• Tidak ada hasil yang ditemukan

CAKUPAN PENIMBANGAN BALITA (D/S) MENURUT KECAMATAN KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2014

G. PELAYANAN KESEHATAN RUJUKAN 4. Kunjungan Rawat Inap

I. PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT 12. Pengendalian Penyakit Polio

Polio merupakan salah satu penyakit menular yang termasuk ke dalam PD3I. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus yang menyerang sistem syaraf hingga penderita mengalami kelumpuhan. Penyakit ini umumnya menyerang anak berumur 0-3 tahun yang ditandai dengan munculnya demam, lelah, sakit kepala, mual, kaku di leher dan sakit di tungkai dan lengan.

Pada tahun 1988, siding ke-41 WHA (World Health Assembly) telah menetapkan program eradikasi polio secara global (global polio eradication initiative) yang ditujukan untuk mengeradikasi penyakit polio pada tahun 2000. Kesesepakatan ini diperkuat dengna siding World Summit for Children pada tahun 1989, dimana Indonesia turut menandatangani kesepakatan tersebut.

Eradikasi polio yaitu apabila tidak ditemukan virus Polio liar indigenous selama 3 tahun berturut-turut di suatu region yang dibuktikan dengan surveilans AFP yang sesuai standar sertifikasi. Dasar peemikiran Eradikasi Polio adalah:

e. Manusia satu-satunya reservoir dan tidak ada longterm carrier pada manusia. f. Sifat virus Polio yang tidak tahan lama hidup dilingkungan.

g. Tersedianya vaksin yang mempunyai efektifitas >90% dan mudah dalam pemberian. h. Layak dilaksanakan secara operasional.

Salah satu strategi yang dilakukan untuk mencapai eradikasi polio yaitu melaksanakan surveilans AFP sesuai dengan standar sertifikasi. Surveilans AFP adalah pengamatan yang dilakukan terhadap semua kasus lumpuh layuh akut pada anak usia <15 tahun yang merupakan kelompok rentan terhadap penyakit polio. Tujuan surveilans AFP antara lain mengidentifikasi daerah beresiko terjadinya transmisi virus Polio liar, memantau perkembangan program Eradikasi Polio dan membuktikan Indonesia bebas polio.

Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit polio telah dilakukan melalui gerakan imunisasi polio. Upaya tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan surveilans epidemiologi terhadap kasus AFP. Untuk mencari kemungkinan adanya virus Polio liar, perlu dilakukan pemeriksaan specimen tinja yang adekuat. Semakin besar persentase pemeriksaan specimen yang adekuat, maka semakin baik surveilans AFP tersebut.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Anamba tahun 2014 tidak ditemukannya

penyakit polio pada anak <15 tahun. Data tersebut dapat dilihat Tidak ditemukannya penyakit polio di Kabupaten Kepulauan Anambas didukung dengan tercapainya imunisasi polio sebesar 98,2%.

13. Pengendalian TB Paru

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium Tuberculosis, yang menluar melalui droplet penderita TB. TB Paru merupakan salah satu penyakit yang masuk dalam pengendalian Millenium Development Goals (MDG’s) yang memiliki tujuan dibidang kesehatan, diantaranya adalah:

e. Menurunkan insidens TB Paru pada tahun 2015;

f. menurunkan prevalensi TB Paru dan angka kematian akibat TB Paru menjadi setengahnya pada tahun 2015 dibandingkan tahun 1990;

g. sedikitnya 70% kasus TB Paru BTA+ terdeteksi dan dobati melaui program DOTS (Directly Observed Treatment Shortcource Chemotherapy) atau pengobatan TB Paru dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO);

h. sedikitnya 85% tercapai Succes Rate (SR).

