BAB IV. SITUASI UPAYA KESEHATAN
4.3 Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit
4.3.1. Pengendalian Penyakit Polio
Pada tahun 1988, sidang ke-14 WHA (World Health Assembly) telah menetapkan program eradikasi polio secara global (global polio eradication initiative) yang ditujukan untuk mengeradikasi penyakit polio pada tahun 2000. Kesepakatan ini diperkuat oleh sidang World Summit for Children pada tahun 1989, dimana Indonesia turut menandatangani kesepakatan tersebut. Eradikasi dalam hal ini bukan sekedar mencegah terjadi penyakit polio, melainkan mempunyai arti yang lebih luas lagi, yaitu menghentikan terjadinya transmisi virus polio liar di seluruh dunia.
Pengertian eradikasi Polio adalah apabila tidak ditemukan virus polio liar indigenous selama 3 tahun berturut – turut disuatu region yang dibuktikan dengan surveilans AFP yang sesuai standar sertifikasi. Dasar pemikiran Eradikasi Polio adalah:
1. Manusia satu-satunya reservoir dan tidak ada longterm carrier pada manusia.
2. Sifat virus polio yang tidak tahan lama hidup di lingkungan. 3. Tersedianya vaksin yang mempunyai efektivitas > 90% dan
mudah dalam pemberian.
4. Layak dilaksanakan secara operasional.
Di Indonesia, selama 10 tahun terakhir tidak ditemukan kasus AFP yang disebabkan virus polio liar. Surveilans AFP di Indonesia dilaksanakan sejak pertengahan tahun 1995. Pencapaian kinerja sampai tahun 2002 berfluktuasi, namun sejak adanya tenaga khusus (surveillance officer) ditingkat provinsi, pencapaian kinerja menunjukkan peningkatan yang cukup bermakna.
Profil Kesehatan Kota Tanjungpinang Tahun 2013 66
Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit polio telah dilakukan melalui gerakan imunisasi polio. Upaya ini juga di tindaklanjuti dengan kegiatan surveilans epidemiologi secara aktif terhadap kasus – kasus Acute Flaccid Paralysis (AFP) kelompok umur < 15 tahun dalam kurun waktu tertentu, untuk mencari kemungkinan adanya virus polio liar yang berkembang di masyarakat dengan pemeriksaan spesimen tinja dari kasus AFP yang dijumpai. Berdasarkan kegiatan surveilans AFP pada penduduk < 15 tahun tahun 2013, ditemukan 1 kasus AFP Non Polio yang ditemukan.
Target untuk non Polio AFP rate ditetapkan sebesar > 2 per 100.000 anak umur < 15 tahun. Sedangkan untuk standar spesimen adekuat adalah > 80%, artinya minimal 80% spesimen tinja penderita harus sesuai dengan persyaratan yaitu diambil < 14 hari setelah kelumpuhan dan suhu spesimen 0-8”C sampai di laboratorium.
4.3.2. Pengendalian TB – Paru
Tujuan utama pengendalian TB Paru pada Milllenium Development Goals (MDG’s) adalah : 1) menurunkan insidens TB Paru pada tahun 2015; 2) menurunkan prevalensi TB Paru dan angka kematian akibat TB Paru menjadi setengahnya pada tahun 2015 dibandingkan tahun 1990; 3) sedikitnya 70% kasus TB Paru BTA (+) terdeteksi dan diobati melalui program DOTS (Directly Observed Treatment Shortcource Chemotherapy) atau pengobatan TB Paru dengan pengawasan langsung oleh Pengawasan Menelan Obat (PMO); dan 4) sedikitnya 85% tercapai succes rate.
Profil Kesehatan Kota Tanjungpinang Tahun 2013 67
DOTS adalah strategi penyembuhan TB Paru jangka pendek dengan pengawasan secara langsung. Dengan menggunakan strategi DOTS, maka proses penyembuhan TB Paru dapat berlangsung secara cepat. DOTS menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TB Paru agar menelan obat secara teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh. Strategi DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global untuk menanggulangi TB Paru. Karena menghasilkan angka kesembuhan yang tinggi yaitu mencapai 95%.
