• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALSIS YURIDIS KEABSAHAN PERKAWINAN PADA MASYARAKAT HUKUM ADAT SIMBUANG DI KABUPATEN TANAH TORAJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "ANALSIS YURIDIS KEABSAHAN PERKAWINAN PADA MASYARAKAT HUKUM ADAT SIMBUANG DI KABUPATEN TANAH TORAJA"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

Esa.yang telah memberi berkat dan pertolongan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul: “ANALISIS YURIDIS

IMPLEMENTASI PERKAWINAN PADA MASYARAKAT ADAT

SIMBUANG DI KABUPATEN TANA TORAJA”.

Penulisan skripsi ini dimaksudkan sebagagi salah satu persyaratan untuk meneyelesaikan studi pada Program Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan baik dalam segi bentuk, isi maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kepada pembaca untuk dapat memberikan pemikiran, kritik maupun saran agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi orang lain.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua tercinta yang senan tiasa mendoakan serta memberi dukungan baik moril maupun materil yang tiada henti kepada penulis. Ayahanda Petrus Bangun dan Ibunda Hermin Tiko terima kasih tak terhingga untuk segalahnya. Persembahan skripsi ini setitik pun tidak akan mampu membayarkan pengorbanan dan cinta yang telah diberikan dalam mendidik dan membesarkan penulis, sementara dalam mengerjakan skripsi ini telah banyak keluhan-keluhan yang terlontar dari bibir.

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis

v

(6)

besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Muh. Saleh Pallu, M.Eng selaku Rektor Universitas Bosowa dan seluruh jajarannya.

2. Bapak Dr. Ruslan Renggong, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universita Bosowa Makassar beserta jajarannya.

3. Bapak Prof. Dr. H. A. Muh. Arfah Pattenreng, S.H., M.H. selaku pembimbing I dan Ibu Dr. Andi Tira S.H., M.H. selaku pembimbing II yang senantiasa meluangkan waktu memberikan bimbingan dan nasihat, memberikan ilmu, saran dan masukan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

4. Bapak H. Hamzah Taba, S.H., M.H. dan Bapak Dr. H. Waspada, M.Sos.I., M.HI. selaku pengguji yang telah memberikan saran serta masukan selama penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Dr. Almusawir S.H., M.H. selaku Ketua Prodi Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar dan segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar yang telah memberikan bekal pengetahuan yang sangat berharga kepada penulis selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Bosowa.s 6. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Bosowa

Makassar, terima kasih atas bantuan dan fasilitas yang diberikan selama ini.

vi

(7)

dan masyarakat Lembang Simbuang yang yang telah membantu penulis dalam proses penelitian sehinga penulis dapat meyelesaikan penelitian ini.

8. Adek Arnila Sari S.P. dan Patresia Melda, terima kasih atas dukungan dan motivasinya.

9. Teman-teman se-angkatan 2016 Fakultas Hukum Arlan Okman, Andi Ahmad Alif, Fayelixie Keshia Amanda, Nadira Regita, dll dan minta maaf kepada teman-teman yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu.

10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, terima kasih.

Akhirnya, penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang berkontribusi dalam penyusunan skripsi ini. Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi diri penulis dan para pembaca pada umumnya. Semoga segala amal dan kebaikan yang telah diberikan mendapatakan balasan yang berlimpah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Makassar, September 2020

Penulis

vii

(8)

Halaman

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Kegunaan Penelitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Pengertian Umum Tentang Perkawinan ... 7

2.2. Tujuan Perkawinan ... 15

2.3. Syarat dan Sahnya Perkawinan ... 17

2.4. Akibat Hukum Perkawinan ... 27

2.5. Pencatatan Perkawinan ... 33

2.6. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Adat ... 48

2.6.1. pengertian perkawinan adat ... 49

2.6.2. Bentuk-bentuk perkawinan adat ... 51

2.6.3. Tujuan perkawinan adat ... 55

viii

(9)

2.7. Gambaran UmumTtentang Aluk Todolo ... 58

2.8. Syarat Sah Suatu Perkawinan Menurut Agama Hindu... 62

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 65

3.1. Lokasi Penelitian ... 65

3.2. Tipe Penelitian ... 65

3.3. Jenis dan Sumber Data ... 66

3.4. Populasi dan Sampel... 67

3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 67

3.6. Analisis Data ... 69

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 70

4.1.Tata cara perkawinan pada masyarakat adat Simbuang di Kabupaten Tana Toraja ... 70

4.2.Faktor-faktor yang mempengaruhi tata cara perkawinan pada masyarakat adat Simbuang masih dilakukan secara tradisional 96 BAB 5 PENUTUP ... 99

5.1. Kesimmpulan ... 99

5.2. Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 101 LAMPIRAN

ix

(10)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan ikatan yang sah dalam membina rumah tangga dan keluarga yang bahagia dan sejahtera. Sebagai amanah serta tanggung jawab suami- istri. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat UUPK) merumuskan, bahwa Perkawinan, ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan masyarakat. Budaya perkawinan dan aturan yang berlaku pada suatu masyarakat atau suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan masyarakat itu berada. Seperti halnya peraturan perkawinan bangsa Indonesia bukan saja dipengaruhi adat budaya masyrakat setempat tetapi juga dipengaruhi oleh ajaran agama seperti agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen, bahkan dipengaruhi budaya perkawinan barat. Jadi walaupun bangsa Indonesia kini telah memiliki hukum perkawinan nasional sebagai aturan pokok, namun pada kenyataannya di kalangan masyarakat Indonesia masih tetap berlaku hukum adat dan tata cara perkawinan yang berbeda-beda. Salah satunya

(11)

masih dapat dilihat pada tata cara perkawinan pada masyrakat adat Simbuang di Kabupatan Tana Toraja yang masih menganut kepercayaan Aluk Todolo.

Menurut Pasal 1 Ayat (1) UUPK bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukann lain dalam undang-undang ini.

Berdasarkan pengamatan awal peneliti, terhadap masyarakat Simbuang menganut kepercayaan Aluk Todolo dan memiliki identitas keagamaan sebagai pemeluk agama Hindu. Namun, tidak melaksanakan tata cara perkawinan berdasarkan agama Hindu. Masyarakat Simbuang melaksanakan perkawinan sesuai tradisi kepercayaan Aluk Todolo. Kepercayaan Aluk Todolo adalah suatu aliran/kepercayaan yang tidak teresepsi masuk ke dalam agama tertentu yang diakui oleh pemerintah di Indonesia. Berdasarkan hal ini, diduga kuat bahwa perkawinan pada masyarakat Simbuang penganut kepercayaan Aluk Todolo tidak sah karena tidak sesuai dengan tata cara dan hukum perkawinan agama Hindu yang diakui oleh pemerintah. Akibat hukum perkawinan bukan hanya pada hubungan suami-isteri, harta perkawinan akan tetapi juga keturunan dari perkawinan tersebut. Dengan tidak terdaftarnya perkawinan orang tuanya dapat berdampak pada anaknya, misalnya pencatatan kelahiran (akta kelahiran) yang dapat menjadi identitas atau kepastian hukum status seoarang anak ketika anak-anak hendak mendaftar di salah satu Sekolah

(12)

Dasar. Intinya adalaha akata nikah adalah surat yang berisikamn kepastian hukum hubungan suami-isteri dan keturunanya.