DOTS merupakan strategi penyembuhan TB Paru jangka pendek yang menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TB paru agar mengkonsumsi obat secara teratur sesuai dengan ketentuan dan sampai dinyatakan sembuh. Strategi DOTS direkomendaikan oleh WHO secara global untuk menanggulangi TB Paru, karena menghasilkan angka kesembuhan yang tinggi yaitu mencapai 95% sehingga proses penyembuhan TB Paru dapat berlangsung secara cepat.

c. Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif di Antara Suspek yang Diperiksa

Upaya Pemerintah dalam menanggulangi TB Paru setiap tahunnya semakin menunjukkan kemajuan. Hal ini dapat terlihat dari meningkatnya jumlah penderita yang ditemukan dan disembuhkan setiap tahun.

GAMBAR X

PERSENTASE ANGKA PENEMUAN KASUS TB PARU BTA+ KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2014

Sumber: Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2014

Berdasarkan gambar diatas, persentase angka penemuan kasus TB Paru BTA+ di Kabupaten Kepulauan Anambas tahun 2014 adalah sebesar 44,5%. Jika dilihat dari target

0 20 40 60 80 100 Siantan Siantan Timur Siantan Selatan Jemaja Timur Siantan Tengah Kab. Kep. Anambas Palmatak Jemaja 100 100 100 100 100 44,5 23,3 16,6 %

pencapaian program mencapai 100% berarti angka penemuan kasus TB Paru BTA+ belum mencapai target. Sementara itu, ada 2 (dua) kecamatanyang memiliki capaian terendah yaitu Kecamatan Jemaja sebesar 16,6% dan Kecamatan Palmatak 23,3%.

d. Angka Penemuan Kasus TB Paru BTA+ (Case Detection Rat/CDR) dan Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate/SR)

Case Detection Rate atau angka penemuan kasus TB Paru BTA+ menggambarkan proporsi antara penemuan TB Paru BTA+ terhadap jumlah perkiraan kasus TB Paru. Indikator lain yang digunakan dalam upaya pengendalian TB adalah Succes Rate atau angka keberhasilan pengobatan.

GAMBAR X

PERSENTASE KEBERHASILAN PENGOBATAN TB PARU KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2014

Sumber: Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2014

Pada gambar diatas menunjukkan bahwa persentase keberhasilan pengobatan TB Paru di Kabupaten Kepulauan Anambas tahun 2014 sebesar 79,5%. Sementara itu, capaian target Renstra tahun 2014 adalah sebesar 75%. Hal ini berarti persentase keberhasilan pengobatan TB Paru di Kabupaten Kepulauan Anambas mencapai target. Disamping itu, ada beberapa kecamatan yang tidak mencapai target, diantaranya adalah Kecamatan Jemaja sebesar 63,6%, Kecamatan Palmatak sebesar 66,6% dan Kecamatan Jemaja Timur sebesar 66,6%.

14. Pengendalian Penyakit ISPA

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyebab kematian terbesar baik pada bayi maupun pada anak balita. Hal ini dapat dilihat melalui hasil survey mortalitas subdit ISPA pada tahun 2005 di 10 provinsi, diketahui bahwa pneumonia merupakan penyebab kematian terbesar pada bayi dan anak balita di Indonesia, yaitu sebesar 22,3% dan 23,6% dari seluruh kematian bayi dan anak balita. Studi mortalitas pada Riskesdes 2007 menunjukkan bahwa proporsi kematian pada bayi karena pneumonia sebesar 23,8% dan pada anak balita sebesar 15,5%.

Pneumonia adalah penyakit yang disebabkan kuman pneumococcus, staphylococcus, streptococcus, dan virus. Gejala penyakit pneumonia yaitu menggigil, demam, sakit kepala, batuk, mengeluarkan dahak, dan sesak napas. Populasi yang rentan terserang pneumonia

0 20 40 60 80 100 Siantan Timur Siantan Selatan Siantan Tengah

Siantan Kab. Kep.

Anambas Palmatak Jemaja Timur Jemaja 100 100 100 91,6 79,5 66,6 66,6 63,6 (%)

adalah anak-anak usia kurang dari 2 tahun, usia lanjut lebih dari 65 tahun dan orang yang memiliki masalah kesehatan (malnutrisi, gangguan imunologi).

