• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien asma pediatri rawat inap : studi kasus di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2013 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien asma pediatri rawat inap : studi kasus di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2013 - USD Repository"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN ASMA PEDIATRI RAWAT INAP (STUDI KASUS DI RSUP Dr. SARDJITO

YOGYAKARTA TAHUN 2013)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Anggun Indah Ciptanti

NIM : 108114099

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN ASMA PEDIATRI RAWAT INAP (STUDI KASUS DI RSUP Dr. SARDJITO

YOGYAKARTA TAHUN 2013)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Anggun Indah Ciptanti

NIM : 108114099

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

iv

(6)
(7)
(8)

vii PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala

berkat, rahmat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan skripsi yang berjudul “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada

Pasien Asma Pediatri Rawat Inap (Studi Kasus di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Tahun 2013)” dengan baik sebagai salah salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Farmasi (S.Farm) program studi Farmasi Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak

langsung baik berupa moral, materiil maupun spiritual. Oleh sebab itu, penulis

mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dosen Pembimbing skripsi atas

perhatian, kesabaran, bimbingan, masukan dan motivasi kepada penulis

dalam proses penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt. selaku Dosen Pembimbing skripsi

atas perhatian, kesabaran, bimbingan, masukan dan motivasi kepada penulis

dalam proses penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Dita Maria Virginia, M.Sc., Apt. sebagai dosen penguji yang telah

memberikan kritik dan saran yang membangun selama proses pembuatan

(9)

viii

5. Ibu Iriati dan Mas Danang, selaku petugas Instalasi Catatan Medik (ICM) di

RSUP Dr. Sardjito yang telah membantu penulis dengan memberi bantuan

dan memberi saran dalam penyusunan skripsi ini.

6. Dokter-dokter di RSUP Dr. Sardjito yang telah membantu selama proses

penelitian.

7. Papa dan mama tercinta atas doa, kasih sayang, semangat, dukungan, dan pengertian serta bantuan finansial hingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan baik.

8. Kakak-kakakku tersayang Teddy Prasetya, Adi Wibowo, Randy Julius yang

telah membimbing penulis serta menjadi inspirasi dan motivasi bagi penulis

dalam menyelesaikan skripsi.

9. Triwibowo Hertanto yang selalu memberikan doa dan sebagai pengingat

yang selalu ada dengan memberikan dukungan dan semangat selama proses

pembuatan skripsi ini.

10. Sahabatku Lilin, Rosi, Chelly, Nita, Henny, Verica terimakasih untuk tawa

dan semangatnya selama pengerjaan skripsi ini.

11. Teman-teman seperjuangan dalam tim Jessi dan Mega untuk semangat, kerjasama, bantuan, dan informasi yang selalu di bagikan dalam proses

penyusunan skripsi ini dari awal hingga akhir.

12. Teman-teman FSM C 2010 dan FKK B 2010, terima kasih atas

kebersamaannya dan pengalaman yang tak terlupakan selama menjalani

(10)

ix

Penulis menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Demikian juga

dengan tugas akhir ini yang belum sempurna dan masih banyak kekurangan. Oleh

karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari

semua pihak agar skripsi ini dapat menjadi lebih baik. Akhir kata, penulis

berharap semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama

demi kemajuan pengetahuan di bidang Farmasi.

Yogyakarta, 11 Agustus 2014

(11)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAANKEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

INTISARI ... xviii

ABSTRACT ... xix

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan Masalah ... 3

2. Keaslian Penelitian ... 4

3. Manfaat Penelitian ... 7

B. Tujuan Penelitian ... 7

(12)

xi

2. Tujuan khusus ... 7

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 9

A. Asma ... 9

1. Definisi ... 9

2. Epidemiologi ... 10

3. Etiologi ... 10

4. Manifestasi klinik ... 11

5. Faktor resiko ... 11

6. Patofisiologi ... 14

7. Diagnosis ... 17

8. Klasifikasi ... 20

9. Penatalaksanaan terapi ... 21

B. Drug Related Problems (DRPs) ... 28

1. Tidak perlu obat (unnecessary drug therapy) ... 29

2. Perlu obat (need for additional drug therapy) ... 29

3. Obat salah (wrong drug) ... 29

4. Dosis kurang (dosage too low) ... 30

5. Efek samping obat dan interaksi obat (adverse drug reaction) ... 30

6. Dosis berlebih (dosage too high) ... 30

7. Ketidaktaatan pasien (noncompliance) ... 30

C. Keterangan Empiris ... 31

BAB III. METODE PENELITIAN ... 32

(13)

xii

B. Variabel dan Definisi Operasional ... 32

C. Subjek Penelitian ... 34

D. Bahan Penelitian ... 36

E. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36

F. Tata Cara Penelitian ... 36

1. Observasi awal ... 36

2. Analisis situasi ... 37

3. Permohonan ijin ... 37

4. Pengambilan data ... 37

5. Pengolahan data dan analisis hasil ... 38

6. Kerahasiaan data pasien ... 40

G. Keterbatasan Penelitian ... 40

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42

A. Karakteristik Pasien ... 42

1. Distribusi pasien berdasarkan umur ... 42

2. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin ... 43

3. Diagnosis kasus ... 44

B. Pola Penggunaan Obat ... 44

1. Obat yang bekerja pada sistem pernafasan ... 46

2. Obat-obat hormonal ... 48

3. Obat anti-infeksi ... 49

4. Pemberian O2 ... 49

(14)

xiii

6. Obat yang bekerja sebagai analgesik ... 50

7. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat ... 51

8. Obat yang mempengaruhi gizi dan darah ... 52

C. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) ... 52

1. Tidak perlu obat (unnecessary drug therapy) ... 53

2. Perlu obat (needs additional drug therapy) ... 54

3. Obat salah (wrong drug) ... 54

4. Dosis kurang (dosage too low) ... 54

5. Efek samping obat (adverse drug reaction) dan interaksi obat ... 54

6. Dosis berlebih (dosage too high) ... 56

D. Outcome Pasien Setelah Mendapat Terapi ... 56

E. Rangkuman Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) ... 57

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 59

A. Kesimpulan ... 59

B. Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 61

LAMPIRAN ... 65

(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Klasifikasi Asma Berdasarkan Berat Penyakit ... 20

Tabel II. Tatalaksana Pengobatan Asma ... 22

Tabel III. Distribusi Kelas Terapi Obat Yang Digunakan Pada Pasien

Asma Pediatri Di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 ... 45

Tabel IV. Pengelompokan Obat yang Bekerja pada Sistem Pernafasan

yang Digunakan sebagai Terapi Pasien Asma Pediatri di

Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013

……… ... 47

Tabel V. Pengelompokan Obat-obat Hormonal yang Digunakan sebagai

Terapi Pasien Asma Pediatri di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 ... 48

Tabel VI. Pengelompokan Obat-obat Anti-infeksi yang Digunakan sebagai

Terapi Pasien Asma Pediatri di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 ... 49 Tabel VII. Pengelompokan Obat-obat Saluran Cerna yang Digunakan

sebagai Terapi Pasien Asma Pediatri di Instalasi Rawat Inap

RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 ... 50

Tabel VIII. Pengelompokan Obat Analgesik yang Digunakan sebagai

Terapi Pasien Asma Pediatri di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.

