• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencurian dengan Kekerasan Sebagai Bagian

BAB I PENDAHULUAN

A. Pencurian dengan Kekerasan Sebagai Bagian

Kejahatan merupakan suatu fenomena yang kompleks yang dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar tentang suatu peristiwa kejahatan yang berbeda satu dengan yang lain. Dalam pengalaman kita ternyata tidak mudah untuk memahami kejahatan itu sendiri. Kejahatan muncul bukan saja dari campur tangan penguasa saja, tetapi juga muncul dari persoalan pribadi ataupun keluarga. Individu yang merasa dirinya menjadi korban perbuatan orang lain, akan mencari balas terhadap pelakunya.56

Pada abad 18 muncullah para penulis yang kemudian disebut sebagai mazhab klasik, sebagai reaksi atas ketidak pastian hukum dan ketidak adilan serta sewenang-wenangan penguasa. Mazhab klasik ini mengartikan kejahatan sebagai perbuatan yang melanggar undang-undang. Ajarannya yang terpenting adalah doktrin nullum crimen sine lege yang berarti tidak ada kejahatan apabila undang-undang tidak menyatakan perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang dilarang.57

Lama kelamaan timbul ketidakpuasan terhadap ajaran mazhab ini dan pada akhir abad ke-19 muncullah pandangan baru yang lebih menitikberatkan pada pelakunya dalam studi terhadap kejahatan. Mazhab ini muncul diantara para studi kejahatan di Italia yang kemudian disebut Mazhab Positif. Mazhab positif ini di pelopori oleh C. Lombroso, seorang dokter ahli ilmu kedokteran kehakiman. Ia

56

Topo Santoso, Kriminologi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hlm.1 57

I.S. Susanto, Kriminologi, Yogyakarta : Genta Publishing, Cet. 1, 2011, hlm. 22

mengartikan bahwa kejahatan sebagai perbuatan yang melanggar hukum alam (natural law). Aliran ini berusaha untuk mengatasi relativitas dari hukum pidana dengan mengajukan konsep kejahatan yang non hukum. Perkembangan selanjutnya, konsep kejahatan yang non hukum tersebut banyak menguasai para sarjana Kriminologi di Amerika terutama sampai pertengahan abad ke 20.58

Beberapa kritikan terhadap mazhab tersebut diajukan oleh Ray Jeffery yang menyatakan bahwa dalam mempelajari kejahatan harus dipejari dalam rangka hukum pidana. Sebab dari hukum pidana, kita dapat mengetahui bagaimanakah suatu tingkah laku dipandang sebagai kejahatan dan bagaimana peraturan perundang-undangan berinteraksi dengan system norma yang lain.59

Kejahatan ini sebenarnya telah pikirkan sejak beradad-abad lalu oleh para ilmuwan terkenal. Misalnya, Plato (427-347 SM ), plato menyatakan dalam bukunya ‘Republiek’ menyatakan bahwa emas, manusia adalah merupakan sumber dari banyak kejahatan. Aristoteles (382-322 SM ) menyatakan bahwa kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan. Kejahatan yang besar tidak diperbuat untuk memperoleh apa yang perlu untuk hidup, tetapi untuk kemewahan. Thomas Aquino (1226-1274) memberikan beberapa pendapatnya tentang pengaruh kemiskinan atas kejahatan. “orang kaya yang hidup untuk kesenangan dan memboros-boroskan kekayaannya, jika suatu kali jatuh miskin, mudah menjadi pencuri”. Thomas More (1478-1535) dalam bukunya Utopia (1516), ia menceritakan bahwa hukuman berat yang dijatuhkan kedapa penjahat pada waktu itu tidak berdampak banyak untuk menghapuskan kejahatan yang

58

Ibid, hlm. 23 59

29

terjadi. Untuk itu katanya, harus dicari sebab musabab kejahatan dan menghapuskannya.60