4.3.2.1. Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif diantara Suspek yang diperiksa
Upaya Pemerintah dalam menanggulangi TB Paru setiap tahunnya semakin menunjukkan kemajuan. Hal ini dapat terlihat dari meningkatnya jumlah penderita yang ditemukan dan disembuhkan setiap tahun.
Menurut standar, persentase BTA (+) diperkirakan 10% dari suspek yang diperkirakan di masyarakat dengan nilai yang ditoleransi antara 5-15%. Bila angka ini terlalu besar (>15%) kemungkinan disebabkan kriteria pada penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi kriteria suspek atau ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu). Sedangkan bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan disebabkan kriteria yang digunakan penjaringan terlalu ketat atau ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu). Dengan demikian, sejak tahun 2006-2011 persentase BTA (+) terhadap suspek masih dalam batas yang ditolerir. Berarti, kriteria yang digunakan dalam penjaringan suspek cukup baik dan petugas kesehatan mampu mendiagnosis kasus BTA(+) sesuai standar dan kriteria.
Profil Kesehatan Kota Tanjungpinang Tahun 2013 68
Pada tahun 2013 sebanyak 1.812 suspek TB Paru diperiksa dan yang BTA (+) sebanyak 209 penderita.
4.3.2.2. Angka Penemuan Kasus TB Paru BTA (+) (Case Detection Rate / CDR) dan Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate / SR)
Angka penemuan kasus TB Paru BTA (+) memperlihatkan penemuan TB Paru BTA (+) terhadap jumlah perkiraan TB Paru. Standar CDR TB Paru sebesar 70% sedangkan persentase capaian CDR Kota Tanjungpinang untuk tahun 2013 adalah sebesar 56,95%. Ini berarti Kota Tanjungpinang untuk CDR TB Paru belum memenuhi target yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan, yaitu sebesar 70%.
Keberhasilan pengobatan TB Paru ditentukan oleh kepatuhan dan keteraturan dalam berobat, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Angka keberhasilan pengobatan (Succes Rate) tahun 2013 sebesar 88,04% telah mencapai target keberhasilan pengobatan yang distandarkan oleh WHO yaitu minimal 85%. Angka keberhasilan pengobatan penderita pada tahun 2013 (penderita yang diobati tahun 2012) menurut puskesmas dapat dilihat pada lampiran tabel 12.
4.3.3. Pengendalian Penyakit ISPA
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) merupakan penyebab kematian terbesar baik pada bayi maupun pada anak balita. Hal ini dapat dilihat melalui hasil survei mortalitas subdit ISPA pada tahun 2005 di 10 provinsi, diketahui bahwa pneumonia merupakan penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia, yaitu sebesar 22,30% dari seluruh kematian bayi. Survei yang sama juga menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyebab kematian
Profil Kesehatan Kota Tanjungpinang Tahun 2013 69
terbesar pada anak balita yaitu 23,60%. Studi mortalitas pada Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa proporsi kematian pada bayi (post neonatal) karena pneumonia sebesar 23,8% dan pada anak balita sebesar 15,5%.
Program Pengendalian Penyakit ISPA mengelompokkan penyakit ISPA dalam 2 golongan yaitu Pneumonia dan bukan Pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu Pneumonia berat dan Pneumonia tidak berat. Penyakit Batuk Pilek seperti rinitis, faringitis, tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan Pneumonia. Etiologi dari sebagian besar penyakit jalan napas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan terapi antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan pada balita. Bila ditemukan harus diobati dengan antibiotik penisilin, semua radang telinga akut harus mendapat antibiotik.
