• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Pencatatan Perkawinan

6. Kaul kemurnian dalam tarekat religius, 7. penculikan dan penahanan,

8. kejahatan pembunuhan,

9. hubungan persaudaraan konsanguinitas, 10. hubungan semenda,

11. halangan kelayakan public misalnya antara pria dengan ibu atau anak wanitanya, wanita dengan bapak atau anak prianya,

12. ada hubungan adopsi.37

Menurut hukum Hindu sebagaimana diatur dalam Manawa Dharmasatra yang melarang pria kawin dengan:

1. Wanita dari keluarga yang mengabaikan yadna,

2. Wanita dari keluarga yang tidak mempunyai keturunan pria, tidak mempunyai saudara pria atau yang bapaknya tidak diketahui, 3. Wanita yang tidak mempelajari Weda,

4. Wanita yang anggota tuubuhnya berbulu tebal, terlalu banyak bulu badanya atau tidak ada bulu sama sekali,

5. Wanita yang berpenyakit, 6. Wanita yang cerewet,

7. Wanita yang matanya merah, 8. Wanita yang cacat badanya,

9. Wanita yang memakai nama binatang, pohon, sungai, golongan rendah, gunung, burung, ular, budak, yang menimbulkan rasa takut.

Menurut hukum Budha Indonesia, dilarang melakukan perkawinan dengan orang yang terikat tali perkawinan, yang bertalih darah dalam garis keturunan ke atas ke bawah, garis kesamping (saudara, saudara orang tua atau nenek), dan dalam hubungan susunaan (orang tua susun, saudara susun, dan bibi atau paman sesusunan).38

Pencatatan perkawinan adalah pendataan administrasi perkawinan yang ditangani oleh petugas pencatat perkawinan dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban hukum.39 Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya peristiwa perkawinan paling lambat 60 hari sejak tanggal perkawinan. 40Pencatatan perkawinan pada prinsipnya merupakan hak dasar dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan terhadap isteri maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti hak waris dan lain-lain

Perbuatan pencatatan tidak menentukan sahnya suatu perkawinan, tetapi menyatakan bahwa peristiwa itu memang ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat administrative.41 Karena sudah dianggap sah, akibatnya banyak perkawinan yang tidak dicatatkan. Bisa dengan alasan biaya yang mahal, prosedur berbelit-belit atau untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman adiministrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya bagi pegawai negeri dan ABRI. Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah Perkawinan Bawah Tangan atau Nikah Siri.42

Pada penjelasan umum undang-undang perkawinan dinyatakan bahwa pencatatan perkawinan harus dilakukan oleh masyarakat yang melakukan perkawinan dan sifat pencatatan perkawinan sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting

39 Esty Indrasari, “pencatatan perkawinan”, https://estyindra.weebly.com/mkn-journal/pencatatan-perkawinan, di akses 09 Januari 2020, pkl. 09.00.

40Kemenag, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

41K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia: Jakarta, 1976, hlm. 16.

42Esty Indrasari, Op. Cit.,

dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.43 Secara sederhana pencatatan perkawinan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan administrasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dilakukan oleh instansi yang berwenang Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain Islam yang ditandai dengan penerbitan Akta Nikah dan Buku Nikah untuk kedua mempelai.

Dengan memahami apa yang termuat dalam penjelasan umum, pengertian serta tujuan pencatatan perkawinan, dapat dikatakan bahwa ketentuan melakukan pencatatan perkawinan merupakan suatu upaya yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Sehingga dengan melakukan pencatatan perkawinan pasangan suami isteri bisa mendapatkan bukti autentik berupa akta nikah yang sah di mata hukum. Dengan begitu maka hak dan kewajiban di atantara keduanya serta anakanak keturunannya dapat terlindungi hukum dan

undang-undang.44

Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, pencatatan perkawinan diatur dalam beberapa klausul pada produk hukum di antaranya:

43Lihat Penjelasan UU No. 1 tahun 1974 dalam Mardani, Hukum Islam, Kumpulan Peraturan tentang Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2013)

44A. Maskur, “pencatatan perkawinan di indonesia: studi kritis atas ketentuan peraturan perundang-undangan dalam masalah pencatatan perkawinan”, file:///C:/Users/WINDOWS%208.1/Downloads/Do cuments/Bab%203.pdf, diakses pada tanggal 09 Januari 2020 pukul 10.20.

1. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Nikah, Talak dan Rujuk

2. Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

3. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

4. Pasal 34, 35, dan 36 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

5. Pasal 26 dan 27 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah

6. Pasal 5, 6 dan 7 Kompilasi Hukum Islam

Pencatatan perkawinan memiliki beberapa manfaat, diantaranya untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut hukum agama dan kepercayaan itu, maupun menurut perundang-undangan. Hal ini karena sebelum proses perkawinan dan pencatatan perkawinan dilkasanakan, sebelumnya pegawai pencatat terlebih dahulu akan meneliti apakan kedua mempelai calon pengantin tersebut telah memenuhi, syarat dan rukun perkawinan. 45

Sedangkan secara yuridis, dengan melakukan pencatatan perkawinan, perkawinan mereka dapat terlindungi, karena pencatatan perkawinanan mempunyai beberapa manfaat, diantaranya sebagai berikut:

1. Memberikan kepastian hukum kepada semua pihak baik suami maupun istri yang telah melakukan perkawinan.

2. Seorang suami tidak bisa berbuat semenang-menang terhadap istrinya.

3. Menjadi pegangan bagi pasangan suami istri dalam mengurangi hidup bersama, sehingga mencapai tujuan perkawinan yang dicita-citakan, yaitu ketenangan dan kebahgian dalam rumah tangga.

4. Sebagai sarana bagi pemerintah untuk memimpin untuk terciptanya ketertiban sosial.

5. Untuk ketertiban administarasi dalam menjalankan perkawianan.

45Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 117.

6. Akan dapat dijadikan bukti kepada masyarakat sekitarnya, bahwa Ia telah melakaksanaka pernikahan secara sah46.

Dengan melaksanakan pencatatan perkawinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka tujuan melaksanakan perkawinan untuk menciptakan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal akan lebih terjamin.

Karena dengan adanya akta autentik berupa surat nikah hak-hak suami isteri menjadi sah di depan hukum. Sehingga antara suami dan isteri tidak dapat semena-mena melakukan tindakan yang merugikan salah satu pihak. Karena keduanya dapat mengajukan tuntutan kepada pengadilan jika suatu saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dengan menunjukkan akta autentik berupa surat nikah yang sudah dikeluarkan Kantor Urusan Agama kecamatan tersebut.

Perkawinan yang wajib dilaporkan dan dicatatakan adalah perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 34 Ayat (1) UU ADMINDUK. Dari segi konstitusi, melangsungkan perkawinan merupakan hak konstitusional warga Negara untuk membentuuk keluarga dan melanjutkan keturunan, dan karenanya harus dihormati dan dilindungi.47

Mengenai instansi pelaksana pencatatan perkawinan yang dilakukan di Indonesia, telah ditetapkan dalam pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UUPK, sebagai berikut:

1. Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana

46Ibit., hlm. 24

47Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 179-180

dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.

2. Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai Pasal 9 Peraturan Pemerintah.48

Dengan ada ketentuan pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975 ini, maka pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni pegawai pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk dan Kantor Catatan Sipil atau instansi/pejabat yang membantunya. Bagi pendududk yang beragama Islam diwajibkan untuk melakukan pencatatan perkawinanya di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah.

Walaupun Kompilasi Hukum Islam memandang pencatatan perkawinan sebagai bagian dari persoalan administratif untuk menjamin ketertiban perkawinan, akan tetapi terhadap perkawinan yang tidak dicatat dalam arti perkawinannya dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah dianggap tidak memmpunyai kekuatan hukum.

Tempat pelaporan perkawinan adalah di tempat terjadinya peristiwa perkawinan bukan berdasarkan domisili, hal ini ditegaskan dalam UU Adminduk.

Pencatatan perkawinan ini dilakukan seiring setelah dilaksanakan tata cara perkawinan menurut masing=mmasing agamanya dan kepercayaannya itu. Batas

48 Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, diakses melalui http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/PP9-1975Perkawinan.pdf tanggal 10 Januari 2020 pukul 01.20.

waktu dan pelaporan pencatatan perkawinan ditentukan, dilaksanakan paling lambat 60 hari sejak tanggal perkawinan dilaksanakan.

UU Adminduk membedakan tempat pelaporan pencatatan perkawinan berdasarkan agama. Bagi penduduk yang beragama Islam, pelaporan pencatatan perkawinannya dilakukan oleh KUA kecamatan. Sedangkan bagi penduduk yang telah melangsungkan perkawinan menurut hukum dan tata cara agama selain agama Islam, maka pelaporan dan pencatatannya oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten atau kota tempat terjadinya peristiwa perkawinan.