Selain para sarjana diatas, ada juga pendapat sarnaja yang lain. Misalnya, R. Soesilo, ia membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan Undang-undang. Untuk dapat melihat apakah perbuatan itu bertentangan dengan undang-undang atau tidak, maka undang-undang itu haruslah diciptakan terlebih dahulu sebelum adanya peristiwa pidana. Hal ini selain untuk mencegah adanya tindakan yang sewenang-wenang dari pihak penguasa juga agar dapat memberikan kepastian hokum.61

Asas ini dalam hukum pidana disebut “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” artinya tidak ada suatu perbuatan yang boleh dijatuhi hukuman selain berdasarkan ketentutan perundang-undangan yang telah dibuat sebelumnya. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.62

Menurut M.A Elliot, Kejahatan adalah suatu problem dalam masyarakat modern atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum yang dapat dijahuti hukuman penjara, hukuman mati, dan hukuman denda. Pendapat lain dikemukakan oleh J.E.Sahetapy dalam bukunya Causa Kejahatan dan beberapa

60

Santoso, Op.Cit 61

Ediwarman , dkk, Azas-azas Kriminologi, USU PRESS, 1994, hlm.45 62

Ibid

analisis kriminologi yang menyatakan bahwa kejahatan adalah tidak lain dan tidak bukan hanyalah suatu penanaman belaka yang diberikan oleh pemerintah selaku pihak yang berkuasa dimana dalam pelaksanaannya dibebankan kepada pundak hakim untuk memberikan penilaian atau pertimbangan apakah suatu persoalan yang diajukan adalah perbuatan pidana atau bukan.63

Menurut J.M Bemmelem dalam bukunya Criminologie tahun 1958, kejahatan adalah suatu tindakan atau kelakuan yang merugikan dan merusak asusila, yang menimbulkan kegoncangan besar kepada masyarakat tertentu, sehingga masyarakat ituberhak mencela dan mengadakan perlawanan terhadap kelakuan tersebut dengan jalan menjatuhkan penderitaan terhadap pelaku perbuatan itu (pembalasan).64

Pada bab I sebelumnya, telah dijelaskan pengertian dari kejahatan kekerasan itu sendiri. Pada bab II ini akan membahas jenis-jenis dari kejahatan kekerasan itu sendiri. Menurut Haskell dan Yablonsky, ada empat jenis perbuatan yang menjadi dasar kategori kejahatan kekerasan, yaitu Pembunuhan (moord ), perkosaan dengan penganiyaan (forcible rape), Perampokan (robbery), dan penganiayaan berat (aggravated assault).65

Penelitian ini akan membahas satu-persatu bagian dari kejahatan kekerasan diatas, antara lain :

63

Ibid, hlm. 46 64

Stephan, Hurwitz, Kriminologi, Jakarta : PT. Bina Aksara, 1986, hlm. 4 65

31

1. Pembunuhan Berencana ( pasal 340 KUHP ) Isinya sebagai berikut :

“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukumj karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau hukuman penjara selama-lamanya dua puluh tahun”66

Rumusan tersebut diatas terdiri dari unsur-unsur : 3. Unsur Subyektif

4. Dengan Sengaja

5. Dengan rencana terlebih dahulu 4. Unsur Obyektif

d. Perbuatan : menghilangkan nyawa e. Obyeknya : nyawa orang lain.

Pasal 340 KUHP dirumuskan dengan cara mengulang kembali seluruh unsur dalam pasal 338 KUHP, kemudian ditambah dengan satu unsur lagi yakni “dengan direncanakan terlebih dahulu”.67 Pebedaan antara pembunuhan dengan pembunuhan direncanakan terlebih dahulu terletak dalam apa yang terjadi didalam diri sipelaku sebelum pelaksanaan menghilangkan jiwa seseorang. Untuk pembunuhan direncanakan terlebih dahulu, diperlukan berpikir secara tenang bagi pelaku. Pengambilan keputusan dalam pembunuhan biasa dalam menghilangkan jiwa seseorang dan pelaksaannya merupakan suatu kesatuan, sedangkan pada pembunuhan direncanakan terlebih dahulu kedua hal tersebut terpisah oleh waktu

