug reaction) ... 30
6. Dosis berlebih (dosage too high) ... 30
7. Ketidaktaatan pasien (noncompliance) ... 30
C. Keterangan Empiris ... 31
BAB III. METODE PENELITIAN ... 32
xii
B. Variabel dan Definisi Operasional ... 32
C. Subjek Penelitian ... 34
D. Bahan Penelitian ... 36
E. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36
F. Tata Cara Penelitian ... 36
1. Observasi awal ... 36
2. Analisis situasi ... 37
3. Permohonan ijin ... 37
4. Pengambilan data ... 37
5. Pengolahan data dan analisis hasil ... 38
6. Kerahasiaan data pasien ... 40
G. Keterbatasan Penelitian ... 40
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42
A. Karakteristik Pasien ... 42
1. Distribusi pasien berdasarkan umur ... 42
2. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin ... 43
3. Diagnosis kasus ... 44
B. Pola Penggunaan Obat ... 44
1. Obat yang bekerja pada sistem pernafasan ... 46
2. Obat-obat hormonal ... 48
3. Obat anti-infeksi ... 49
4. Pemberian O2 ... 49
xiii
6. Obat yang bekerja sebagai analgesik ... 50
7. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat ... 51
8. Obat yang mempengaruhi gizi dan darah ... 52
C. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) ... 52
1. Tidak perlu obat (unnecessary drug therapy) ... 53
2. Perlu obat (needs additional drug therapy) ... 54
3. Obat salah (wrong drug) ... 54
4. Dosis kurang (dosage too low) ... 54
5. Efek samping obat (adverse drug reaction) dan interaksi obat ... 54
6. Dosis berlebih (dosage too high) ... 56
D. Outcome Pasien Setelah Mendapat Terapi ... 56
E. Rangkuman Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) ... 57
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 59
A. Kesimpulan ... 59
B. Saran ... 59
DAFTAR PUSTAKA ... 61
LAMPIRAN ... 65
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel I. Klasifikasi Asma Berdasarkan Berat Penyakit ... 20
Tabel II. Tatalaksana Pengobatan Asma ... 22
Tabel III. Distribusi Kelas Terapi Obat Yang Digunakan Pada Pasien
Asma Pediatri Di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 ... 45
Tabel IV. Pengelompokan Obat yang Bekerja pada Sistem Pernafasan
yang Digunakan sebagai Terapi Pasien Asma Pediatri di
Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013
……… ... 47
Tabel V. Pengelompokan Obat-obat Hormonal yang Digunakan sebagai
Terapi Pasien Asma Pediatri di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 ... 48
Tabel VI. Pengelompokan Obat-obat Anti-infeksi yang Digunakan sebagai
Terapi Pasien Asma Pediatri di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 ... 49 Tabel VII. Pengelompokan Obat-obat Saluran Cerna yang Digunakan
sebagai Terapi Pasien Asma Pediatri di Instalasi Rawat Inap
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 ... 50
Tabel VIII. Pengelompokan Obat Analgesik yang Digunakan sebagai
Terapi Pasien Asma Pediatri di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.
xv
Tabel IX. Pengelompokan Obat Sistem Saraf Pusat yang Digunakan
sebagai Terapi Pasien Asma Pediatri di Instalasi Rawat Inap
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 ... 51
Tabel X. Pengelompokan Obat yang mempengaruhi Gizi dan Darah yang
Digunakan sebagai Terapi Pasien Asma Pediatri di Instalasi
Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 ... 52 Tabel XI. Jenis DRPs Pada Pasien Asma Pediatri Rawat Inap di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 ... 53
Tabel XII. Hasil Evaluasi DRPs dan Status Keluar Pasien Asma Pediatri
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Definisi Asma ... 9
Gambar 2. Mekanisme Terjadinya Asma ... 14
Gambar 3. Patofisiologi Asma ... 17
Gambar 4. Skema Pemilihan Subjek Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 ... 35
Gambar 5. Persentase Distribusi Pasien Asma Pediatri di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 Berdasarkan Jenis Kelamin ... 43
Gambar 6. Persentase outcome pasien setelah mendapat terapi ... 43
Gambar 7. Karateristik Kasus Asma Pediatri Berdasarkan Diagnosisnya ... 44
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Nilai rujukan hasil laboratorium pasien asma pediatri di RSUP
Dr. Sardjito Yogyakata Tahun 2013 ... 66
Lampiran 2. Analisis Drug Related Problems pada pasien asma pediatri di Instalasi rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013……… ... 67
Lampiran 3. Hasil wawancara dengan dokter yang bersangkutan ... 118
Lampiran 4. Surat keterangan Ethics Committee Approval ... 119
xviii INTISARI
Penyakit asma sering terjadi pada anak-anak dan sangat erat kaitannya dengan adanya alergi. Asma merupakan gangguan peradangan kronis dari saluran udara, yang menyebabkan hyperresponsive bronkus sehingga bronkus mudah terhambat dan aliran udara menyempit apabila terkena faktor resiko. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran DRPs mengenai penatalaksanaan obat asma pada pasien pediatri.
Penelitian ini bersifat observasional dengan rancangan penelitian deskriptif dengan data retrospektif pada tahun 2013 yaitu data rekam medis pasien meliputi catatan keperawatan, diagnosis dan penatalaksanaan obat kemudian dibandingkan dengan standar pelayanan medis RSUP Dr. Sardjito dan pustaka yang sesuai. Kasus yang memenuhi kriteria inklusi sebagai subjek penelitian sebesar 20 kasus. Dari hasil penelitian, diperoleh persentase pola penggunaan obat sistem pernafasan yaitu sebanyak 100% pasien menggunakan obat anti asma serta 95% pasien menggunakan obat hormonal yaitu kortikosteroid. Hasil evaluasi DRPs diperoleh 6 kasus DRPs terkait dengan penatalaksanaan obat asma yaitu 6 kasus efek samping obat dan interaksi obat.
xix ABSTRACT
Asthma is common disease in children and is closely associated with allergies. Asthma is a chronic inflammatory disorder of the airways, which causes bronchial hyperresponsive that makes bronchus easily obstructed and airflow tighten when exposed to risk factors. This study aims to provide an overview of the management of DRPs asthma medication in pediatric patients
This study is an observational descriptive study design with retrospective data in 2013 that is patient medical records includes nursing record, diagnosis and management of medications by use the patient's medical record, and then compared with the medical services standard of Dr. Sardjito hospital and appropriate literature. Cases that met the inclusion criteria as research subjects are 20 cases.
From the research, obtained the percentage of respiratory drug usage pattern is 100% of patients taking anti-asthma and 95% of patients using hormonal drugs that are corticosteroids. The DRPs evaluation found 6 cases related to the management of asthma drug consist of 6 cases of asthma side effects and drug interactions.