Agar data perkawinan terhimpun dalam sistem informasi administrasi kependudukan, KUA diwajibkan untuk menyampaikan data hasil pencatatan perkawinan kepada instansi pelaksana penyelengara administrasi kependudukan.

Batas waktu penyampaian data hasil pencatatan perkawinan yaitu dilaksanakan dalam waktu paling lambat 10 hari setelah pencatatan perkawinan dilaksanakan.

Berdasarkan Pasal 34 Ayat (6) UU Adminduk, hasil data pencatatan perkawinan tersebut tidak memerlukan penerbitan kutipan akta perkawinan lagi karena akta perkawinannya telah diterbitkan oleh KUA Kecamatan, khusus bagi penduduk yang beragama Islam.49

Selain dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, pelaporan dan pencatatan perkawinan juga dapat dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis instansi penyelengara administrasi kependudukan50. Hal ini berdasarkan Pasal 34 Ayat (7) UU

49Undang-undang republik indonesia nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan 50Ibid,.

Adminduk, yang menetapkan bahwa pada tingkat kecamatan laporan perkawinan yang sah dilakukan pada UPT instansi pelaksana. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 67 Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada Pasal 67 Ayat (1) UU Adminduk, dilakukan dengan memenuhi syarat berupa:

1. Surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama/pendeta atau surat perkawinan Penghayat Kepercayaan yang ditanda tangani oleh Pemuka Penghayat Kepercayaan;

2. KTP suami dan isteri;

3. foto suami dan isteri;

4. Kutipan Akta Kelahiran suami dan isteri;

5. Paspor bagi suami atau isteri Orang Asing.

Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada Pasal 67 Ayat (1) UU Adminduk, dilakukan dengan tata cara:

1. Pasangan suami dan isteri mengisi formulir pencatatan perkawinan pada UPTD Instansi Pelaksana atau pada Instansi Pelaksana dengan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2);

2. Pejabat Pencatatan Sipil pada UPTD Instansi Pelaksana atau Instansi Pelaksana mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan;

3. Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada huruf b diberikan kepada masing-masing suami dan isteri;

4. Suami atau istri berkewajiban melaporkan hasil pencatatan perkawinan kepada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana tempat domisilinya.51

51 Peraturan presiden republik indonesia nomor 25 tahun 2008 tentang persyaratan dan tata cara pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil, diakses melalui https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/4 2210/perpres-no-25-tahun-2008, tanggal 10 Januari 2020 pukul 02.00.

Setelah penduduk melaporkan perkawinanya yang sah menurut undang-undang, maka petugas pencatatn sipil pada Disdukcapil mencatatnya pada register akta perkawinan, untuk selanjutnya menerbitkan kutipan akta perkawinan. Sementara itu bagi penduduk yang beragama Islam pencatatan perkawinan dilakukan oleh PPN pada KUAKec. PPN ini yang mencatat peristiwa nikah dalam akta nikah. Akta nikah tersebut ditandatangani oleh suami, istri, wali nikah, saksi-saksi, dan PPN serta dibuat rangkap 2, masing-masing disimpan di KUAKec setempat dan pengadilan Agama.

Buku nikah dinyatakan sah apabila ditandatangani oleh PPN dan diberikan kepada suami dan istri segera setelah proses akad nikah selesai dilaksanakan. Blangko akta nikah dan buku nikah ditetapkan oleh Menteri Agama.

Masalah yang paling sering mendapat sorotan adalah tentang perkawinan penganut aliran kepercayaan. Mereka sering mendapat ganjalan dalam soal perkawinan. Awalnya pencatatan perkawinan sesama penghayat kepercayaan bisa dicatatkan di Kantor Catatan Sipil. Akan tetapi, sejak adanya surat Menteri Agama tahun 1979 kepada Mendagri, yang menyatakan pencatatan perkawinan para penganut kepercayaan hendaknya berdasarkan agama yang mereka peluk.

Menanggapi surat tersebut, Mendagri menyurati gubernur yang isinya menyatakan bahwa tidak ada perkawinan tanpa mengikuti prosedur dan ketentuan-ketentuan hukum agama. Dengan adanya surat itu, perkawinan bagi penganut kepercayaan ditolak oleh Kantor Catatan Sipil.

