• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedelai (Glycine max L. Merr), merupakan sumber protein nabati yang kebutuhannya cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, sehingga produktivitasnya perlu ditingkatkan. Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan produksi kedelai misalnya ekstensifikasi, intensifikasi dan rehabilitasi lahan.

Usaha ekstensifikasi dihadapkan pada semakin berkurangnya lahan-lahan produktif. Menurut Lopulisa dan Jafar Siddieg (1998), proyeksi kebutuhan lahan sampai tahun 2020 akan mencapai lebih kurang 60.88 juta ha atau 165 % dibandingkan dengan kebutuhan lahan pada tahun 1990 yang mencapai 37.0 juta ha. Sektor pertanian diperkirakan membutuhkan lebih kurang 67 juta ha. Permintaan lahan yang sangat besar dimasa mendatang akan menyebabkan meningkatnya penggunaan lahan-lahan marginal termasuk tanah gambut. Tanah gambut cukup potensial untuk dijadikan lahan pertanian mengingat arealnya yang cukup luas yang tersebar di seluruh Indonesia. Lebih dari 38 juta ha tanah gambut di daerah tropis, sekitar 27 juta ha (87.3 %) terletak di Indonesia yang sebagian besar masih merupakan hutan dan hanya sebagian kecil yang sudah diusahakan menjadi lahan pertanian atau perkebunan. Jumlah ini sekitar 4.3 juta ha dijumpai di Sumatera, 9.3 juta ha di Kalimantan, 4.6 juta ha di Irian Jaya dan selebihnya di Maluku dan Sulawesi. Di Indonesia tanah gambut merupakan jenis

tanah terluas kedua setelah podsolik dan merupakan negara ke-4 dalam luasan gambut setelah negara Kanada, Uni Soviet dan Amerika Serikat (Radjagukguk 1998). Kenyataan ini jelas menyebabkan tanah gambut cukup potensial untuk perluasan areal pertanian mengingat arealnya yang cukup luas.

Lahan gambut di Indonesia pada umumnya telah diusahakan sebagai lahan pertanian oleh penduduk lokal, bahkan akhir-akhir ini pembukaan lahan gambut meningkat akibat kebutuhan untuk ekstensifikasi pertanian usaha pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Selain pemanfaatan gambut sebagai bahan amelioran juga banyak dilakukan, khususnya untuk perbaikan teknologi budidaya pada tanah-tanah mineral. Namun demikian, keberhasilan pemanfaatan gambut baik untuk usaha budidaya maupun sebagai bahan ekstraksi masih jauh dari yang

diharapkan, karena ada kendala yang berasal dari sifat-sifat gambut bawaan (inheren properties) serta paket teknologi reklamasi yang diterapkan belum memadai.

Pada kondisi alami, tanaman pertanian umumnya sulit tumbuh di tanah gambut disebabkan faktor penghambat yang dimiliki tanah gambut begitu kompleks mencakup kesuburan kimia, fisik dan biologi yang kurang menguntungkan. Hal ini antara lain disebabkan pH rendah, kejenuhan basa rendah, KTK tinggi, rasio C/N tinggi, sehingga ketersediaan hara makro dan mikro bagi tanaman rendah, aktivitas mikroba rendah, adanya pengaruh intrusi garam dan lapisan sulfat masam, drainase yang buruk, dan daya dukung tanah rendah dan berbagai faktor-faktor penghambat lainnya seperti keberadaan asam organik yang bersifat toksik. Faktor-faktor

penghambat tersebut di atas demikian tidak menunjang terciptanya laju penyediaan hara yang memadai bagi tanaman. Kandungan bahan organik yang tinggi pada tanah gambut menyebabkan hara mikro membentuk senyawa komplek dengan asam organik dan tidak mudah tersedia (Rachim 1995; Prasetyo 1996). Dengan demikian usaha ekstensifikasi pertanian pada tanah gambut menghadapi berbagai kendala.