1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang
Pharmaceutical care merupakan tanggung jawab seorang apoteker dalam
pelayanan obat terhadap pasien. Praktek pelayanan kefarmasian merupakan
kegiatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan penggunaan obat atau drug-related problems
(DRPs), termasuk hal-hal lain yang berhubungan dengan kesehatan pasien
(Depkes RI, 2004). Praktek ini bertujuan untuk mencapai hasil pengobatan
(outcome therapy) yang diinginkan serta dapat meningkatkan kualitas hidup
pasien (patient’s quality of life).
Asma adalah gangguan peradangan kronis dari saluran udara, yang
menyebabkan hyperresponsive pada bronkus sehingga mudah terhambat dan
aliran udara menyempit apabila terkena faktor resiko (Global Innitiative for
Asthma, 2012). Asma menyebabkan saluran pernafasan menjadi lebih sensitif dan
memberi respon yang sangat berlebihan jika mengalami rangsangan atau
gangguan. Saluran pernafasan tersebut akan bereaksi dengan cara menyempit dan menghalangi udara yang masuk. Penyempitan atau hambatan ini bisa
mengakibatkan salah satu atau gabungan dari berbagai gejala mulai dari batuk,
sesak, nafas pendek, tersengal-sengal, hingga nafas yang berbuyi “ngik-ngik”
(Vitahealth, 2005).
Prevalensi asma di dunia sangat bervariasi dan penelitian epidemiologi
Di Amerika, 14 sampai 15 juta orang mengidap asma, dan kurang lebih 4,5 juta di
antaranya adalah anak-anak. Namun, penyakit asma ini dapat terjadi pada segala
usia. Jika dilihat secara keseluruhan di dunia sekitar 300 juta manusia menderita
asma dan diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 400 juta pada tahun
2025. Satu dari 250 orang yang meninggal adalah penderita asma (Ratnawati,
2011).
Menurut Survei Kesehatan Nasional tahun 2001 (cit., Ikawati, 2007),
penyakit saluran napas merupakan penyakit yang menyebabkan kematian
terbanyak kedua di Indonesia. Prevalensi asma di Indonesia belum diketahui
secara pasti, namun hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan
menggunakan kuisioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in
Children) tahun 1995 prevalensi asma masih 2,1%, sedangkan pada tahun 2003
meningkat menjadi 5,2%. Hasil survei ini dilakukan di beberapa kota di Indonesia
(Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan
Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (Sekolah Dasar) usia 6-12
tahun berkisar 3,7%-6,4%, sedangkan pada anak SMP (Sekolah Menengah
Pertama) di Jakarta Pusat sebesar 5,8% tahun 1995, di Jakarta Timur sebesar 8,6%. Berdasarkan gambaran distribusi penyakit asma tersebut, terlihat bahwa
asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu diperhatikan lebih
serius (Depkes RI, 2009).
Meskipun sarana pengobatan asma mudah diakses namun asma masih
sering tidak terdiagnosis dan tidak diobati secara tepat. Hal ini berpotensi
pasien. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penting dilakukan penelitian
yang mengidentifikasi DRPs pada pengobatan yang diterima penderita asma.
Identifikasi DRPs meliputi: tidak perlu obat (unnecessary drug therapy), perlu
obat (need for additional drug therapy), obat salah (wrong drug), dosis kurang (dosage too low), efek samping obat dan interaksi obat (adverse drug reaction)
dan dosis berlebih (dosage too high).
1. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut ini.
a) Seperti apa karateristik pasien asma pediatri yang menjalani rawat inap di
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013?
b) Seperti apa pola penggunaan obat pada pasien yang menderita asma di
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?
c) Seperti apa Drug Related Problem (DRPs) pada pengobatan pasien asma
tersebut, yang meliputi:
1) Tidak perlu obat (Unnecessary drug therapy)? 2) Perlu obat (Need for additional drug therapy)?
3) Obat salah (Wrong drug)?
4) Dosis kurang (Dosage too low)?
5) Efek samping obat dan interaksi obat (Adverse drug reaction)?
d) Seperti apa outcome therapy pasien asma yang dirawat di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta?
2. Keaslian penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran pustaka yang dilakukan penulis, penelitian
serupa sudah pernah dilakukan yaitu :
a. Penelitian dengan judul “Pola Pengobatan Penyakit Asma Bronkial untuk Pasien Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari Selama
Tahun 1998”. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
persentase kasus asma bronkial sebesar 93,65%; asma bronkial dengan
komplikasi sebesar 6,34%; balita (0-5 tahun) sebesar 3,38%, anak-anak
(5-12 tahun) sebesar 5,08%, dewasa (12-65 tahun) sebesar 77,96%, dan
lansia (>65 tahun) sebesar 13,55%. Variasi jumlah obat yang diberikan
berkisar 4-10 jenis, dengan rata-rata jumlah obat sebesar 6 jenis.
Golongan obat yang digunakan pada kasus asma bronkial yaitu
antibiotika sebesar 86,44%, obat batuk sebesar 66,10%,
analgesik-antipiretik sebesar 44,06%, rehidrasi sebesar 100%, kortikosteroid
sebesar 77,96%, xantin sebesar 94,91%, vitamin sebesar 11,86%, antialergi sebesar 8,47% dan golongan obat lain sebesar 6,775. Cara
pemberian obat oral 100% dan parenteral 100%. Rata-rata lama
perawatan yang dibutuhkan yaitu 3 hari (Anitawati, 2001).
b. Penelitian dengan judul “Pola Pengobatan Penyakit Asma Bronkial Pada
Pasien Anak Rawat Inap Di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
pada tahun 1999 ditemukan 8 kasus asma bronkial, tahun 2000
ditemukan 17 kasus asma bronkial, tahun 2001 ditemukan 6 kasus asma
bronkial. Variasi jumlah obat yang diberikan 4-8 obat. Dari keseluruhan
kasus selama 3 tahun yaitu 1999-2001 golongan obat yang diberikan
adalah bronkodilator (simpatomimetik 74,2% dan xantin 64,5%),
kortikosteroid 58,1%, antibiotic 87,1%, antialergi 38,7%, obat batuk 58,1%, analgetik antipiretik 25,8%, rehidrasi 51,6%. Cara pemberian
obat pada periode 1999-2001 secara oral 91,9%, parenteral 13,0% dan
inhalasi 5,1% (Yusriana, 2002).