Tata cara perkawinan pada masyarakat Simbuang penganut kepercayaan Aluk Todolo dilaksanakan berdasarkan ketentuan adat masyarakat setempat. Istilah perkawinan dalam masyarakat setempat adalah Dibawan Mayang. Tahap pertama yang harus dilakukan yaitu pelamaran atau Makkadai, dimana seorang pria yang ingin melaksanakan perkawinan dengan seorang wanita harus melakukan pelamaran yang diwakili oleh salah satu kerabat kepada keluarga calon memepelai wanita. Pihak keluaraga wanita akan menyampaiakan lamaran tersebut diterima atau tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan pada saat pelamaran. Setelah lamaran diterima, maka tahap selanjutnya adalah kedua keluaraga besar bersepakat untuk menentukan waktu perkawinan. Tempat pelaksanaan perkawinan yaitu di kediaman orang tua mempelai wanita dan dilaksanakan pada malam hari yang dihadiri oleh tokoh-tokoh adat dan pemangku kepercayaan Aluk Todolo atau dalam masyarakat setempat disebut Tomammang, yang akan memimpin proses pelaksanaan perkawinan.

Perkawinan dinyatakan sah apabila segala ritual sembayang telah dilaksanakan oleh Tomammang dengan menyembeli beberapa ekor ayam atau seekor babi dan disaksikan oleh tokoh adat dan masyarakat setempat.

Perkawinan pada masyarakat Simbuang penganut kepercayaan Aluk Todolo tidak mensyaratkan dilakukannya pencatatan perkawinan sehingga banyak masyarakat setempat yang telah beranak cucu namun belum mecatatkan perkawinanya dan belum memiliki buku nikah (akta nikah). Hal tersebut bertentangan

(13)

dengan hukum perkawinan nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) UUPK bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan merupakan syarat untuk mendapatkan akta nikah.

Tata cara perkawinan tradisional masih tetap dipertahankan oleh masyarakat simbuang sampai saat ini disinyalir karena beberapa faktor salah satunya adalah kurangnya pengetahuan hukum tentang perkawinan. Secara geografis lembang Simbuang merupakan daerah pedalaman di Kabupaten Tana Toraja, dengan jarak dari ibu kota Makale sekitar 80 Km dengan waktu tempuh 4 jam dengan menggunakan kendaraan roda dua dikarenakan infrastruktur jalanan yang belum memadai sehingga hanya kendaraan tertentu yang bisa digunakan menuju ke Lembang Simbuang. Selain itu daerah tersebut baru dijangkau oleh jaringan telekomunikasi pada tahun 2013 namun sampai saat ini belum ada jaringan internet.

Fenomena sosial yang menarik dikaji secara hukum adalah kehidupan masyarakat adat Simbuang khususnya pada tradisi perkawinan yang dilaksanakan sesuai kepercayaan Aluk Todolo dan tidak didaftarkan, sehingga suami-isteri yang telah menikah tidak memiliki akta nikah. Walaupun ada beberapa pasangan suami- isteri yang sudah lama menikah memiliki akad nikah tetapi itu baru sebagian kecil dan beberapa tahun setelah menikah baru didaftarkan pada kantor pencatatan sipil Makale, sedangkan ketentuan Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disingkat UU ADMINDUK) ditegaskan Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

(14)

undangan wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana ditempat terjadinya perkawinan paling lambat enam puluh hari sejak tanggal perkawinan.

Fenomena sosial ini bisa menjadi masalah hukum ketika pemerintah setempat dan pemangku adat membiarkan berlarut-larut. Pencatatan perkawinan sangat penting dilakukan karena dapat mempengaruhi kedudukan hukum seorang anak, suami-isteri bahkan pihak ketiga. Misalnya status anak, harta gonogini, kepastian hukum ahli waris dan tanggung jawab orang tua. Berdasarkan uraian di atas, penulis termotivasi untuk melakukan penelitian dengan judul “ANALISIS YURIDIS IMPLEMENTASI PERKAWINAN PADA MASYRAKAT ADAT SIMBUANG DI KABUPATEN TANA TORAJA.”

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah tata cara pelaksanaan perkawinan berdasarkan aliran kepercayaan Aluk Todolo pada masyarakat adat Simbuang di Kabupaten Tana Toraja?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pelaksanaan perkawinan pada masyarakat adat Simbuang masih dilakukan secara tradisional

1. Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan perkawinan pada masyarakat adat Simbuang di Kabupaten Tana Toraja berdasrakan aliran kepercayaan Aluk Todolo.

(15)

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi masih dilaksanakannya perkawinan secara tradisionnal pada masyarakat adat Simbuang di

Kabupaten Tana Toraja.

1.4. Kegunaan Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman dalam upaya meningkatkan pengetahuan mengenai hukum perkawinan adat yang dilakukan secara tradisional dan memberikan sumbangan pemikiran sebagai perkembangan hukum perkawinan di Indonesia.

2. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti berikut bagi yang ingin mengetahui dan memahami tentang tata cara pelaksanaan perkawinan adat pada masyarakat adat Simbbuang yang masih tetap dipertahankan di era modern ini.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Umum Tentang Perkawinan

Membentuk keluarga dan berketurunan merupakan tujuan melangsungkan perkawinan. Seseorang yang sudah dewasa sudah pasti berkeinginan untuk melangsungkan perkawinan. Perkawinan merupakan kodrat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan untuk mendapatkan pewaris garis keturunannya. Melalui perkawinan ini akan terjaga kelanjutan garis keturunan suatu keluarga dari generasi ke generasi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah perkawinan berasal kata kawin. Kawin diartikan dalam beberapa makna, yaitu:

1. membentuk membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri, menikah;

2. melakukan hubungan kelamin; berkelamin (untuk hewam);

3. berstubuh dan 4. perkawinan.1

Sementara itu, kata perkawinan diartikan perihal (urusan dan sebagainya) kawin.2 Sinonim perkawinan, menurut KBBI adalah pernikahan.3 Dalam KBBI, kata nikah tersebut diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi).4

1Tim Penyusun Kamus Pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Departemen pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,1988, hlm. 398-399.

2Ibid.

3Ibid.

4Ibid., hlm. 614.

(17)

Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat, keberadaan institusi adalah melegalkan hubungan hukum anatara seorang laki-laki dengan dengan seorang perempuan. Oleh sebab itu, beberapa ahli memandang dan memberikan arti yang sangat penting terhadap institusi yang bernama perkawinan.

Asser, Scholten, Pitlo, Petit, Melis, dan Wiarda, memberikan definisi, bahwa perkawinan ialah suatu persekutuan anatara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang diakui oleh Negara untuk bersama, atau bersekutu yang kekal.

Esensi dari apa yang dikemukakan para pakar tersebut adalah perkawinan sebagai lembaga hukum, baik karena apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa yang terdapat di dalamnnya.5

Menurut pendapat golongan ahli Ushul, pada dasarnya terdapat dua inti dalam pengertian perkawinan, yaitu adanya aqad atau perjanjian dan adanya setubuh atau hubungan seksual. Unsur aqad atau perjanjian dalam pernikahan mempunyai posisi yang penting, karena dengan adanya aqad maka menjadi halal hubungan seksual antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Jadi aqad dan hubungan seksual merupakan kesatuan yang erat dalam memaknai pengertian perkawinan.6

Selain pengertian yang telah dikemukakan di atas, terdapat pula pengertian perkawinan berdasarkan pendapat beberapa sarjana hukum yaitu:

1. Menurut Subekti, perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.

5Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sitem Hukum Nasional, Jakarta, Prenadamedia Group, 2015, hlm. 99.

6Ahmad Ainani, “ Itsbat Nikah dalam Hukum Perkawinan di Indonesia”, Jurnal Darussalam, Vol. 10, No. 2, Juli-Desember 2010, hlm. 110-111.

(18)

2. Menurut Ali Afandi, perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan.

3. Menurut Paul Scholten, perkawinan adalah hubungan hukum anatar seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh Negara.

4. Menurut Wirjono Prodjodikoro, perkawinan yaitu suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk, kedalam peraturan hukum perkawinan.

