• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di seluruh Indonesia Hutan Tanaman Industri (HTI) A. mangium telah mencapai luas 443.535 ha atau 64.2 % dari luas HTI yang ada. Dari informasi yang berhasil diperoleh, ternyata pembangunan HTI pulp (dari berbagai jenis pohon) dicanangkan seluas 4.94 juta ha atau 67 % dibandingkan dengan keperluan lain seperti untuk kayu konstruksi yang hanya 1.65 juta ha atau 23 % (Cossalter dan Nair, 2000). Laporan terakhir menyebutkan bahwa di Indonesia, luas tanaman acacia telah mencapai 1.2 juta ha dan sebagian besar berupa tanaman A. mangium (Mohammed dan Rimbawanto, 2006).

Tegakan hutan tanaman A. mangium yang luas seperti diuraikan di atas ini cukup menggembirakan. Namun, di lain pihak, A. mangium juga dihadapkan pada banyak faktor pembatas. Di antara faktor pembatas tersebut adalah hama dan penyakit.

Jika pengelolaan tegakan kurang sesuai, maka dapat terjadi seperti yang disaksikan di berbagai tegakan hutan, timbulnya penyakit lapuk kayuteras (PLKT). Penyakit yang terakhir ini telah dilaporkan di berbagai tempat antara lain di Australia (Old, dkk., 1996) dan di Indonesia (Nuhamara, 1993; Mohammed dan Rimbawanto, 2006). Penyakit lapuk kayuteras atau biasa disebut busuk hati (heart rot) atau heart decay adalah pelapukan bagian tengah kayubatang pohon hidup. Dalam hal ini lapuk tidak lagi terbatas hanya pada kayuteras, yang terdiri atas jaringan kayu yang telah mati (Helms,1998; Tainter dan Baker, 1996), tetapi juga kayugubal yang mati sebelum waktunya oleh suatu sebab yang lain.

Masalah ini erat kaitannya dengan daur tebang. Daur tebang adalah suatu jangka waktu antara penanaman dan penebangan atau antara penanaman dan penanaman berikutnya di tempat yang sama, yang ditentukan oleh jenis, hasil yang diinginkan, nilai tanah dan suku bunga yang tersedia. Secara umum, terdapat beberapa macam daur tebang untuk tegakan hutan seumur seperti dikemukakan

15 oleh (Hiley, 1956). Adapun macam-macam daur dimaksud adalah: daur silvikultur, daur teknis, daur pendapatan tertinggi (daur produksi maksimal) dan ada pula daur finansial.

Makin tua umur tanaman atau makin panjang daur tebangnya, makin terbuka pula peluang untuk mendapatkan kualitas kayu pertukangan dengan kualitas tinggi, asalkan disertai dengan perlakuan silvikultur yang tepat. Sebaliknya dapat pula terjadi, justru daur tebang A. mangium seyogianya perlu diperpendek, agar kerugian akibat penyakit dapat diminimalkan. Perpendekan daur tebang yang bertujuan untuk mengurangi kerugian hasil hutan akibat gangguan penyakit hutan seperti oleh PLKT sesuai dengan konsep daur patologis (Boyce, 1961; Tainter dan Baker, 1996).

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang besar persen kayuhilang (cull factor) akibat PLKT, sebagai satu dasar penentuan daur tebang tegakan A. mangium. Dengan perkataan lain, umur tegakan ditetapkan sedemikian, dengan daur tebang yang sedikit lebih panjang, kualitas kayu menjadi lebih sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan yaitu untuk produksi kayu pertukangan atau kayu konstruksi. Oleh karena itu, ingin diketahui pada umur berapa tegakan A. mangium tepat ditebang demikian, sehingga banyak kayu yang lapuk tidak lebih besar dari kayu baru yang dibentuk pada periode pertumbuhan berikutnya.

1. Pertumbuhan dan Kualitas Kayu A. mangium

a. Pertumbuhan

Pada waktu muda batang pohon bersifat lunak dan pohon tumbuh cepat menjadi besar terutama jika tersedia hara yang cukup dan lingkungan yang tepat (Haygreen dan Bowyer, 1982). Selanjutnya diketahui pula bahwa waktu muda jaringan-jaringan yang dibentuknya berbeda dengan ketika pohon telah menjadi dewasa. Apabila batangnya terluka, pohon bahkan dapat cepat memberikan reaksi untuk penyembuhannya.

Mangium dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah. Pada areal yang kurang baik seperti lahan yang terganggu dan bekas terbakar,

16 lahan dengan tanah lempung yang sudah kurus dengan bahan dasar vulkanik, lahan gersang bekas perladangan liar, jenis pohon ini masih dapat tumbuh baik dengan produksi rata-rata 20 m3 ha-1 (Sindusuwarno dan Utomo, 1979). Pada kondisi yang sama, di- bandingkan dengan Eucalyptus deglupta dan Gmelina arborea, A. mangium tumbuh lebih baik, atau setidaknya sama.

