• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Latar Belakang

Pembangunan Daerah Otonom akan banyak tergantung pada kemampuan daerah dalam mengumpulkan dan mengelola keuangan daerah dan strategi pembangunan daerah yang melibatkan partisipasi anggota masyarakat setempat. Dari titik pandang ekonomi makro, melalui pelaksanaan otonomi daerah-daerah diharapkan akan dapat mengalokasikan secara mudah dana pembangunan daerahnya didasarkan pada karakteristik dan potensi dari masing-masing daerah, sehingga dicapai hasil maksimal. Dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah, peranan sektor swasta sangat penting mengingat ketergantungan yang besar dari pengelolaan pembangunan terhadap pembangunan ekonomi daerah tersebut. Dalam hal ini, peranan sektor swasta diperlukan dan memainkan peranan penting dalam memberikan dorongan bagi pertumbuhan ekonomi daerah.

Di Era Reformasi, untuk mewujudkan Pemerintahan Daerah yang mandiri maka Pemerintah Pusat mengambil kebijakan Desentralisasi atau yang biasa dikenal dengan Otonomi Daerah. Untuk mendukung legalitas kebijakan Otonomi Daerah, Pemerintah menetapkan 2 (dua) Undang-Undang, yaitu UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Otonomi Daerah, dan merupakan kesempatan menentukan pilihan yang tepat mengenai bentuk Pemerintahan di daerah serta mengupayakan pengembangan potensi sumber daya daerah agar dapat terangkat dalam Era Globalisasi.

Berdasarkan Undang-Undang tersebut, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya penyelenggaraan Pemerintah dan pelayanan masyarakat. Misi Otonomi Daerah dijabarkan dalam Penjelasan Umum UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999:

“Misi utama dari kedua Undang-Undang tersebut bukan hanya pada keinginan untuk melimpahkan kewenangan dan pembiayaan dari Pemerintah Daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya Keuangan Daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu semangat desentralisasi, transparansi dan akuntabilitas menjadi sangat dominan dalam mewarnai proses pengelolaan Keuangan Daerah pada khususnya.”

Dari kedua Undang-Undang tersebut diatur tentang titik berat Otonomi Daerah yaitu terletak pada Pemerintah Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, dengan pertimbangan bahwa Pemerintah Daerah dan Kota yang lebih langsung berhubungan dengan masyarakat. Sehingga diharapkan aspirasi masyarakat di daerah dan kota yang lebih langsung

berhubungan dengan masyarakat. Sehingga diharapkan aspirasi masyarakat di daerah atau kota dapat tersampaikan dan terpenuhi. Penyerahan urusan-urusan Pemerintah kepada Pemerintah Daerah atau Kota dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan Daerah atau Kota yang bersangkutan. Dengan demikian, isi otonomi itu berbeda antara daerah/kota yang satu dengan lainnya.

Otonomi nyata merupakan keluasan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan Pemerintah dibidang tertentu yang hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggungjawab maksudnya ialah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekwensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, yaitu berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi keadilan dan pemerataan. Serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut Mardiasmo (2002) kebijakan pemberian Otonomi Daerah dan desentralisasi merupakan langkah strategis Pemerintah Pusat dalam mengatasi permasalahan lokal bangsa Indonesia yang berupa kemiskinan, pemerataan distribusi pendapatan yang tidak merata dan masalah peningkatan kualitas sumber daya manusia di daerah. Selain hal itu, otonomi daerah dan desentralisasi juga ditujukan dalam menyongsong Era

Dengan ditetapkan kedua Undang-Undang di atas, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dituntut untuk lebih produktif dan kreatif dalam membangun daerahnya masing-masing. Selain itu, Otonomi Daerah merupakan sebuah peluang dan tantangan baru bagi Pemerintah Kabupaten/Kota untuk membangun daerahnya secara optimal setelah peran pemerintah pusat mulai berkurang. Masyarakat diharapkan juga lebih aspiratif dalam memberikan kontibusinya dalam pembangunan di daerah masing-masing.

Menurut UU No. 22 Tahun 1999, tujuan dari Otonomi Daerah diarahkan untuk meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu. Sedangkan menurut UU No. 25 Tahun 1999, Penyelenggaraan pemerintah oleh Daerah diharapkan mampu untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan Pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat.

Salah satu pertimbangan yang ada dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang menyangkut masalah penyelenggaraan Otonomi Daerah, yaitu perlunya penekanan pada pelakasanaan prinsip-prinsip demokrasi, serta penggalian potensi dan keanekaragaman daerah.

Berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999, Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah adalah suatu Sistem Pembiayaan Pemerintah dalam kerangka Negara Kesatuan yang mencangkup perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan

potensi, kondisi dan transparan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut termasuk pengelolaan dan pengawasaan keuangannya.

Sebagaimana penjelasan dalam kedua Undang-Undang di atas maka pelaksanaan Otonomi Daerah ditandai dengan adanya desentralisasi kewenangan (power sharing) dan desentralisasi keuangan (fiscal

decentralization) yang pelaksanaan secara penuh sejak 1 Januari 2001.

Pelaksanaan kewenangan yang luas, nyata serta bertanggungjawab kepada Pemerintah Daerah secara proporsional yang dilengkapi dengan berbagai petunjuk mengenai peraturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta aspek perimbangan antara Pusat dan Daerah.

Seiring dengan perkembangan kebutuhan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, kedua Undang-Undang tersebut disempurnakan dan diganti dengan Undang-Undang yang baru, yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Implementasi pelaksanaan Otonomi Daerah akan dapat berhasil jika memperhatikan 5 (lima) kondisi strategis berikut: (i) Self Regulatoring

Power, yaitu kemampuan mengatur dan melaksanakan Otonomi Daerah

demi kepentingan masyarakat di daerahnya; (ii) Self Modifying Power, berupa kemampuan menyesuaian terhadap peraturan yang telah ditetapkan secara nasional sesuai dengan kondisi daerah, termasuk terobosan inovatif

Political Support, dalam arti penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang mempunyai legitimasi kuat dari masyarakatnya, baik dari Kepala Daerah Eksekutif maupun DPRD Sebagai Pemegang kekuasaan legislatif; (iv)

Managing Financial Resource, dalam arti mampu mengembangkan

kompetensi dalam mengelola secara optimal sumber penghasilan dari keuangan guna pembiayaan aktifitas Pemerintahan pembangunan dan pelayanan masyarakat; serta (v) Developing Brain Power, dalam arti membangun Sumber Daya Manusia yang handal dan selalu bertumpu pada kapabilitas penyelesaian masalah (Rasyid dan Paragoan dalam Mulyanto, 2003:3)

Menurut Kaho dalam Mulyanto (2003:2), untuk menentukan keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal di Indonesia. Setidaknya ada 4 (empat) faktor yang harus dipenuhi, yaitu: (i) faktor manusia sebagai subjek penggerak dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah, (ii) faktor keuangan yang merupakan tulang punggung bagi terselenggaranya aktivitas Pemerintah Daerah, (iii) faktor peralatan yang merupakan sarana pendukung bagi terselenggaranya aktivitas Pemerintahan Daerah, serta (iv) faktor organisasi dan manajemen yang merupakan sarana untuk menyelenggarakan Pemerintahan Daerah secara baik.

Menurut Mardiasmo (2002), dalam upaya pemberdayaan Pemerintahan Daerah ini, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan Keuangan Daerah adalah sebagai berikut:

1. Pengelolaan Keuangan Daerah harus bertumpu pada kepentingan publik/masyarakat.

2. Misi prngelolaan Keuangan Daerah harus jelas.

3. Desentralisasi Pengelolaan Keuangan dn kejelasan peran instansi yang terkait dalam Pengelolaan Keuangan Daerah.

4. Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi, dan pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, transparansi dan akuntabilitas.

5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan pihak-pihak yang terkait. 6. Ketentuan-Ketentuan yang diperlukan seperti bentuk dan struktur

anggaran, anggaran kinerja dan anggaran multi-tahunan.

7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih professional.

8. Prinsip akuntansi Pemerintah Daerah, laporan keuangan, peran DPRD, dan akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran dan transparansi anggaran kepada publik.

9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparatur Pemerintah Daerah.

Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang ideal adalah apabila setiap tingkat Pemerintah dapat independen di bidang keuangan untuk membiayai pelaksanaan tugas dan wewenang masing-masing. Adapun kewenangan yang dimiliki Daerah Otonom, antara lain (Mulyanto, 2003):

a. Kewenangan dalam mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertangguangjawab untuk memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

b. Kewenangan di wilayah laut, meliputi: (i) Eksplorasi; (ii) Pengaturan kepentingan administratif; (iii) Pengaturan tata ruang; (iv) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan keamanan dan Kedaulatan Negara. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari batas laut daerah propinsi.

c. Bidang Pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Kota, sebagaimana yang dimuat dalam UU No. 22 Tahun 1999, meliputi 10 (sepuluh) bidang yaitu: Pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.