c. Penelitian dengan judul “Kajian Profil Persepan Pasien Asma Bronkial
Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali Tahun
2005”. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada tahun
2005 terdapat 18 kasus asma bronkial. Distribusi umur pasien dibagi
menjadi 4 kelompok umur yaitu balita (0-5tahun) sebesar 33,3%,
anak-anak (5<n≤12 tahun) sebesar 5,6%, dewasa (12<n≤65 tahun) sebesar
38,9% dan lanjut usia (di atas 65 tahun) sebesar 22,2%. Pasien dengan
jenis kelamin laki-laki sebesar 66,7% dan perempuan sebesar 33,3%. Variasi obat yang diberikan 4-10 macam obat. Golongan obat yang
diberikan untuk terapi antara lain bronkodilator 22,7%, mukolitik 12,8%,
kortikosteroid 13,5%, pengganti cairan tubuh 11,5%, anti-mikroba
14,9%, hipoksemia 8,8%, histamin 6,8%, analgesik 4,1%,
anti-diabetik 0,7%, anti-epilepsi 0,7%, anti-hipertensi 0,7%, anti-angina 0,7%,
digunakan antara lain secara oral 55,4%, parenteral 25% dan inhalasi
19,6% (Wibowo, 2007).
d. Penelitian dengan judul “Evaluasi Drug Related Problem (DRPs) Pada
Pasien Asma Bronkial Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini
Yogyakarta bulan Januari-Desember 2009”. Dari penelitian tersebut
membahas karateristik pasien asma bronkial, pola pengobatan dan enam aspek DRPs yang meliputi; tidak perlu obat (unnecessary drug therapy),
perlu obat (need for additional drug therapy), obat salah (wrong drug),
pasien mendapat dosis kurang (dosage too low), efek samping obat
(adverse drug reaction), pasien mendapat dosis berlebih (dosage too
high). Terdapat 32 kasus dengan persentase umur terbesar pada umur
12<n≤65 tahun yaitu 60%, pada jenis kelamin perempuan sebesar
68,75%. Pola pengobatan asma bronkial terdapat 9 kelas terapi dengan
penggunaan obat terbanyak yaitu obat sistem pernapasan sebesar 100%
diikuti gizi dan darah sebesar 96,9%. Hasil evaluasi menunjukkan
kejadian DRPs adverse drug reaction (ADR) dan interaksi obat sebesar
31,25% (Handayani, 2010).
e. Penelitian yang akan dilakukan ini mengenai Evaluasi Drug Related
Problems (DRPs) Pada Pasien Asma Pediatri Rawat Inap (Studi Kasus
Di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013), penelitian ini akan
membahas 6 aspek DRPs yang meliputi; tidak perlu obat (unnecessary
drug therapy), perlu obat (need for additional drug therapy), obat salah
drug reaction), dosis berlebih (dosage too high), serta outcome therapy
setelah menjalani pengobatan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Subjek
penelitian yang akan diambil adalah pasien asma pediatri (rentang umur
1-18 tahun, sesuai dengan standar di RSUP Dr. Sardjito), semua kasus
asma diambil berdasarkan diagnosis asma baik non-kompilkasi dan
komplikasi.
3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber
informasi tentang Drug Related Problems (DRPs) pada pengobatan asma
dan menambah referensi pengetahuan kesehatan mengenai asma.
b. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pelayanan
pengobatan pada pasien asma pediatri di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
Memberikan gambaran mengenai karateristik dan pola pengobatan
pada pasien asma pediatri yang mengalami DRPs terkait penggunaan obat
asma di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2013.
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi karateristik pasien asma pada pasien rawat inap di RSUP
b. Mengindentifikasi pola penggunaan obat pada pasien dalam pengobatan
asma.
c. Mengidentifikasi Drug Related Problem (DRPs) pada pasien asma di RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta
d. Mengidentifikasi outcome pasien asma yang dirawat di RSUP Dr. Sardjito
9 BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA A. Asma
1. Definisi
Asma adalah gangguan peradangan kronis dari saluran udara, yang
menyebabkan hyperresponsive bronkus sehingga mudah terhambat dan aliran udara menyempit apabila terkena faktor resiko (GINA, 2012). Berdasarkan faktor
pemicunya asma bronkial dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Asma alergik (extrinsic) di sebabkan oleh alergen (misalnya: serbuk sari,
binatang, makanan dan jamur)
b. Asma idiosinkratik (intrinsic) tidak berhubungan dengan alergen spesifik.
Faktor-faktornya seperti common cold, infeksi traktus respiratorius, emosi
dan polutan lingkungan (Brunner dan Suddarth, 2002).
2. Epidemiologi
Menurut Survei Kesehatan Nasional tahun 2001 (cit., Ikawati, 2007),
penyakit saluran napas merupakan penyakit yang menyebabkan kematian
terbanyak kedua di Indonesia (Ikawati, 2007). Prevalensi asma di Indonesia belum
diketahui secara pasti, namun hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun
dengan menggunakan kuisioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 prevalensi asma masih 2,1%, sedangkan pada
tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survei ini dilakukan di beberapa kota
di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta,
Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (Sekolah
Dasar) usia 6-12 tahun berkisar 3,7%-6,4%, sedangkan pada anak SMP (Sekolah
Menengah Pertama) di Jakarta Pusat sebesar 5,8% tahun 1995, di Jakarta Timur
sebesar 8,6%. Berdasarkan gambaran distribusi penyakit asma tersebut, terlihat
bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu diperhatikan
lebih serius (Depkes RI, 2009).
3. Etiologi
Asma biasanya sering terjadi pada anak-anak yang sangat erat kaitannya
dengan adanya alergi. Kelompok dengan resiko terbesar terhadap perkembangan
asma adalah anak-anak yang mengidap alergi dan memiliki keluarga dengan
riwayat asma. Banyak faktor yang dapat meningkatkan keparahan asma seperti
sensitivitas terhadap aspirin, pemaparan terhadap sulfit atau obat golongan beta
bloker, influenza, faktor mekanik dan faktor psikis seperti stress (Ikawati, 2007).
4. Manifestasi klinik
Penanda utama untuk mendiagnosis adanya asma adalah sebagai berikut:
a. Mengi (wheezing) pada saat menghirup nafas, hal tersebut terjadi karena adanya kontraksi otot polos bersama dengan hipersekresi dan retensi
mukus yang menyebabkan pengurangan kaliber saluran nafas dan
turbulensi aliran udara yang berkepanjangan (McPhee, 2007).
b. Riwayat batuk yang memburuk pada malam hari, dada sesak yang terjadi
berulang dan nafas tersengal-sengal, batuk yang terjadi akibat kombinasi
penyempitan saluran nafas, hiperskresi mukus, dan hiperresponsivitas
aferen saraf yang dijumpai pada peradangan saluran nafas (McPhee,
2007).
c. Hambatan pernafasan yang reversibel secara bervariasi selama siang hari.
d. Adanya peningkatan gejala pada saat olahraga, infeksi virus, eksposur
terhadap alergen dan perubahan musim.
e. Terbangun malam-malam dengan gejala seperti di atas (Ikawati, 2007).