Program Pengendalian Penyakit ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan yaitu Pneumonia dan bukan Pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu Pneumonia Berat dan Pneumonia Tidak Berat. Penyakit batuk pilek seperti rhinitis, faringitis, tonsillitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya di golongkan sebagai Bukan Pneumonia. Etiologi dari sebagian besar penyakit jalan napas bagian atas ini adalah virus dan tidak dibutuhkan terapi antibiotik.

Program pengendalian ISPA menetapkan bahwa semua kasus yang ditemukan harus ditatalaksana sesua standar, dengan demikian angka penemuan kasus pneumonia juga menggambarkan penatalaksanaan kasus ISPA.

GAMBAR X

CAKUPAN PENEMUAN PENDERITA PNEUMONIA PADA BALITA DI KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2014

Sumber: Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2014

Berdasarkan gambar diatas, rata-rata cakupan penemuan penderita pneumonia pada balita di Kabupaten Kepulauan Anambas tahun 2014 sebesar 0,9%. Sementara itu, ada beberapa kecamatan yang tidak ditemukannya kasus pneumonia pada balita, diantaranya adalah Kecamatan Siantan Timur, Siantan Selatan dan Jemaja Timur.

15. Penanggulangan Penyakit HIV/AIDS dan PMS

HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquarired Immunodefiency Syndrome) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi tersebut menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah untuk terinfeksi berbagai macam penyakit lain. Sebelum memasuki fase AIDS, penderita terlebih dulu dinyatakan sebagai HIV positif. Jumlah HIV Positif dapat diketahui melalui 3 metode, yaitu pada layanan Voluntary, Counseling and Testing (VCT), sero survey dan Surveri Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP).

Upaya pelayanan kesehatan dalam rangka penanggulangan penyakit HIV dan AIDS disamping ditujukan pada penanganan penderita yang ditemukan juga diarahkan pada upaya pencegahan melalui penemuan penderita secara dini yang dilanjutkan dengan kegiatan konseling. 0 0,5 1 1,5 2 2,5 2,3 2,3 1,2 0,9 0,5 0 0 0 (%)

Upaya penemuan penderita dilakukan melalui skrining HIV dan AIDS terhadap darah donor, pemantauan pada kelompok beresiko penderita Penyakit Menular Seksual (PMS) seperti Wanita Penjaja Seks (WPS), penyalahguna NAPZA dengan suntikan (IDUs), penghuni Lapas (Lembaga Permasyarakatan) atau sesekali dilakukan penelitian pada kelompok beresiko rendah seperti ibu rumah tangga dan sebagainya.

TABEL X

PENEMUAN KASUS HIV & AIDS MENURUT KELOMPOK UMUR KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2014

No Kelompok Umur HIV AIDS Penderita AIDS

Meninggal 1. ≤ 4 Tahun 1 0 0 2. 5-14 Tahun 1 0 1 3. 15-19 Tahun 0 0 0 4. 20-24 Tahun 0 0 0 5. 25-49 Tahun 6 6 3 6. ≥ 50 Tahun 0 0 0

Sumber: Klinik VCT Kabupaten Kepulauan Anambas, 2014

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa terdapat beberapa kelompok umur yang terkena HIV dan AIDS, bahkan terdapat juga penderita AIDS yang meninggal. Pada kelompok umur ≤ 4 tahun terdapat 1 penderita HIV, kelompok umur 5-14 tahun juga terdapa 1 penderita HIV dan 1 penderita AIDS yang meningal, sedangkan untuk kelompok umur 25-49 tahun terdapat 6 penderita HIV dan 6 penderita AIDS serta 3 penderita AIDS yang meninggal.

16. Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular oleh virus Dengue yang menyerang sistem peredaran darah melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. Virus tersebut dibawa oleh nyamuk dari darah orang yang telah terinfeksi sebelumnya lalu mentransmisikan kepada orang yang sehat setelah masa inkubasi virus Dengue selama 8-10 hari di dalam nyamuk tersebut. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang sering menimbulkan kejadian luar biasa di Indonesia.