66

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor : POLITEIA, 1994, hlm. 241

67

Chazawi, Adami, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 81

yang diperlukan guna berpikir secara tenang tentang pelaksanaannya, juga waktu untuk member kesempatan guna membatalkan pelaksanaannya.68

Jangka waktu itu bukan menjadi criteria bagi pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu. Jangka waktu dapat digunakan sebagai petunjuk adanya rencana terlebih dahulu, tetapi tidak menjadi bukti. Direncanakan terlabih dahulu memang terjadi pada seseorang dalam suatu keadaan dimana mengambil putusan untuk menghilangkan jiwa seseorang ditimbulkan oleh hawa nafsu nya dan dibawah pengaruh hawa nafsu itu juga dipersiapkan pelaksanaannya, setelah dilakukannya perbuatan itu.69

Mengenai unsur dengan direncanakan terlebih dahulu, pada dasarnya mengandung tiga (3) unsur, yaitu 70:

a. Memutuskan kehendak dalam suasana tenang.

Memutuskan kehendak dalam suasana tenang adalah pada saat memutuskan kehendak untuk membunuh itu dilakukan dalam suasana batin yang tenang. Suasana batin yang tenang adalah suasana tidak tergesa-gesa atau tiba-tiba, tidak dalam keadaan terpaksa dan emosi yang tinggi, sehingga perbuatan nya itu dapat terwujud.

b. Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak.

Waktu yang cukup ini adalah relative, dalam arti tidak diukur dari lamanya waktu tertentu, malainkan bergantung pada keadaan atau kejadian kongret yang

68 Ibid 69

Anwar, Moch ( Dading ), Hukum pidana bagian khusus ( KUHP buku II ), Alumni Bandung, 1980, hlm 93

70

33

berlaku. Tidak terlalu singkat, karena jika terlalu singkat, tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berpikir-pikir, karena tergesa-gesa, waktu yang demikian sudah tidak menggambarkan suasana yang tenang. Begitu juga tidak boleh terlalu lama, sebab bila terlalu lama sudah tidak lagi menggambarkan ada hubungan antara pengambilan keputusan kehendak untuk membunuh dengan pelaksanaan pembunuhan.

Sebagai adanya hubungan itu, dapat dilihat dari indikatornya bahwa dalam waktu itu : (1) dia masih sempat untuk menarik kehendaknya membunuh, (2) bila kehendaknya sudah bulat, ada waktu yang cukup untuk memikirkan bagaimana cara yang akan digunakan dan alat apa yang akan di gunakan dalam pelaksanaannya.

Mengenai adanya cukup waktu, dalam tenggang waktu ada kesempatan untuk memikirkan dengan tenang untung ruginya pembunuhan itu dan lain sebagainya. Arrest HR (22-1909) menyatakan bahwa “ untuk dapat diterimanya suatu rencana terlebih dahulu, maka adalah perlu adanya tenggang waktu pendek atau panjang dalam melakukan pertimbangan dan pemikiran yang tenang. Pelaku harus dapat mempertimbangkan makna dan akibat-akibat perbuatannya, dalam suatu suasana kejiwaan yang memungkinkan untuk berpikir” (Soenarto Soerodibroto, 1994 :207 ).

c. Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang

Maksud suasana tenang disini adalah pembunuhan dilakukan tidak dalam suasana yang tergesa-gesa, amarah yang tinggi, rasa takut dan sebagainya. Ketiga unsur diatas, bersifat kumulatif dan saling berhubungan, suatu kebetulan yang