Program pengendalian ISPA menetapkan bahwa semua kasus yang ditemukan harus ditatalaksana sesuai standar, dengan demikian angka penemuan kasus pneumonia juga menggambarkan penatalaksanaan kasus ISPA.
Cakupan penemuan penderita pneumonia pada tahun 2013 sebesar 11,78%. Hal ini disebabkan oleh pengendalian pneumonia balita masih berbasis Puskesmas.
4.3.4. Penanggulangan penyakit HIV / AIDS dan PMS
Upaya pelayanan kesehatan dalam rangka penanggulangan penyakit HIV / AIDS di samping ditujukan pada penanganan penderita yang ditemukan juga diarahkan pada upaya pencegahan melalui penemuan penderita secara dini dilanjutkan dengan kegiatan konseling.
Profil Kesehatan Kota Tanjungpinang Tahun 2013 70
Upaya penemuan penderita dilakukan melalui skrining HIV / AIDS terhadap darah donor, pemantauan pada kelompok berisiko penderita Penyakit Menular Seksual (PMS) seperti Wanita Penjaja Seks (WPS), penyalahguna obat dengan suntikan (IDUs), penghuni Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) atau melalui penelitian pada kelompok berisiko rendah seperti ibu rumah tangga dan sebagainya. Hasil pelaksanaan sero survey terhadap ibu hamil yang dilakukan terhadap 818 ibu hamil, ditemukan 4 orang HIV (+) (0,5%).
Dalam perjalanan penyakit HIV dikenal istilah “window period” (periode jendela) yaitu 12 minggu sejak virus masuk dalam tubuh sampai terbentuk antibodi. Sering terjadi salah pengertian dimana dianggap “tidak terinfeksi virus HIV” (pemeriksaan saat ini tidak/belum mendeteksi adanya antibodi), padahal periode jendela ini sangat potensial dalam menularkan virus karena saat ini virus berkembang biak sangat cepat. Pada kelompok demikian, dianjurkan memeriksa ulang 12 minggu kemudian.
4.3.5. Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang perjalanan penyakitnya cepat dan dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) di Indonesia.
Profil Kesehatan Kota Tanjungpinang Tahun 2013 71
Upaya pemberantasan demam berdarah terdiri dari 3 hal yaitu: 1) peningkatan kegiatan surveilans penyakit dan surveilans vektor; 2) diagnosis dini dan pengobatan dini; dan 3) peningkatan upaya pemberantasan vektor penular penyakit DBD. Upaya pemberantasan vektor ini yaitu dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan pemeriksaan jentik berkala. Keberhasilan kegiatan PSN antara lain dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ).
Metode yang tepat guna untuk mencegah DBD adalah Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui 3M plus (Menguras, Menutup dan Mengubur) plus menabur larvasida, penyebaran ikan pada tempat penampungan air serta kegiatan-kegiatan lainnya yang dapat mencegah/memberantas nyamuk Aedes berkembang biak.
Angka Bebas Jentik (ABJ) sebagai tolak ukur upaya pemberantasan vektor melalui PSN-3M menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat dalam mencegah DBD. Oleh karena itu pendekatan pemberantasan DBD yang berwawasan kepedulian masyarakat merupakan salah satu alternatif pendekatan baru.
Surveilans vektor dilakukan melalui kegiatan pemantauan jentik oleh petugas kesehatan maupun juru/kader pemantauan jentik (Jumantik/Kamantik). Pengembangan sistem surveilans vektor secara berkala perlu terus dilakukan terutama dalam kaitannya dengan perubahan iklim dan pola penyebaran kasus. Angka bebas jentik tahun 2013 yang dilaksanakan pemantauan di Kota Tanjungpinang yang dilakukan oleh Kader Jumantik menunjukkan angka sebesar 84,97% yang artinya ABJ Kota Tanjungpinang masih dibawah standar nasional sebesar 95%.