Upaya pemberantasan DBD terdiri dari peningkatan kegiatan surveilans penyakit dan surveilans vector, diagnosis dini dan pengobatan dini, peningkatan upaya pemberantasan vector penular penyakit DBD. Upaya pemberantasan vector ini yaitu dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan pemeriksaan jentik berkala. Keberhasilan kegiatan PSN antara lain dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ).

17. Pengendalian Penyakit Malaria

Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Plasmodium melalui nyamuk betina Anopheles. Penanganan penyakit Malaria masuk penanganan masalah global dalam Millenium Development Goals (MDG’s). Kejadian penyakit malaria dan terjadinya Kejadian Luar Biasa malaria di Indonesia sangat berkaitan erat dengan beberapa hal berikut ini:

g. Adanya perubahan lingkungan yang berakibat meluasnya tempat perindukan nyamuk penular malaria

h. Mobilitas penduduk yang cukup tinggi.

j. Krisis ekonomi yang berkepanjangan memberikan dampak pada daerah-daerah tertentu dengan adanya masyarakat yang mengalami gizi buruk sehingga lebih rentan untuk terserang malaria.

k. Tidak efektifnya pengobatan karena resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin dan meluasnya daerah resisten.

l. Menurunnya perhatian dan kepedulian masyarakat terhadap upaya penanggulangan malaria secara terpadu.

c. Persentase Penderita Malaria yang Diobati

Persentase penderita malaria yang diobati merupakan persentase penderita malaria yang diobati sesuai pengobtan standar dalam kurun waktu satu tahun dibandingkan dengan tersangka malaria atau positif malaria yang datang ke sarana pelayanan kesehatan. Pengobatan malaria harus dilakukan secara efektif. Pemberian jenis obat harus benar dan cara meminumnya harus tepat waktu yang sesuai dengan acuan program pengendalian malaria. Pengobatan efektif adalah pemberian ACT (Artemicin-based Combination Therapy) pada 24 jam pertama pasien panas dan obat harus diminum habis dalam 3 hari.

d. Pencapaian Pemeriksaan Sediaan Darah (Konfirmasi Laboratorium)

Berdasarkan cakupan konfirmasi laboratorium belum semua suspek malaria dilakukan pemeriksaan sediaan darahnya.

GAMBAR X

CAKUPAN PEMERIKSAAN SEDIAAN DARAH POSITIF MALARIA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2014

Sumber: Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2014

Pada gambar diatas, cakupan pemeriksaan sediaan darah yang positif malaria di Kabupaten Kepulauan Anambas sebesar 25,9%. Pencapaian tertinggi dalam pemeriksaan sediaan darah adalah Kecamatan Jemaja Timur mencapai 100%, sedangkan capaian terendah terdapat di Kecamatan Jemaja hanya mencapai 7,8%.

0 20 40 60 80 100 Jemaja Timur Siantan Timur Siantan Selatan Kab. Kep. Anambas

Siantan Palmatak Siantan

Tengah Jemaja 100 50 47,22 25,9 23,1 20,7 13,04 7,8 (%) Kecamatan

GAMBAR X

CAKUPAN ANGKA KESAKITAN AKIBAT MALARIA KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2014

Sumber: Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2010-2014 Angka kesakitan akibat malaria di Kabupaten Kepulauan Anambas mengalami peningkatan sebesar 11,3%. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya hanya sebesar 10,4%.

18. Pengendalian Penyakit Kusta

Kusta atau Lepra (leprosy) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae. Penyakit tersebut sering menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia dalam jangka panjang yang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Kasus yang tidak ditangani dengan baik dapat mengakibatkan penderita menjadi cacat baik pada kulit, anggota gerak, hingga kerusakan saraf. Penularan kusta secara pasti belum diketahui. Sebagian besar ahli berpendapat bahwa kusta dapat menular melalui udara dan dengan adanya kontak kulit dengan kulit penderita yang berlangsung lama. Kusta yang menular adalah kusta tipe basah yang belum mendapat pengobatan, dimana masa inkubasiny aberlangsung lama yaitu rata-rata 2-5 tahun bahkan bisa mencapai 40 tahun. Namun, penyakit ini bisa disembuhkan tergantung dari tipe penyakit dan cepatnya penemuan.