5. Menurut Soediman Kartohadiprodjo perkawinan adalah hubungan antara seorang perempuan dan laki-laki yang bersifat abadi.

6. Menurut K. Wantjik Saleh, perkawinan adalah ikatan lahir-batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami-istri.7

Selain pengertian umum dan pendapat para sarjana berikut ini diuraikan beberapa pengertian perkawinan menurut perundangan dan hukum agama:

1. Pengertian Perkawinan Menurut Perundangan

Berdasarkan Pasal 1 UUPK tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun di dalam ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalam KUH Perdata, tidak memberikan pengertian mengenai perkawinan.8

Menururt Pasal 26 KUHPerdata, Undang-Undang memandang tentang perkawinan hanya dalam hubungan perdata dan dalam Pasal 81 KUHPerdata dikatakan bahwa:

7P.N.H. Simanjuntak,Hukum perdata Indonesia, Jakarta, Kencana, 2015, hlm. 34.

8Ibit., hlm. 33.

(19)

“tiada suatu upacara keagamaan yang boleh dilakukan, sebelum kedua pihak kepada pejabat agama mereka membuktikan, bahwa perkawinan dihadapan pegawai catatan sipil telah berlangsung”9

Kalimat yang hanya dapat dilangsungkan dihadapan pejabat catatan sipil tersebut menunjukkan bahwa peraturan ini tidak berlaku bagi meraka yang berlaku hukum Islam. Hukum Hindu-Budha dan atau hukum Adat, yaitu orang- orang yang dahulu disebut pribumi (Inlander) dan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) tertentu, di luar orang Cina. Jelas nampak perbedaan pengertian tentang perkawinan menurut KUH Perdata dan menurut UUPK. Perkawinan menurut KUH Perdata hanya sebagai perikatan perdata sedangkan perkawinan menurut UUPK, tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga perikatan keagamaan.10

2. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Agama

Pada umumnya menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci, yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha Esa, agar keidupan berkeluaraga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran masing- masing. Jadi perkawinan menurut hokum agama adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawah akibat hukum terhadap agama yang dianut oleh calon mempelai beserta keluarga dan kerabatnya. Hukum agama telah menetapkan

9Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

10Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hlm. 7.

(20)

kedudukan manusia dengan iman dan taqwanya, apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang dilarang. Oleh karenanya pada dasarnya setiap agama tidak dapat membenarkan perkawinan yang berlangsung tidak seagama.

Perkawinan dalam arti ikatan jasmani dan rohani berarti suatu ikatan untuk mewujudkan kehidupan yang selamat bukan saja di dunia tetapi juga di akhirat, bukan saja lahiriah tetapi juga batiniyah, bukan saja gerak langkah yang sama dalam karya tetapi juga gerak langkah yang sama dalam berdoa. Sehingga kehidupan dalam keluarga rumah tangga itu rukun dan damai, dikarenakan suami dan isteri serta anggota keluarga berjalan seiring pada arah dan tujuan yang sama.

Jika perjalan hidup berumah tangga sejak awal sudah berbeda agama walaupun dalam arah kebendaan dan adat yang sama, maka kerukunan duniawi akan datamg masanya terancam keutuhanya. Oleh sebab itu rumah tangga yang baik hedaknya sejak awal dibentuk sudah dalam satu bahterah hidup yang sama baik lahir maupun batin.11

Menurut hukum Islam perkawinan adalah akad atau perikatan antara wali calon mempelai wanita dengan calon mempelai pria. Akad nikah harus diucapkan oleh wali mempelai wanita dengan jelas berupa ijab atau serah dan diterima atau Kabul oleh pria calon suami yang dilaksanakan dihadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Jika tidak demikian maka perkawinan tidak sah, karena bertentangan dengan hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwatkan Ahmad yang

11Ibit.. hlm. 10

(21)

menyatakan tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.

Perkawinan berdasarkan hukum Islam adalah perikatan antara wali mempelai wanita dengan pria calon suami wanita tersebut, bukan perikatan antara seorang pria dengan seorang wanita saja seperti yang dimaksud dalam Pasal 1 UUPK tentang Perkawinan. Wali dalam hukum agama Islam bukan saja bapak tetapi juga termasuk datuk atau embah, saudara-saudara pria, anak-anak pria, saudara-saudara bapak yang pria atau paman, dan anak-anak pria dari paman.

Kesemuanya menurut garis keturunan pria yang harus beragama Islam. Hal tersebut menunjukkan bahwa ikatan perkawinan dalam Islam berarti pula perikatan kekerabatan bukan perikatan perseorangan.12

Menurut hukum Kristen Katolik perkawinan adalah persekutuan hidup antara seorang pria dengan seorang wanita yang terjadi karena persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali dan harus diarahkan kepada saling mencintai sebagai suami istri dan kepada pembangunan keluarga dan oleh karenanya menuntut keetiaan yang sempurna dan tidak mungkin dibatalkan lagi oleh siapapun, kecuali oleh kematian. Dalam perkawinan Katolik, hidup bersama itu mewujudkan persekutuan. Jadi, hidup bersama yang bersekutu. Bersekutu mengisyaratkan adanya semacam kontrak, semacam ikatan tertentu dengan sekutunya. Bersekutu mengandaikan juga kesediaan pribadi untuk melaksanakan persekutuan itu, dan untuk menjaga persekutuan itu. Ada kesediaan pribadi untuk

12Ibit.. hlm. 10-11.

(22)

mengikatkan diri kepada sekutunya, dan ada kesediaan pribadi untuk memperkembangkan ikatannya itu supaya menjadi semakin erat.

Persekutuan perkawinan terjadi oleh dua pihak, yakni oleh suami dan isteri. Maka, tidak ada instansi atau siapapun yang akan dapat memutuskan persetujuan pribadi itu. Bahkan suami isteri itu sendiripun tidak dapat memutuskannya, sebab persekutuan itu dibangun atas dasar kehendak Tuhan sendiri dan Tuhanlah yang merestuinya. Pemutusan persekutuan perkawinan bisa dipandang sebagai pemotongan kehidupan pribadi suami/isteri. Ini bisa be-rarti pembunuhan, karena pribadi itu dihancur. Kata kecuali kematian ini didengar tidak enak. Namun, nyatanya, misteri kematian tidak terhindarkan. Karena kematian yang wajar, persetujuan pribadi itu menjadi batal, karena pribadi yang satu sudah tidak mampu lagi secara manusiawi melaksanakan persetujuannya.

Berdasarkan hukum Kristen katolik perkawinan itu sah apabila kedua mempelai sudah di baptis.13

Menurut hukum Hindu, perkawinan atau dalam agama hindu disebut wiwaha adalah ikatan anatara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri untuk mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan keturunan anak pria yang akan meyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka, perkawinan menurut hukum Hindu Weda dilangsungkan dengan upacara ritual. Jika acara perkawinan tidak

13 Pemahaman perkawinan menurut gereja katolik, https://www.imankatolik.or.id/pemahaman perkawinan-menurut-gereja-katolik.html, diakses pada tada tanggal 06 januari 2020, pkl. 12.50.

(23)

dilangsungkan menurut acara ritual hukum Hindu maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah.

Menurut hukum perkawinan agama Budha berdasarkan pada HPAB yaitu keputusan Sangha Agung tanggal 1 januari 1977 Pasal l bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria sebagai suami dengan seorang wanita sebagai isteri yang berlandaskan cinta kasih dalam agama Budha dikenal dengan kata Metta, kasih sayang atau karuana serta rasa sepenanggungan atau mudita, dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan diberkati oleh Sanghyang Adi Budha atau Tuhan Yang Maha Esa, Para budha dan para Bodhisadwa-Mahasadwa. Menurut Pasal 2 HPAB suatu perkawina dalam agama Budha dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum agama Budha.