Masyarakat Indonesia mempunyai tradisi keberagamaan yang sangat banyak, tidak hanya agama yang sudah terlembaga, akan tetapi juga kepercayaan

lokal. Kepercayaan lokal dengan sistem ajaran, tradisi, pengikut merupakan sesuatu yang hidup dalam masyarakat, bahkan jauh sebelum Negara Indonesia ada. Sebelum agama-agama resmi dikenal,masyarakat nusantara telah memiliki keanekaragaman kepercayaan yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat setempat dari generasi ke generasi.52

Kebijakan pemerintah Indonesia sejak kemerdekaan hanya mengakui dan melayani enam agama, yang dianggap memenuhi persyaratan untuk menjadi agama.

Elemen-elemen seperti kitab suci, doktrin ketuhanan, dan pemeluknya lintas bangsa ditentukan berdasarkan Islam sebagai prototipennya. Kelima agama lain harus terlebih dahulu menunjukkan bahwa mereka memenuhi persyaratan tersebut baru diakui sebagai agama. Agama-agama leluhur yaitu kepercayaan dan adat dianggap tidak memenuhi persyaratan untuk bisa secara resmi diakui sebagai agama. Agama leluhur dianggap primitive dan animis serta irasional, anti-mordenitas dan anti pembangunan. 53

Dalam penjelasan Pasal 1 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/pnps tahun 1965 tentang pencegahan penyalagunaan dan/atau penodaan agama diterangkan sebagai berikut.

Dengan kata-kata "Dimuka Umum" dimaksudkan apa yang lazim diartikan dengan kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen,

52Rachmadi Usman, Op. Cit., hlm 233-234 53Ibit.,

Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia.

Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini.

Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain.

Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960, lampiran A. Bidang I, angka 6.

Dengan kata-kata "Kegiatan keagamaan" dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai Agama, mempergunakan istilah-istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran 6 kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya. Pokok-pokok ajaran agama dapat diketahui

oleh Departemen Agama yang untuk itu mempunyai alatalat/cara-cara untuk menyelidikinya.54

Ketentuan yang membatasi pengakuan terhadap agama tertentu saja tidak tepat dan dapat dikatakan melanggar konstitusi dan Hak Asasi Manusia . UUD RI 1945 telah menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agama atau kepercayaan sesuai dengan keyakinannya. Hak kebebasan beragama atau berkepercayaan diakui pula sebagai bagian dari HAM internasional. Pemerintah orde lama di bawah kepemimpinan presiden Soekarno mengakui dan menjamin keberadaan penghayat kepercayaan, termasuk badan atau aliran kebatinan.

Kebijakan pemerintah orde baru mengenai aliran kepercayaan atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ditegaskan lagi dalam ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang gari-garis besar haluan Negara. Menurut ketentuan ini, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama oleh karena itu pembinaan aliran kepercayaan diarahkan agar kembali kepada induk agamanya masing-masing. Pada waktu itu pula ada kebijakan agama atau kepercayaan lokal untuk digabungkan dengan agama yang ajaranya mendekati. Berbagai agama atau kepercayaan lokal seperti Kahariangan di Dayak, Aluk Todolo di Toraja digabungkan ke dalam agama Hindu dan agama Khonghucu digabungkan ke dalam

54 Penetapan presiden republik indonesia nomor 1 tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, diakses melalui file:///C:/Users/WINDOWS%208.1/Downloads/PNPS_NO _1_1965.PDF pada tanggal 10 Januari 2020 pukul 09.05

agama Budha, sedangkan agama sunda Wiwitan, agama Samin, dan aliran kebatinan digabungkan ke dalam agama Islam. 55

Bagi masyarakat penghayat kepercayaan yang tidak bersedia bergabung untuk memeluk agama resmi, maka dapat dipastikan pencatatan perkawinan mereka akan mendapat penolakan dari Kantor Catatan Sipil. Pemerintah sering menuding agama atau kepercayaan masyarakat adat sebagai pecahan agama yang harus kembali ke agama induknya. Sedangkan menurut para penganut agama lokal, justru agama dan aliran kepercayaan yang sebenarnya disebut sebagai agama asli atau agama induk. Kelima agama resmi yang diakui jauh sebelum agama tersebut datang ke Indonesia, aliran kepercayaan telah hidup ribuan tahun.

Pada saat ini dengan adanya UU Adminduk, kebijakan diskriminatif bagi penghayat kepercayaan terkait pencatatan sipil dihapuskan, penganut kepercayaan dapat melakukan pencatatan perkawinan guna memperoleh kutipan akta perkawinan dan pelayanan peristiwa penting lainnya. Pengturan pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan didelegasikan kepada pemerintah untuk merumuskannya. Hal ini diamanatkan dalm Pasal 105 UU Adminduk. Menurut ketentuan tersebut, dalam waktu 6 bulan setelah diundangkannya UU Adminduk, pemerintah wajib menerbitkan peraturan pemerintah yang mengatur tentang penetapan persyaratan dan tata cara perkawinan bagi penganut kepercayaan sebagai dasar diperolehnya kutipan akta perkawinan bagi penganut kepercayaan.