Ada dua penyakit jenis kusta yaitu Paucibacillary (PB) dan Multibacillary (MB). Jenis PB memerlukan waktu pengobatan 6 bulan, sedangkan MB memerlukan waktu pengobatan 12 bulan. Bila kasus ditemukan masih dalam keadaan dini maka pengobatannya mudah dan sembuh tanpa cacat fisik. Penyakit kusta timbul karena masyarakat kurang memperhatikan pentingnya menjaga kesehatan lingkungan. Melalui pola hidup sehat, penyakit ini bisa dihindari. 16,8 15,8 16,1 10,4 11,3 0 5 10 15 20 2010 2011 2012 2013 2014 (%) Tahun

TABEL X

CAKUPAN PENEMUAN KASUS BARU (NCDR) KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2010-2014

Sumber: Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2010-2014 Pada gambar diatas, NCDR per 100.000 penduduk menunjukkan peningkatan, yaitu dari 6,71% pada tahun 2012 menjadi 12,89% pada tahun 2014. Hal ini berarti terjadinya peningkatan kasus baru kusta di Kabupaten Kepulauan Anambas.

19. Pengendalian Penyakit Filariasis

Filariasis (Kaki Gajah) adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit berupa cacing filaria, yang terdiri dari 3 (tiga) spesies yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia Timori. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk yang mengandung cacing filaria dalam tubuhnya dan menginfeksi jaringan limfe (getah bening), dimana di dalam tubuh manusia cacing tersebut tumbuh menjadi cacing dewasa dan menetap di jaringan limfe sehingga menyebabkan pembengkkan di kaki, tungkai, payudara, lengan, dan organ genital.

Pada tahun 2014 tidak ditemukannya penyakit filariasis di Kabupaten Kepulauan Anambas. Untuk data dan informasi yang lebih rinci bisa dilihat pada Tabel 23.

20. Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah

Penyakit jantung merupakan kondisi dimana jantung tidak mampu bekerja dengan maksimal atau bekerja dengan baik. Ruang lingkup pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (PJPD) yang menjadi tanggung jawab Subdirektorat Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah, Ditjen PPPL meliputi hipertensi essensial, penyakit ginjal hipertensi, penyakit jantung hipertensi, stroke gagal jantung, Penyakit Jantung Koroner (PJK), kardiomipathy, penyakit jantung rheumatic, penyakit jantung bawaan dan infark miocard akut. Prioritas program pengendalian tahun 2010 memperhatikan pada pengendalian faktor risiko PJPD berbasis masyarakat, deteksi dini, dan jejaring kerja dengan tahapan kegiatan sebagai berikut :

7. Penyusunan Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK). Sampai dengan tahun 2010, NSPK yang telah disusun berupa:

e. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 854/MENKES/SK/IX/2009 Tentang Pedoman Pengendalian Faktor Risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah

5,33 8,89 2,26 6,71 12,89 0 2 4 6 8 10 12 14 2010 2011 2012 2013 2014 (%) Tahun

f. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 853/MENKES/SK/IX/2009 Tentang JejaringKerja Nasional

g. Buku pedoman “Pengendalian Hipertensi pada Ibu Hamil”

h. Buku Deteksi Dini Faktor Risiko penyakit Jantung dan pembuluh Darah.

8. Pengembangan SDM yang terdiri dari Training of Trainers (TOT) di 15 wilayah, dan kalakarya di lokasi pelaksanaan bimbingan teknis dan sosialisasi.

9. Penyediaan alat stimulan berupa masscrening yang terdiri dari timbangan badan, alat ukur tinggi badan, lingkar pinggang, tekanan darah, cardiochek, dan EKG yang didistribusikan ke 17 provinsi dan 36 kabupaten/kota.