(16)

xv

Tabel IX. Pengelompokan Obat Sistem Saraf Pusat yang Digunakan

sebagai Terapi Pasien Asma Pediatri di Instalasi Rawat Inap

RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 ... 51

Tabel X. Pengelompokan Obat yang mempengaruhi Gizi dan Darah yang

Digunakan sebagai Terapi Pasien Asma Pediatri di Instalasi

Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 ... 52 Tabel XI. Jenis DRPs Pada Pasien Asma Pediatri Rawat Inap di RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 ... 53

Tabel XII. Hasil Evaluasi DRPs dan Status Keluar Pasien Asma Pediatri

(17)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Definisi Asma ... 9

Gambar 2. Mekanisme Terjadinya Asma ... 14

Gambar 3. Patofisiologi Asma ... 17

Gambar 4. Skema Pemilihan Subjek Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 ... 35

Gambar 5. Persentase Distribusi Pasien Asma Pediatri di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 Berdasarkan Jenis Kelamin ... 43

Gambar 6. Persentase outcome pasien setelah mendapat terapi ... 43

Gambar 7. Karateristik Kasus Asma Pediatri Berdasarkan Diagnosisnya ... 44

(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Nilai rujukan hasil laboratorium pasien asma pediatri di RSUP

Dr. Sardjito Yogyakata Tahun 2013 ... 66

Lampiran 2. Analisis Drug Related Problems pada pasien asma pediatri di Instalasi rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013……… ... 67

Lampiran 3. Hasil wawancara dengan dokter yang bersangkutan ... 118

Lampiran 4. Surat keterangan Ethics Committee Approval ... 119

(19)

xviii INTISARI

Penyakit asma sering terjadi pada anak-anak dan sangat erat kaitannya dengan adanya alergi. Asma merupakan gangguan peradangan kronis dari saluran udara, yang menyebabkan hyperresponsive bronkus sehingga bronkus mudah terhambat dan aliran udara menyempit apabila terkena faktor resiko. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran DRPs mengenai penatalaksanaan obat asma pada pasien pediatri.

Penelitian ini bersifat observasional dengan rancangan penelitian deskriptif dengan data retrospektif pada tahun 2013 yaitu data rekam medis pasien meliputi catatan keperawatan, diagnosis dan penatalaksanaan obat kemudian dibandingkan dengan standar pelayanan medis RSUP Dr. Sardjito dan pustaka yang sesuai. Kasus yang memenuhi kriteria inklusi sebagai subjek penelitian sebesar 20 kasus. Dari hasil penelitian, diperoleh persentase pola penggunaan obat sistem pernafasan yaitu sebanyak 100% pasien menggunakan obat anti asma serta 95% pasien menggunakan obat hormonal yaitu kortikosteroid. Hasil evaluasi DRPs diperoleh 6 kasus DRPs terkait dengan penatalaksanaan obat asma yaitu 6 kasus efek samping obat dan interaksi obat.

(20)

xix ABSTRACT

Asthma is common disease in children and is closely associated with allergies. Asthma is a chronic inflammatory disorder of the airways, which causes bronchial hyperresponsive that makes bronchus easily obstructed and airflow tighten when exposed to risk factors. This study aims to provide an overview of the management of DRPs asthma medication in pediatric patients

This study is an observational descriptive study design with retrospective data in 2013 that is patient medical records includes nursing record, diagnosis and management of medications by use the patient's medical record, and then compared with the medical services standard of Dr. Sardjito hospital and appropriate literature. Cases that met the inclusion criteria as research subjects are 20 cases.

From the research, obtained the percentage of respiratory drug usage pattern is 100% of patients taking anti-asthma and 95% of patients using hormonal drugs that are corticosteroids. The DRPs evaluation found 6 cases related to the management of asthma drug consist of 6 cases of asthma side effects and drug interactions.

(21)

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Pharmaceutical care merupakan tanggung jawab seorang apoteker dalam

pelayanan obat terhadap pasien. Praktek pelayanan kefarmasian merupakan

kegiatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan penggunaan obat atau drug-related problems

(DRPs), termasuk hal-hal lain yang berhubungan dengan kesehatan pasien

(Depkes RI, 2004). Praktek ini bertujuan untuk mencapai hasil pengobatan

(outcome therapy) yang diinginkan serta dapat meningkatkan kualitas hidup

pasien (patient’s quality of life).

Asma adalah gangguan peradangan kronis dari saluran udara, yang

menyebabkan hyperresponsive pada bronkus sehingga mudah terhambat dan

aliran udara menyempit apabila terkena faktor resiko (Global Innitiative for

Asthma, 2012). Asma menyebabkan saluran pernafasan menjadi lebih sensitif dan

memberi respon yang sangat berlebihan jika mengalami rangsangan atau

gangguan. Saluran pernafasan tersebut akan bereaksi dengan cara menyempit dan menghalangi udara yang masuk. Penyempitan atau hambatan ini bisa

mengakibatkan salah satu atau gabungan dari berbagai gejala mulai dari batuk,

sesak, nafas pendek, tersengal-sengal, hingga nafas yang berbuyi “ngik-ngik

(Vitahealth, 2005).

Prevalensi asma di dunia sangat bervariasi dan penelitian epidemiologi

(22)

Di Amerika, 14 sampai 15 juta orang mengidap asma, dan kurang lebih 4,5 juta di

antaranya adalah anak-anak. Namun, penyakit asma ini dapat terjadi pada segala

usia. Jika dilihat secara keseluruhan di dunia sekitar 300 juta manusia menderita

asma dan diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 400 juta pada tahun

2025. Satu dari 250 orang yang meninggal adalah penderita asma (Ratnawati,

2011).

Menurut Survei Kesehatan Nasional tahun 2001 (cit., Ikawati, 2007),

penyakit saluran napas merupakan penyakit yang menyebabkan kematian

terbanyak kedua di Indonesia. Prevalensi asma di Indonesia belum diketahui

secara pasti, namun hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan

menggunakan kuisioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in

Children) tahun 1995 prevalensi asma masih 2,1%, sedangkan pada tahun 2003

meningkat menjadi 5,2%. Hasil survei ini dilakukan di beberapa kota di Indonesia

(Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan

Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (Sekolah Dasar) usia 6-12

tahun berkisar 3,7%-6,4%, sedangkan pada anak SMP (Sekolah Menengah

Pertama) di Jakarta Pusat sebesar 5,8% tahun 1995, di Jakarta Timur sebesar 8,6%. Berdasarkan gambaran distribusi penyakit asma tersebut, terlihat bahwa

asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu diperhatikan lebih

serius (Depkes RI, 2009).

Meskipun sarana pengobatan asma mudah diakses namun asma masih

sering tidak terdiagnosis dan tidak diobati secara tepat. Hal ini berpotensi

(23)

pasien. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penting dilakukan penelitian

yang mengidentifikasi DRPs pada pengobatan yang diterima penderita asma.

Identifikasi DRPs meliputi: tidak perlu obat (unnecessary drug therapy), perlu

obat (need for additional drug therapy), obat salah (wrong drug), dosis kurang (dosage too low), efek samping obat dan interaksi obat (adverse drug reaction)

dan dosis berlebih (dosage too high).

1. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut ini.

a) Seperti apa karateristik pasien asma pediatri yang menjalani rawat inap di

RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013?

b) Seperti apa pola penggunaan obat pada pasien yang menderita asma di

RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?

c) Seperti apa Drug Related Problem (DRPs) pada pengobatan pasien asma

tersebut, yang meliputi:

1) Tidak perlu obat (Unnecessary drug therapy)? 2) Perlu obat (Need for additional drug therapy)?

3) Obat salah (Wrong drug)?

4) Dosis kurang (Dosage too low)?

5) Efek samping obat dan interaksi obat (Adverse drug reaction)?

(24)

d) Seperti apa outcome therapy pasien asma yang dirawat di RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta?