Dengan menguraikan pengertian perkawinan menurut agama yang diakui di Indonesia yang ada di atas maka UUPK telah menempatkan kedudukan agama sebagai dasar pembentukan rumah tangga yang bahag ia dan kekal bagi bangsa Indonesia. Hal ini juga menandakan bahwa suatu perkawinan yang dikehendaki perundangan nasional bukan saja merupakan ikatan keperdataan tetapi juga merupakan perikatan keagamaan. 14

2.2. Tujuan Perkawinan

14Hilman Hadikusuma, Op. Cit.. hlm. 11-12.

(24)

Salah satu dasar seseorang melakukan ikatan perkawinan yaitu karena adanya tujuan yang ingin di capai dari perkawinan tersebut, seperti halnya dengan arti perkawinan yang dilihat menurut perundangan yang berlaku, adat dan agama demikian pula halnya dengan tujuan perkawinan.

Di dalam Pasal 1 UUPK tentang Perkawinan, dikatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk itu suami-isteri perlu saling membantu serta saling melengkapi satu dengan yang lain agar dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejateran spiritual dan material.

Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat kaitanya dengan masalah keturunan, dimana pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua . dengan demikian yang menjadi tujuan perkawinan menurut perundangan adalah untuk kebahagiaan suami-isteri, untuk mendapatkan keturunan dan menegakkan keagamaan, dalam kesatuan keluarga yang bersifat parental atau keorangtuan.15

Melihat beragamnya agama yang ada di Indonesia maka tujuan perkawinan menurut hukum agama itu berbeda-beda. Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam adalah menuruti perintah Allah, untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia dan untuk mencegah perzinahan agar

15Ibit., hlm. 21

(25)

tercipta ketenangan dan ketenteraman keluarga dan masyarakat. Untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.

Manusia diciptakan Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan, untuk mengabdikan dirinya kepada Khaliq penciptanya dengan segala aktivitas hidupnya. Pemenuhan naluri manusia yang antara lain keperluan biologisnya agar manusia menuruti tujuan kejadiannya, Allah SWT mengatur hidup manusia termasuk dalam penyaluran biologisnya dengan aturan perkawinan.

Tujuan perkawinan menurut Katolik adalah membangun kesejahteraan suami-isteri. Mereka bersama-sama mau mewujudkan apa yang mereka cita- citakan/impikan, yaitu berbahagia lahir dan batin. Dasar dan dorongan mewujudkan kebahagiaan adalah api cinta yang tumbuh mekar dalam hati masing-masing pasangan. Sedangkan dalam agama Kristen tujuan perkawinan bukanlah kebahagiaan seperti yang diangan-angankan banyak muda-mudi sebelum menikah, melainkan pertumbuhan. Kebahagiaan itu justru ditemukan di tengah-tengah perjalanan (proses) pernikahan yang dilandasi cinta kasih Kristus. Kalau tujuan kita menikah adalah bahagia, maka pasangan kita akan kita peralat demi mencapai kebahagiaan itu. Itu sebabnya, orang yang menikah dengan tujuan bahagia justru menjadi yang paling

(26)

tidak bahagia dalam pernikahannya. Bahkan, tujuan ini banyak mengakibatkan perceraian, dengan alasan ia tidak merasa bahagia dengan pasangannya. 16

Menurut hukum agama Hindu tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan dan untuk menebus doasa-dosa orang tua dengan menurunkan seorang putra, berdasarkan kepercayaan agama Hindu denggan adanya keturunan seorang putra maka akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari Neraka Put. Sedangkan menurut hukum agama Budha tujuan perkawinan adalah untuk membentuk rumah tangga bahagia yang diberkati oleh Tuhan Yang Maha Esa serta para Budha.17

2.3. Syarat dan Sahnya Perkawinan

Kata sah dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang berdasarkan hukum yang berlaku, jadi apabila suatu perkawinan dilakukan tidak berdasarkan tata-tertib hukum yang telah ditentukan maka perkawinan itu tidak sah. Sehingga apabila suatu perkawinan dilaksanakan tidak sesuai dengan dengan ketentuan yang terdapat di dalam UUPK, berarti tidak sah menururut perundangan, jika tidak sesuai aturan agama maka tidak sah menurut agama, sama halnya apabila tidak menurut tata tertib hukum adat maka suatu perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum adat yang ada.

Berdasarkan perundangan di Indonesia sahnya suatu perkawinan diatur dalam Pasal 2 UUPK tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

16

Ibit., 17Ibit., hlm. 24.

(27)

kepercayaannya itu, sedangkan ayat 2 menyatakan bahwa setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jika melihat ketentuan Pasal 2 tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Perkawinan itu dinyatakan sah apabila menurut agama, setelah itu baru dicatatkan pada instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaaku.18

Jadi perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan nasional adalah perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan tata-tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Kristen/Katolik, Hindu/Budha, Khonghucu, dan belakangan juga telah diakui aliran kepercayan. Kata masing-masing agamanya berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing, bukan berarti hukum agamahya masing-masing yaitu hukum agama yang dianut oleh kedua mempelai atau keluarganya.

Apabila terjadi perkawinan antara dua agama yang berbedah, maka perkawinan tersebut dianggap sah apabila perkawinan yang dilaksanakan menurut tata-tertib aturan salah satu agama, agama calon mempelai pria atau agama calon memepelai wanita, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut oleh kedua calonn mempelai atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum islam, kemudian perkawinan dilakukan lagi menurut

18Harumiati Natadimaja, Hukum Perdata Mengenai Hukum Perorangan dan Hukum Benda, Graha Ilmu, Yokyakarta, 2009, hlm. 22-23.

(28)

hukum Kristen atau menurut agama lainnya maka perkawinan itu menjadi tidak sah begitupun sebaliknya.19

Ketentuan Pasal 2 UUPK tentang Perkawinan di atas, memberikan bukti bahwa agama dijadiikan dasar untuk menentukan suatu perkawinan itu sah atau tidak.

Tolak ukur agama dijadikan penentu keabsahan suatu perbuatan hukum kawin, dan sudah pasti setiap agama yang di peluk warga Negara Indonesia mengajarkan prosedur yang tidak sama. Memperhatikan prosedur pelangsungan perkawinan warga Negara Indonesia yang tidak seragam, tujuan UUPK menciptakan unifikasi secara utuh, menjadi kandas. Unifikasi sebagai salah satu tujuan UUPK hanya tercapai pada kulitnya saja, yakni berupa bahwa setiap orang yang menyandang atribut warga Negara Indonesia pada saat melangsungkan perkawinan harus tunduk pada undang- undang yang sama. Sebatas ini saja unifikasi ini dapat dilaksanakan, sedang substansi perkawinan tidak dapat diseragamkan, khususnya menyangkut prosedur seperti yang ditetapkan Pasal 2 Ayat (1) UUPK tentang Perkawinan di atas.20

Ketidakseragaman nampak pula jika kita melihat Pasal 2 Ayat (2) UUPK tetang Perkawinan, yang menegaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat sesuai peraturan perundangan. Kejelasan tidak seragamnya pencatatan ini akan terlihat jika membaca Pasal 2 PP 9/1975 tentang pelaksanaan UUPK tentang perkawinan yang menetapkan:

1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana

19Ibit., hlm. 25.

20Moch. Isnaeni, 2016, Hukum Perkawinan Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 39.

(29)

dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.

2. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil ssebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 peraturan pemerintah ini.21

Pencatatan perkawinan bagi tiap-tiapa warga Negara Indonesia tidak seragam, tata caranya bergantung pada agama yang bersangkuutan, di mana bagi yang beragama Islam dan bukan Islam ditangani oleh institusi yag berbeda yang tentu saja keluaran akta perkawinan yang dihasilkan tidak mungkin sama. Kata perkawinan sebagai alat bukti adanya hubungan yang bersangkutan sebagai suami isteri, memang sangat diperlukan dalam tatanan bermasyarakat. Oleh sebab itu,nwalaupun terdapat perbedaan bentuk ataupun ujud akta perkawinan bagi warga negara indonesia, itu tidak mengganggu rotasi kehidupan. Perihal pencatatan perkawina yang ditangani oleh aparatur Negara, membuktikan bahwa perkawinan peristiwa penting untuk didokumentasikan secara resmi oleh pemerintah walaupun sifatnya privat. Dengan adanya pencatatan setiap perkawinan ke dalam suatu register umum, pihak yang kawin, yaitu suami dan isteri, akan memperoleh salinanya yang dapat dimanfaatkan

21 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaaN Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

(30)

atau difungsikan sebaggai alat bukti fakta hukum menyangkut kedudukannya dalam tatanan sosial.22

Membahas mengenai syarat-syarat perkawinan maka akan berkaitan dengan perkawinan yang dilakukan pertama kalinya atau perkawinan ulang, karena persyaratan yang ditetapkan oleh Undang-Undang perkawina akan berbeda.

Perbedaan yang muncul disebkan adanya fakta-fakta hukum yang mengiringi perkawinan itu, seperti halnya apabila seorang wanita yang berstatus janda yang akan melakukan perkawinan ulang. Kenyataan ini menunjukkan bahwa segi-segi perkawinan saat ini sudah sangat modern, namun harus diatur secara komprehensif, meskipun tetap menjaga hubungannya dengan ajaran agama. Pemikiran yang bijak dalam mengatur dan melaksanakan aturan perkawinan merupakan dasar yang harus dipahami oleh semua pihak. Karena perkawinan merupakan bagian hukum yang sangat sensitif sehingga membuat hal ini sangat penting untuk dipahami.

1. Sepakat para pihak dalam perkawinan

Sebagai suatu hubungan hukum yang melibatkan para pihak, maka suatu perkawinan yang akan dilangsungkan harus diawali dengan persetujuan kedua calon mempelai. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 6 UUPK tentang perkawinan.

Sebagaimana dijelaskan dalam pejelasannya maksud dari ketentuan tersebut, agar suami dan istri yang akan kawin itu kelak dapat membentuk kelurga yang kekal dan bahagia, serta sesuai dengan hak asasi manusia maka perkawinan harus

22Moch. Isnaeni. Op. Cit., hlm. 40.

(31)

disetujui oleh kedua bela pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Kata atas persetujuan yang terdapat dalam Pasal 6 UUPK mengandung makna yaitu orang tua/wali atau kelurga/kerabat tidak boleh memaksa anak atau kemanakan untuk melakukan perkawinan jika tidak setuju dengan pasangannya atau belum siap menikah. Apabila hal tersebut terjadi berarti kedua calon mempelai masih di bawah pengaruh kekuasaan orang tua, wali atau kerabat.berbeda halnya dengan kebebasan kata sepakat antar kedua calon suami istri, yang berarti kedua calon mempelai yang akan melakukan perkawinan bebas melakukan persetujuannya perkawinan atau kedua calon mempelai terlepas dari pengaruh kekuasaan orang tua atau kerabatnya.

2. Batas umur perkawinan

Perkawinan pada usia dini atau perkawinan anak-anak pada beberapa tahun yang silam memang masi marak dilakukan oleh para orang tua, khususnya di beberapa wilayah di Indonesia akibat pengaruh adat kebiasaan setemmpat.

Anak-anak belum matang jiwa raganya, dijodohkan oleh orang tua, meskipun belum mengerti makna perkawinan yang dilakukanya. Kehendak dan kepentingan orang tua dijadikan tolak ukur tanpa memeperdulikan kebutuhan anak yang masih terlalu mudah untuk membangun keluarga, sehingga sering terjadi kegagalan dalam membina rumah tangga mereka. 23

23 Ibit., hlm. 53.

(32)

Untuk meminimalisir angka pernikahan anak-anak yang kian marak maka dibuatlah aturan mengenai batas usia minimum untuk melangsungkan perkawinan yang dimuat dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UUPK tentang Perkawinan. Berdasarkan ketentuan perundangan tersebut bahwa untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus harus mendapat izin dari kedua orang tua, hal ini diatur dalam Pasal 6 Ayat (2) UUPK. Jadi bagi pria atau wanita yang telah mencapai umur 21 tahun tidak perlu ada izin orang tua untuk melangsungkan perkawinan. Yang perlu mendapatkan izin untuk melangsungkan perkawinan adalah pria yang telah mencapai umur 19 tahun dan bagi wannita yang telah mencapai umur 16 tahun, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 UUPK. Di bawah umur tersebut berarti belum boleh melakukan perkawinan meskipun diizinkan orang tua.

Usia perkawinan adalah usia atau umur seseorang yang dianggap telah siap secara fisik dan mental untuk melangsungkan perkawinan. Batasan usia perkawinan dipahami sebagai pembatasan usia atau umur minimal bagi calon suami atau isteri yang diperbolehkan untuk melangsungkan perkawinan. Dalam literatur fikih klasik tidak ditemukan ketentuan secara eksplisit mengenai batasan usia minimal maupun maksimal untuk melangsungkan perkawinan. Oleh karena itu, para ahli hukum Islam berbeda pendapat dalam menyikapi persoalan batasan

(33)

usia perkawinan. Di dalam hadits Nabi Muhammad hanya mengisyaratkan perintah menikah ketika seseorang telah mampu (al ba`ah).24

Dalam hukumm Islam tidak terdapat aturan-aturan yang sifatnya menentukan batas umur perkawinan. Jadi berdasarkan hukum Islam pada dasarnya semua tingkatan umur dapat melakukan ikatan perkawinan. Dewasa ini umat Islam telah menaati UUPK, dapat dikatakan perkawinan di bawah umur sudah tidak terjadi, kecuali darurat. Hal ini karena umat Islam menganggap pemerintahnya adalah Ulil Amrinya.

Menurut hukum Gereja Katolik batas umur perkawinan adalah telah berumur 16 tahun bagi pria dan 14 tahun bagi wanita. Sedangkan menurut hukum Kristen Batak batas umur perkawinan telah mengikuti UUPK. Menurut hukum agama Hindu sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya tidak ada batas ketentuan umur yang pasti. Oleh karenanya UUPK dapat saja diterapkan bagi umat Hindu. Menurut hukum agama Budha Indonesia batas umur perkawinan ialah mencapai umjur 20 tahun bagi pria dan 17 tahun bagi wanita. Dispensasi dapat diminta pada Sangha Agung Indonesia.25

3. Perjanjian Perkawinan

Pembuatan Perjanjian Perkawinan atau yang biasa disebut dengan Prenuptial Agreement merupakan hal yang populer dilakukan para calon suami istri yang akan menikah. Hal tersebut dikarenakan banyaknya manfaat serta

24Ali Imron, “dispensasi perkawinan perspektif perlindungan anak”, jurnal ilmiah ilmu hukum QISTI, voleme 5 No.1, Januari 2011, hal. 72

25Hilman Hadikusuma. Op. Cit.. hlm. 51-52

(34)

adanya implikasi bisnis bagi pasangan yang memiliki usaha. Fakta sederhana untuk mengetahui apakah Perjanjian Perkawinan dibutuhkan atau tidak, adalah kenyataan bahwa pasangan atau Anda sendiri memiliki aset yang harus dilindungi. Sehingga, jika salah satunya tertimpa masalah di kemudian hari, aset bersama untuk kelangsungan rumah tangga tidak akan diganggu gugat. Di samping itu Perjanjian Perkawinan juga dapat melindungi dari motivasi pernikahan yang tidak tulus. Banyak hal yang perlu diketahui sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat Perjanjian Perkawinan.