5. Faktor resiko
Secara umum faktor resiko asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan
a. Faktor genetik
1) Atopi/alergi
Penderita asma dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga
dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, maka penderita
sangat mudah terkena penyakit asma jika terpejan dengan faktor
pencetus. Berbagai alergen seperti bulu binatang, jamur, tungau, debu merupakan pemicu utama terjadinya asma akut pada anak-anak yang
memiliki alergi. Hampir 80% dari anak-anak memilki alergi (Wolf,
2004).
2) Hipereaktivitas bronkus
Saluran nafas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun
iritan.
3) Jenis kelamin
Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2
kali dibandingkan dengan anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa
perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause
perempuan lebih banyak. 4) Ras/etnik
5) Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor
resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi
saluran nafas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma.
penderita obesitas dengan asma dapat memperbaiki gejala fungsi paru,
morbiditas dan status kesehatan.
b. Faktor lingkungan
1) Alergen dalam rumah, seperti tungau debu rumah, jamur spora, kecoa,
serpihan kulit binatang (anjing, kucing, dan lain-lain)
2) Alergen luar rumah, seperti serbuk sari, asap rokok dan polusi udara c. Faktor lain
1) Alergen makanan, contohnya susu, telur, udang, kepiting, ikan laut,
kacang tanah, jeruk, bahan penyedap rasa, dan pewarna makanan
2) Alergen obat-obatan tertentu, contohnya penisilin, sefalosporin, golongan
beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik dan antipiretik
3) Bahan yang mengiritasi, contohnya parfum
4) Ekspresi emosi berlebih
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu
juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping
gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang
mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi,
maka gejala asmanya lebih sulit diobati.
5) Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
6) Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
6. Patofisiologi
Asma erat kaitannya dengan adanya peradangan saluran nafas yang
dimediasi oleh berbagai subtipe sel, sehingga terjadi hyperresponsive pada saluran
udara yang akan membatasi aliran udara. Terjadinya bronkokontriksi pada saluran
nafas diikuti oleh edema saluran nafas dan produksi lendir yang berlebihan
disertai dengan respon yang berlebihan terhadap rangsangan atau bronchus hyperresponsiveness (BHR) dan diikuti dengan airway remodeling (Hill and
Wood, 2009).
Penyakit asma melibatkan interaksi yang kompleks antara sel-sel
inflamasi, mediator inflamasi dan jaringan pada saluran nafas. Sel-sel inflamasi
utama yang berperan antara lain sel mast, limfosit dan eosinofil, sedangkan
mediator inflamasi utama yang terlibat yaitu histamine, leukotrien, faktor
kemotaktik eosinofil dan beberapa faktor sitokin yaitu interleukin(IL)-4, IL-5, dan
IL-13 (Ikawati, 2007).
Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf
otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi
alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah
antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma
alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial
paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang
menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat.
Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan
menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.
Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal
pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi
saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera
yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi
langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam
pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai
beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma
(Rengganis, 2008).
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan juga epitel saluran napas.
Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi
yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas
lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga
meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang
dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel
mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2.
Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen
vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik
senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP).
Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi
Gambar 3. Patofisiologi asma (Kelly and Sorkness, 2008)
7. Diagnosis
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa
batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan
cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti
kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnosis (Mangunnegoro,
2004).
a. Faal Paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala (dispnea
dan mengi) dan persepsi mengenai asmanya, sehingga dibutuhkan
pemeriksaan objektif yaitu faal paru. Pengukuran faal paru digunakan untuk
paru serta sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan napas
(Mangunnegoro, 2004).
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang
telah diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah
pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE) (Mangunnegoro,
2004).
1) Spirometri
Spirometri berfungsi untuk mengukur volume ekspirasi paksa
detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP). Untuk
mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
di periksa. Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP <
75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi. Selain itu juga dapat memeriksa
reversibilitas ditandai dengan perbaikan VEP1≥15% secara spontan, atau
setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibilitas ini dapat membantu diagnosis
asma dan menilai derajat berat asma (Depkes RI, 2007).
2) Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau
pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter)
Nilai APE dapat memeriksa reversibiliti yang ditandai dengan
bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah terapi
kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu). Variabilitas APE ini tergantung
pada siklus diurnal (pagi dan malam yang berbeda nilainya) dan nilai
normal variabilitas ini adalah <20% (Depkes RI, 2007).
b. Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya
dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus
mempunyai sensitivitas yang tinggi tetapi tingkat spesifiknya rendah,
artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi
hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif
dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan
dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis
kistik (Mangunnegoro, 2004).
c. Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui
pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu
mengidentifikasi faktor risiko/pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol
lingkungan dalam penatalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi,
umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara
maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang
relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran
IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara
lain dermatitis/kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain).
Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/
atopi (Mangunnegoro, 2004).
8. Klasifikasi
Tabel I. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit (Depkes RI, 2009)
Derajat asma Gejala Fungsi paru
I.Intermiten Siang hari ≤ 2 kali per minggu Malam hari ≤ 2 kali per bulan Serangan singkat
Tidak ada gejala antar serangan Intensitas serangan bervariasi
Variabilitas APE < 20% VEP1 ≥80% nilai prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik
II. Persisten Ringan Siang hari > 2 kali per minggu, tetapi < 1 kali per hari
Malam hari > 2 kali per bulan Serangan dapat mempengaruhi aktifitas
Variabilitas APE 20-30% VEP1 ≥80% nilai prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik
III.Persisten Sedang
Siang hari ada gejala
Malam hari > 1 kali per minggu Serangan mempengaruhi aktifitas Serangan ≥ 2 kali per minggu Serangan berlangsung berhari-hari Sehari-hari menggunakan inhalasi β2-agonis short acting
Variabilitas APE > 30% VEP1 60-80% nilai prediksi
APE 60-80% nilai terbaik
IV. Persisten Berat Siang hari terus menerus ada gejala
Setiap malam hari sering timbul gejala
Aktifitas fisik terbatas Sering timbul serangan
Variabilitas APE > 30% VEP1 < 60% nilai prediksi APE ≤ 60% nilai terbaik
APE = arus puncak ekspirasi
9. Penatalaksanaan Terapi a. Terapi non-farmakologi
Terapi non-farmakologi meliputi 2 komponen utama, yaitu edukasi
pada pasien atau yang merawat mengenai beebagai hal tentang asma, dan
kontrol terhadap faktor-faktor pemicu serangan asma. Untuk memastikan
alergen pemicu serangan asma pada pasien maka direkomendasikan untuk mengetahui riwayat kesehatan pasien serta uji kulit (skin test). Pasien juga
diberikan edukasi mengenai pathogenesis asma, bagaimana mengenal
pemicu asmanya, mengenal tanda dan gejala asma, cara penggunaan obat
yang tepat (Ikawati, 2007).