Sedangkan usaha intensifikasi sering mengalami kendala. Penggunaan pupuk buatan untuk meningkatkan produktivitas tanah gambut selain memerlukan biaya dan energi yang relatif tinggi juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan seperti meningkatnya kandungan hara (eutrofikasi) di perairan dan air tanah. Oleh karena itu perlu dicari teknologi alternatif yang mudah untuk dilakukan, relatif murah, dan tidak mencemari lingkungan.

Usaha peningkatan produktivitas lahan gambut dengan sistem akrab lingkungan menurut Fukoka (1994), tanpa pupuk kimia, pemanfaatan amandemen tanah seperti kapur dan lumpur laut, dan penggunaan biofertilizer.

Beberapa penelitian untuk menghasilkan teknologi yang dapat meningkatkan kesuburan tanah tanpa menggunakan pupuk kimia buatan telah banyak di lakukan. Salah satu teknologi yang saat ini dikembangkan adalah pengelolaan hara terpadu yang mendukung pemupukan organik dan pemanfaatan biofertilizer. Pemanfaatan beberapa jenis bahan perbaikan tanah seperti kapur, lumpur laut, dan pupuk hayati seperti Bradyrhizobium, mikroba perombak selulosa, dan mikoriza dalam meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah dan khususnya untuk

memperbaiki kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah gambut merupakan alternatif yang tepat. Hal ini sejalan dengan kebijakan yang dipilih dalam budidaya tanaman yakni efisiensi energi dan selaras dengan lingkungan.

Kapur dolomit merupakan bahan yang sering digunakan untuk meningkatkan pH tanah karena mengandung unsur Ca dan Mg. Penggunaan bahan lain yang mengandung unsur yang sama yang dikandung kapur seperti lumpur laut dapat digunakan sebagai alternatif untuk meningkatkan pH tanah gambut. Pemanfaatan lumpur laut haruslah diperhatikan secara seksama pengelolaannya, karena lumpur laut memiliki tingkat kegaraman (salinitas) yang tinggi yang dapat mengganggu fisiologis tanaman dan bahkan dapat menyebabkan kematian pada tanaman.

Hasil penelitian Pronoto (2005), pemberian lumpur laut dengan pengering udara selama satu bulan dapat meningkatkan pertumbuhan kedelai pada tanah bergambut. Pemberian lumpur laut tanpa pengeringudaraan selama satu bulan menurunkan pertumbuhan tanaman kedelai dan bahkan menyebabkan kematian pada akhir fase vegetatif.

Pemberian lumpur laut dan kapur dapat meningkatkan basa-basa dan kejenuhan basa disertai turunnya KTK tanah gambut (Sagiman dan Pujianto 1994 dan Suyadi 1995). Kandungan basa-basa yang tinggi dan sejumlah unsur hara mikro pada lumpur laut akan meningkatkan KB tanah, ketersediaan hara dan memperkecil pengaruh toksik dari asam fenolat.

Berbagai penelitian tentang budidaya kedelai di tanah gambut terlihat bahwa pemanfaatan beberapa jenis bahan perbaikan tanah seperti lumpur laut, kapur dan pupuk buatan mutlak diperlukan. Sagiman dan Pujianto (1994) mengggunakan lumpur laut untuk meningkatkan produksi kedelai di tanah gambut. Mereka

menemukan bahwa kedelai dapat berproduksi dengan baik sedangkan tanpa lumpur laut tanaman mati sebelum membentuk bunga. Pada percobaan tersebut KB tanah meningkat dari 18 % (tanpa lumpur) menjadi 48.9 % dengan lumpur 10 %. Berdasarkan penelitian di lapang Suyadi (1995) melaporkan bahwa pemakaian lumpur laut dan kapur akan meningkatkan pertumbuhan dan produksi kedelai. Produksi 1500 kg/ha dapat diperoleh jika gambut diberi 7.5 ton lumpur laut, 3.0 ton kapur setiap hektar, hasil itu dapat ditingkatkan menjadi 1720 kg/ha jika gambut diberi 15 ton lumpur laut dan 3 ton kapur, yang diberi pada baris tanam. Efisiensi kenaikan produksi ini akibat melipatgandakan dosis lumpur laut dan berkaitan dengan perubahan kejenuhan basa pada tanah gambut. Secara umum KB tanah gambut harus mencapai 30 % agar tanaman dapat menyerap basa-basa yang diperlukan.

