• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang

Indikator dasar makroekonomi dapat dijadikan sebagai gambaran kondisi perekonomian suatu negara. Salah satu dari indikator dasar makroekonomi tersebut adalah inflasi. Umumnya laju inflasi digunakan untuk mengukur sejauh mana perekonomian suatu negara mampu mempertahankan stabilitas kegiatan perekonomiannya. Secara konseptual, inflasi dapat disebabkan dari dua sisi yaitu demand pull inflation (inflasi tarikan permintaan) dan cost push inflation (inflasi desakan biaya). Untuk negara dengan perekonomian terbuka, inflasi berasal dari internal pressure (faktor dalam negeri) dan juga external pressure (faktor luar negeri). Faktor eksternal bersumber dari adanya kenaikan harga-harga komoditi di luar negeri ataupun adanya fluktuasi nilai tukar.

Bagi Indonesia sebagai negara dengan perekonomian terbuka kecil, fluktuasi nilai tukar secara teoritis berhubungan positif dengan laju inflasi, dimana ketika nilai tukar terdepresiasi, laju inflasi cenderung tinggi. Kekuatan pengaruh nilai tukar terhadap inflasi itu sendiri tergantung pada sistem nilai tukar apa yang digunakan di suatu negara. Sistem nilai tukar mempunyai pengaruh dan peranan yang penting dalam mengurangi atau meminimalisasi resiko dari fluktuasi nilai tukar yang selanjutnya akan mempunyai pengaruh terhadap perekonomian negara tersebut dimana setiap perubahan dalam nilai tukar akan berdampak terhadap aktivitas perekonomian negara tersebut. Berdasarkan penelitian beberapa ahli ekonomi, bisa didapatkan beberapa kriteria yang membedakan kelompok negara yang memakai sistem kurs bebas dan yang memakai sistem kurs tetap antara lain yaitu: (1) tingkat keterbukaan perekonomian suatu negara; (2) kemampuan

untuk mempengaruhi pasar dunia; (3) pola perdagangan internasional; (4) tingkat perbedaan inflasi dalam dan luar negeri; (5) tingkat integrasi pasar finansial dalam negeri terhadap pasar keuangan internasional.

Pada tanggal 14 Mei 1997, bencana tidak terduga melanda perekonomian Thailand. Saat itu mata uang baht terpukul oleh serangan spekulasi besar yang dilakukan oleh spekulan asing. Meskipun bank sentral Thailand berusaha menghadapi serangan ini dengan mengerahkan hampir semua persediaan dolar AS dimilikinya, pada akhirnya Thailand tidak mampu bertahan. Pernyataan Perdana Mentri Chavalit Yonchaiyudh untuk tidak akan mendevaluasi baht tidak terrealisasi, dimana pada akhirnya administrasi Thailand mengambangkan mata uang lokal tersebut pada 2 Juli 1997. Panik dan gejolak finansial yang di alami Thailand kemudian menimbulkan contagion effect (efek penularan) ke seluruh wilayah ASEAN yang dikenal dengan istilah Asian Financial Crisis (AFC).

Contagion effect merupakan salah satu faktor yang muncul diakibatkan mekanisme pasar yang semakin bebas dan juga sistem ekonomi/moneter yang diterapkan. Efek ini muncul dengan mengasumsikan ekspektasi kesamaan reaksi dari satu negara dengan negara lainnya, yang diakibatkan persamaan profil dan kondisi ekonomi dan politik. Selain itu efek ini pun muncul karena sebuah kiblat terhadap negara tertentu ( suatu negara dianggap sebagai representasi dari negara lainnya). Contohnya depresiasi Baht Thailand mempengaruhi depresiasi Rupiah karena antara Thailand dan Indonesia mengalami persamaan kondisi ekonomi.

Selain itu efek penularan ini muncul akibat faktor herd instinc, atau naluri biri-biri yang menyelimuti sikap panik investor global kala itu, yang memandang semua emerging markets mirip dengan Thailand sehingga membuat situasi keuangan kacau

balau. Bahkan krisis ini menyebabkan nilai tukar domestik negara-negara ASEAN dan beberapa negara Asia Timur terdepresiasi tajam. Akibat krisis ini pula, Indonesia yang telah mengimplementasikan sistem nilai tukar yang berbeda-beda dalam periode tiga dekade terakhir pada akhirnya di bulan Agustus 1997 menerapkan floating exchange rate system (sistem nilai tukar mengambang bebas).