Perjanjian perkawinan dapat dijadikan sebagai perjanjian pembuktian atau mengatur kekuatan pembuktiannya apabila terjadi putusnya perkawinan.

Perjanjian pembuktian adalah perjanjian anatara dua pihak yang menentukan aturan pembuktian yang bagaimanakah yang akan dilakukan dalam prosedur tertentu. Jadi, perjanjian pembuktian ini merupakan pengecualian dari ketentuan umum mengenai pembuktian yang berlaku dalam hukum acara perdata. Perjanjian pembuktian ini adalah perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak yang mengadakan hubungan keperdataan,26 seperti pada perjanjian perkawinan yang dilakukan sebelum terjadinya persengketaan atau putusnya perkawinan.

Menurut KUHPerdata dalam Pasal 119 bahwa perkawinan pada hakikatnya menyebabkan percampuran dan persatuan harta pasangan menikah, kecuali apabila pasangan menikah tersebut membuat sebuah Perjanjian

26Achmad Ali dan Wiwie Heriani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana Prenada Me dia Group, Jakarta, 2012, hlm. 153`

(35)

Perkawinan yang mengatur mengenai pemisahan harta. Dalam Pasal 35 UUPK bahwa dengan pembuatan Perjanjian Perkawinan calon suami-isteri dapat menyimpang dari peraturan undang-undang mengenai ketentuan harta bersama asalkan ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan tata susila atau tata tertib umum. Lebih spesifik, definisi atas Perjanjian Perkawinan disebutkan pada Pasal 29 undang-undang yang sama. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan dasar hukum pembuatan Perjanjian Perkawinan oleh calon suami-isteri.

Materi yang dimuat di dalam perjanjian perkawinan tergantung pada pihak-pihak calon suami-istri, asal tidak bertentangan dengan hukum, undang- undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan. Dalam Pasal 29 UUPK disebutkan bahwa Perjanjian Perkawinan merupakan suatu perjanjian yang dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan lebih lanjut dijelaskan bahwa Perjanjian Perkawinan tersebut wajib untuk disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut maka perjanjian perkawinan dibuat pada saat maupun sebelum perkawinan dilangsungkan.27

Dalam hukum Islam walaupun tidak tegas dinyatakan sebelum atau ketika perkawinan berlangsung dapat diadakan perjanjian sebagai syarat perkawinan hadis Nabi. Di dalam agama Katolik perjanjian perkawinan yang penting adalah pria dan wanita yang melakukan perkawinan berjanji akan membentuk kebersamaan seluruh hidup diantara mereka menurut sifat kodratnya

27 Yudistira Adipratama, “Perjanjian Perkawinan; Dasar Hukum, Fungsi, Materi yang Diatur, dan Waktu Pembuatan”, http://kcaselawyer.com/seputar-perjanjian-perkawinan-dasar-hukum-fungsi- materi-yang, diakses 7 januari 2020, pkl 21.30

(36)

terarah pada kesejateran suami istri serta pada kelahiran dan pendidikan anak. Di dalam agama Hindu hukum yang mengatur khusus tentang perjanjian perkawinan tidak ada, tetapi apabila ada perjanjian yang dibuat bertentangan dengan larangan dalam agama Hindu, maka perjanjian itu tidak sah. Begitu pula dalam agama Budha Indonesia berdasarkan hukum perkawinannya tidak ada diatur khusus tentang ikatan perjanjian perkawinan. Semuanya diserahkan kepada para pihak yang penting tidak bertentangna dengan ajaran agama Budha Indonesia, UUPK, dan kepentingan umum.28

2.4. Akibat Hukum Perkawinan

Undang-Undang Perkawinan mengatur sejumlah perkawinan yang dilarang. Tidak terdapat perbedaan ketentuan antara UUPK dengan KHI perihal perkawianan yang dilarang. Dalam Pasal 8 UUPK diatur beberapa jenis perkawinan yang dilarang antara dua orang anatara lain:

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;

2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya;

3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;

4. Berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan;

5. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

6. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.29

28Hilman Hadikusuma. op.cit.. hlm. 54-56

29Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

(37)

Sementara itu jenis larangan melangsungkan perkawinan sebagaimana dimaksud oleh Kompilasi Hukum Islam dikategorikan ke dalam larangan perkawinan akibat hubungan nasab (keturunan); larangan melakukan perkawinan akibat pertalian kerabat semenda; dan larangan melakukan perkawinan akibat pertalian sesusuan.

Larangan-larangan tersebut dapat diuraikan seperti berikut;

Karena pertalian nasab:

1. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;

2. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;

3. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.

Karena pertalian kerabat semenda:

1. Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;

2. Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;

3. Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul (belum dicampuri);

4. Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.

Karena pertalian sesusuan:

1. Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;

2. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;

3. Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;

4. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;

5. Dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.30

Selain ketentuan larangan perkawinan di atas, terdapat juga larangan perkawinan karena kondisi tertentu. Seorang Pria yang memiliki ikatan perkawinan, tidak dapat melakukan perkawinan lagi kecuali oleh pengadilan diberikan izin

30Kompilasi Hukum Islam

(38)

kepadanya untuk memiliki istri lebih dari satu sepanjang hal ini telah terlebih dahulu diperkenankan oleh istri pertama dan calon istri yang akan dinikahi. Terkait hal ini, Pasal 4 Ayat (2) UUPK mengatur sejumlah prakondisi yang memberikan kesempatan kepada suami untuk mengajukan permohonan menikah lagi ke Pengadilan. Kondisi- kondisi yang dipersyaratkan tersebut adalah:

1. Istri yang tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

2. Istri mendapat cacat badan/atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.31

Kondisi ini berlaku secara alternatif. Apabila salah satu dari ketiga kondisi ini terpenuhi, maka pengadilan dapat mengabulkan permohonan menikah lagi yang diajukan oleh pria. Selain itu, perkawinan antara kedua orang juga menjadi terlarang apabila sebelumnya antara keduanya, dengan pasangan yang sama telah dua kali melakukan perceraian. Maka setelah cerai yang kedua tersebut, pasangan ini tidak bisa melakukan rujuk kembali. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 10 UUPK:

“Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum, masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.”32 Ada juga beberapa perkawinan yang dilarang berlangsung antara kedua orang akibat dari sejumlah kondisi. Seorang perempuan dilarang melakukan pernikahan dengan pria lain apabila pada saat yang sama masih memiliki ikatan

31Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan 32Ibit.,

(39)

perkawinan dengan suaminya. Kompilasi Hukum Islam tidak membenarkan pernikahan poliandri. Hal ini berkaitan erat dengan teori maqosid al syar’iyah (tujuan diturunkannya syariat). Dalam maqasid al syari’ah terdapat lima hal yang dipandang sebagai tujuan dari diturunkannya syariat. Lima hal tersebut adalah dalam rangka memelihara agama; memelihara diri; menjaga eksistensi akal; memelihara keturunan;

dan menjaga harta benda. Kompilasi Hukum Islam tidak membenarkan pernikahan poliandri karena untuk menjaga salah satu dari kelima hal yang menjadi tujuan dari syariat dimaksud, yakni demi memelihara keturunan.33

Larangan perkawinan yang lain adalah menikahi seorang wanita yang masih dalam masa iddah dengan mantan suaminya. Masa iddah dalam Islam diartikan sebagai masa perhitungan atau masa menunggu. Masa ini berakhir setelah perempuan melewati tiga kali suci dari periode menstruasi, atau kurang lebih tiga bulan sepuluh hari lamanya. Untuk perempuan yang ditinggal mati empat bulan sepuluh hari.

