• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Pendahuluan

Dalam dokumen PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Halaman 51-56)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Uji Pendahuluan

1. Penentuan dosis hepatotoksik karbon tetraklorida

Dosis hepatotoksik karbon tetraklorida merupakan dosis dimana senyawa model karbon tetraklorida mampu menyebabkan kerusakan hati ringan berupa steatosis pada tikus. Adanya kerusakan hati ditandai dengan meningkatnya aktivitas ALT dan AST tikus akibat induksi karbon tetraklorida. Menurut Ziemmerman (1999) dan Windrawati (2013) menyebutkan bahwa karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB telah mampu meningkatkan aktivitas ALT kurang lebih sebesar tiga kali dan AST tikus empat kali lipat dari semula. Penelitian Janakat dan Al-Merie (2002) serta Windrawati (2013) menyebutkan bahwa karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB telah mampu menginduksi terjadinya hepatotoksik. Berdasarkan hasil studi pustaka yang dilakukan, dosis senyawa karbon tetraklorida yang digunakan sebesar 2 mL/kgBB.

2. Penentuan waktu pencuplikan darah

Penentuan waktu pencuplikan darah dilakukan untuk mengetahui waktu yang menunjukkan efek hepatotoksik yang maksimal dari senyawa model karbon tetraklorida (CCl4). Efek hepatotoksik ditandai dengan peningkatan aktivitas serum ALT dan AST tikus pada selang waktu tertentu setelah penginduksian

senyawa model CCl4 secara intraperitonial. Senyawa CCl4 dosis 2 mL/kgBB diinduksikan dengan selang waktu pencuplikan darah pada 0, 24 dan 48 jam. Data aktivitas serum ALT dan AST tikus pada tiap selang waktu pencuplikan darah dapat dilihat pada Tabel III.

Tabel III. Purata ± SE aktivitas serum ALT dan AST tikus pada selang waktu 0, 24 dan 48 jam

setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB (n=3) Selang Waktu (jam) Purata Aktivitas serum ALT ± SE

(U/L)

Purata Aktivitas serum AST ± SE (U/L)

0 68,0 ± 9,6 88,3 ± 3,8

24 203,3 ± 15,9 446,3 ± 19,3

48 54,7 ± 5,5 147,3 ± 7,5

Gambar 6. Diagram batang rata-rata aktivitas serum ALT tikus pada selang waktu 0, 24 dan 48 jam setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB

Hasil analisis statistik serum ALT menunjukkan distribusi data normal dan variansi data homogen sehingga dapat dianalisis menggunakan analisis variansi satu arah. Hasil analisis variansi satu arah dari data serum ALT yang diperoleh menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan pada ketiga kelompok waktu pencuplikan darah.

Kebermaknaan perbedaan antar kelompok tersebut selanjutnya dapat diketahui dengan uji Scheffe, dimana hasil analisisnya dapat dilihat pada Tabel IV.

Tabel IV. Hasil uji Scheffe aktivitas serum ALT tikus pada selang waktu 0, 24 dan 48 jam setelah

pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB

Selang Waktu (jam) 0 24 48

Jam ke 0 BB BTB

Jam ke 24 BB BB

Jam ke 48 BTB BB

Keterangan:

BB = Berbeda bermakna (p < 0,005) BTB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05)

Gambar 7. Diagram batang rata-rata aktivitas serum AST tikus pada selang waktu 0, 24 dan 48 jam setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB

Hasil analisis statistik data serum AST memiliki distribusi data normal dan variansi data homogen. Data selanjutnya dianalisis dengan analisis variansi satu arah dan diperoleh signifikansinya sebesar 0,000 (p<0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pada ketiga kelompok pada selang waktu pencuplikan. Tahap berikutnya dilakukan analisis menggunakan uji Scheffe untuk mengetahui kebermaknaan dari perbedaan antar kelompok tersebut.

Tabel V. Hasil uji Scheffe aktivitas serum AST tikus pada selang waktu 0, 24 dan 48 jam setelah

pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB

Selang Waktu (jam) Jam ke 0 Jam ke 24 Jam ke 48

Jam ke 0 BB BB

Jam ke 24 BB BB

Jam ke 48 BB BB

Keterangan:

BB = Berbeda bermakna (p < 0,005) BTB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05)

Tabel III menunjukkan aktivitas serum ALT yang paling tinggi terdapat pada jam ke-24 setelah pemberian CCl4, dimana aktivitasnya mencapai 203,3 ± 15,9 U/L. Aktivitas serum AST juga meningkat pada jam ke-24 sebesar 446,3 ± 19,3 U/L (Tabel III). Dari Gambar 6 dan Gambar 7 menunjukkan peningkatan aktivitas serum ALT dan AST yang paling signifikan terjadi pada jam ke-24, dan pada jam ke-48 telah terjadi penurunan aktivitas kedua serum tersebut. Aktivitas serum ALT dan AST tikus pada jam ke-24 memiliki perbedaan yang bermakna terhadap waktu jam ke-0 dan jam ke-48 yang ditunjukkan oleh Tabel IV dan Tabel V. Aktivitas serum ALT pada jam ke-0 memiliki perbedaan yang tidak bermakna terhadap jam ke-48. Artinya, aktivitas ALT pada jam ke-48 telah kembali normal seperti pada jam ke-0. Aktivitas serum AST pada jam ke-0 memiliki perbedaan yang bermakna terhadap jam ke-48, dimana hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan aktivitas serum AST namun aktivitasnya belum mencapai keadaan semula.

Berdasarkan aktivitas serum ALT dan AST dari hasil penelitian ini, CCl4 memiliki efek hepatotoksik yang paling tinggi pada jam ke-24, sehingga waktu pencuplikan darah yang digunakan dalam penelitian ini adalah jam ke-24 setelah pemberian senyawa CCl4.

3. Penetapan lama pemejanan infusa biji P. americana

Penelitian Windrawati (2013) mengenai efek hepatoprotektif ekstrak metanol:air (50:50) daun Macaranga tanarius L. dan Manuel (2010) mengenai efek hepatoprotektif jus buah papaya menjelaskan pemberian praperlakuan ekstrak metanol:air Macaranga tanarius L. dan jus buah papaya dilakukan selama enam hari berturut-turut, dan pada hari ketujuh diinduksikan senyawa model hepatotoksin. Maka dari itu, penelitian ini menggunakan metode lama pemberian senyawa uji yang sama dengan pustaka tersebut agar hasil penelitian yang diperoleh dapat dibandingkan dengan penelitian hepatoprotektif yang telah dilakukan sebelumnya.

4. Penetapan dosis infusa biji P. americana

Dosis infusa P. americana yang digunakan dalam penelitian ini ditetapkan berdasarkan konsentrasi maksimal infusa yang dapat dibuat serta volume maksimal yang mampu diberikan pada hewan uji secara peroral. Dosis yang diperoleh berdasarkan konsentrasi maksimal tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai dosis tinggi infusa P. americana. Berdasarkan orientasi yang dilakukan, didapatkan dosis tinggi infusa P. americana sebesar 1142,86 mg/kgBB. Dosis terendah didasarkan pada keterangan empiris jumlah penggunaan rebusan serbuk biji P. americana di masyarakat, dimana dosis rendah infusa P. americana yang diperoleh sebesar 360,71 mg/kgBB. Penetuan dosis tengah infusa merupakan faktor kelipatan dari dosis tinggi dan dosis rendah infusa P. americana, dimana dosis tengah yang diperoleh sebesar 642,06 mg/kgBB.

Dalam dokumen PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Halaman 51-56)

Dokumen terkait