b. Terapi farmakologi
Terapi farmakologi merupakan salah satu bagian dari penanganan
asma yang bertujuan mengurangi dampak penyakit dan mempertahankan
kualitas hidup, yang dikenal dengan tujuan pengelolaan asma. Pemahaman
bahwa asma bukan hanya suatu penyakit episodik tetapi asma adalah suatu
penyakit kronik menyebabkan pergeseran penanganan dari pengobatan
hanya untuk serangan akut menjadi pengobatan jangka panjang dengan tujuan mencegah serangan, mengontrol atau mengubah perjalanan penyakit
(Mangunnegoro, 2004). Berdasarkan Global Innitiative for Asthma (2012),
Tabel II. Tatalaksana Pengobatan Asma
*ICS = inhalasi glukokortikosteroid
**= Antagonis reseptor atau inhibitor sintesis
***= Pengobatan yang direkomendasikan (kolom berwarna)
Berdasarkan penggunaannya, obat asma terbagi menjadi 2
golongan yaitu pengobatan jangka panjang (long-term medication) untuk
mengontrol gejala asma, dan pengobatan cepat (quick-relief medication)
untuk mengatasi serangan asma akut. Beberapa obat yang digunakan untuk
pengobatan dalam jangka panjang antara lain inhalasi steroid, β2 agonis aksi
panjang (LABA), sodium kromoglikat atau kromolin, nedokromil, modifier
leukotrin dan golongan metil ksantin. Sedangkan untuk pengobatan cepat,
obat yang sering digunakan adalah suatu bronkodilator (β2 agonis aksi cepat
Obat-obat asma dapat dijumpai dalam bentuk oral, larutan nebulizer, dan
metered-dose inhaler (MDI) (Matfin dan Porth, 2009).
1) Agonis β2
Merupakan bronkodilator yang paling efektif. Stimulasi reseptor
β2-adenergik mengaktivasi adenil siklase, yang menghasilkan
peningkatan AMP siklik intraseluler. Hal ini menyebabkan relaksasi otot polos, stabilisasi membrane sel mast, dan stimulasi otot skelet. Albuterol
dan inhalasi agonis β2 selektif aksi pendek lain diindikasikan untuk
penaganan episode bronkospasmus irregular dan merupakan pilihan
pertama dalam penanganan asma akut. Karena agonis β2 inhaler aksi
pendek maka tidak meningkatkan kontrol pada gejala jangka panjang,
pemakaiannya dapat digunakan sebagai ukuran kontrol asma (Sukandar,
Andrajati, Sigit, Adnyana, Setiadi dan Kusnandar, 2008).
Agonis β2 ini dibagi menjadi 2, yaitu :
a) Short-acting beta2-agonists (SABAs)
Obat-obat yang termasuk kelas ini meliputi albuterol
(proventil, ventolin), levalbuterol, (R)-enantiomer albuterol (xopenex), metaproterenol (alupent), terbutalin (brethaire) dan
pirbuterol (maxair). Obat-obat ini digunakan untuk pengobatan
inhalasi akut pada bronkospasme. Terbutalin (brethine, bricanyl),
albuterol, dan meraproterenol juga tersedia dalam bentuk sediaan oral.
menyebabkan bronkodilatasi selama 2-6 jam (Bruton, Parker,
Blumenthal and Buxton, 2008).
b) Long-acting beta2-agonists (LABAs)
Salmeterol xinafoat (severent) dan formoterol (foradil) adalah
senyawa adrenergik kerja panjang dan selektivitasnya sangat tinggi
terhadap subtipe reseptor β2, bronkodiltasi berlangsung lebih dari 12 jam. Mekanisme yang mendasari perpanjangan durasi kerja salmeterol
berhubungan dengan sifat lipofiliknya yang tinggi. Setelah terikat
dengan reseptor, agonis kerja pendek yang bersifat kurang lipofilik
akan berpindah secara cepat dari lingkungan reseptor melalui difusi
dalam fase cair, sedangkan salmeterol tetap berada dalam membrane
dan hanya terurai secara lambat dari lingkungan reseptornya (Bruton
et al., 2008).
2) Kortikosteroid
Obat-obat kortikosteroid ini dapat menurunkan jumlah dan
aktivitas sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme
bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung (Depkes RI, 2007).
Kortikosteroid sistemik diindikasikan untuk pasien dengan asma
akut yang tidak berespon dengan terapi awal menggunakan β2-agonis.
kerja dan efek yang sama dengan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat
menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel yang terinflamasi dan
meningkatkan efek obat beta adrenergik dengan memproduksi AMP
siklik, inhibisi mekanisme bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos
secara langsung. Contoh obatnya: deksametason, metilprednisolon,
prednisolon (Kelly and Sorkness, 2008).
Kortikosteroid Inhalasi (ICS) hingga saat ini masih merupakan
obat yang paling efektif untuk penatalaksanaan asma dan diindikasikan
untuk pencegahan jangka panjang dan pengontrolan gejala asma. Steroid
Inhalasi sangat lipofilik dan masuk secara cepat ke sel target di saluran
nafas dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid di sitosol (Ikawati,
2007).
Keuntungan kortikosteroid inhalasi dibandingkan dengan yang
oral adalah efek lokalnya langsung tanpa diserap kedalam darah. Dengan
demikian, tidak menimbulkan efek samping sistemis yang serius seperti;
osteoporosis, tukak, pendarahan dilambung, gipertensi dan diabetes (Tjay
dan Rahardja, 2007).
3) Antikolinergik (Ipratropium bromida)
Ipratropium bromida adalah suatu senyawa amina kuertener
yang sulit diabsorpsi sehingga tidak banyak memberikan efek sistemik.
Ipratropium bromida merupakan bronkodilator antikolinergik yang dapat
yang disebabkan oleh iritan dengan mengikat asetilkolin pada reseptor
muskarinik di otot polos bronkus (Marcdante, Kliegman, Jenson,
Behrman, 2011). Penggunaan antikolinergik inhalasi seperti ipratropium
bromida umumnya menghasilkan perbaikan pada fungsi paru 10-15%
dibandingkan dengan jika menggunakan β agonis saja (Ikawati, 2007).
Mekanisme kerjanya yaitu memblok efek pelepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan nafas dan menghambat reflek bronkokontriksi yang
disebabkan oleh iritan (Mangunnegoro, 2004).
4) Metilxantin
Mekanisme kerja dari metilxantin (teofilin, garamnya yang
mudah larut dan turunannya) akan merelaksasi secara langsung otot polos
bronki dan pembuluh darah pulmonal, merangsang sistem saraf pusat,
menginduksi diuresis, meningkatkan sekresi asam lambung (Depkes RI,
2007).