2. Keaslian penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran pustaka yang dilakukan penulis, penelitian

serupa sudah pernah dilakukan yaitu :

a. Penelitian dengan judul “Pola Pengobatan Penyakit Asma Bronkial untuk Pasien Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari Selama

Tahun 1998”. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa

persentase kasus asma bronkial sebesar 93,65%; asma bronkial dengan

komplikasi sebesar 6,34%; balita (0-5 tahun) sebesar 3,38%, anak-anak

(5-12 tahun) sebesar 5,08%, dewasa (12-65 tahun) sebesar 77,96%, dan

lansia (>65 tahun) sebesar 13,55%. Variasi jumlah obat yang diberikan

berkisar 4-10 jenis, dengan rata-rata jumlah obat sebesar 6 jenis.

Golongan obat yang digunakan pada kasus asma bronkial yaitu

antibiotika sebesar 86,44%, obat batuk sebesar 66,10%,

analgesik-antipiretik sebesar 44,06%, rehidrasi sebesar 100%, kortikosteroid

sebesar 77,96%, xantin sebesar 94,91%, vitamin sebesar 11,86%, antialergi sebesar 8,47% dan golongan obat lain sebesar 6,775. Cara

pemberian obat oral 100% dan parenteral 100%. Rata-rata lama

perawatan yang dibutuhkan yaitu 3 hari (Anitawati, 2001).

b. Penelitian dengan judul “Pola Pengobatan Penyakit Asma Bronkial Pada

Pasien Anak Rawat Inap Di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

(25)

pada tahun 1999 ditemukan 8 kasus asma bronkial, tahun 2000

ditemukan 17 kasus asma bronkial, tahun 2001 ditemukan 6 kasus asma

bronkial. Variasi jumlah obat yang diberikan 4-8 obat. Dari keseluruhan

kasus selama 3 tahun yaitu 1999-2001 golongan obat yang diberikan

adalah bronkodilator (simpatomimetik 74,2% dan xantin 64,5%),

kortikosteroid 58,1%, antibiotic 87,1%, antialergi 38,7%, obat batuk 58,1%, analgetik antipiretik 25,8%, rehidrasi 51,6%. Cara pemberian

obat pada periode 1999-2001 secara oral 91,9%, parenteral 13,0% dan

inhalasi 5,1% (Yusriana, 2002).

c. Penelitian dengan judul “Kajian Profil Persepan Pasien Asma Bronkial

Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Bangli-Bali Tahun

2005”. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada tahun

2005 terdapat 18 kasus asma bronkial. Distribusi umur pasien dibagi

menjadi 4 kelompok umur yaitu balita (0-5tahun) sebesar 33,3%,

anak-anak (5<n≤12 tahun) sebesar 5,6%, dewasa (12<n≤65 tahun) sebesar

38,9% dan lanjut usia (di atas 65 tahun) sebesar 22,2%. Pasien dengan

jenis kelamin laki-laki sebesar 66,7% dan perempuan sebesar 33,3%. Variasi obat yang diberikan 4-10 macam obat. Golongan obat yang

diberikan untuk terapi antara lain bronkodilator 22,7%, mukolitik 12,8%,

kortikosteroid 13,5%, pengganti cairan tubuh 11,5%, anti-mikroba

14,9%, hipoksemia 8,8%, histamin 6,8%, analgesik 4,1%,

anti-diabetik 0,7%, anti-epilepsi 0,7%, anti-hipertensi 0,7%, anti-angina 0,7%,

(26)

digunakan antara lain secara oral 55,4%, parenteral 25% dan inhalasi

19,6% (Wibowo, 2007).

d. Penelitian dengan judul “Evaluasi Drug Related Problem (DRPs) Pada

Pasien Asma Bronkial Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini

Yogyakarta bulan Januari-Desember 2009”. Dari penelitian tersebut

membahas karateristik pasien asma bronkial, pola pengobatan dan enam aspek DRPs yang meliputi; tidak perlu obat (unnecessary drug therapy),

perlu obat (need for additional drug therapy), obat salah (wrong drug),

pasien mendapat dosis kurang (dosage too low), efek samping obat

(adverse drug reaction), pasien mendapat dosis berlebih (dosage too

high). Terdapat 32 kasus dengan persentase umur terbesar pada umur

12<n≤65 tahun yaitu 60%, pada jenis kelamin perempuan sebesar

68,75%. Pola pengobatan asma bronkial terdapat 9 kelas terapi dengan

penggunaan obat terbanyak yaitu obat sistem pernapasan sebesar 100%

diikuti gizi dan darah sebesar 96,9%. Hasil evaluasi menunjukkan

kejadian DRPs adverse drug reaction (ADR) dan interaksi obat sebesar

31,25% (Handayani, 2010).

e. Penelitian yang akan dilakukan ini mengenai Evaluasi Drug Related

Problems (DRPs) Pada Pasien Asma Pediatri Rawat Inap (Studi Kasus

Di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013), penelitian ini akan

membahas 6 aspek DRPs yang meliputi; tidak perlu obat (unnecessary

drug therapy), perlu obat (need for additional drug therapy), obat salah

(27)

drug reaction), dosis berlebih (dosage too high), serta outcome therapy

setelah menjalani pengobatan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Subjek

penelitian yang akan diambil adalah pasien asma pediatri (rentang umur

1-18 tahun, sesuai dengan standar di RSUP Dr. Sardjito), semua kasus

asma diambil berdasarkan diagnosis asma baik non-kompilkasi dan

komplikasi.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber

informasi tentang Drug Related Problems (DRPs) pada pengobatan asma

dan menambah referensi pengetahuan kesehatan mengenai asma.

b. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pelayanan

pengobatan pada pasien asma pediatri di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Memberikan gambaran mengenai karateristik dan pola pengobatan

pada pasien asma pediatri yang mengalami DRPs terkait penggunaan obat

asma di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2013.

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi karateristik pasien asma pada pasien rawat inap di RSUP

(28)

b. Mengindentifikasi pola penggunaan obat pada pasien dalam pengobatan

asma.

c. Mengidentifikasi Drug Related Problem (DRPs) pada pasien asma di RSUP

Dr. Sardjito Yogyakarta

d. Mengidentifikasi outcome pasien asma yang dirawat di RSUP Dr. Sardjito

(29)

9 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Asma

1. Definisi

Asma adalah gangguan peradangan kronis dari saluran udara, yang

menyebabkan hyperresponsive bronkus sehingga mudah terhambat dan aliran udara menyempit apabila terkena faktor resiko (GINA, 2012). Berdasarkan faktor

pemicunya asma bronkial dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Asma alergik (extrinsic) di sebabkan oleh alergen (misalnya: serbuk sari,

binatang, makanan dan jamur)

b. Asma idiosinkratik (intrinsic) tidak berhubungan dengan alergen spesifik.

Faktor-faktornya seperti common cold, infeksi traktus respiratorius, emosi

dan polutan lingkungan (Brunner dan Suddarth, 2002).

(30)

2. Epidemiologi

Menurut Survei Kesehatan Nasional tahun 2001 (cit., Ikawati, 2007),

penyakit saluran napas merupakan penyakit yang menyebabkan kematian

terbanyak kedua di Indonesia (Ikawati, 2007). Prevalensi asma di Indonesia belum

diketahui secara pasti, namun hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun

dengan menggunakan kuisioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 prevalensi asma masih 2,1%, sedangkan pada

tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survei ini dilakukan di beberapa kota

di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta,

Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (Sekolah

Dasar) usia 6-12 tahun berkisar 3,7%-6,4%, sedangkan pada anak SMP (Sekolah

Menengah Pertama) di Jakarta Pusat sebesar 5,8% tahun 1995, di Jakarta Timur

sebesar 8,6%. Berdasarkan gambaran distribusi penyakit asma tersebut, terlihat

bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu diperhatikan

lebih serius (Depkes RI, 2009).