Kemampuan Bradyrhizobium, mikroorganisme selulolitik, dan mikoriza secara terpisah telah banyak diuji. Beberapa hasil penelitian tentang Bradyrhizobium, menunjukkan bahwa jumlah N yang ditambat dari udara melalui simbiosis adalah sekitar 40 sampai 70 % dari seluruh N yang diperlukan untuk pertumbuhan kedelai. Tanah gambut mengandung bahan organik yang tinggi tetapi sangat bertolak belakang dengan kandungan unsur hara tanahnya, disebabkan proses dekomposisi

bahan organik belum sempurna, sehingga status hara tanah gambut sangat miskin. Diharapkan dengan pemberian mikroorganisme selulolitik dapat memecahkan masalah tersebut.

Disamping itu bentuk hara P pada tanah gambut didominasi bentuk P organik yang disebut fosfolipida. Fosfolipida tidak dapat dimanfaatkan langsung oleh tanaman, oleh karena itu mikoriza sangat berperan untuk menghidrolisis fosfolipida dan kemudian menghasilkan enzim fosfatase yang dapat merubah senyawa fosfor menjadi tersedia bagi tanaman. Menurut Sutanto (2002), mikoriza dapat menghemat pupuk fosfat sekitar 20% sampai 30%.

Studi tentang peranan bioinokulan dalam meningkatkan produktivitas tanah gambut memang sudah dilakukan oleh Rianto dkk. (1997) tetapi hal itu terbatas pada pemanfaatan bakeri bintil akar. Anggraini dan Sahar Hanafiah (2003) dalam

penelitian mereka menemukan pemberian berbagai jenis bahan amandemen yang dikombinasikan dengan inokulan campuran Bradyrhizobium, mikroorganisme selulolitik, mikroba pelarut fosfat dapat meningkatkan pH tanah dari 4.17 sampai dengan 5.45 dan penurunan C/N tanah dari 32.18 hingga 23.44. Namun Anggraini dan Sahar Hanafiah (2003) dalam penelitian tersebut menggunakan isolat yang berasal dari tanah mineral dengan dosis 6 cc/pot, diduga hal ini juga merupakan salah satu penyebab tidak tercapainya produksi seperti yang diharapkan atau dosis

Penelitian tentang isolasi dan pemanfaatan mikoriza pada tanah gambut masih belum banyak dilakukan. Menurut Given dan Dickson (1975 dalam Noor 2001) pada tanah gambut dapat dijumpai berbagai mikroorganisme seperti bakteri perombak selulosa aerobik, penambat N dan berbagai jamur mikro. Kandungan bahan organik tanah berhubungan erat dengan jumlah spora mikoriza. Jumlah maksimum spora ditemukan pada tanah-tanah yang mempunyai kandungan bahan organik 1-2 % dan jumlah spora sangat rendah pada tanah-tanah yang mengandung bahan organik kurang dari 0,5 %.

Dalam penelitian ini ingin mempelajari pengaruh beberapa jenis bahan perbaikan tanah (kapur, lumpur laut, dan beberapa jenis pupuk hayati) terhadap ketersediaan dan serapan hara tanaman kedelai yang ditanam pada tanah gambut.