Perubahan sistem nilai tukar mempunyai pengaruh dan peranan yang penting bagi suatu negara. Pada sistem nilai tukar mengambang bebas, fluktuasi nilai tukar dapat berdampak kuat pada tingkat harga yang berlaku pada suatu negara dimana pengaruhnya dapat dilihat melalui saluran agregat demand (permintaan agregat) dan agregat supply (penawaran agregat). Pada sisi penawaran agregat, depresiasi mata uang domestik dapat mempengaruhi tingkat harga secara langsung melalui barang-barang impor yang dibayarkan konsumen domestik. Akan tetapi kondisi ini terjadi jika negara tersebut merupakan international price taker (penerima harga internasional). Pengaruh tidak langsung dari depresiasi mata uang terhadap tingkat harga suatu negara dapat dilihat dari harga imported intermediate goods (barang-barang modal yang diimpor) oleh produsen sebagai input. Melemahnya nilai tukar akan mengakibatkan harga input tersebut semakin mahal, sehingga mengakibatkan biaya produksi semakin tinggi. Produsen tentunya akan membebankan kenaikan biaya ini kepada harga barang yang akan dibayarkan oleh konsumen. Akibatnya tingkat harga di negara tersebut secara agregat meningkat atau bila terjadi secara terus-menerus akan menimbulkan inflasi.

Salah satu teori yang digunakan untuk menentukan nilai tukar adalah teori purchasing power parity/PPP, atau lebih dikenal dengan teori paritas daya beli. Teori paritas daya beli ini menyatakan bahwa nilai tukar mata uang antar negara harus mencerminkan nilai perbandingan nilai mata uang satu negara terhadap negara lainnya

yang ditentukan oleh daya beli masing-masing negara yang berarti nilai tukar antara dua negara sama dengan rasio tingkat harga dari kedua negara tersebut. Teori ini memprediksikan bahwa penurunan daya beli dari satu mata uang akan menyebabkan nilai tukar dari mata uang tersebut terdepresiasi, dan begitu pula sebaliknya depresiasi mata uang domestik dapat menyebabkan terjadinya inflasi. Dengan demikian, secara teoritis dengan asumsi PPP berlaku, maka inflasi dalam negeri yang lebih besar daripada luar negeri akan mengakibatkan nilai tukar rupiah melemah. Selanjutnya, depresiasi itu sendiri juga akan mendorong inflasi karena pass through effect dari barang-barang dan bahan baku impor sehingga biaya produksi juga akan meningkat. Dalam situasi perekonomian negara yang mengalami depresiasi sangat besar, depresiasi rupiah mengakibatkan kenaikan sangat besar pada harga barang-barang tradeable dan nontradeable dan dengan demikian inflasi meningkat.

Implikasi dari ditempuhnya sistem nilai tukar mengambang bebas tersebut cukup mendasar bagi perekonomian Indonesia, dimana variabilitas nilai tukar nominal menjadi cukup tinggi dan membuat nilai tukar riil tidak stabil. Fluktuasi dan ketidakpastian mengenai gerakan nilai tukar Rupiah jelas akan menjadi tinggi. Akibatnya peranan ekspektasi pelaku pasar dan masyarakat akan menjadi lebih penting dalam mempengaruhi gerakan nilai tukar. Secara langsung fluktuasi nilai tukar tersebut akan mempengaruhi tingkat harga di dalam negeri karena imported inflation akibat banyaknya barang-barang impor. Real effective exchange rates (harga relatif) juga akan semakin berfluktuasi dan berpengaruh terhadap kinerja ekspor dan impor, dan karenanya mempunyai dampak yang semakin perlu diperhitungkan terhadap permintaan aggregat. Laju pertumbuhan ekonomi juga dapat terpengaruh. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa fluktuasi nilai tukar yang lebih tinggi akan mempengaruhi

sasaran-sasaran laju inflasi, laju pertumbuhan dan keseimbangan neraca pembayaran yang hendak dicapai oleh kebijakan ekonomi makro.

Berdasarkan hal tersebut maka bagaimana hubungan keterkaitan yang terjadi antara laju inflasi dan nilai tukar riil di berbagai negara menjadi hal yang penting untuk diteliti lebih lanjut. Terkait dengan upaya mendorong liberalisasi perekonomian, saat ini perekonomian Asia diwarnai upaya negara-negara seperti China, Jepang, dan Korea Selatan untuk lebih meningkatkan kerjasama dengan negara-negara ASEAN, yang dikenal dengan konsep ASEAN+3. Hal ini ditandai dengan adanya kesepakatan ASEAN-China Free Trade Area dan juga Joint Declaration on the Comprehensive Economic Partnership antara ASEAN-Jepang, yang dilain pihak menjadi tantangan tersendiri bagi perekonomian Asia (Achsani, 2001). Tantangan ini kemudian diperkuat dengan disepakatinya untuk mengintegrasikan ekonomi ASEAN kedalam single community (komunitas tunggal) pada tahun 2020 pada pertemuan ASEAN ke-36.