10. Surveilans Epidemiologi. Kegiatan ini berupa penemuan dan tata laksana penyakit jantung dan pembuluh darah. Salah satu kegiatan pokok pengendalian penyakit jantung dan pembuluh darah yaitu penemuan dan tatalaksana yang dilaksanakan melalui deteksi dini faktor risiko.

11. Pengendalian faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah berbasis masyarakat melalui peningkatan pemberdayaan peran serta masyarakat. Kegiatan ini dilakukan dengan melatih kader-kader Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) di 17 provinsi dan 36 kabupaten/kota.

12. Jejaring kerja berdasarkan faktor risiko PJPD. Kegiatan ini dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan lintas sektor, lintas program dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Salah satu penyebab penyakit jantung adalah tekanan darah tinggi (hipertensi).Tekanan darah tinggi yang berlangsung lama dapat menyebabkan penyakit jantung, dimana hipertensi dapat melukai dinding arteri dan memungkinkan kolesterol LDL memasuki saluran arteri dan meningkatkan penimbunan plak.

TABEL X

CAKUPAN PENDERITA TEKANAN DARAH TINGGI (HIPERTENSI) KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2014

Sumber: Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2014

Pada tahun 2014, hipertensi berada di urutan pertama dari 10 penyakit terbesar yang tidak menular di Kabupaten Kepulauan Anambas dengan jumlah 1.041 penderita. Sedangkan

0 100 200 300 400 500 600 700 Palmatak Jemaja Timur

Siantan Jemaja Siantan Tengah Siantan Timur Siantan Selatan 602 123 112 112 71 20 1 Pen d e ri ta

di Kecamatan, penderita hipertensi terbanyak terdapat di Kecamatan Palmatak yaitu sebanyak 602 penderita.

21. Pengendalian Penyakit Kanker

Program pengendalian penyakit kanker dilakukan untuk semua jenis kanker, tetapi yang di prioritaskan pada saat ini adalah dua kanker yang tertinggi di Indonesia yaitu kanker leher rahimdan kanker payudara. Kegiatan yang dilakukan meliputi pencegahan primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer dilakukan melalui pengendalian faktor risiko dan peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi. Sedangkan pencegahan sekunder dilakukan melalui deteksi dini dan tatalaksana yang dilakukan di Puskesmas dan rujukan ke rumah sakit. Deteksi dini kanker leher rahim menggunakan metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) dan krioterapi untuk IVA (lesi pra kanker leher rahim) positif, sedangkan deteksi dini kanker payudara menggunakan metode Clinical Breast Examiniaton (CBE). Pencegahan tersier dilakukan melalui perawatan paliatif dan rehabilitative di unit-unit pelayanan kesehatan yang menangani kanker dan pembentukan kelompok survivor kanker di masyarakat.

Selain itu, dilakukan juga pengembangan registrasi kanker sebagai suatu sistem surveilans dengan menggunakan software SriKanDI (Sistem Registrasi Kanker di Indonesia) diDKI Jakarta sebagai model, yang akan dikembangkan ke daerah lain di Indonesia. Kegiatan yang dilakukan dalam rangka pengendalian penyakit kanker antara lain:

5. Pencegahan dan pengendalian faktor risiko.

Sampai dengan tahun 2010 telah disusun Pedoman Pengendalian Penyakit Kanker yang menjadi acuan bagi petugas kesehatan dan berbagai pihak yang terlibat dalam pengendalian kanker. Pengendalian faktor risiko kanker juga dilakukan dengan memberikan konseling dan penyuluhan bagi perempuan yang melakukan deteksi dini kanker leher rahim dan payudara di Puskesmas.