Rumusan Masalah

Budidaya tanaman pada tanah gambut akan terbentur pada masalah kesuburan fisik, kimia dan biologi yang kurang mendukung untuk pertumbuhan dan produksi tanaman. Sifat kimia tanah gambut yang menjadi kendala diantaranya reaksi tanah yang masam sampai sangat masam. Rendahnya nilai pH ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi ion H+ yang ada pada larutan maupun pada permukaan koloid organik tanah. Menurut Noor (2001) adanya asam-asam organik akan mampu mengeluarkan sejumlah ion H+ melalui disosiasi asam organik. Kondisi ini memberikan dampak yang kurang baik bagi tanaman. Kemasaman tanah dapat

mempengaruhi populasi dan aktivitas mikroorganisme. Selain itu tanah gambut memiliki N total tinggi namun tidak tersedia bagi tanaman dan ini ditunjukkan oleh tingginya rasio C/N tanah dan kadar P yang rendah. Selanjutnya Radjagukguk (1998) menjelaskan bahwa kandungan N-total hanya akan tersedia setelah mengalami proses mineralisasi. Dari segi biologi rendahnya jumlah dan aktivitas mikroorganisme heterotrop pada tanah gambut menyebabkan laju pematangan gambut menjadi lambat, pada hal tingkat kematangan gambut merupakan salah satu penentu kesuburan tanah gambut, untuk itu diupayakan untuk meningkatkan laju dekomposisi bahan organik tersebut.

Tanah gambut mempunyai potensi untuk dijadikan lahan pertanian mengingat arealnya yang cukup luas dan tersebar di beberapa kepulauan di Indonesia dan ketersediaan lahan kering untuk lahan pertanian semakin berkurang.

Penelitian mengenai kemungkinan penggunaan tanah gambut untuk usaha pertanian masih sangat terbatas, khususnya untuk kemungkinan diusahakan menjadi lahan pertanian, sampai saat ini belum banyak dilakukan, karena perhatian masih lebih banyak ditujukan pada lahan kering. Namun demikian mengingat potensi lahan kering yang diperkirakan semakin terbatas, perlu dipikirkan penelitian kemungkinan penggunaan tanah gambut untuk diusahakan menjadi lahan pertanian khususnya tanaman palawija seperti kedelai. Berdasarkan konsep pemikiran di atas maka perlu dilakukan penelitian ini.

Dalam pengelolaan kesuburan tanah dalam sistem pertanian berkelanjutan, maka aktivitas biologi dan siklus hara merupakan faktor penentu utama. Bertitik tolak dari permasalahan yang ada pada tanah gambut maka salah satu alternatif usaha yang dapat dilakukan dalam pengelolaan tanah gambut untuk aktivitas pertanian secara berkelanjutan (sustainable land agriculture) adalah pemanfaatan mikrosimbion yaitu dengan pemberian pupuk hayati disamping pemberian bahan perbaikan tanah anorganik seperti kapur dan lumpur laut. Penggunaan bahan perbaikan tanah anorganik (kapur, lumpur laut) dan pupuk hayati pada tanah gambut diharapkan dapat memperbaiki kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah gambut. Pemberian kapur atau lumpur laut dapat meningkatkan pH tanah gambut dan sekaligus memperbaiki status hara tanah gambut dan secara tidak langsung akan meningkatkan jumlah dan aktivitas mikroba pada tanah gambut seperti mikroba perombak selulosa yang berperan dalam merombak bahan organik, mikroba penambat N simbiotik, dan mikoriza. Diharapkan dengan pemberian beberapa jenis bahan perbaikan tanah seperti kapur, lumpur laut dan beberapa jenis pupuk hayati dapat mengatasi faktor-faktor penghambat pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai di tanah gambut. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka penelitian ini perlu dilakukan, sehingga akan diketahui status hara tanah gambut yang akan dikaitkan terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai yang dibudayakan pada tanah gambut

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh beberapa jenis bahan perbaikan tanah (kapur , lumpur laut, dan beberapa jenis pupuk hayati) terhadap beberapa sifat tanah gambut (pH, Daya Hantar Listrik, C organik tanah, C/N tanah, N total tanah, P tersedia tanah), serapan hara N dan P tanaman, infektivitas

Bradyrhizobium dan mikoriza pertumbuhan dan produksi kedelai pada tanah gambut. Keluaran

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam usaha meningkatkan kesuburan tanah gambut dengan sistem ramah lingkungan melalui pemberian beberapa jenis bahan perbaikan tanah (kapur, lumpur laut dan beberapa jenis pupuk hayati).