3. Etiologi

Asma biasanya sering terjadi pada anak-anak yang sangat erat kaitannya

dengan adanya alergi. Kelompok dengan resiko terbesar terhadap perkembangan

asma adalah anak-anak yang mengidap alergi dan memiliki keluarga dengan

riwayat asma. Banyak faktor yang dapat meningkatkan keparahan asma seperti

(31)

sensitivitas terhadap aspirin, pemaparan terhadap sulfit atau obat golongan beta

bloker, influenza, faktor mekanik dan faktor psikis seperti stress (Ikawati, 2007).

4. Manifestasi klinik

Penanda utama untuk mendiagnosis adanya asma adalah sebagai berikut:

a. Mengi (wheezing) pada saat menghirup nafas, hal tersebut terjadi karena adanya kontraksi otot polos bersama dengan hipersekresi dan retensi

mukus yang menyebabkan pengurangan kaliber saluran nafas dan

turbulensi aliran udara yang berkepanjangan (McPhee, 2007).

b. Riwayat batuk yang memburuk pada malam hari, dada sesak yang terjadi

berulang dan nafas tersengal-sengal, batuk yang terjadi akibat kombinasi

penyempitan saluran nafas, hiperskresi mukus, dan hiperresponsivitas

aferen saraf yang dijumpai pada peradangan saluran nafas (McPhee,

2007).

c. Hambatan pernafasan yang reversibel secara bervariasi selama siang hari.

d. Adanya peningkatan gejala pada saat olahraga, infeksi virus, eksposur

terhadap alergen dan perubahan musim.

e. Terbangun malam-malam dengan gejala seperti di atas (Ikawati, 2007).

5. Faktor resiko

Secara umum faktor resiko asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan

(32)

a. Faktor genetik

1) Atopi/alergi

Penderita asma dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga

dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, maka penderita

sangat mudah terkena penyakit asma jika terpejan dengan faktor

pencetus. Berbagai alergen seperti bulu binatang, jamur, tungau, debu merupakan pemicu utama terjadinya asma akut pada anak-anak yang

memiliki alergi. Hampir 80% dari anak-anak memilki alergi (Wolf,

2004).

2) Hipereaktivitas bronkus

Saluran nafas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun

iritan.

3) Jenis kelamin

Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2

kali dibandingkan dengan anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa

perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause

perempuan lebih banyak. 4) Ras/etnik

5) Obesitas

Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor

resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi

saluran nafas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma.

(33)

penderita obesitas dengan asma dapat memperbaiki gejala fungsi paru,

morbiditas dan status kesehatan.

b. Faktor lingkungan

1) Alergen dalam rumah, seperti tungau debu rumah, jamur spora, kecoa,

serpihan kulit binatang (anjing, kucing, dan lain-lain)

2) Alergen luar rumah, seperti serbuk sari, asap rokok dan polusi udara c. Faktor lain

1) Alergen makanan, contohnya susu, telur, udang, kepiting, ikan laut,

kacang tanah, jeruk, bahan penyedap rasa, dan pewarna makanan

2) Alergen obat-obatan tertentu, contohnya penisilin, sefalosporin, golongan

beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik dan antipiretik

3) Bahan yang mengiritasi, contohnya parfum

4) Ekspresi emosi berlebih

Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu

juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping

gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang

mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi,

maka gejala asmanya lebih sulit diobati.

5) Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif

6) Polusi udara dari luar dan dalam ruangan

(34)

6. Patofisiologi

Asma erat kaitannya dengan adanya peradangan saluran nafas yang

dimediasi oleh berbagai subtipe sel, sehingga terjadi hyperresponsive pada saluran

udara yang akan membatasi aliran udara. Terjadinya bronkokontriksi pada saluran

nafas diikuti oleh edema saluran nafas dan produksi lendir yang berlebihan

disertai dengan respon yang berlebihan terhadap rangsangan atau bronchus hyperresponsiveness (BHR) dan diikuti dengan airway remodeling (Hill and

Wood, 2009).

(35)

Penyakit asma melibatkan interaksi yang kompleks antara sel-sel

inflamasi, mediator inflamasi dan jaringan pada saluran nafas. Sel-sel inflamasi

utama yang berperan antara lain sel mast, limfosit dan eosinofil, sedangkan

mediator inflamasi utama yang terlibat yaitu histamine, leukotrien, faktor

kemotaktik eosinofil dan beberapa faktor sitokin yaitu interleukin(IL)-4, IL-5, dan

IL-13 (Ikawati, 2007).

Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf

otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi

hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi

alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah

antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma

alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial

paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang

menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat.

Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan

menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.

Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal

pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi

saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera

yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi

(36)

langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam

pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai

beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma

(Rengganis, 2008).

Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan juga epitel saluran napas.

Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi

yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas

lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga

meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang

dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel

mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2.

Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen

vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik

senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP).

Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi

(37)

Gambar 3. Patofisiologi asma (Kelly and Sorkness, 2008)

7. Diagnosis

Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa

batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan

cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti

kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnosis (Mangunnegoro,

2004).

a. Faal Paru

Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala (dispnea

dan mengi) dan persepsi mengenai asmanya, sehingga dibutuhkan

pemeriksaan objektif yaitu faal paru. Pengukuran faal paru digunakan untuk

(38)

paru serta sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan napas

(Mangunnegoro, 2004).

Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang

telah diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah

pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE) (Mangunnegoro,

2004).

1) Spirometri

Spirometri berfungsi untuk mengukur volume ekspirasi paksa

detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP). Untuk

mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang

di periksa. Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP <

75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi. Selain itu juga dapat memeriksa

reversibilitas ditandai dengan perbaikan VEP1≥15% secara spontan, atau

setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian

bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid

(inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibilitas ini dapat membantu diagnosis

asma dan menilai derajat berat asma (Depkes RI, 2007).

2) Arus Puncak Ekspirasi (APE)

Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau

pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter)

Nilai APE dapat memeriksa reversibiliti yang ditandai dengan

(39)

bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah terapi

kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu). Variabilitas APE ini tergantung

pada siklus diurnal (pagi dan malam yang berbeda nilainya) dan nilai

normal variabilitas ini adalah <20% (Depkes RI, 2007).

b. Uji Provokasi Bronkus

Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya

dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus

mempunyai sensitivitas yang tinggi tetapi tingkat spesifiknya rendah,

artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi

hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif

dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan

dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis

kistik (Mangunnegoro, 2004).

c. Pengukuran Status Alergi

Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui

pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu

mengidentifikasi faktor risiko/pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol

lingkungan dalam penatalaksanaan.

Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi,

umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara

(40)

maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang

relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran

IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara

lain dermatitis/kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain).

Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/

atopi (Mangunnegoro, 2004).