Bersama dengan Uni Eropa dan Amerika Utara, kini ketiga lingkup kerjasama regional ini menjadi pusat perekonomian dunia. Oleh karenanya adalah hal yang menarik untuk menganalisis sejauh mana tingkat respon/kepekaan inflasi akibat fluktuasi (perubahan) nilai tukar riil dan apakah ada perbedaan respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil di berbagai kawasan, yaitu kawasan Asia yang diwakili ASEAN+3 dan kawasan non Asia yang diwakili Uni Eropa dan Amerika Utara.

Perumusan Masalah

Asian Financial Crisis (AFC) yang terjadi pada pertengahan 1997 ternyata sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi sebagian besar negara-negara ASEAN. Sebelum krisis, pertumbuhan ekonomi Thailand relatif stabil, diatas 7 persen per tahun. Akibat krisis tersebut pertumbuhan ekonomi Thailand

Sumber : Laporan Mingguan Bank Indonesia Beberapa Edisi

menurun menjadi -0,4 persen. Hal ini berdampak pada negara-negara lain di Asia Tenggara. Tahun 1998 Indonesia mengalami "Significant deteronation", dimana laju inflasi meningkat cepat seiring melemahnya nilai tukar rupiah. Sementara itu kebutuhan dana untuk berbagai kebutuhan masyarakat baik domestik maupun internasional meningkat tajam, sehingga berpengaruh terhadap perekonomian. Ekonomi Indonesia mengalami penurunan sangat signifikan yaitu sebesar -13,0 persen (tahun 1998 ). Dampak AFC terhadap pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi di beberapa negara ASEAN dapat dilihat pada Tabel 1.1 di bawah ini.

Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Laju Inflasi di Beberapa Negara ASEAN Tahun 1992 – 2000 ( Persen )

Tahun Indonesia Malaysia Thailand Filipina

Growth Inflasi Growth Inflasi Growth Inflasi Growth Inflasi

1992 6,5 4,9 7,8 4,7 8,1 4,1 0,3 8,9 1993 7,3 9,8 8,3 3,6 8,3 3,3 2,1 7,6 1994 7,5 9,2 9,2 3,7 8,8 5,0 4,4 9,0 1995 8,2 8,6 9,5 3,4 5,7 5,8 4,8 8,1 1996 7,8 6,5 5,6 3,5 5,5 5,9 5,7 8,4 1997 4,7 11,0 7,8 2,7 -0,4 5,6 5,1 6,0 1998 -13,0 77,6 -6,4 5,3 -8,0 8,1 -0,6 9,7 1999 0,8 2,0 10,5 2,5 6,5 0,7 4,6 4,3 2000 4,9 9,3 7,7 1,4 2,6 1,3 4,8 6,6

Perekonomian Malaysia menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara lain, namun akibat krisis mengalami penurunan menjadi –6,4 persen. Pertumbuhan ekonomi Filipina sebelum krisis melanda relatif baik, pada saat krisis terjadi pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan sampai –0,6 persen (tahun 1998). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa krisis yang terjadi mengakibatkan penurunan pertumbuhan ekonomi di sebagian besar negara-negara ASEAN. Di sisi lain, pada saat krisis melanda negara-negara-negara-negara ASEAN, tingkat inflasi mengalami peningkatan. Dari Tabel 1.1 terlihat laju inflasi di beberapa negara