Hipotesis

Pemberian beberapa jenis bahan perbaikan tanah (kapur, lumpur laut dan beberapa jenis pupuk hayati) berpengaruh terhadap beberapa sifat tanah gambut (pH, Daya Hantar Listrik, C organik tanah, C/N tanah, N total tanah, P tersedia tanah), serapan hara N dan P tanaman, infektivitas Bradyrhizobium dan mikoriza pertumbuhan dan produksi kedelai pada tanah gambut.

Gambut terbentuk dari serasah organik yang terdekomposisi secara anaerobik dimana laju penambahan bahan organik (humifikasi) lebih tinggi daripada laju dekomposisisnya. Akumulasi gambut umumnya akan membentuk lahan gambut pada lingkungan jenuh atau tergenang air, atau pada kondisi yang menyebabkan aktivitas mikroorganisme terhambat. Vegetasi pembentuk gambut umumnya sangat adaptif pada lingkungan anaerob atau tergenang seperti bakau (mangrove), rumput-rumput rawa, dan hutan air tawar. Di dataran rendah dan daerah pantai, mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi anerobik yang dipertahankan oleh tinggi permukaan air sungai, tetapi kemudian penumpukan serasah tanaman yang semakin bertambah menghasilkan pembentukan hamparan gambut ombrogen yang berbentuk kubah atau dome (Noor 2001). Gambut ombrogen terbentuk dari vegetasi hutan yang berlangsung selama ribuan tahun dengan ketebalan hingga puluhan meter. Gambut tersebut terbentuk dari vegetasi rawa yang sepenuhnya tergantung pada input unsur hara dari air hujan dan bukan dari tanah mineral di bawah atau dari rembesan air tanah, sehingga tanahnya menjadi miskin dan bersifat masam.

Proses pembentukan tanah gambut disebut proses geogenik (bukan pedogenik) yaitu proses terjadinya akumulasi bahan organik sehingga tebalnya mencapai lebih 30 cm yang disebut juga proses paludisasi (Hardjowigeno 1997).

Dalam sistem klasifikasi tanah (soil taksonomi), tanah gambut termasuk ordo Histosol (histos dari bahasa Yunani = jaringan). Tanah Histosol didefinisikan sebagai tanah yang mengandung bahan organik lebih 20 % (bila tanah tersebut tidak mengandung liat) atau lebih dari 30 % (bila tanah mengandung liat 60 % atau lebih) dan tebalnya secara komulatif lebih dari 40 cm (Soil Survey Staf 1998).

Kesuburan tanah gambut dipengaruhi oleh kedalaman dan lapisan mineral di bawah gambut. Makin tebal gambut makin miskin lapisan atasnya. Gambut yang terbentuk di atas endapan pasir kuarsa lebih miskin dari gambut yang terbentuk di atas endapan liat.

Menurut Noor (2001), Secara kimiawi sifat tanah gambut yang utama adalah kemasaman tanah, ketersediaan hara tanah, kapasitas tukar kation, kejenuhan basa, kadar asam organik tanah, kadar pirit atau sulfur. Sifat-sifat kimia tanah ini sangat penting dalam penentuan jenis komoditis dan cara-cara pengelolaan hara dan pupuk dalam budidaya tanaman pertanian.

Tanah gambut di Indonesia mempunyai pH berkisar antara 2,8-4,5 dan kemasaman potensial mencapai >5 cmol/kg, ketersediaan unsur-unsur makro N, P, K, serta jumlah unsur mikro pada umumnya juga rendah. Kapasitas tukar kation KTK tanah gambut cukup tinggi apabila dihitung berdasarkan berat bahan kering mutlak 115-270 cmol/kg, kejenuhan basa (KB) tanah gambut umumnya rendah pada kisaran 5,4-13 % dengan rasio C/N tinggi yaitu 24-33,4 (Suhardjo dan Widjhaya-Adhi 1976). Kadar bahan organik dan nitrogen yang tinggi (Murayama dan Abu Bakar 1996) disebabkan tanah gambut berasal dari sisa-sisa tumbuhan. Dengan