8. Klasifikasi

Tabel I. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit (Depkes RI, 2009)

Derajat asma Gejala Fungsi paru

I.Intermiten Siang hari ≤ 2 kali per minggu Malam hari ≤ 2 kali per bulan Serangan singkat

Tidak ada gejala antar serangan Intensitas serangan bervariasi

Variabilitas APE < 20% VEP1 ≥80% nilai prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik

II. Persisten Ringan Siang hari > 2 kali per minggu, tetapi < 1 kali per hari

Malam hari > 2 kali per bulan Serangan dapat mempengaruhi aktifitas

Variabilitas APE 20-30% VEP1 ≥80% nilai prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik

III.Persisten Sedang

Siang hari ada gejala

Malam hari > 1 kali per minggu Serangan mempengaruhi aktifitas Serangan ≥ 2 kali per minggu Serangan berlangsung berhari-hari Sehari-hari menggunakan inhalasi β2-agonis short acting

Variabilitas APE > 30% VEP1 60-80% nilai prediksi

APE 60-80% nilai terbaik

IV. Persisten Berat Siang hari terus menerus ada gejala

Setiap malam hari sering timbul gejala

Aktifitas fisik terbatas Sering timbul serangan

Variabilitas APE > 30% VEP1 < 60% nilai prediksi APE ≤ 60% nilai terbaik

APE = arus puncak ekspirasi

(41)

9. Penatalaksanaan Terapi a. Terapi non-farmakologi

Terapi non-farmakologi meliputi 2 komponen utama, yaitu edukasi

pada pasien atau yang merawat mengenai beebagai hal tentang asma, dan

kontrol terhadap faktor-faktor pemicu serangan asma. Untuk memastikan

alergen pemicu serangan asma pada pasien maka direkomendasikan untuk mengetahui riwayat kesehatan pasien serta uji kulit (skin test). Pasien juga

diberikan edukasi mengenai pathogenesis asma, bagaimana mengenal

pemicu asmanya, mengenal tanda dan gejala asma, cara penggunaan obat

yang tepat (Ikawati, 2007).

b. Terapi farmakologi

Terapi farmakologi merupakan salah satu bagian dari penanganan

asma yang bertujuan mengurangi dampak penyakit dan mempertahankan

kualitas hidup, yang dikenal dengan tujuan pengelolaan asma. Pemahaman

bahwa asma bukan hanya suatu penyakit episodik tetapi asma adalah suatu

penyakit kronik menyebabkan pergeseran penanganan dari pengobatan

hanya untuk serangan akut menjadi pengobatan jangka panjang dengan tujuan mencegah serangan, mengontrol atau mengubah perjalanan penyakit

(Mangunnegoro, 2004). Berdasarkan Global Innitiative for Asthma (2012),

(42)

Tabel II. Tatalaksana Pengobatan Asma

*ICS = inhalasi glukokortikosteroid

**= Antagonis reseptor atau inhibitor sintesis

***= Pengobatan yang direkomendasikan (kolom berwarna)

Berdasarkan penggunaannya, obat asma terbagi menjadi 2

golongan yaitu pengobatan jangka panjang (long-term medication) untuk

mengontrol gejala asma, dan pengobatan cepat (quick-relief medication)

untuk mengatasi serangan asma akut. Beberapa obat yang digunakan untuk

pengobatan dalam jangka panjang antara lain inhalasi steroid, β2 agonis aksi

panjang (LABA), sodium kromoglikat atau kromolin, nedokromil, modifier

leukotrin dan golongan metil ksantin. Sedangkan untuk pengobatan cepat,

obat yang sering digunakan adalah suatu bronkodilator (β2 agonis aksi cepat

(43)

Obat-obat asma dapat dijumpai dalam bentuk oral, larutan nebulizer, dan

metered-dose inhaler (MDI) (Matfin dan Porth, 2009).

1) Agonis β2

Merupakan bronkodilator yang paling efektif. Stimulasi reseptor

β2-adenergik mengaktivasi adenil siklase, yang menghasilkan

peningkatan AMP siklik intraseluler. Hal ini menyebabkan relaksasi otot polos, stabilisasi membrane sel mast, dan stimulasi otot skelet. Albuterol

dan inhalasi agonis β2 selektif aksi pendek lain diindikasikan untuk

penaganan episode bronkospasmus irregular dan merupakan pilihan

pertama dalam penanganan asma akut. Karena agonis β2 inhaler aksi

pendek maka tidak meningkatkan kontrol pada gejala jangka panjang,

pemakaiannya dapat digunakan sebagai ukuran kontrol asma (Sukandar,

Andrajati, Sigit, Adnyana, Setiadi dan Kusnandar, 2008).

Agonis β2 ini dibagi menjadi 2, yaitu :

a) Short-acting beta2-agonists (SABAs)

Obat-obat yang termasuk kelas ini meliputi albuterol

(proventil, ventolin), levalbuterol, (R)-enantiomer albuterol (xopenex), metaproterenol (alupent), terbutalin (brethaire) dan

pirbuterol (maxair). Obat-obat ini digunakan untuk pengobatan

inhalasi akut pada bronkospasme. Terbutalin (brethine, bricanyl),

albuterol, dan meraproterenol juga tersedia dalam bentuk sediaan oral.

(44)

menyebabkan bronkodilatasi selama 2-6 jam (Bruton, Parker,

Blumenthal and Buxton, 2008).

b) Long-acting beta2-agonists (LABAs)

Salmeterol xinafoat (severent) dan formoterol (foradil) adalah

senyawa adrenergik kerja panjang dan selektivitasnya sangat tinggi

terhadap subtipe reseptor β2, bronkodiltasi berlangsung lebih dari 12 jam. Mekanisme yang mendasari perpanjangan durasi kerja salmeterol

berhubungan dengan sifat lipofiliknya yang tinggi. Setelah terikat

dengan reseptor, agonis kerja pendek yang bersifat kurang lipofilik

akan berpindah secara cepat dari lingkungan reseptor melalui difusi

dalam fase cair, sedangkan salmeterol tetap berada dalam membrane

dan hanya terurai secara lambat dari lingkungan reseptornya (Bruton

et al., 2008).

2) Kortikosteroid

Obat-obat kortikosteroid ini dapat menurunkan jumlah dan

aktivitas sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme

bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung (Depkes RI, 2007).

Kortikosteroid sistemik diindikasikan untuk pasien dengan asma

akut yang tidak berespon dengan terapi awal menggunakan β2-agonis.

(45)

kerja dan efek yang sama dengan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat

menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel yang terinflamasi dan

meningkatkan efek obat beta adrenergik dengan memproduksi AMP

siklik, inhibisi mekanisme bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos

secara langsung. Contoh obatnya: deksametason, metilprednisolon,

prednisolon (Kelly and Sorkness, 2008).

Kortikosteroid Inhalasi (ICS) hingga saat ini masih merupakan

obat yang paling efektif untuk penatalaksanaan asma dan diindikasikan

untuk pencegahan jangka panjang dan pengontrolan gejala asma. Steroid

Inhalasi sangat lipofilik dan masuk secara cepat ke sel target di saluran

nafas dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid di sitosol (Ikawati,

2007).

Keuntungan kortikosteroid inhalasi dibandingkan dengan yang

oral adalah efek lokalnya langsung tanpa diserap kedalam darah. Dengan

demikian, tidak menimbulkan efek samping sistemis yang serius seperti;

osteoporosis, tukak, pendarahan dilambung, gipertensi dan diabetes (Tjay

dan Rahardja, 2007).

3) Antikolinergik (Ipratropium bromida)

Ipratropium bromida adalah suatu senyawa amina kuertener

yang sulit diabsorpsi sehingga tidak banyak memberikan efek sistemik.

Ipratropium bromida merupakan bronkodilator antikolinergik yang dapat

(46)

yang disebabkan oleh iritan dengan mengikat asetilkolin pada reseptor

muskarinik di otot polos bronkus (Marcdante, Kliegman, Jenson,

Behrman, 2011). Penggunaan antikolinergik inhalasi seperti ipratropium

bromida umumnya menghasilkan perbaikan pada fungsi paru 10-15%

dibandingkan dengan jika menggunakan β agonis saja (Ikawati, 2007).