tidak terpisahkan. Sebab bila sudah terpisah, maka sudah tidak lagi dengan direncanakan terlebih dahulu71. Contoh, I.Ketut Penter telah lama bermusuhan dengan Amak Miasi, pada hari senin, tanggal 8 September 1986. I. ketut Penter berjumpa dengan Amak Miasi disawah kampong Bongor Desa Jembatan Kembar Kabupaten Lombok Barat. Pada waktu bertemu, mereka saling memaki dan menantang. Setelah I. Ketut Penter mendengan makian dan tantangan dari Amak Miasi, maka ia pulang mengambil tombak yang bergagang kayu panjang. Setelah mengambil tomabak, ia pergi ke tempat Amak Miasi , kemudian I. Ketut menusukkan tomabknya kearah dada kanan Amak Miasi sehingga dada nya tembus dan tulang dadanya ke-7 dan ke-8 putus. Akibat dari tusukan tombak tersebut, Amak Miasi terjatuh dan meninggal dunia.72

Pasal 340 oleh karena mengulang lagi seluruh unsur pasal 338, maka pembunuhan berencana dapat dianggap sebagai pembunuhan yang berdiri sendiri (een zelfstanding misdrijf ) lepas dan lain dengan pembunuhan biasa dalam pokok (pasal 338 ).73

2. Pemerkosaan (pasal 285 KUHP)

Pasal 285 berisi : “ Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”.74

71

Chazawi, Op.Cit, hlm. 84 72

Suharto, Hukum Pidana Materil, cet : II, Jakarta : Sinar Grafika, 1996, hlm. 84 73

Ibid 74

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor : POLITEIA, 1994, hlm. 210

35

Pasal 285 adalah rumusan perbuatan kejahatan terhadap kesusilaan dengan unsur kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita yang bukan istrinya untuk bersetubuh, maka pasarl ini disebut kejahatan “Perkosaan”.75

Unsur pemberatana pidana dalam pasal ini ialah : “ dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita yang bukan istrinya untuk bersetubuh”. Dalam delik ini, yang perlu dibuktikan adalah :76

a. Bentuk kekerasan atau ancaman kekerasan yang bagaimana dilakukan pelaku sehingga persetubuhan dapat terlaksana.

b. Kekerasan atau ancaman kekrasan harus ada hubungannya langsung dengan persetubuhan yang dilakukan pelaku.

c. Bahwa persetubuhan tersebut tidak diketahui oleh korban d. Korban adalah bukan istrinya.

Delik yang diatur dalam pasal 285 KUHP kehendak yang dimaksud adalah bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Delik perkosaan pada umum nya tidak dilakukan di depan umum, sehingga dalam pembuktikannya akan mengalami hambatan, kecuali di dukung oleh petunjuk yang kuat dan menurut logika dapat meyakinkan bahwa perbuatan tersebut dapat terbukti.77 Tindak pidana yang mirip dengan pasal 285 ini adalah pasal 289 KUHP yaitu “penyerangan kesusilaan dengan perbuatan” (feitelijke aanranding der eerbaarheid) yang isinya sebagai berikut78 :

75 Suharto, ibid, hlm. 84 76 Ibid, hlm. 85 77 Suharto, Loc.Cit 78

Wirjono, Prodjodikoro, Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Cet-II, Bandung : PT. Eresco, hlm. 123

Pasal 289 KUHP : “ barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun”79

Menurut komentar penulis belanda, perbuatan cabul yang dipaksakan dalam pasal 289, merupakan pengertian umum yang meliputi perbuatan bersetubuh dari pasal 285 sebagai pengertian khusus. Perbedaan lain antara pasal 285 dengan 289 antara lain 80:

a. Perkosaan untuk bersetubuh hanya dapat dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, sedangkan perkosaan untuk cabul juga dapat dilakukan oleh perempuan terhadap seorang laki-laki.

b. Perkosaan untuk bersetubuh hanya dapat dilakukan diluar perkawinan, sehingga seorang suami boleh saja memperkosa istrinya untuk bersetubuh. Sedangkan perkosaan untuk cabul juga dapat dilakukan didalam perkawinan, sehingga tidak boleh seorang suami memaksa isterinya untuk cabul atau seorang istri semaksa suaminya untuk dicabul.