Sedang perempuan yang dicerai saat sedang hamil maka masa iddah nya sampai melahirkan. Larangan melakukan pernikahan lainnya adalah apabila antara kedua calon tersebut berbeda agama atau keyakinan. KHI mengatur jelas hal ini dalam Pasal 40 huruf c dan Pasal 44.34

Pada umumnya larangan perkawinan yang telah ditentukan dalam UUPK, tidak banyak bertentangan dengan hukum adat yang berlaku di berbagai daerah di Indonesia. Namun masih ada hal-hal yang berlainan karena pengaruh struktur

33

Kompilasi Hukum Islam

34 Hukum perkawinan kontemporer,

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b1f94bb9a111/kenal i-bentuk-perkawinan-yang-dilarang- hukum-di-indonesia/, diakses 7 januari 2020, pkl. 23.30

(40)

masyarakat adat yang unilateral, menurut garis keturunan patrilineal, atau matrilineal dan mungkin juga pada masyarakat yang bilateral di pedalaman.35

Secara umum Gereja Katolik selalu memandang perkawinan sebagai perkawinan yang sah, kecuali dapat dibuktikan kebalikannya. Menurut hukum Gereja Katolik, ada 12 halangan yang dapat membatalkan perkawinan, apabila ada satu atau lebih halangan atau cacat ini, yang terjadi sebelum perkawinan atau pada saat perkawinan diteguhkan, maka sebenarnya perkawinan tersebut sudah tidak memenuhi syarat untuk dapat disebut sebagai perkawinan yang sah sejak awal mula, sehingga jika yang bersangkutan memohon kepada pihak Tribunal Keuskupan, maka setelah melakukan penyelidikan seksama, atas dasar kesaksian para saksi dan bukti- bukti yang diajukan, pihak Tribunal dapat mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh pasangan tersebut. Sebaliknya, jika perkawinan tersebut sudah sah, maka perkawinan itu tidak dapat dibatalkan ataupun diceraikan, sebab demikianlah yang diajarkan oleh Sabda Tuhan.36

Berikut ini adalah penjabaran halangan yang membatalkan perkawinan menurut hukum kanonik Gereja Katolik:

1. kurangnya umur yaitu belum mencapai umur 16 tahun bagi pria dan dan 15 tahun bagi wanita,

2. Pria atau wanita impotensi bersifat tetap, kecuali diragukan atau kemandulan,

3. Adanya ikatan perkawinan terdahulu,

4. Disparitas cultus atau beda agama tanpa dispensasi, 5. Tahbisan suci,

35Hilman Hadikusuma. Op. Cit.. hlm. 59

36 http://www.katolisitas.org/apakah-yang-membatalkan-perkawinan-menurut-hukum- kanonik/, diakses 8 Januari 2020, pkl. 01.00

(41)

6. Kaul kemurnian dalam tarekat religius, 7. penculikan dan penahanan,

8. kejahatan pembunuhan,

9. hubungan persaudaraan konsanguinitas, 10. hubungan semenda,

11. halangan kelayakan public misalnya antara pria dengan ibu atau anak wanitanya, wanita dengan bapak atau anak prianya,

12. ada hubungan adopsi.37

Menurut hukum Hindu sebagaimana diatur dalam Manawa Dharmasatra yang melarang pria kawin dengan:

1. Wanita dari keluarga yang mengabaikan yadna,

2. Wanita dari keluarga yang tidak mempunyai keturunan pria, tidak mempunyai saudara pria atau yang bapaknya tidak diketahui, 3. Wanita yang tidak mempelajari Weda,

4. Wanita yang anggota tuubuhnya berbulu tebal, terlalu banyak bulu badanya atau tidak ada bulu sama sekali,

5. Wanita yang berpenyakit, 6. Wanita yang cerewet,

7. Wanita yang matanya merah, 8. Wanita yang cacat badanya,

9. Wanita yang memakai nama binatang, pohon, sungai, golongan rendah, gunung, burung, ular, budak, yang menimbulkan rasa takut.

Menurut hukum Budha Indonesia, dilarang melakukan perkawinan dengan orang yang terikat tali perkawinan, yang bertalih darah dalam garis keturunan ke atas ke bawah, garis kesamping (saudara, saudara orang tua atau nenek), dan dalam hubungan susunaan (orang tua susun, saudara susun, dan bibi atau paman sesusunan).38

2.5. Pencatatan Perkawinan

37Kitab Hukum Kanonik kann. 1083-1094 38Hilman Hadikusuma. Op. Cit.. hlm. 63-64

(42)

Pencatatan perkawinan adalah pendataan administrasi perkawinan yang ditangani oleh petugas pencatat perkawinan dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban hukum.39 Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya peristiwa perkawinan paling lambat 60 hari sejak tanggal perkawinan. 40Pencatatan perkawinan pada prinsipnya merupakan hak dasar dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan terhadap isteri maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti hak waris dan lain-lain

Perbuatan pencatatan tidak menentukan sahnya suatu perkawinan, tetapi menyatakan bahwa peristiwa itu memang ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat administrative.41 Karena sudah dianggap sah, akibatnya banyak perkawinan yang tidak dicatatkan. Bisa dengan alasan biaya yang mahal, prosedur berbelit-belit atau untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman adiministrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya bagi pegawai negeri dan ABRI. Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah Perkawinan Bawah Tangan atau Nikah Siri.42

Pada penjelasan umum undang-undang perkawinan dinyatakan bahwa pencatatan perkawinan harus dilakukan oleh masyarakat yang melakukan perkawinan dan sifat pencatatan perkawinan sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting

39 Esty Indrasari, “pencatatan perkawinan”, https://estyindra.weebly.com/mkn-journal/pencatatan- perkawinan, di akses 09 Januari 2020, pkl. 09.00.

40Kemenag, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

41K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia: Jakarta, 1976, hlm. 16.

42Esty Indrasari, Op. Cit.,

(43)

dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.43 Secara sederhana pencatatan perkawinan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan administrasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dilakukan oleh instansi yang berwenang Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain Islam yang ditandai dengan penerbitan Akta Nikah dan Buku Nikah untuk kedua mempelai.

Dengan memahami apa yang termuat dalam penjelasan umum, pengertian serta tujuan pencatatan perkawinan, dapat dikatakan bahwa ketentuan melakukan pencatatan perkawinan merupakan suatu upaya yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Sehingga dengan melakukan pencatatan perkawinan pasangan suami isteri bisa mendapatkan bukti autentik berupa akta nikah yang sah di mata hukum. Dengan begitu maka hak dan kewajiban di atantara keduanya serta anakanak keturunannya dapat terlindungi hukum dan undang-

undang.44

Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, pencatatan perkawinan diatur dalam beberapa klausul pada produk hukum di antaranya:

43Lihat Penjelasan UU No. 1 tahun 1974 dalam Mardani, Hukum Islam, Kumpulan Peraturan tentang Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2013)

44A. Maskur, “pencatatan perkawinan di indonesia: studi kritis atas ketentuan peraturan perundang- undangan dalam masalah pencatatan perkawinan”, file:///C:/Users/WINDOWS%208.1/Downloads/Do cuments/Bab%203.pdf, diakses pada tanggal 09 Januari 2020 pukul 10.20.