Mekanisme kerjanya yaitu memblok efek pelepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan nafas dan menghambat reflek bronkokontriksi yang

disebabkan oleh iritan (Mangunnegoro, 2004).

4) Metilxantin

Mekanisme kerja dari metilxantin (teofilin, garamnya yang

mudah larut dan turunannya) akan merelaksasi secara langsung otot polos

bronki dan pembuluh darah pulmonal, merangsang sistem saraf pusat,

menginduksi diuresis, meningkatkan sekresi asam lambung (Depkes RI,

2007).

Teofilin merupakan metilxantin yang utama, menghasilkan

bronkodilatasi dengan menginhibisi fosfodiesterase yang juga dapat menghasilkan antiinflamasi melalui inhibisi pelepasan mediator sel mast,

penurunan pelepasan protein dasar eosinofil, penurunan poliferasi

limfosit T, penurunan pelepasan sitokin sel T dan penurunan eksudasi

plasma. Teofilin juga menginhibisi permeabilitas vaskuler, meningkatkan

klirens mukosiliar, dan memperkuat kontraksi diafragma. Metilxantin

(47)

(p.o atau i.v). Rentang steady state 5-15 mcg/mL efektif dan aman untuk

kebanyakan pasien (Kelly and Sorkness, 2008).

5) Obat anti alergi (Kromolin Natrium dan Nedokromil Natrium) Kromolin Natrium dan Nedokromil Natrium mempunyai efek

menguntungkan yang merupakan hasil dari stabilisasi membrane sel mast, mengihinbisi respon terhadap paparan alergen dan bronkospasme

yang diinduksi tetapi tidak menyebakan bronkodilatasi. Kromolin

Natrium dan Nedokromil Natrium diindikasikan untuk profilaksis asma

persisten ringan pada anak dan dewasa tanpa melihat etiologinya.

Kromolin merupakan obat pilihan kedua untuk pencegahan

bronkospasme yang diinduksi latihan fisik dan dapat digunakan bersama

agonis β2 dalam kasus yang lebih parah namun tidak berespon pada tiap

zat masing-masing. Kromolin Natrium dan Nedokromil Natrium hanya

efektif jika dihirup dan tersedia sebagai obat inhalasi dosis terukur.

Pasien pada awalnya menerima Kromolin Natrium atau Nedokromil

Natrium 4x sehari, setelah stabilisasi gejala frekuensi dapat diturunkan hingga 2x sehari untuk nedokromil dan 3x sehari untuk kromolin (Kelly

and Sorkness, 2008).

6) Modifikator Leukotrein

Zafirlukas dan montelukas merupakan antagonis reseptor

(48)

permeabilitas mikrovaskular dan edema jalur udara) dan efek

bronkokonstriksi leukotrien D4 (Sukandar dkk., 2008).

7) Omalizumab (Anti IgE)

Omalizumab merupakan antibodi monoklanal manusia

rekombinan dari subkelas IgG1k, yang di targetkan untuk melawan IgE. IgE yang terikat dengan omalizumab tidak dapat berikatan dengan

reseptor pada sel mast dan basofil, sehingga mencegah reaksi alergi pada

tahap proses yang sangat awal (Bruton et al.,2008).

Obat ini hanya diindikasikan untuk pasien atopik bergantung

kortikosteroid yang memerlukan kortikosteroid dosis tinggi dengan

berlanjutnya gejala dan kadar IgE tinggi (Kelly and Sorkness, 2008).

B. Drug Related Problems (DRPs)

Drug Related Problems (DRPs) adalah suatu kejadian atau efek yang

tidak diharapkan oleh pasien dalam proses terapi dengan obat dan secara aktual

atau potensial terjadi bersamaan dengan outcome yang diharapkan (Cipolle, Strand and Morley, 2004).

Kategori pemasalahan dalam Drug Related Problems (DRPs) menurut

(49)

1. Tidak perlu obat (unnecessary drug therapy)

Pasien akan mengalami komplikasi akibat mendapat obat yang tidak

diperlukan, pasien diberikan obat yang tidak sesuai dengan indikasi, pasien

melakukan terapi obat yang berlebih dari yang dianjurkan, pasien mendapatkan

pemberian obat kombinasi yang seharusnya cukup dengan satu obat saja dan

pasien meminum obat untuk mencegah efek samping obat lain yang dapat dihindarkan.

2. Perlu obat (need for additional drug therapy)

Pasien dalam kondisi kronik sehingga membutuhkan terapi obat

lanjutan, pasien dalam kondisi pengobatan baru maka membutuhkan terapi

obat yang sesuai pada saat itu, pasien membutuhkan obat untuk mencegah

terjadinya resiko efek samping dan pasien dalam kondisi membutuhkan

kombinasi farmakoterapi untuk mencapai efek yang diharapkan.

3. Obat salah (wrong drug)

Obat yang diberikan kepada pasien tidak efektif dengan indikasi pengobatan, obat tersebut mempunyai kontraindikasi dengan obat lain yang

(50)

4. Dosis kurang (dosage too low)

Dosis terapi yang diberikan kepada pasien terlalu rendah untuk

mencapai efek terapetik dan durasi pemberian obat terlalu pendek untuk

menghasilkan respon yang diinginkan.

5. Efek samping obat dan interaksi obat (adverse drug reaction)

Obat yang diberikan menimbulkan efek yang tidak diharapkan, obat

yang diberikan menimbulkan reaksi alergi, hasil laboratorium pasien berubah

akibat penggunaan obat dan adanya interaksi dengan obat lain.

6. Dosis berlebih (dosage too high)

Dosis terapi yang diberikan kepada pasien terlalu tinggi untuk

mencapai efek terapetik, frekuensi pemberian obat yang terlalu pendek, dan

konsentrasi obat dalam serum diatas jarak terpeutik yang diinginkan.

7. Ketidaktaatan pasien (noncompliance)

Pasien lupa meminum obat, pasien tidak menerima regimen obat yang tepat, terjadinya medication error (peresepan, penyerahan obat dan monitoring

pasien), pasien tidak menggunakan obat karena ketidakpercayaan dengan

produk obat yang telah dianjurkan, pasien tidak menggunakan obat karena

pasien tidak mengetahui cara pemakaian obat tersebut, pasien membeli obat

(51)

C. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran tentang Drug Related Problems (DRPs) pada pengobatan pasien asma, meliputi: tidak perlu obat

(unnecessary drug therapy), perlu obat (need for additional drug therapy), obat

salah (wrong drug), pasien mendapat dosis kurang (dosage too low), efek samping

(52)

32 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan non eksperimental atau observasional

deskriptif. Disebut non ekpserimental atau observasional karena tidak adanya

perlakuan terhadap subyek penelitian (Kontour, 2003). Disebut deskriptif karena tidak adanya kontrol yang digunakan dalam penelitian dan penelitian ini bertujuan

untuk memberikan gambaran mengenai masalah kesehatan (Budiarto, 2002).

Rancangan penelitian ini adalah cross-sectional, yang berarti proses pengambilan

data dillakukan dalam satu kali waktu. Data yang digunakan bersifat retrospektif

karena peneliti menggunakan data pada masa lalu yang diambil dari lembar rekam

medis (Lapau, 2012).

Penelitian ini menggunakan data secara retrospektif dengan melihat

lembar rekam medis pasien asma pediatri di instalasi inap RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta.

B. Variabel dan Definisi Operasional

1. Pola penggunaan obat pada pasien asma, meliputi: kelas terapi, golongan

obat, banyaknya kasus yang menggunakan obat tersebut.

a) Kelas terapi adalah kelompok obat berdasarkan fungsinya.

b) Golongan obat adalah kelompok obat yang memiliki mekanisme yang

(53)

c) Banyaknya kasus yang menggunakan obat tersebut adalah jumlah kasus

yang mendapat terapi pengobatan pada obat tertentu.