Profil Kesehatan Kota Tanjungpinang Tahun 2013 72
4.3.6. Pengendalian Penyakit Malaria
Di Indonesia kejadian penyakit malaria dan terjadinya Kejadian Luar Biasa malaria sangat berkaitan erat dengan beberapa hal sebagai berikut: 1) Adanya perubahan lingkungan yang berakibat meluasnya tempat perindukan nyamuk menular malaria; 2) Mobilitas penduduk yang cukup tinggi; 3) Perubahan iklim yang menyebabkan musim hujan lebih panjang dari musim kemarau; 4) krisis ekonomi yang berkepanjangan memberikan dampak pada daerah-daerah tertentu dengan adanya masyarakat yang mengalami gizi buruk sehingga lebih rentan untuk terserang malaria; 5) Tidak efektifnya pengobatan karena terjadi Plasmodium falciparum resisten klorokuin dan meluasnya daerah resisten, serta 6) Menurunnya perhatian dan kepedulian masyarakat terhadap upaya penanggulangan malaria secara terpadu.
Penggalakan pemberantasan malaria melalui gerakan masyarakat yang dikenal dengan Gerakan Berantas kembali Malaria atau “Gebrak Malaria” telah dicetuskan pada tahun 2000. Gerakan ini merupakan embrio pengendalian malaria yang berbasis kemitraan dengan berbagai sektor dengan slogan “Ayo Berantas Malaria”.
Pengendalian malaria di Indonesia yanng tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 293/MENKES/SK/IV/2009 tanggal 28 April 2009 tentang Eliminasi Malaria di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang hidup sehat, yang terbebas dari penularan malaria secara bertahap sampai tahun 2030. Sasaran wilayah eliminasi dilaksanakan secara bertahap sebagai berikut:
a. Kepulauan Seribu (Provinsi DKI Jakarta), Pulau Bali, dan Pulau Batam pada tahun 2010;
b. Pulau Jawa, Provinsi NAD, dan Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2015;
Profil Kesehatan Kota Tanjungpinang Tahun 2013 73
c. Pulau Sumatera (Kecuali Provinsi NAD dan Provinsi Kepulauan Riau), Provinsi NTB, Pulau Kalimantan, dan Pulau Sulawesi pada tahun 2020; dan
d. Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Maluku, Provinsi NTT dan Provinsi Maluku Utara, pada tahun 2030.
4.3.6.1. Persentase Penderita Malaria yang Diobati
Persentase penderita malaria yang diobati merupakan persentase penderita malaria yang diobati sesuai pengobatan standar dalam kurun waktu 1 tahun dibandingkan dengan tersangka malaria dan atau positif malaria yang datang ke sarana pelayanan kesehatan.
Persentase penderita malaria yang diobati tahun 2013 sebesar 100%, berarti semua penderita tersangka malaria dan atau positif malaria yang datang ke sarana kesehatan diobati sesuai pengobatan standar.
4.3.6.2. Pencapaian Pemeriksaan Sediaan Darah (Konfirmasi
Laboratorium)
Berdasarkan cakupan konfirmasi laboratorium semua penderita klinis malaria dilakukan pemeriksaan sediaan darahnya. Pemeriksaan sediaan darah pada tahun 2013 sebesar 469 orang dimana dari yang diperiksa sediaan darah 7,46% positif malaria.
Profil Kesehatan Kota Tanjungpinang Tahun 2013 74
4.3.7. Pengendalian Penyakit Kusta
Untuk menilai kinerja petugas dalam penemuan kasus penyakit kusta, digunakan angka proporsi cacat tingkat II (cacat akibat kerusakan syaraf dan cacat terlihat). Tingginya proporsi cacat tingkat II menunjukkan keterlambatan dalam penemuan kasus atau dengan kata lain kinerja petugas yang rendah dalam menemukan kasus serta pengetahuan masyarakat yang rendah. Pada tahun 2013 penderita baru cacat tingkat II tidak ada kasus.