55Rachmadu Usman, Op. Cit., hlm. 241

Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan lebih lanjut diatur dalam Bab 10 Pasal 81 sampai dengan Pasal 83 PP No. 37 Tahun 2007 yang telah diubah dengan PP No. 102 Tahun 2012.

Berdasarkan peraturan tersebut, perkawinan penganut kepercayaan dilakukan dihadapan pemuka penganut kepercayaan yang telah ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penganut kepercayaan, untuk mengisi dan menandatangani surat perkawinan penganut kepercayaan. Pemuka penganut kepercayaan yang dimaksud adalah pemuka penganut kepercayaan yang telah terdafatar pada kementrian terkait penganut kepercayaan. Pemuka penganut kepercayaan akan membuatkan surat perkawinan yang merupakan bukti terjadinya perkawinan penganut kepercayaan, yang dibuat, ditandatangani dan disahkan oleh pemuka penganut kepercayaan.

Peristiwa perkawinan penganut kepercayaan yang dilakukan dihadapan pemuka penganut kepercayaan tersebut, persyartan dan tata caranya diatur dalam PP No. 37 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan PP No. 102 Tahun 2012.

Peristiwa perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2) wajib dilaporkan kepada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana paling lambat 60 (enam puluh) hari dengan menyerahkan:

1. surat perkawinan Penghayat Kepercayaan;

2. fotokopi KTP;

3. pas foto suami dan istri;

4. akta kelahiran;

5. paspor suami dan/atau istri bagi orang asing.

Pejabat Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana mencatat perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dengan tata cara:

1. menyerahkan formulir pencatatan perkawinan kepada pasangan suami istri, 2. melakukan verifikasi dan validasi terhadap data yang tercantum dalam

formulir pencatatan perkawinan; dan

3. mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan Penghayat Kepercayaan.

Kutipan akta perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan kepada masing-masing suami dan istri.56

Demikin pula perkawinan bagi penganut kepercayaan yang melampau batas waktu juga dapat dicatat pada dinas kependudukan dan catatan sipil atau UPT instansi terkait. Hal ini ditegaskan dalam Pemendagri No 12 Tahun 2010, di dalamnya juga diatur mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan dan pelaporan perkawinan bagi perkwaninan penganut kepercayaan yang melampaui batas waktu.

Pelaporan dan pencatatan perkawinan yang melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, dilaporkan oleh penduduk kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau UPTD Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di tempat terjadinya perkawinan. Persyaratan pencatatan atas pelaporan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, bagi Penduduk Warga Negara Indonesia dilakukan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Surat Keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama/pendeta atau Surat Perkawinan Penganut Kepercayaan yang ditandatangani oleh Pemuka Penganut Kepercayaan;

56peraturan pemerintah republik indonesia nomor 37 tahun 2007 tentang pelaksanaan undang-undang

nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan, diakses melalui

file:///C:/Users/WINDOWS%208.1/Downloads/PP_NO_37_2007.PDF pada tanggal 10 Januari 2020 pukul 09.20

2. Kartu Keluarga;

3. KTP Suami dan Isteri;

4. Pas Photo Suami dan Isteri berdampingan, ukuran 4x6 sebanyak 5 lembar, 5. Kutipan Akta kelahiran Suami dan Isteri; dan

6. Akta Perceraian bagi yang telah bercerai atau Akta Kematian atau Surat Keterangan kematian bagi yang pasangannya telah meninggal dunia.

Surat Keterangan telah terjadinya perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus mendapatkan legalisasi dari pemuka agama/pendeta atau penganut kepercayaan di tempat terjadinya perkawinan. Legalisasi atas Surat Keterangan telah terjadinya perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku paling lama 1 (satu) minggu.

Pelaporan dan pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dilakukan dengan tata cara:

1. pasangan suami dan isteri mengisi formulir pencatatan perkawinan pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau UPTD Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dengan melampirkan persyaratan;

2. Pejabat Pencatatan Sipil pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau UPTD Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil melakukan verifikasi dan validasi kebenaran data;

3. Pejabat Pencatatan Sipil pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau UPTD Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan;

4. Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada huruf b diberikan kepada masing-masing suami dan isteri;

Dokumen terkait