2. Penggolongan obat didasarkan pada Standar Pelayanan Medis di RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta.

3. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) yang akan dibahas pada penelitian

ini adalah mengenai obat-obat untuk asma, yang meliputi; tidak perlu obat (unnecessary drug therapy), perlu obat (need for additional drug therapy),

obat salah (wrong drug), dosis kurang (dosage too low), efek samping obat

dan interaksi obat (adverse drug reaction) dan dosis berlebih (dosage too

high).

a) Tidak perlu obat (unnecessary drug therapy) adalah pasien mendapatkan

obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit yang di derita.

b) Perlu obat (need for additional drug therapy) adalah pasien yang

membutuhkan terapi kombinasi atau penambahan obat agar mencapai efek

terapetik yang diinginkan.

c) Obat salah (wrong drug) adalah pasien menerima obat yang tidak efektif

untuk indikasi pengobatan sehingga dapat menyebabkan komplikasi. d) Dosis kurang (dosage too low) adalah pasien mendapat dosis yang terlalu

rendah untuk mencapai respon pasien sehingga pemberian obat menjadi

kurang efektif.

e) Efek samping obat dan interaksi obat (adverse drug reaction) adalah

(54)

pada kulit, gatal-gatal, dan lain-lain serta adanya interaksi dengan obat lain

yang diberikan.

f) Dosis berlebih (dosage too high) adalah pasien mendapat dosis yang

terlalu tinggi sehingga dapat menyebabkan over dosis.

4. Data outcome therapy akan didapatkan berdasarkan pernyataan dokter yang

dinyatakan secara tertulis di lembar rekam medis (RM).

5. Pediatri merupakan pasien dengan usia 1-18 tahun (sesuai dengan standar di

RSUP Dr. Sardjito).

6. Lembar rekam medis merupakan lembar catatan medis dari pasien yang berisi

nomor rekam medis, umur, jenis kelamin, diagnosis masuk, diagnosis keluar,

diagnosis lain, lama perawatan, jenis obat yang digunakan, dosis, frekuensi

pemberian, interval pemberian, dan tes-tes penunjang seperti tes

laboratorium.

7. Data pasien yang diambil adalah data pasien pada tahun 2013.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian yaitu semua pasien asma pediatri rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2013. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah

pasien pediatri dengan diagnosis utama asma yang menjalani rawat inap di RSUP

Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2013. Kriteria ekslusi yang diberlakukan yaitu

rekam medis yang tidak dapat dikonfirmasi dan tidak lengkap.

Pemilihan subjek penelitian dipilih sesuai dengan kriteria inklusi yang

(55)

Yogyakarta tahun 2013 yang meliputi 21 kasus diantaranya termasuk dalam

kriteria eksklusi karena data berupa rekam medis tidak ditemukan dan 25 kasus

termasuk dalam kriteria inklusi. Selanjutnya dari 25 kasus tersebut terdapat 5

kasus yang dieksklusikan karena rekam medis tidak lengkap sehingga diperoleh

jumlah subjek dalam penelitian ini sebanyak 20 kasus.

Gambar 4. Skema Pemilihan Subjek Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013

Penelitian ini juga melibatkan dokter yang menangani pasien subjek

penelitian yang dilakukan dengan wawancara. Hasil wawancara tersebut

digunakan untuk melengkapi pembahasan pada hasil evaluasi DRPs. Hasil wawancara yang telah dilakukan dapat dilihat pada lampiran 3.

46 populasi kasus asma pediatri

Eksklusi 21 kasus (RM tidak ditemukan)

Inklusi 25 kasus

Subjek penelitian 20 kasus

(56)

D. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah catatan

rekam medis pasien pediatri yang memenuhi kriteria inklusi seperti tersebut di

atas. Rekam medis pasien berisi nomor rekam medis, umur, jenis kelamin, berat

badan, diagnosis utama, diagnosis sekunder, keluhan, lama perawatan, riwayat

penyakit, keadaan pulang, jenis obat yang digunakan, dosis, frekuensi pemberian, interval pemberian, dan tes-tes penunjang seperti tes laboratorium.

E. Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengambilan data dilakukan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang

beralamat di Jl. Kesehatan No. 1, Sekip, Yogyakarta. Proses pengambilan data

rekam medis pasien dilakukan di ruang Instalasi Catatan Medis (ICM). Penelitian

dilakukan pada bulan Januari-April 2014.

F. Tata Cara Penelitian 1. Observasi awal

Observasi awal dilakukan dengan mencari informasi yang terkait dengan topik penelitian ini, yaitu :

a) Informasi tentang rata-rata jumlah kasus asma di instalasi rawat inap RSUP

Dr. Sardjito Yogyakarta. Informasi tersebut digunakan untuk menentukan

lamanya periode pengambilan data untuk penelitian ini yang berkaitan

(57)

b) Informasi terkait dengan tata cara perijinan dan tata cara pengambilan data

yang akan digunakan dalam penelitian ini.

2. Analisis situasi

Analisis situasi ini dilakukan dengan cara mencari data rekam medis

pasien pediatri yang terdiagnosis asma baik non-komplikasi dan komplikasi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013.

3. Permohonan ijin

Permohonan ijin penelitian dilakukan dengan mengajukan Ethical

Clereance (lampiran 4) ke Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan

Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Permohonan ijin

(lampiran 5) ini dilakukan untuk memenuhi etika penelitian dengan catatan

rekam medis. Permohonan ijin selanjutnya ditujukan kepada Direktur SDM

dan Pendidikan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

4. Pengambilan data

Data diambil dari lembar rekam medis pada analisis situasi dipilih

sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi yang telah ditetapkan.

Diperoleh dari banyaknya populasi dalam penelitian ini adalah 46 kasus.

Kemudian data yang dikumpulkan meliputi indentitas pasien, riwayat

(58)

anamnesis data laboratorium, terapi yang diberikan, catatan keperawatan dan

kondisi pasien ketika keluar dari rumah sakit.

5. Pengolahan data dan analisis hasil

Pengolahan data dilakukan secara deskriptif dan evaluatif.

a. Pengolahan data dilakukan secara deskriptif dengan memberikan gambaran mengenai karateristik subjek penelitian, pola penggunaan obat

pada pasien dan outcome therapy pasien setelah mendapatkan terapi.

Rinciannya sebagai berikut:

1) Karateristik pasien

Karateristik pasien dikelompokkan berdasarkan distribusi umur dan

jenis kelamin dalam bentuk persentasi.

2) Pola penggunaan obat pada pasien asma pediatri

Pola penggunaan obat pasien diidentikasi dengan mengelompokkan

obat-obatan yang digunakan selama proses terapi berdasarkan kelas

terapinya, kemudian dihitung nilai presentasenya.

3) Outcome therapy pasien

Data outcome therapy pasien dapat diidentifikasi dengan melihat

status pulang pasien yang tercatat di rekam medis, data tersebut

dikelompokkan menjadi 3, yaitu sembuh, membaik (rawat jalan) dan

APS (Pulang Paksa) dalam bentuk persentasi.

b. Pengolahan data dilakukan secara evaluatif dengan cara mengevaluasi

(59)

2013. Drug Related Problems (DRPs) yang akan dievaluasi meliputi; tidak

perlu obat (unnecessary drug therapy), perlu obat (need for additional drug therapy), obat salah (wrong drug), pasien mendapat dosis kurang

(dosage too low), efek samping obat dan interaksi obat (adverse drug

reaction) dan pasien mendapat dosis berlebih (dosage too high).