3. Pencurian dengan Kekerasan (pasal 365 KUHP). Isinya sebagai berikut :

Ayat (1) : “hukuman dengan penjara selama-lamanya Sembilan tahun, dihukum dengan pencurian yang didahului, disertai atau adiikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang, dengan maksud akan menyiapkan atau memudahkan pencurian itu atau jika tertangkap tangan supaya ada kesempatan bagi dirinya sendiri atau bagi kawannya ysng turut melakukan kejahatan itu akan melarikan siri atau supaya barang atau yang dicuri itu tetap d tanangan si pencuri”.

79

Soesilo,R, Op.Cit, hlm. 212. “perbuatan cabul” adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan ( kesopanan ) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya : cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada

80

37

Ayat (2) : “ Hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun, dijatuhkan : 1e : Jika perbuatan itu dilakukan pada waktu malam didalam sebuah rumah atau

pekarangan yang tertutup, yang ada rumahnya atau didajalan umum atau didalam kereta api atau term yang sedang berjalan.

2e : Jika perbuatan itu dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih.

3e : Jika sitersalah masuk ketempat melakukan kejahatan itu dengan jalan membongkar atau memanjat atau dengan jalan memakai kunci palsu atau pakaian jabatan palsu.

4e : Jika perbuatan itu menjadikan ada orang menadapat luka berat.

Ayat (3) : “Hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun dijatuhkan jika karena perbuatan itu ada orang mati’

Ayat (4) : “ Hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau penajara selama-lamanya dua puluh tahun dijatuhkan, jika perbuatan itu menjadikan ada orang mendapat luka berat atau mati, dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih dan disertai pula oleh salah satu hal yang dikarenakan dalam no.1 dan 3”.81

Unsur delik yang terdapat pada pasal 365 ayat (1) adalah : Unsur Objektif :82

1). Cara atau Upaya yang digunakan a. Kekerasan, atau;

b. Ancaman kekerasan. 2). Yang ditujukan kepada orang.

3). Waktu penggunaan upaya kekerasan dan/atau ancaman kekerasan itu ialah: a. Sebelum, b. Pada saat, c. Setelah. 81 R. Soesilo, Op.Cit, hlm. 253-254 82

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta : PT. Raja Grafika Persada, 2002, hal. 91

Unsur Subjektif :

1. Digunakannya kekerasan atau ancaman kekerasan itu, dengan maksud yang ditujukan:

a. Untuk mempersiapkan pencurian b. Untuk mempermudah pencurian,

c. Untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lain apabila tertangkap tangan,

d. Untuk tetang menguasai benda yang dicuri agar tetap berada ditangannya. Pada pasal 365 KUHP ini merupakan pencurian dengan kekerasan dengan keadaan yang membertakan karena didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dengan maksud untuk menyiapkan, mempermudah, melarikan diri sendiri atau untuk tetap meguasai atas barang yang dicurinya yang dilakuka pada waktu dan dengan cara tertentu yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dan mengakibatkan seperti yang dilakukan dalam pasal 265 ayat (2) dan (3) KUHP, dengan demikian pasal ini disebut “pencurian dengan kekarasan”.83

Pasal 365 ini, yang perlu dibuktikan pada delik ini ialah :”bentuk kekerasan atau ancaman kekerasan yang bagaimanakah yang dilakukan oleh pelaku. Bentuk kekerasan diatas dapat dilihat pada pasal 89 KUHP84. Seperti yang

83

Suharto, Op.Cit, hlm. 79 84

Suharto, Op.Cit, hlm .80

Lihat pasal 89 KUHP, Yang dimaksud dengan melakukan kekerasan itu adalah membuta orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah). “melakukan kekerasan” artinya : “mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak syah”, misalnya memukuldengan tangan atau dengan segala benda tajam, menyepak, dan menendang. “pingsan”artinya : “tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya”. “tidak berdaya”artinya : tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun “.

39

telah dirumuskan pada pasal 365 KUHP, bahwa pencuri waktu malam ke tempat melakukan kejahatan dengan didahuliu, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, maka terlah terjadi beberasapa tindak pidana yang dilakukan.

