• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.9 Pencegahan HIV/AIDS

2.9.2 Pencegahan Sekunder

Pencegahan tahap kedua ini dilakukan untuk mencegah agar infeksi opurtunistik tidak terjadi, kalaupun terjadi tidak menyebabkan kondisi yang sangat berisiko. Beberapa tindakan yang dilakukan adalah:

a. Melakukan diagnosis dini terinfeksi HIV/AIDS dengan menggunakan uji laboratorium terhadap spesimen darah di klinik VCT. Diagnosis pasti terinfeksi HIV ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium yang dimulai dengan uji ELISA (Enzym linked Immunosorbent Assay) dilanjutkan dengan uji Western blot karena uji ini mampu mendeteksi komponen yang terkandung di dalam HIV.3 Sementara itu, Departemen Kesehatan RI (2005) menetapkan diagnosis AIDS untuk kepentingan surveilans, yaitu:

1. Dewasa (> 12 tahun) apabila:

a. Tes HIV + dan ditemukan 2 tanda mayor dan 1 tanda minor, b. Ditemukan sarkoma kaposi atau PCP.

2. Anak-anak (≤ 12 tahun) apabila:

a. Jika umur ≥ 18 bulan, tes HIV + dan ditemukan 2 tanda mayor dan 2 tanda minor,

b. Jika umur < 18 bulan, tes HIV + dan ditemukan 2 tanda mayor dan 2 tanda minor dengan ibu yang HIV +.

Tabel 2.3 Diagnosis AIDS Berdasarkan Tanda Mayor dan Minor

Tanda Mayor Tanda Minor

a) Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 1 bulan

b) Diare kronis lebih dari 1 bulan

c) Demam menetap lebih dari 1 bulan secara konstan atau intermiten

d) Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis

e) Ensefalopati HIV

a) Batuk menetap lebih dari 1 bulan b) Dermatitis generalisata

c) Herpes zoster rekuren

d) Infeksi herpes simpleks virus kronis progresif

e) Kandidiasis orofaringeal

f) Infeksi jamur berulang pada alat kelamin

g) Retinitis oleh virus cytomegalovirus (CMV)

Sumber: Depkes RI, 200552

Saat ini, pemerintah telah menyelenggarakan klinik Voluntary, Councelling, and Testing (VCT) untuk mengetahui status HIV/AIDS secara dini. Klinik VCT mencakup proses konseling pra-testing, konseling pos-testing, dan testing HIV secara sukarela yang bersifat confidential dan secara lebih dini membantu seseorang untuk mengetahui status HIV. Konseling pra-testing memberikan pengetahuan tentang HIV dan manfaat testing, pengambilan keputusan untuk testing, dan perencanaan atas hasil tes HIV yang akan dihadapi. Konseling pos-testing membantu seseorang untuk mengerti dan menerima status (HIV +) dan merujuk pada layanan dukungan yang tersedia.53

b. Pengobatan suportif untuk meningkatkan keadaan umum penderita. Pengobatan ini termasuk profilaksis kotrimoksasol, terapi antiretroviral (ART), serta nutrisi yang baik bagi ODHA.

Beberapa IO pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan ini, yaitu profilaksis primer untuk mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita dan profilaksis sekunder untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya. Berikut adalah tabel mengenai anjuran pemberian profilaksis kotrimoksasol pada ODHA:

Tabel 2.4 Pemberian Kotrimoksasol Sebagai Profilaksis

Indikasi Saat Penghentian Dosis Pemantauan

Bila tidak tersedia pemeriksaan jumlah CD4, semua pasien diberikan kotrimkosasol segera setelah dinyatakan HIV +

Dua tahun setelah penggunaan kotrimoksasol jika mendapatkan ARV

960 mg/hari dengan dosis tunggal Efek samping berupa tanda hipersensitivitas seperti demam, kemerahan, sindrom Steven- Jhonson, anemia, trombositopeni, leukopeni, pansitopeni. Bila tersedia pemeriksaan

jumlah sel CD4 dan terjangkau, kotrimoksasol diberikan pada pasien dengan CD < 200 sel/mL

Bila sel CD4 naik > 200 sel/mL pada pemeriksaan dua kali interval 6 bulan berturut- turut jika mendapatkan ARV Semua bayi lahir dari ibu

hamil HIV + berusia 6 minggu

Dihentikan pada usia kehamilan 18 bulan dengan hasil tes HIV -. Jika hasil tes HIV +, dihentikan pada usia 18 bulan jika mendapatkan terapi ARV

Trimetropim 8-10 mg/kg BB dengan dosis tunggal

Sumber: Kemenkes RI, 20116

b.2 Terapi Antiretroviral (ART)

Sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1996, ARV terbukti menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat HIV/AIDS. Pemeriksaan klinis dijadikan dasar untuk memulai terapi ARV pada ODHA. Semua pasien dengan stadium klinis 3 dan 4 harus memulai terapi ARV. 6

Saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau muncunya IO yang pertama. Artinya, pada saat penderita dinyatakan HIV +, dianjurkan untuk segera memulai terapi ARV. Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi ARV dimulai pada saat CD4 < 200 sel/mL darah dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4, maka terapi dimulai sebelum CD4 kurang dari 200 sel/mL darah. Berikut adalah tabel yang menunjukkan waktu untuk memulai terapi ARV:

Tabel 2.5 Saat Untuk Memulai Terapi ARV Pada ODHA Stadium

Klinis

Bila tersedia pemeriksaan CD4 Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4 1 Terapi ARV dimulai jika CD < 200

sel/mL darah

Terapi ARV belum diberikan

2 Bila jumlah total limfosit < 1200 sel/mL

darah 3 Jika CD4 diantara 200-350 sel/mL

darah, pertimbangkan untuk diberikan ARV sebelum CD turun menjadi di bawah 200 sel/mL darah

Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah limfosit total

4 Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah CD4

Sumber: Kemenkes RI, 20116

Pada pasien dengan IO yang masih aktif, tidak diperbolehkan memulai terapi ARV. Pada dasarnya IO harus diobati atau diredakan terlebih dulu kecuali untuk jenis IO Mikrosporidiosis, CMV, Kriptosporidiosis, dan PML. Hal ini berkaitan dengan efek samping obat ARV yang dapat saling menghilangkan pengaruh ketika dikonsumsi bersamaan dengan obat IO.6 Sampai dengan saat ini, terdapat tiga jenis ARV yang digolongkan berdasarkan cara kerjanya, yaitu sebagai berikut:

Tabel 2.6 Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART)

Golongan Obat dan Mekanisme Kerja Nama Obat

Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor

(NRTI). Bekerja dengan cara menghambat enzim reverse transcriptase sehingga pertumbuhan rantai DNA hasil replikasi virus terhenti.

Abacavir (ABC) Didanosin (ddI) Lamivudine (3TC)

Stavudine (d4T) Zidovudin (ZDZ atau AZT) Tenofir disoproxil fumarat (TDF)

Emtricitabine (FTC)

Non-nucleoside Reverse Transcriptase

(NNRTI). Bekerja dengan cara menghambat transkripsi RNA HIV menjadi DNA.

Nevirapin (NVP) Efavirenz (EFZ)

Protease Inhibitor (PI). Bekerja dengan cara menghambat enzim protease HIV sehinggan pematangan virus tidak terjadi.

Indinavir (IDV) Ritonavir (RTV, r) Lopinavir (LPV) Nelvinafir (NFV) Saquinafir (SQV) Sumber: WHO, 200827

Saat ini, regimen terapi ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari tiga jenis obat ARV. Pemerintah Indonesia menganjurkan untuk menggabungkan 2 jenis obat ARV golongan NRTI ditambah 1 jenis dari golongan NNRTI pada lini pertama terapi ARV, yaitu:

Tabel 2.7 Kombinasi Obat untuk Terapi ARV Lini Pertama

Obat A Obat B Lamivudine + Zidovudin Lamivudine + Didanosin Lamivudine + Stavudine Efavirenz Lamivudine + Zidovudin Lamivudine + Stavudine Lamivudine + Didanosin Nevirapin Lamivudine + Zidovudin Lamivudin + Stavudine Lamivudin + Didanosin Nevirapin

Sumber: Kemenkes RI, 20116

Kegagalan pengobatan yang ditandai dengan menurunnya CD4 di bawahh 100 sel/mL dan meningkatnya viral load melebihi 10.000 sel/mL setelah 6 bulan

terapi ARV mengharuskan ODHA menggunakan terapi ARV lini kedua, yang terdiri dari:

Tabel 2.8 Kombinasi Obat untuk Terapi ARV Lini Kedua

Obat A Obat B

Didanosisn + Abacavir

Ritonavir Abacavir + Tenofir disoproxil fumarat

Lamivudine + Tenofir disoproxil fumarat Efavirenz + Nevirapin

Sumber: Kemenkes RI, 20116

b.3 Nutrisi Pada ODHA

Gangguan sistem kekebalan tubuh pada ODHA dapat menurunkan status gizi akibat kurangnya asupan makanan karena berbagai jenis infeksi. Status nutrisi seseorang dapat ditentukan dengan menilai indeks massa tubuh (IMT). Laporan di DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan menemukan dari 752 responden ODHA , sebanyak 1% berada pada stadium 4 dengan status gizi buruk (IMT 16,92 ) dan sekitar 80% ODHA mempunyai masalah gizi antara lain kehilangan BB (wasting), diare, mual dan muntah, tidak nafsu makan (appetite) dan oral kandidiasis.26

CDC (2003) mengklasifikasikan IMT menjadi lima kategori, yaitu:25 1. IMT < 18,5 kg/m2 sebagai berat badan kurang,

2. IMT 18,5-22,9 kg/m2 sebagai berat badan normal, 3. IMT 23-24,9 kg/m2 sebagai praobes

4. IMT 25-29,9 kg/m2 sebagai obes tingkat I 5. IMT ≥ 30 kg/m2 sebagai obes tingkat II

Hasil penelitian Koethe (2011) di Amerika Serikat melaporkan bahwa sebanyak 58% ODHA dengan IMT di bawah 18,5 kg/m2 memiliki jumlah CD4

255 sel/mL darah, dan hanya 19% dengan IMT 23-24,9 kg/m2 yang memiliki CD4 sekitar 260 sel/mL darah. Selain itu, didapatkan hasil bahwa risiko ODHA mengalami kematian paling tinggi ditemukan pada IMT di bawah 18,5 kg/m2 sebesar 80%.53 Hasil penelitian Susilowati (2009) di Semarang dan sekitarnya menunjukkan

bahwa ODHA yang memiliki IMT di bawah 18,5 kg/m2 sebanyak 63% dan dengan

IMT 18,5-22,9 kg/m2 sebanyak 37%.54

c. Pengobatan infeksi opurtunistik untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS. Penanganan terhadap infeksi ini disesuaikan dengan jenis mikroorganisme penyebabnya dan diberikan sesuai anjuran petugas kesehatan.

d. Pengobatan antiretroviral (ARV) untuk menghambat kinerja enzim reverse transcriptase atau enzim protease. Pengobatan ARV terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi opurtunistik menjadi jarang terjadi dan lebih mudah diatasi, meskipun ARV belum bisa menyembuhkan pasien HIV/AIDS.

Dokumen terkait