Kepatuhan pasien tidak diamati dalam penelitian ini karena penelitian ini bersifat retrospektif.

Dokumentasi data dengan menggunakan sarana SOAP (Subjective,

Objective, Assesment, Plan/Recommendation) kemudian dibandingkan

dengan standar pelayanan medis di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan

pustaka yang sesuai, seperti DIH (Drug Information Handbook),

Medscape Drug Interaction Checker serta penunjang lainnya seperti

Stockley’s Drug Interaction, 8thed. tahun 2008, dan jurnal terkait.

Kemudian menghitung jumlah kasus yang terjadi DRPs dan

dikelompokkan berdasarkan jenis DRPs

c. Wawancara dengan dokter yang bersangkutan dimaksudkan untuk

melengkapi pembahasan mengenai hasil evaluasi Drug Related Problems (DRPs). Hasil tersebut didapat melalui panduan pertanyaan yang

didapatkan setelah mengevaluasi data rekam medis yang telah dianalisis

(60)

6. Kerahasian data pasien

Seluruh data pasien yang akan di ambil oleh peneliti yang berupa

rekam medis akan digunakan sebagai bahan penelitian, mengenai hal tersebut

seluruh data pasien akan dijaga kerahasiaanya sesuai dengan etika dan

peraturan yang berlaku.

G. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan data retrospektif memiliki beberapa

kelemahan bila dibandingkan dengan data prospektif. Apabila menggunakan data

yang bersifat prospektif maka pada proses penelitian dapat mengamati lebih lanjut

mengenai perkembangan kondisi pasien yang sebenarnya berkaitan dengan

analisis Drug Related Problems (DRPs) seperti kepatuhan pasien terhadap

regimen terapi dan mempermudah dalam proses evaluasi. Oleh sebab itu,

penelitian ini hanya mencakup 6 aspek DRPs karena aspek kepatuhan tidak dapat

dilakukan. Penelitian ini tidak mengevaluasi DRPs dari keseluruhan penggunaan

obat yang diberikan kepada pasien sebab evaluasi difokuskan pada obat asma

disesuaikan dengan kondisi pasien jadi evaluasi tidak melihat keseluruhan peresepan obat yang diberikan pada pasien. Keterbatasan data retropektif lainnya

Keterbatasan lainnya yaitu kesulitan dalam membaca rekam medis yang

(61)

penulisan catatan keperawatan yang bermacam-macam dan juga rekam medis

yang tidak secara lengkap mencantumkan informasi yang dibutuhkan dalam

penelitian seperti pemeriksaan tanda vital, keluhan pasien dan hasil laboratorium

dikarenakan peneliti mengalami kesulitan dalam mengakses hasil laboratorium

untuk beberapa lembar rekam medis dan data tidak dapat dikonfirmasikan lebih

(62)

42 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian yang berjudul “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada

Pasien Asma PediatriRawat Inap (Studi Kasus di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Tahun 2013)” dilakukan dengan cara menelusuri data dari rekam medis pasien

yang terdiagnosis asma baik non-komplikasi maupun komplikasi pada golongan pediatri (1-18 tahun). Berdasarkan data rekam medis pasien diperoleh 20 kasus

sebagai bahan penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dari penelitian ini; antara

lain jenis kelamin, umur, diagnosis utama, diagnosis sekunder, lama perawatan,

data yang relevan dan penggunaan obat asma.

A. Karateristik Pasien 1. Distribusi pasien berdasarkan umur

Pada distribusi pasien berdasarkan umur ini dibagi menjadi 3 bagian

yaitu 1-4 tahun, 5-11 tahun dan 12-18 tahun (Kelly and Sorkness, 2008). Dari

18 pasien yang diperoleh dapat diketahui bahwa didapatkan persentase terbesar

pada kelompok umur 1-4 tahun yaitu 8 pasien dengan persentase sebesar45%.

(63)

Gambar 5. Persentase Distribusi

Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 Berdasarkan Umur

2. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin

Diperoleh jumlah pasien asma pediatri yang berjenis kelamin

perempuan lebih banyak yaitu sebanyak

kelamin laki-laki hanya

Persentase distribusi

diagram di bawah ini.

Gambar 6. Persentase D

Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 Berdasarkan Jenis Kelamin

44%

perempuan 56%

Persentase Distribusi Pasien Asma Pediatri di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 Berdasarkan Umur

berdasarkan jenis kelamin

peroleh jumlah pasien asma pediatri yang berjenis kelamin

n lebih banyak yaitu sebanyak 10 pasien sedangkan yang berjenis

laki hanya 8 pasien dari 18 pasien yang telah dievaluasi.

entase distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat

diagram di bawah ini.

Persentase Distribusi Pasien Asma Pediatri di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013 Berdasarkan Jenis Kelamin

45%

44%

11%

1-4 tahun 5-11 tahun 12-18 tahun

laki-laki 44%

perempuan 56%

i RSUP Dr.

peroleh jumlah pasien asma pediatri yang berjenis kelamin

sedangkan yang berjenis

yang telah dievaluasi.

dapat dilihat pada

(64)

3. Diagnosis kasus

Pada penelitian ini data rekam medis yang diambil adalah data rekam

medis pasien asma pediatri (1-18 tahun) yang menjalani rawat inap di RSUP

Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2013. Setelah dilakukan evaluasi rekam medik,

maka diperoleh jumlah kasus pasien asma pediatri pada tahun 2013 sebanyak

20 kasus dari 18 pasien. Dari data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa kasus yang terdiagnosis asma komplikasi sebanyak 19 kasus dan kasus yang

terdiagnosis asma non-komplikasi hanya 1 kasus.

Gambar 7. Karateristik Kasus Asma Pediatri Berdasarkan Diagnosisnya

B. Pola Penggunaan Obat

Pola penggunaan obat pada pasien asma pediatri di RSUP Dr. Sardjito

merupakan gambaran terapi pengobatan yang telah diberikan kepada pasien

meliputi banyaknya obat, bentuk sediaan, golongan obat, dosis, frekuensi. Obat-95%

5%

Gambar

Tabel VII. Pengelompokan Obat-obat Saluran Cerna yang Digunakan
Tabel XI. Jenis DRPs Pada Pasien Asma Pediatri Rawat Inap di RSUP Dr.
Gambar 1. Definisi Asma ...........................................................................
Gambar 1. Definisi asma (NIH, 2012)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rakyat Daerah Provinsi Kepulauan Riau sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Latar belakang : Diabetes mellitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Glukosa secara

Perbandingan perilaku sosial siswa yang mengikuti ekstrakurikuler bola voli dengan siswa yang mengikuti ekstrakurikuler pramuka pada siswa SMA Negeri Se-Kota Sukabumi

Rekaman data yang diperoleh dari hasil akuisisi data seismik refleksi ini tidak hanya berisi sinyal-sinyal yang dibutuhkan tetapi terdapat pula sinyal gelombang

Penilaian hasil belajar oleh pendidik adalah proses pengumpulan informasi/data tentang capaian belajar peserta didik dalam aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang

05 Mengelas material dengan proses yang benar sesuai kualitas yang diterangkan oleh API Tujuan Umum atau yang sederajat. 06 Memeriksa pengelasan/cacat pengelasan

anak dari usia dini sampai anak-anak usia playgroup. Cil-cil.edukatif memiliki banyak alternatif mainan anak yang terbuat dari kayu, semua prodaknya dikerjakan

Dengan menggunakan rumusan pada indeks kesukaran aitem, indeks daya diskriminasi aitem, dan membandingkan hasilnya dengan kategori evaluasi indeks oleh Ebel kita dapat