perbandingan C/N yang tinggi, apabila tanah gambut direklamasi maka sebagian besar unsur N akan diambil oleh jasad renik sebagai sumber energi dalam proses pelapukan bahan organik, sehingga ketersediaan hara bagi tanaman akan berkurang. Ratio C/N tanah gambut umumnya 25-35. Hal ini menunjukkan bahwa perombakan belum sempurna sehingga terjadi immobilisasi N. Perombakan dikatakan sempurna jika nisbah C/N lebih kecil dari 20 (Murayama dan Abu Bakar 1996). Kandungan hara N, P, K dan Mg tergolong rendah. Kandungan N total umumnya berkisar antara 2000-4000 kg N/ha pada lapisan 0–20 cm tetapi yang tersedia bagi tanaman kurang dari 3 % dari jumlah tersebut. Dibandingkan dengan tanah mineral tanah gambut mempunyai kapasitas fiksasi P sangat rendah, karena itu ketersediaan P pada tanah gambut umumnya lebih baik daripada tanah mineral. Kandungan hara mikro khususnya Cu, Mn, Bo dan Zn sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh terbentuknya senyawa organo-metal yang menyemat (fixation) unsur-unsur tesebut (Noor 2001). Kapasitas tukar kation (KTK) tanah gambut umumnya sangat tinggi mencapai 90– 200 meq/100 g yang disebabkan oleh gugusan karboksil dan fenolik, dan mungkin gugusan fungsional yang lain. Gugusan-gugusan fungsional tersebut bertambah dengan semakin lanjut dekomposisi bahan organik sehingga kapasitas tukar kation dapat meningkat sampai 200 meq/100 g atau lebih. Kejenuhan basa tanah gambut umumnya sangat rendah, kurang dari 10 % (IPB 1998). Gambut ombrogen memiliki kejenuhan basa lebih rendah dari gambut topogen, semakin tebal gambut kejenuhan basa semakin rendah. pH tanah dan kesuburan tanah meningkat dengan meningkatnya kejenuhan basa. Menurut Tan (1994) kesuburan tanah tinggi bila kejenuhan basa≥80

%, kesuburan sedang bila kejenuhan basa kurang dari 80 % tetapi lebih dari 50 %, dan rendah bila kejenuhan basa < 50 % (dengan 1 N NH4OAc pH 7). Kation-kation Ca2+, Mg2+, K+, sangat diperlukan oleh tanaman, ketersediaannya meningkat dengan meningkatnya nilai kejenuhan basa. Pada tanah gambut secara umum kejenuhan basa harus mencapai 35 % apabila dikehendaki tanaman lebih mudah menyerap basa-basa (Soepardi 1997).

Menurut Flaig, Beuteelspacer dan Rietz (1975 dalam Sagiman 2001) dari hasil biodegradasi lignin akan dihasilkan asam-asam fenolat, dan dari selulosa atau hemiselulosa akan dihasilkan asam-asam karboksilat.

Urutan peracunan asam-asam fenolat berdasarkan penelitian Tadano et al.

(1992 dalam Sagiman 2001) adalah asam ferulat<p-kumarat <vanilat=siringat> p-hidroksibenzoat. Pengaruh peracunan ternyata juga berbeda antara satu tanaman dengan lainnya, pengaruh peracunan tertinggi pada tomat dan paling rendah pada padi, tomat>jagung = kedelai >gandum>padi. Dengan konsentrasi kritis <0.05 mM pada tomat; 0.25 mM pada jagung dan kedelai dan 0.5 mM pada gandum dan padi. Mengingat asam fenolat merupakan senyawa yang dapat meracuni tanaman maka Sabiham (1996) menganjurkan untuk mengatasi masalah keracunan tanaman sebelum tanah gambut dimanfaaatkan untuk kepentingan pertanian. Tadano et al. (1992 dalam

Basyaruddin 2001) melaporkan hasil penelitiannya yang menunjukkan asam-asam organik tanah gambut pada konsentrasi tertentu menjadi racun bagi tanaman sehingga menekan pertumbuhan tanaman.