Penelitian Urusan Riset Ekonomi dan Moneter (UREM) menunjukkan bahwa nilai tukar mempunyai hubungan yang signifikan dengan inflasi (Waluyo dan Siswanto, 1998). Dalam penelitian tersebut (periode observasi 1984-1987), hasil uji hubungan Granger causality test menunjukkan real effective exchange rate (REER) mempengaruhi inflasi (searah) dengan lag rata-rata 1 triwulan. Dengan terjadinya krisis, penelitian tersebut perlu dilanjutkan karena tampaknya pengaruh depresiasi rupiah (atas dasar nilai tukar bilateral terhadap dolar AS) mempunyai lag yang lebih pendek dan ada kemungkinan mempunyai hubungan dua arah, yaitu depresiasi mempengaruhi inflasi timbal balik, karena secara teoritis apabila inflasi di dalam negeri lebih tinggi daripada di luar negeri maka mata uang domestik harus didepresiasi untuk mempertahankan Paritas Daya Beli (PPP). Implikasi kebijakan dari hubungan tersebut ialah bahwa depresiasi perlu dikendalikan untuk menekan laju inflasi, dan demikian pula inflasi perlu ditekan Malaysia dengan laju inflasi 4,7 persen pada tahun 1992 dan terus menurun hingga tahun 1997 yaitu 2,7 persen, tetapi tahun 1998 laju inflasi meningkat menjadi 5,3 persen. Thailand juga mengalami inflasi yang cukup berfluktuatif dari 4,1 persen pada tahun 1992 menjadi 8,1 persen pada tahun 1998. Tingkat inflasi di Filipina relatif tinggi dibanding negara lainnya di ASEAN. Pada saat krisis ekonomi tahun 1998 laju inflasi mencapai 9,7 persen. Inflasi yang terjadi di suatu negara dipengaruhi beberapa faktor, salah satu yang mungkin berpengaruh adalah nilai tukar, dimana pada saat terjadinya krisis nilai tukar negara-negara ASEAN tersebut mengalami depresiasi yang cukup tajam.

ASEAN sangat berfluktuasi. Indonesia merupakan negara yang paling tinggi tingkat inflasinya, dan paling berfluktuatif. Pada tahun 1992 tingkat inflasi Indonesia sebesar 4,9 persen, dan pada tahun-tahun berikutnya cenderung meningkat. Pada saat terjadi krisis ekonomi serta ketidakstabilan sosial politik pada tahun 1998 inflasi meningkat tajam sampai 77,6 persen.

Sebenarnya analisis mengenai bagaimana hubungan inflasi dan nilai tukar telah menjadi perhatian dari banyak studi para ekonom di dunia. Hal ini dikarenakan perilaku inflasi dan nilai tukar dapat berbeda di setiap negara, yang pada akhirnya akan turut mempengaruhi kebijakan apa yang harus diterapkan di suatu negara dalam rangka menjaga kestabilan perekonomiannya. Namun sampai sejauh ini belum ada pendekatan dan hasil yang seragam dalam analisis yang dilakukan, sehingga penelitian lebih lanjut dan berkesinambungan menjadi suatu hal yang perlu dilakukan.

Lebih khusus lagi poin-poin yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimanakah hubungan keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil di

berbagai kawasan yaitu kawasan Asia (ASEAN+3) dan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara)?

2. Bagaimanakah respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil di kawasan Asia (ASEAN+3) dan kawasan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara)?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini:

1. Menganalisis hubungan keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil di berbagai kawasan yaitu kawasan Asia (ASEAN+3) dan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara).

2. Menganalisis adakah perbedaan respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil antara kawasan Asia (ASEAN+3) dengan kawasan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara).

1. Memberikan wawasan mengenai bagaimana hubungan keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil di berbagai kawasan, dalam hal ini kawasan Asia (ASEAN+3) dan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara).

2. Mengetahui kemungkinan apa yang dapat menimbulkan adanya perbedaan respon/kepekaan inflasi terhadap perubahan nilai tukar riil antara kawasan Asia (ASEAN+3) dengan kawasan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara).

3. Sebagai bahan referensi kepada para pembuat kebijakan baik di tingkat nasional maupun internasional.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Fokus dari penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana keterkaitan inflasi dengan nilai tukar riil di kawasan Asia (ASEAN+3) dan non Asia (Uni Eropa, Amerika Utara). Adapun ruang lingkup penelitian untuk kawasan Asia mengambil sampel lima negara utama ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Terkait dengan era perdagangan bebas ASEAN yang melibatkan Jepang, China, dan Korea Selatan, maka penulis juga memasukkan ketiga negara tersebut ke dalam lingkup sampel kawasan Asia. Untuk kawasan non Asia, penelitian ini melibatkan sampel Uni Eropa dan Amerika Utara. Namun karena keterbatasan ketersediaan data, dalam hal ini Uni Eropa diwakili oleh delapan negara yaitu Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Belgia, Denmark, Swedia, dan Norwegia. Sedangkan negara-negara yang termasuk dalam Amerika Utara adalah Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko.

Dokumen terkait