4. Penganiayaan Berat (pasal 354 KUHP) Isinya sebagai berikut ;

Ayat (1) : “Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain, dihukum karena menganiaya berat, dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun’’

Ayat (2) : “Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya, sitersalah dihukum selama-lamanya sepuluh tahun”.85

Unsur-unsur yang terdapat pada pasal 354 KUHP ini ialah : e. Kesalahannya : adanya Kesengajaan ( opzettelijk ) f. Perbuatannya : Melukai berat

g. Obyeknya : tubuh orang lain h. Akibatnya : Luka Berat

Unsur akibat dari kesengajaan sebetulnya sudah merupakan bagian atau kesatuan dari unsur perbuatan melukai berat, karena perbuatan melukai berat adalah suatu perbuatan yang untuk terjadinya secara sempurnya memerlukan adanya akibat. Tanpa timbunya akibat luka berat, suatu perbuatan tidak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melukai berat.86

85

Soesilo, Op.Cit,h.246. Agar sitersalah dapat dikenakan pasal ini, maka harus ada niat dan maksud dari sitersalah, apabila tidak bermasud dan luka berat itu hanya merupakan akibat dari perbuatannya saja, maka sitersalah tidak dikenakan pasal ini, tetapi akan dikenakan “penganiayaan biasa yang berakibat luka berat” ( pasal 351 alinea 2 ).tentang luka berat itu sendir, terdapat pada pasal 90

86

Adami, Chazawi, Kejahatan terhadap Tubuh dan Nyawa, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000, hlm.31

Perbuatan melukai berat adalah rumusan yang bersifat abstrak, artinya suatu rumusan perbuatan yang tidak dengan terang bagaimana bentuknya, dengan begitu bentuk perbuatannya terdiri dari banyak perbuatan kongkret yang dapat diketahui setelah perbuatan terwujud. Akibat kematian bukanlah tujuan atau kehendak dari pelaku, yang menjadi kehendak pelaku adalah luka beratnya saja87.

Berbeda dengan penganiayaan biasa yang menimbulkan luka berat (pasal 351 ayat 2 ) maupun penganiayaan berencana yang menimbulkan luka berat (353 ayat 2 ). Untuk terjadinya penganiayaan berat secara sempurna, akibat luka berat yang dituju harus sudah timbul. Pada penganiayaan biasa dan penganiayaan berencana sudah dapat terjadi dengan sempurna walaupun luka berat nya tidak timbul88.

Pada penganiayaan berat, apabila luka berat tidak timbul, maka yang terjadi barulah percobaannya, yakni percobaan penganiyaan berat ( 354 jo 53 ). Pada penganiayaan biasa yang menimbulkan kematian ( 351 ayat 3), kesengajaan ditujukan pada perbuatan yang sekaligus pada rasa sakitnya korban. Pada penganiayaan berencana (353), kesengajaannya selain ditujukan pada perbuatan dan akibat yang sama seperti pada penganiayaan biasa, juga ditujukan pada rencana lebih dulu, dan sama-sama tidak ditujukan pada akibat kematian. Pada penganiayaan berat (pasal 354 ), kesengajaannya selain ditujukan perbuatannya juga ditujukan pada akibat luka beratnya. Akibat kematian pada penganiayaan berat bukanlah merupakan unsur penganiayaan berat.89

87 Ibid, hlm. 32 88 Ibid, h. 33 89 Chazawi, Loc.Cit

41

Perbuatan yang akan dikategorikan sebagai luka berat harus ditentukan oleh ahli professional dibidangnya, yaitu dokter, melaluii visum et repertum. Percobaan untuk melakukan penganiayaan berat ini dipidana. Syarat adanya percobaan penganiayaan berat ini yaitu bahwa kesengajaan ditujukan terhadap perbuatan untuk menimbulkan luka berat pada tubuh orang lain.90

Dokumen terkait