Tanah gambut mempunyai kerapatan lindak (bulk density) yang sangat rendah dan bervariasi sesuai dengan tingkat dekomposisi bahan organik dan kandungan mineral (Hardjowigeno 1997).

Berdasarkan tingkat dekomposisinya histosol dibagi menjadi 3 sub ordo yaitu fibrik<hemik<saprik. Secara umum, tingkat dekomposisi menentukan sifat-sifat fisik, biologi dan kimia gambut.

Beberapa upaya untuk melihat potensi mikroorganisme dalam memacu perombakan telah diteliti. Hasil penelitiaan Komariah et al. (1994) menunjukkan penggunaan mikroorganisme perombak selulosa dapat meningkatkan ketersediaan hara dan perombakan gambut, tetapi belum mampu menurunkan nisbah C/N. Triana dan Sahar Hanafiah (2003) meneliti pengaruh pemberian pupuk hayati dan

amandemen pada tanah gambut yang berasal dari Indragiri Hilir – Riau terhadap serapan hara tanaman kedelai. Hasil penelitian menunjukkan pemberian inokulan campuran rhizobia, mikroorganisme perombak selulosa, mikroba pelarut fosfat disertai amandemen dapat meningktkan pertumbuhan tanaman kedelai di tanah gambut namun penggunaaan mikroorganisme perombak selulosa tanpa amandemen dapat meningkatkan ketersediaan hara tetapi belum mampu menurunkan nisbah C/N. Pemberian amandemen seperti abu janjang bersama mikrooraganisme perombak selulosa dapat menurunkan nisbah C/N tanah gambut dan meningkatkan

pertumbuhan tanaman kedelai di tanah gambut. Peningkatan pH akibat pemberian amanden tanah dapat meningkatkan aktivitas mikroba pada tanah gambut. Lambatnya

perombakan pada tanah gambut karena aktivitas mikroornisme yang rendah. Hal ini dipengaruhi antara lain oleh potensial redoks, nisbah C/N, pH, suhu, dan kelembaban. Keberadaan sifat-sifat inheren baik dari segi kimia, fisika, dan biologi yang kurang menguntungkan menyebabkan tanah gambut digolongkan sebagai tanah marginal (Limin et al. 2000).

Untuk itulah perlunya usaha untuk mengelola tanah gambut dengan semestinya.

Perbaikan Kesuburan Tanah Gambut dengan Bahan Mineral

Dalam pengembangan dan pengelolaan tanah gambut ditemukan berbagai macam kendala. Dari segi kesuburan kimia beberapa kendala yang sering dijumpai pada tanah gambut adalah (1) reaksi tanah tergolong sangat asam yang berasal dari berbagai asam organik yang terbentuk selama pelapukan; (2) kandungan hara makro dan mikro rendah; (3) kapasitas tukar kation yang tinggi sedangkan kejenuhan basa rendah sehingga kation-kation Ca, Mg dan K sukar tersedia bagi tanaman; (4) karena gambut kaya akan bahan organik maka unsur mikro seperti Cu, Mn dan Fe

membentuk khelat dengan senyawa organik sehingga sukar tersedia bagi tanaman dan (5) pelapukan senyawa organik menyebabkan gambut kaya dengan asam-asam

organik yang meracuni tanaman, terutama senyawa fenol (Sabiham 1996).

Beberapa upaya yang telah dilakukan dalam perbaikan tanah gambut adalah melalui pemupukan, pengapuran, penambahan abu (asal gambut atau serbuk gergaji), pemberian pupuk kandang, penambahan abu vulkan, pencampuran dengan bahan

mineral seperti lumpur laut. Salah satu cara memperbaiki sifat gambut untuk media tumbuh tanaman dengan penambahan bahan mineral berupa kapur dan lumpur laut merupakan kajian yang akan diungkapkan dalam tulisan ini. Pemberian pupuk dan amandemen dalam komposisi dan takaran yang tepat dapat mengatasi masalah

Dokumen terkait