(44)

1. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Nikah, Talak dan Rujuk

2. Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

3. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

4. Pasal 34, 35, dan 36 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

5. Pasal 26 dan 27 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah

6. Pasal 5, 6 dan 7 Kompilasi Hukum Islam

Pencatatan perkawinan memiliki beberapa manfaat, diantaranya untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut hukum agama dan kepercayaan itu, maupun menurut perundang-undangan. Hal ini karena sebelum proses perkawinan dan pencatatan perkawinan dilkasanakan, sebelumnya pegawai pencatat terlebih dahulu akan meneliti apakan kedua mempelai calon pengantin tersebut telah memenuhi, syarat dan rukun perkawinan. 45

Sedangkan secara yuridis, dengan melakukan pencatatan perkawinan, perkawinan mereka dapat terlindungi, karena pencatatan perkawinanan mempunyai beberapa manfaat, diantaranya sebagai berikut:

1. Memberikan kepastian hukum kepada semua pihak baik suami maupun istri yang telah melakukan perkawinan.

2. Seorang suami tidak bisa berbuat semenang-menang terhadap istrinya.

3. Menjadi pegangan bagi pasangan suami istri dalam mengurangi hidup bersama, sehingga mencapai tujuan perkawinan yang dicita-citakan, yaitu ketenangan dan kebahgian dalam rumah tangga.

4. Sebagai sarana bagi pemerintah untuk memimpin untuk terciptanya ketertiban sosial.

5. Untuk ketertiban administarasi dalam menjalankan perkawianan.

45Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 117.

(45)

6. Akan dapat dijadikan bukti kepada masyarakat sekitarnya, bahwa Ia telah melakaksanaka pernikahan secara sah46.

Dengan melaksanakan pencatatan perkawinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka tujuan melaksanakan perkawinan untuk menciptakan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal akan lebih terjamin.

Karena dengan adanya akta autentik berupa surat nikah hak-hak suami isteri menjadi sah di depan hukum. Sehingga antara suami dan isteri tidak dapat semena-mena melakukan tindakan yang merugikan salah satu pihak. Karena keduanya dapat mengajukan tuntutan kepada pengadilan jika suatu saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dengan menunjukkan akta autentik berupa surat nikah yang sudah dikeluarkan Kantor Urusan Agama kecamatan tersebut.

Perkawinan yang wajib dilaporkan dan dicatatakan adalah perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 34 Ayat (1) UU ADMINDUK. Dari segi konstitusi, melangsungkan perkawinan merupakan hak konstitusional warga Negara untuk membentuuk keluarga dan melanjutkan keturunan, dan karenanya harus dihormati dan dilindungi.47

Mengenai instansi pelaksana pencatatan perkawinan yang dilakukan di Indonesia, telah ditetapkan dalam pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UUPK, sebagai berikut:

1. Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana

46Ibit., hlm. 24

47Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 179-180

(46)

dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.

2. Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai Pasal 9 Peraturan Pemerintah.48

Dengan ada ketentuan pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975 ini, maka pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni pegawai pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk dan Kantor Catatan Sipil atau instansi/pejabat yang membantunya. Bagi pendududk yang beragama Islam diwajibkan untuk melakukan pencatatan perkawinanya di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah.

Walaupun Kompilasi Hukum Islam memandang pencatatan perkawinan sebagai bagian dari persoalan administratif untuk menjamin ketertiban perkawinan, akan tetapi terhadap perkawinan yang tidak dicatat dalam arti perkawinannya dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah dianggap tidak memmpunyai kekuatan hukum.

Tempat pelaporan perkawinan adalah di tempat terjadinya peristiwa perkawinan bukan berdasarkan domisili, hal ini ditegaskan dalam UU Adminduk.

Pencatatan perkawinan ini dilakukan seiring setelah dilaksanakan tata cara perkawinan menurut masing=mmasing agamanya dan kepercayaannya itu. Batas

48 Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, diakses melalui http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/PP9- 1975Perkawinan.pdf tanggal 10 Januari 2020 pukul 01.20.

(47)

waktu dan pelaporan pencatatan perkawinan ditentukan, dilaksanakan paling lambat 60 hari sejak tanggal perkawinan dilaksanakan.

UU Adminduk membedakan tempat pelaporan pencatatan perkawinan berdasarkan agama. Bagi penduduk yang beragama Islam, pelaporan pencatatan perkawinannya dilakukan oleh KUA kecamatan. Sedangkan bagi penduduk yang telah melangsungkan perkawinan menurut hukum dan tata cara agama selain agama Islam, maka pelaporan dan pencatatannya oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten atau kota tempat terjadinya peristiwa perkawinan.

Agar data perkawinan terhimpun dalam sistem informasi administrasi kependudukan, KUA diwajibkan untuk menyampaikan data hasil pencatatan perkawinan kepada instansi pelaksana penyelengara administrasi kependudukan.

Batas waktu penyampaian data hasil pencatatan perkawinan yaitu dilaksanakan dalam waktu paling lambat 10 hari setelah pencatatan perkawinan dilaksanakan.

Berdasarkan Pasal 34 Ayat (6) UU Adminduk, hasil data pencatatan perkawinan tersebut tidak memerlukan penerbitan kutipan akta perkawinan lagi karena akta perkawinannya telah diterbitkan oleh KUA Kecamatan, khusus bagi penduduk yang beragama Islam.49

Selain dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, pelaporan dan pencatatan perkawinan juga dapat dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis instansi penyelengara administrasi kependudukan50. Hal ini berdasarkan Pasal 34 Ayat (7) UU

49Undang-undang republik indonesia nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan 50Ibid,.

(48)

Adminduk, yang menetapkan bahwa pada tingkat kecamatan laporan perkawinan yang sah dilakukan pada UPT instansi pelaksana. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 67 Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada Pasal 67 Ayat (1) UU Adminduk, dilakukan dengan memenuhi syarat berupa:

1. Surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama/pendeta atau surat perkawinan Penghayat Kepercayaan yang ditanda tangani oleh Pemuka Penghayat Kepercayaan;

2. KTP suami dan isteri;

3. foto suami dan isteri;

4. Kutipan Akta Kelahiran suami dan isteri;

5. Paspor bagi suami atau isteri Orang Asing.

Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada Pasal 67 Ayat (1) UU Adminduk, dilakukan dengan tata cara:

1. Pasangan suami dan isteri mengisi formulir pencatatan perkawinan pada UPTD Instansi Pelaksana atau pada Instansi Pelaksana dengan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2);

2. Pejabat Pencatatan Sipil pada UPTD Instansi Pelaksana atau Instansi Pelaksana mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan;

3. Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada huruf b diberikan kepada masing-masing suami dan isteri;

4. Suami atau istri berkewajiban melaporkan hasil pencatatan perkawinan kepada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana tempat domisilinya.51

51 Peraturan presiden republik indonesia nomor 25 tahun 2008 tentang persyaratan dan tata cara pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil, diakses melalui https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/4 2210/perpres-no-25-tahun-2008, tanggal 10 Januari 2020 pukul 02.00.

Referensi

Dokumen terkait

Meski tidak ada perubahan pada jumlah dan komposisi Propinsi di Zona Target pada pekan ini, tetap terpantau geliat pergerakan data terus berlangsung.. Pulau Sulawesi, meski

Mereka menemukan bahwa individu yang sedang berada dalam perubahan karir akan memberikan perhatian yang lebih besar pada tahapan pertama dari tahapan perkembangan

Sosialisasi ciri-ciri keaslian uang Rupiah diketahui memiliki pengaruh terhadap citra Bank Indonesia, namun untuk indikator dalam variabel sosialisasi ciri-ciri

secara ekonomi, realitik secara organisasional, terkoordinasi dengan aliran kerja organisasi, fleksibel, bersifat sebagai petunjuk dan operasional, dan diterima para

Kesimpulan yang didapat dari pengujian ini adalah generasi yang optimal hasil untuk kasus TSP-TW pada penjadwalan harian dan paket rute wisata di Pulau Bali yaitu 1750

[r]

Bab keempat, berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan, dengan melihat hasil belajar MIS YPIQ Al-Muzahwirah Kota Makassar sebelum dilakukannya pembelajaran dengan

Adapun tujuan dari penyebaran kuisioner ini adalah untuk menentukan kriteria yang akan digunakan dalampengukuran kinerja pemasok (supplier) bahan baku TBS (Tandan