Teofilin merupakan metilxantin yang utama, menghasilkan
bronkodilatasi dengan menginhibisi fosfodiesterase yang juga dapat menghasilkan antiinflamasi melalui inhibisi pelepasan mediator sel mast,
penurunan pelepasan protein dasar eosinofil, penurunan poliferasi
limfosit T, penurunan pelepasan sitokin sel T dan penurunan eksudasi
plasma. Teofilin juga menginhibisi permeabilitas vaskuler, meningkatkan
klirens mukosiliar, dan memperkuat kontraksi diafragma. Metilxantin
(p.o atau i.v). Rentang steady state 5-15 mcg/mL efektif dan aman untuk
kebanyakan pasien (Kelly and Sorkness, 2008).
5) Obat anti alergi (Kromolin Natrium dan Nedokromil Natrium) Kromolin Natrium dan Nedokromil Natrium mempunyai efek
menguntungkan yang merupakan hasil dari stabilisasi membrane sel mast, mengihinbisi respon terhadap paparan alergen dan bronkospasme
yang diinduksi tetapi tidak menyebakan bronkodilatasi. Kromolin
Natrium dan Nedokromil Natrium diindikasikan untuk profilaksis asma
persisten ringan pada anak dan dewasa tanpa melihat etiologinya.
Kromolin merupakan obat pilihan kedua untuk pencegahan
bronkospasme yang diinduksi latihan fisik dan dapat digunakan bersama
agonis β2 dalam kasus yang lebih parah namun tidak berespon pada tiap
zat masing-masing. Kromolin Natrium dan Nedokromil Natrium hanya
efektif jika dihirup dan tersedia sebagai obat inhalasi dosis terukur.
Pasien pada awalnya menerima Kromolin Natrium atau Nedokromil
Natrium 4x sehari, setelah stabilisasi gejala frekuensi dapat diturunkan hingga 2x sehari untuk nedokromil dan 3x sehari untuk kromolin (Kelly
and Sorkness, 2008).
6) Modifikator Leukotrein
Zafirlukas dan montelukas merupakan antagonis reseptor
permeabilitas mikrovaskular dan edema jalur udara) dan efek
bronkokonstriksi leukotrien D4 (Sukandar dkk., 2008).
7) Omalizumab (Anti IgE)
Omalizumab merupakan antibodi monoklanal manusia
rekombinan dari subkelas IgG1k, yang di targetkan untuk melawan IgE. IgE yang terikat dengan omalizumab tidak dapat berikatan dengan
reseptor pada sel mast dan basofil, sehingga mencegah reaksi alergi pada
tahap proses yang sangat awal (Bruton et al.,2008).
Obat ini hanya diindikasikan untuk pasien atopik bergantung
kortikosteroid yang memerlukan kortikosteroid dosis tinggi dengan
berlanjutnya gejala dan kadar IgE tinggi (Kelly and Sorkness, 2008).
B. Drug Related Problems (DRPs)
Drug Related Problems (DRPs) adalah suatu kejadian atau efek yang
tidak diharapkan oleh pasien dalam proses terapi dengan obat dan secara aktual
atau potensial terjadi bersamaan dengan outcome yang diharapkan (Cipolle, Strand and Morley, 2004).
Kategori pemasalahan dalam Drug Related Problems (DRPs) menurut
1. Tidak perlu obat (unnecessary drug therapy)
Pasien akan mengalami komplikasi akibat mendapat obat yang tidak
diperlukan, pasien diberikan obat yang tidak sesuai dengan indikasi, pasien
melakukan terapi obat yang berlebih dari yang dianjurkan, pasien mendapatkan
pemberian obat kombinasi yang seharusnya cukup dengan satu obat saja dan
pasien meminum obat untuk mencegah efek samping obat lain yang dapat dihindarkan.
2. Perlu obat (need for additional drug therapy)
Pasien dalam kondisi kronik sehingga membutuhkan terapi obat
lanjutan, pasien dalam kondisi pengobatan baru maka membutuhkan terapi
obat yang sesuai pada saat itu, pasien membutuhkan obat untuk mencegah
terjadinya resiko efek samping dan pasien dalam kondisi membutuhkan
kombinasi farmakoterapi untuk mencapai efek yang diharapkan.
3. Obat salah (wrong drug)
Obat yang diberikan kepada pasien tidak efektif dengan indikasi pengobatan, obat tersebut mempunyai kontraindikasi dengan obat lain yang
4. Dosis kurang (dosage too low)
Dosis terapi yang diberikan kepada pasien terlalu rendah untuk
mencapai efek terapetik dan durasi pemberian obat terlalu pendek untuk
menghasilkan respon yang diinginkan.
5. Efek samping obat dan interaksi obat (adverse drug reaction)
Obat yang diberikan menimbulkan efek yang tidak diharapkan, obat
yang diberikan menimbulkan reaksi alergi, hasil laboratorium pasien berubah
akibat penggunaan obat dan adanya interaksi dengan obat lain.
6. Dosis berlebih (dosage too high)
Dosis terapi yang diberikan kepada pasien terlalu tinggi untuk
mencapai efek terapetik, frekuensi pemberian obat yang terlalu pendek, dan
konsentrasi obat dalam serum diatas jarak terpeutik yang diinginkan.
7. Ketidaktaatan pasien (noncompliance)
Pasien lupa meminum obat, pasien tidak menerima regimen obat yang tepat, terjadinya medication error (peresepan, penyerahan obat dan monitoring
pasien), pasien tidak menggunakan obat karena ketidakpercayaan dengan
produk obat yang telah dianjurkan, pasien tidak menggunakan obat karena
pasien tidak mengetahui cara pemakaian obat tersebut, pasien membeli obat
C. Keterangan Empiris
Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran tentang Drug Related Problems (DRPs) pada pengobatan pasien asma, meliputi: tidak perlu obat
(unnecessary drug therapy), perlu obat (need for additional drug therapy), obat
salah (wrong drug), pasien mendapat dosis kurang (dosage too low), efek samping
32 BAB III
METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan non eksperimental atau observasional
deskriptif. Disebut non ekpserimental atau observasional karena tidak adanya
perlakuan terhadap subyek penelitian (Kontour, 2003). Disebut deskriptif karena tidak adanya kontrol yang digunakan dalam penelitian dan penelitian ini bertujuan
untuk memberikan gambaran mengenai masalah kesehatan (Budiarto, 2002).
Rancangan penelitian ini adalah cross-sectional, yang berarti proses pengambilan
data dillakukan dalam satu kali waktu. Data yang digunakan bersifat retrospektif
karena peneliti menggunakan data pada masa lalu yang diambil dari lembar rekam
medis (Lapau, 2012).
Penelitian ini menggunakan data secara retrospektif dengan melihat
lembar rekam medis pasien asma pediatri di instalasi inap RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta.