Dalam pengaplikasian dari pelaksanaan desentralisasi fiskal, maka sesuai pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah menegaskan bahwa Pengelolaan Keuangan Daerah seharusnya dilaksanakan secara tertib taat pada Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan tetap memperhatikan atas keadilan dan kepatutan. Kemampuan Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan akan dituangkan dalam APBD yang secara langsung ataupun tidak langsung akan mencerminkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas Pemerintahan, Pembangunan dan Pelayanan Sosial Masyarakat.

Kota Surakarta merupakan salah satu kota yang berada di Propinsi Jawa Tengah, dimana dalam pembangunannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, namun disesuaikan dengan potensi dan permasalahan pembangunan di daerahnya. Kota Surakarta merupakan bagian dari kawasan ekonomi Subosukawonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karangayar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten) memiliki kondisi geografis yang cukup strategis untuk menjalankan Pembangunan Ekonomi serta meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi.

Tabel 1.1

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Lapangan Usaha, Pendapatan Perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi Atas Dasar Harga

Berlaku Kota Surakarta Tahun 2005-2007

Lapangan Usaha PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (Jutaan Rp.)

2005 2006 2007 (1) (2) (3) (4) 1. Pertanian 3.502,98 3.760,34 4.259,39 2. Pertambangan dan Penggalian 2.227,96 2.304,36 2.525,78 3. Industri Pengelolaan 1.475.697,87 1.554.314,71 1.681.790,25 4. Listrik, Gas dan Air 144.699,63 166.228,03 186.120,50

5. Bangunan 720.012,60 809.243,40 924.664,68 6. Perdagangan 1.330.461,23 1.507.159,41 1.711.786,42 7. Pengangkutan & Komunikasi 643.368,20 729.036,31 802.106,24 8. Keuangan,

Persewaan & Jasa Perusahaan 638.280,54 697.231,13 763.887,99 9. Jasa-Jasa 627.525,83 720.834,86 831.953,32 PDRB 5.585.776,84 6.190.112,55 6.909.094,57 Pendapatan Perkapita 10.451.467 11.350.818 12.281.416 Pertumbuhan Ekonomi 5,15 5,43 5,82

Sumber: BPS Kota Surakarta

Berdasarkan data dari BPS Kota Surakarta (Surakarta Dalam Angka) dalam distribusi produk domestik regional bruto (PDRB) menurut Lapangan Usaha, Income Perkapita dan pertumbuhan ekonomi atas dasar harga berlaku menunjukkan bahwa Kota Surakarta mempunyai sektor unggulan pada sektor Perdagangan yaitu sebesar Rp. 1.711.786.420.000 Atau sebesar 24,78% dari jumlah PDRB sebesar Rp. 6.909.094.570.000 Pada tahun 2007.

Tabel 1.1 di atas menggambarkan bahwa di Kota Surakarta lapangan usaha yang bergerak pada bidang Perdagangan merupakan sektor yang sumber pendapatan terbesar di Kota Surakarta pada tahun 2007. Sedangkan sektor pertambangan dan penggalian merupakan sektor terkecil penerimaannya, sesuai dengan kondisi Kota Surakarta yang tidak kaya sumber daya alamnya.

Pendapatan perkapita penduduk Kota Surakarta pada tahun 2007 sebesar Rp. 12.281.416 Dalam setahun dan ada kenaikan dibandingkan dengan tahun 2006 sebesar Rp. 11.350.818 Sehingga hal tersebut mengakibatkan adanya pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 5,43% pada tahun 2006 dan naik menjadi 5,82% pada tahun 2007.

Tabel 1.2

Data Realisasi Penerimaan Pe merintah Daerah Kota Surakarta Tahun 2005-2007 (Jutaan Rp.) Uraian Penerimaan Daerah Tahun 2005 2006 2007 (1) (2) (3) (4)

1. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu

- - - 2. PAD 13.519.167 14.065.493 15.655.512 a. Pajak Daerah 8.290.892 8.335.898 9.414.041 b. Retribusi Daerah 3.036.198 3.173.891 3.335.923 c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan 152.894 239.478 368.356 d. Lain-lain PAD yang sah 2.039.183 2.296.226 2.537.192 3. Dana Perimbangan 322.276.570 472.232.958 588.863.966 a. BHPBP 34.487.396 38.242.492 87.541.331 b. DAU 254.104.174 393.424.466 427.582.635 c. DAK 12.820.000 15.986.000 31.960.000

d. Dana Lokasi dari Propinsi 20.865.000 24.580.000 41.780.000 4. Penerimaan Lainnya yang Sah 28.875.210 33.842.410 55.981.150 Jumlah 364.670.947 520.120.861 660.500.628