6. Penemuan dan tatalaksana kasus

Program deteksi dini dan tatalaksana yang dilakukan masih diprioritaskan pada 2 kanker tertinggi di Indonesia yaitu kanker payudara dan kanker leher rahim. Program ini dimulai sejak tahun 2007 dan telah dicanangkan sebagai program nasional yang dicanangkan oleh Ibu Negara pada 21 April 2008. Program tersebut dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan dan Female Cancer Program (FCP).

7. Peningkatan surveilans epidemiologi

Dalam upaya meningkatkan kualitas surveilans epidemiologi penyakit kanker, agar diperoleh data kanker yang valid dan tidak ada duplikasi pencatatan di masyarakat, maka dikembangkan modeling registrasi kanker berbasis populasi di DKI Jakarta. Program tersebut akan dikembangkan ke daerah lain di Indonesia. Sampai tahun 2010, registrasi di DKI Jakarta telah dilaksanakan di 79 rumah sakit, 2 klinik, 90 laboratorium patologi, dan 34 Puskesmas kecamatan yang membawahi 301 Puskesmas kelurahan.

8. Peningkatan jejaring kerja dan kemitraan

Dalam mengembangkan program pengendalian kanker di Indonesia, Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan lintas sektor terkait, pemerintah daerah, organisasi profesi, LSM dalam dan luar negeri, dan pihak-pihak lainnya. Kerjasama ini diantaranya diwujudkan dalam penyusunan rencana kerja 5 tahun (2010-2014), yaitu Indonesian Cancer Control Program (ICCP) yang disusun dari rencana kerja semua pihak yang diintegrasikan. Rencana kerja tersebut meliputi aspek pencegahan, deteksi dini, diagnosis dan pengobatan, pelayanan paliatif, surveilans epidemiologi, riset/penelitian, support dan rehabilitasi. Rencana kerja ini diharapkan menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam menyusun rencana kegiatan pengendalian kanker di masing-masing daerah.

22. Pengendalian Penyait Diabeter Mellitus dan Penyakit Metabolik

Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit kelainan metabolik yang dikarakteristikkan dengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya. Secara etiologi DM dapat dibagi menjadi DM tipe 1, DM tipe 2, DM dalam kehamilan, dan diabetes tipe lain. DM merupakan salah satu penyebab utama kematian yang disebabkan oleh karena pola makanan/nutrisi, perilaku tidak sehat, kurang aktifitas fisik dan stress. Penyakit ini menjadi faktor penyebab kematian yang cukup banyak karena sangat mudah menimbulkan penyakit komplikasi yang lain seperti hipertensi dan gagal ginjal.

Ruang lingkup pengendalian penyakit diabetes melitus dan penyakit metabolik yang ditangani oleh Subdirektorat Pengendalian Diabetes Melitus dan Penyakit Metabolik adalah diabetes melitus, obesitas, gangguan kelenjar tiroid, dislipidemia, gangguan metabolism kalsium, gangguan sekresi korteks adrenal, dan gangguan kelenjar hipotalamus.

Diabetes melitus disebabkan oleh pola makan/nutrisi, kebiasaan tidak sehat, kurang aktifitas fisik, dan stress. Tujuan program pengendalian diabetes mellitus dan penyakit metabolic adalah terselenggaranya peningkatan kemandirian masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan faktor risiko penyakit tidak menular dengan melibatkan pengelola program pusat, daerah, UPT, lintas program, lintas sector, organisasi profesi, LSM dan asyarakat,

Kegiatan pengendalian diabetes melitus dan penyakit metabolik yang telah dilaksanakan terdiri dari pokok-pokok kegiatan yakni sebagai berikut.

4. Penyusunan pedoman 5. Peningkatan kapasitas SDM 6. Menjalin kemitraan

Penyakit ini menjadi faktor penyebab kematian yang cukup banyak karena sangat mudah menimbulkan penyakit komplikasi yang lain seperti hipertensi dan gagal ginjal. Di Kabupaten Kepulauan Anambas pada tahun 2014, penyakit Diabetes Mellitus berada di urutan ke-5 (lima) pada 10 (sepuluh) terbesar penyakit tidak menular setelah stroke dan cedera akibat lain.