B. Variabel dan Definisi Operasional
1. Pola penggunaan obat pada pasien asma, meliputi: kelas terapi, golongan
obat, banyaknya kasus yang menggunakan obat tersebut.
a) Kelas terapi adalah kelompok obat berdasarkan fungsinya.
b) Golongan obat adalah kelompok obat yang memiliki mekanisme yang
c) Banyaknya kasus yang menggunakan obat tersebut adalah jumlah kasus
yang mendapat terapi pengobatan pada obat tertentu.
2. Penggolongan obat didasarkan pada Standar Pelayanan Medis di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta.
3. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) yang akan dibahas pada penelitian
ini adalah mengenai obat-obat untuk asma, yang meliputi; tidak perlu obat (unnecessary drug therapy), perlu obat (need for additional drug therapy),
obat salah (wrong drug), dosis kurang (dosage too low), efek samping obat
dan interaksi obat (adverse drug reaction) dan dosis berlebih (dosage too
high).
a) Tidak perlu obat (unnecessary drug therapy) adalah pasien mendapatkan
obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit yang di derita.
b) Perlu obat (need for additional drug therapy) adalah pasien yang
membutuhkan terapi kombinasi atau penambahan obat agar mencapai efek
terapetik yang diinginkan.
c) Obat salah (wrong drug) adalah pasien menerima obat yang tidak efektif
untuk indikasi pengobatan sehingga dapat menyebabkan komplikasi. d) Dosis kurang (dosage too low) adalah pasien mendapat dosis yang terlalu
rendah untuk mencapai respon pasien sehingga pemberian obat menjadi
kurang efektif.
e) Efek samping obat dan interaksi obat (adverse drug reaction) adalah
pada kulit, gatal-gatal, dan lain-lain serta adanya interaksi dengan obat lain
yang diberikan.
f) Dosis berlebih (dosage too high) adalah pasien mendapat dosis yang
terlalu tinggi sehingga dapat menyebabkan over dosis.
4. Data outcome therapy akan didapatkan berdasarkan pernyataan dokter yang
dinyatakan secara tertulis di lembar rekam medis (RM).
5. Pediatri merupakan pasien dengan usia 1-18 tahun (sesuai dengan standar di
RSUP Dr. Sardjito).
6. Lembar rekam medis merupakan lembar catatan medis dari pasien yang berisi
nomor rekam medis, umur, jenis kelamin, diagnosis masuk, diagnosis keluar,
diagnosis lain, lama perawatan, jenis obat yang digunakan, dosis, frekuensi
pemberian, interval pemberian, dan tes-tes penunjang seperti tes
laboratorium.
7. Data pasien yang diambil adalah data pasien pada tahun 2013.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian yaitu semua pasien asma pediatri rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2013. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah
pasien pediatri dengan diagnosis utama asma yang menjalani rawat inap di RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2013. Kriteria ekslusi yang diberlakukan yaitu
rekam medis yang tidak dapat dikonfirmasi dan tidak lengkap.
Pemilihan subjek penelitian dipilih sesuai dengan kriteria inklusi yang
Yogyakarta tahun 2013 yang meliputi 21 kasus diantaranya termasuk dalam
kriteria eksklusi karena data berupa rekam medis tidak ditemukan dan 25 kasus
termasuk dalam kriteria inklusi. Selanjutnya dari 25 kasus tersebut terdapat 5
kasus yang dieksklusikan karena rekam medis tidak lengkap sehingga diperoleh
jumlah subjek dalam penelitian ini sebanyak 20 kasus.
Gambar 4. Skema Pemilihan Subjek Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013
Penelitian ini juga melibatkan dokter yang menangani pasien subjek
penelitian yang dilakukan dengan wawancara. Hasil wawancara tersebut
digunakan untuk melengkapi pembahasan pada hasil evaluasi DRPs. Hasil wawancara yang telah dilakukan dapat dilihat pada lampiran 3.
46 populasi kasus asma pediatri
Eksklusi 21 kasus (RM tidak ditemukan)
Inklusi 25 kasus
Subjek penelitian 20 kasus
D. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah catatan
rekam medis pasien pediatri yang memenuhi kriteria inklusi seperti tersebut di
atas. Rekam medis pasien berisi nomor rekam medis, umur, jenis kelamin, berat
badan, diagnosis utama, diagnosis sekunder, keluhan, lama perawatan, riwayat
penyakit, keadaan pulang, jenis obat yang digunakan, dosis, frekuensi pemberian, interval pemberian, dan tes-tes penunjang seperti tes laboratorium.
E. Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan data dilakukan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang
beralamat di Jl. Kesehatan No. 1, Sekip, Yogyakarta. Proses pengambilan data
rekam medis pasien dilakukan di ruang Instalasi Catatan Medis (ICM). Penelitian
dilakukan pada bulan Januari-April 2014.
F. Tata Cara Penelitian 1. Observasi awal
Observasi awal dilakukan dengan mencari informasi yang terkait dengan topik penelitian ini, yaitu :
a) Informasi tentang rata-rata jumlah kasus asma di instalasi rawat inap RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta. Informasi tersebut digunakan untuk menentukan
lamanya periode pengambilan data untuk penelitian ini yang berkaitan
b) Informasi terkait dengan tata cara perijinan dan tata cara pengambilan data
yang akan digunakan dalam penelitian ini.
2. Analisis situasi
Analisis situasi ini dilakukan dengan cara mencari data rekam medis
pasien pediatri yang terdiagnosis asma baik non-komplikasi dan komplikasi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013.
3. Permohonan ijin
Permohonan ijin penelitian dilakukan dengan mengajukan Ethical
Clereance (lampiran 4) ke Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Permohonan ijin
(lampiran 5) ini dilakukan untuk memenuhi etika penelitian dengan catatan
rekam medis. Permohonan ijin selanjutnya ditujukan kepada Direktur SDM
dan Pendidikan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
4. Pengambilan data
Data diambil dari lembar rekam medis pada analisis situasi dipilih
sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi yang telah ditetapkan.
Diperoleh dari banyaknya populasi dalam penelitian ini adalah 46 kasus.
Kemudian data yang dikumpulkan meliputi indentitas pasien, riwayat
anamnesis data laboratorium, terapi yang diberikan, catatan keperawatan dan
kondisi pasien ketika keluar dari rumah sakit.
5. Pengolahan data dan analisis hasil
Pengolahan data dilakukan secara deskriptif dan evaluatif.
a. Pengolahan data dilakukan secara deskriptif dengan memberikan gambaran mengenai karateristik subjek penelitian, pola penggunaan obat
pada pasien dan outcome therapy pasien setelah mendapatkan terapi.
Rinciannya sebagai berikut:
1) Karateristik pasien
Karateristik pasien dikelompokkan berdasarkan distribusi umur dan
jenis kelamin dalam bentuk persentasi.
2) Pola penggunaan obat pada pasien asma pediatri
Pola penggunaan obat pasien diidentikasi dengan mengelompokkan
obat-obatan yang digunakan selama proses terapi berdasarkan kelas
terapinya, kemudian dihitung nilai presentasenya.