Sumber: Dipenda Kota Surakarta (beberapa tahun) Realisasi pendapatan daerah Kota Surakarta

Dapat dilihat pada tabel di atas, minimal tiga tahun terakhir dari penelitian bahwa jumlah realisasi penerimaan Kota Surakarta selalu meningkat pada tahun 2005 jumlah realisasi penerimaan Kota Surakarta sebesar Rp.364.670.947.000.000 meningkat menjadi Rp.520.120.861.000.000 pada tahun 2006 dan Rp.660.500.628.000.000 pada tahun 2007.

Tabel 1.3

Data Realisasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Kota Surakarta Tahun 2005-2007 (Jutaan Rp.) Uraian Pengeluaran Daerah Tahun 2005 2006 2007 (1) (2) (3) (4) A. Belanja Rutin 258.736.519 439.311.172 499.186.466 B. Belanja Pembangunan 95.901.878 73.617.054 157.061.226 Jumlah 354.638.398 512.928.227 656.247.692 Sumber: Dipenda dan BPS Kota Surakarta, (beberapa tahun) perhitungan anggaran pendapatan

dan belanja daerah Kota Surakarta.

Jumlah realisasi pengeluaran Kota Surakarta seperti yang ditunjukkan pada tabel 1.3 dari tahun 2005-2007 mengalami peningkatan yaitu mulai tahun 2005 realisasi pengeluarannya sebesar Rp.354.638.398.000.000 menjadi Rp.512.928.227.000.000 di tahun 2006 dan kembali meningkat sebesar Rp.656.247.692.000.000 di tahun 2007. Walaupun berdasarkan data di atas menunjukkan realisasi pengeluaran yang meningkat, Pemerintah Daerah Kota Surakarta masih mempunyai beban untuk melakukan peningkatan penggalian potensi terhadap PAD dikarenakan dalam kajian ini hanya menampilkan realisasi penerimaan dan pengeluaran selama tiga tahun terakhir dari penelitian serta semakin besar dana yang dibutuhkan oleh daerah untuk kegiatan pembangunan terbukti dengan semakin bertambahnya realisasi pengeluaran dari tahun ke tahun.

Berdasarkan latar belakang di atas, Penelitian ini dilakukan dengan mengambil judul “ANALISIS KEUANGAN DAERAH DI KOTA SURAKARTA PERBANDINGAN SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH (Periode 1990-2009).”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah ada perubahan yang mendasar mengenai keuangan daerah di Kota Surakarta pada era sebelum otonomi daerah dam pada era otonomi daerah berdasarkan Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF), Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya dan Posisi Fiskal, Potensi Keuangan, Rasio Aktivitas, dan Efektivitas PAD?

2. Bagaimana upaya pemerintah agar keuangan daerah tetap menjadi tumpuan bagi jalannya pemerintahan yang diukur dengan Rasio Kemandirian dan Pola Hubungannya?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisa tingkat perubahan yang mendasar tentang Keuangan Daerah di Kota Surakarta selama diberlakukan Otonomi Daerah berdasarkan Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF), Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya Fiskal, Matriks Potensi PAD, Rasio Aktivitas (Keserasian), dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah (PAD).

2. Untuk mengetahui dan menganalisa keuangan daerah agar menjadi tumpuan bagi jalannya pemerintahan yang diukur melalui Rasio Kemandirian dan Pola Hubungannya.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari Penelitian ini adalah: 1. Bagi Peneliti

Untuk melatih menganalisa, mempelajari dan menerapkan serta membuat perbandingan antara ilmu yang diperoleh dengan praktek secara langsung.

2. Bagi Pemerintah

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukkan dan pertimbangan bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daeah (PAD) dari berbagai sektor yang mempunyai potensi dalam rangka menunjang kelancaran pembangunan daerah dan kesejahteraan seluruh warga masyarakatnya dan/dengan tujuan akhir untuk mencapai kemandirian Keuangan Daerah tanpa harus bergantung dengan Pemerintah Pusat.

3. Bagi Pihak Lain

Sebagai tambahan wawasan atau literature mengenai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan merupakan tambahan perbendaharaan perpustakaan untuk kepentingan ilmiah dan bahan informasi.

Dokumen terkait