3) Outcome therapy pasien
Data outcome therapy pasien dapat diidentifikasi dengan melihat
status pulang pasien yang tercatat di rekam medis, data tersebut
dikelompokkan menjadi 3, yaitu sembuh, membaik (rawat jalan) dan
APS (Pulang Paksa) dalam bentuk persentasi.
b. Pengolahan data dilakukan secara evaluatif dengan cara mengevaluasi
2013. Drug Related Problems (DRPs) yang akan dievaluasi meliputi; tidak
perlu obat (unnecessary drug therapy), perlu obat (need for additional drug therapy), obat salah (wrong drug), pasien mendapat dosis kurang
(dosage too low), efek samping obat dan interaksi obat (adverse drug
reaction) dan pasien mendapat dosis berlebih (dosage too high).
Kepatuhan pasien tidak diamati dalam penelitian ini karena penelitian ini bersifat retrospektif.
Dokumentasi data dengan menggunakan sarana SOAP (Subjective,
Objective, Assesment, Plan/Recommendation) kemudian dibandingkan
dengan standar pelayanan medis di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan
pustaka yang sesuai, seperti DIH (Drug Information Handbook),
Medscape Drug Interaction Checker serta penunjang lainnya seperti
Stockley’s Drug Interaction, 8thed. tahun 2008, dan jurnal terkait.
Kemudian menghitung jumlah kasus yang terjadi DRPs dan
dikelompokkan berdasarkan jenis DRPs
c. Wawancara dengan dokter yang bersangkutan dimaksudkan untuk
melengkapi pembahasan mengenai hasil evaluasi Drug Related Problems (DRPs). Hasil tersebut didapat melalui panduan pertanyaan yang
didapatkan setelah mengevaluasi data rekam medis yang telah dianalisis
6. Kerahasian data pasien
Seluruh data pasien yang akan di ambil oleh peneliti yang berupa
rekam medis akan digunakan sebagai bahan penelitian, mengenai hal tersebut
seluruh data pasien akan dijaga kerahasiaanya sesuai dengan etika dan
peraturan yang berlaku.
G. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan data retrospektif memiliki beberapa
kelemahan bila dibandingkan dengan data prospektif. Apabila menggunakan data
yang bersifat prospektif maka pada proses penelitian dapat mengamati lebih lanjut
mengenai perkembangan kondisi pasien yang sebenarnya berkaitan dengan
analisis Drug Related Problems (DRPs) seperti kepatuhan pasien terhadap
regimen terapi dan mempermudah dalam proses evaluasi. Oleh sebab itu,
penelitian ini hanya mencakup 6 aspek DRPs karena aspek kepatuhan tidak dapat
dilakukan. Penelitian ini tidak mengevaluasi DRPs dari keseluruhan penggunaan
obat yang diberikan kepada pasien sebab evaluasi difokuskan pada obat asma
disesuaikan dengan kondisi pasien jadi evaluasi tidak melihat keseluruhan peresepan obat yang diberikan pada pasien. Keterbatasan data retropektif lainnya
Keterbatasan lainnya yaitu kesulitan dalam membaca rekam medis yang
penulisan catatan keperawatan yang bermacam-macam dan juga rekam medis
yang tidak secara lengkap mencantumkan informasi yang dibutuhkan dalam
penelitian seperti pemeriksaan tanda vital, keluhan pasien dan hasil laboratorium
dikarenakan peneliti mengalami kesulitan dalam mengakses hasil laboratorium
untuk beberapa lembar rekam medis dan data tidak dapat dikonfirmasikan lebih
42 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian yang berjudul “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada
Pasien Asma PediatriRawat Inap (Studi Kasus di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Tahun 2013)” dilakukan dengan cara menelusuri data dari rekam medis pasien
yang terdiagnosis asma baik non-komplikasi maupun komplikasi pada golongan pediatri (1-18 tahun). Berdasarkan data rekam medis pasien diperoleh 20 kasus
sebagai bahan penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dari penelitian ini; antara
lain jenis kelamin, umur, diagnosis utama, diagnosis sekunder, lama perawatan,
data yang relevan dan penggunaan obat asma.
A. Karateristik Pasien 1. Distribusi pasien berdasarkan umur
Pada distribusi pasien berdasarkan umur ini dibagi menjadi 3 bagian
yaitu 1-4 tahun, 5-11 tahun dan 12-18 tahun (Kelly and Sorkness, 2008). Dari
18 pasien yang diperoleh dapat diketahui bahwa didapatkan persentase terbesar
pada kelompok umur 1-4 tahun yaitu 8 pasien dengan persentase sebesar45%.
Gambar 5. Persentase Distribusi
Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 Berdasarkan Umur
2. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin
Diperoleh jumlah pasien asma pediatri yang berjenis kelamin
perempuan lebih banyak yaitu sebanyak
kelamin laki-laki hanya
Persentase distribusi
diagram di bawah ini.
Gambar 6. Persentase D
Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 Berdasarkan Jenis Kelamin
44%
perempuan 56%
Persentase Distribusi Pasien Asma Pediatri di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 Berdasarkan Umur
berdasarkan jenis kelamin
peroleh jumlah pasien asma pediatri yang berjenis kelamin
n lebih banyak yaitu sebanyak 10 pasien sedangkan yang berjenis
laki hanya 8 pasien dari 18 pasien yang telah dievaluasi.
entase distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat
diagram di bawah ini.
Persentase Distribusi Pasien Asma Pediatri di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 Berdasarkan Jenis Kelamin
45%
44%
11%
1-4 tahun 5-11 tahun 12-18 tahun
laki-laki 44%
perempuan 56%
i RSUP Dr.
peroleh jumlah pasien asma pediatri yang berjenis kelamin
sedangkan yang berjenis
yang telah dievaluasi.
dapat dilihat pada
3. Diagnosis kasus
Pada penelitian ini data rekam medis yang diambil adalah data rekam
medis pasien asma pediatri (1-18 tahun) yang menjalani rawat inap di RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013. Setelah dilakukan evaluasi rekam medik,
maka diperoleh jumlah kasus pasien asma pediatri pada tahun 2013 sebanyak
20 kasus dari 18 pasien. Dari data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa kasus yang terdiagnosis asma komplikasi sebanyak 19 kasus dan kasus yang
terdiagnosis asma non-komplikasi hanya 1 kasus.
Gambar 7. Karateristik Kasus Asma Pediatri Berdasarkan Diagnosisnya
B. Pola Penggunaan Obat
Pola penggunaan obat pada pasien asma pediatri di RSUP Dr. Sardjito
merupakan gambaran terapi pengobatan yang telah diberikan kepada pasien
meliputi banyaknya obat, bentuk sediaan, golongan obat, dosis, frekuensi. Obat-95%
5%