Mangium termasuk jenis pohon yang dapat mencapai tinggi 30 m dengan batang bebas cabang lebih dari separuh tinggi dan diameter batangnya dapat mencapai 99 cm atau lebih (NRC, 1983 diacu Anonim 1996). A. mangium yang telah berumur 9 tahun dapat mencapai tinggi 23 meter dengan diameter batangnya 23 cm, dan rata-rata dapat menghasilkan kayu sebanyak 41.5 m3 ha-1 (NAS, 1979). Christine (1989) diacu Anonim (1996) melaporkan bahwa pada umur 14 tahun tinggi A. mangium dapat mencapai 40 meter dan diameter batangnya 40 cm. Sutisna dan Fatawi (1993) juga melaporkan bahwa pertumbuhan tanaman mangium berumur 9 tahun di Balikpapan, Kalimantan Timur mampu mencapai riap diameter 2.8 cm/tahun dan riap volume 15.7 m3ha-1tahun-1.

Selanjutnya Suarsa, dkk. (1991) melaporkan bahwa pertumbuhan tanaman mangium di PT. ITCI di Propinsi Kalimantan Timur pada umur 7 – 8 tahun mencapai rata-rata volume tegakan Mean Annual Increment (MAI) 18.14 – 25.62 m3ha-1tahun-1. Awang dan Taylor (1995) melaporkan bahwa di berbagai lokasi pertumbuhan diameter pohon mangium meningkat cepat hingga 15 – 20 cm, dalam waktu kurang dari 4 tahun.

Laju pertumbuhan selanjutnya menurun setelah pohon mencapai umur 5 tahun dengan diameter dapat mencapai 30 cm setelah berumur 8 tahun. Pertumbuhan diameter dan tinggi tersebut beragam menurut umur dan tempat tumbuh. MAI untuk diameter berkisar 1.8 – 7.4 cm tahun-1. Sementara MAI tinggi lebih dari 4 m tahun-1pada umur 2 – 4 tahun dan selanjutnya menurun hingga 2 – 2.5 m tahun-1.

17 Dilaporkan bahwa pertumbuhan dan hasil tegakan A.mangium selain dipengaruhi oleh umur tegakan dan keadaan tempat tumbuh, juga sangat dipengaruhi oleh pemberian tindakan penjarangan (Anonim, 1996). Hasil dan pertumbuhan tegakan yang lebih baik akan diperoleh apabila dilakukan tindakan penjarangan pada umur 3 tahun dengan intensitas penjarangan 30 % untuk tegakan dengan kelas bonita 2, tindakan penjarangan pada umur 4 tahun dengan intensitas 30 % untuk tegakan dengan bonita 3 dan penjarangan pada umur 5 tahun dengan intensitas penjarangan 40 % untuk tegakan dengan bonita 4.

Dari hasil penelitian (Anonim, 1996) disimpulkan bahwa pertumbuhan volume tegakan maksimum A. mangium dicapai pada saat kurva MAI berpotongan dengan kurva CAI dan untuk kelas bonita II hal tersebut terjadi pada umur 4 – 5 tahun; untuk kelas bonita III umur 6 – 7 tahun dan untuk kelas bonita IV umur 7 – 8 tahun. Temuan –temuan ini adalah untuk tegakan tanpa perlakuan penjarangan.

Sementara tegakan dengan perlakuan penjarangan diperoleh hasil sebagai berikut: pada kelas bonita II, perlakuan penjarangan pada umur 3 tahun dengan intensitas penjarangan 30 % dari jumlah pohon asalnya, sangat nyata meningkatkan hasil dibandingkan dengan yang tidak dijarangi sama sekali. Di sini pertumbuhan dengan volume tegakan maksimum dicapai pada umur 7 tahun. Pada kelas bonita III, dengan penjarangan pada umur 4 tahun dengan intensitas 30 %, pertumbuhan volume tegakan maksimum dicapai juga pada umur 7 tahun. Terakhir pada kelas bonita IV, penjarangan pada umur 5 tahun dan intensitas 40 %, pertumbuhan volume tegakan maksimum dicapai juga pada umur 7 – 8 tahun. Hasil-hasil yang diperoleh seperti diuraikan di atas berkaitan dengan pertumbuhan A. mangium baik itu berupa kurva bonita di berbagai tapak khususnya di Jawa Barat, maupun fungsi hasil tegakan, hingga kini umumnya didasarkan pada pengukuran diameter, luas bidang dasar dan volume.

18 Dalam kenyataannya, pengelolaan tegakan A. mangium tampaknya belum sepenuhnya dilakukan sesuai dengan praktek silvikultur secara taat azas. Satu di antaranya adalah karena informasi yang kurang tentang faktor pembatas yang mungkin timbul seperti penyakit lapuk kayuteras. Secara fisik gejala lapuk kayuteras ini sering sulit dideteksi dari luar. Hal yang terakhir ini dipandang dapat mempengaruhi pendugaan hasil tegakan baik dalam jumlah (volume) maupun dalam kualitas.

Haygreen dan Bowyer (1996) mengungkapkan bahwa kualitas kayu ditentukan oleh sejumlah faktor yang berkaitan dengan kecocokan kayu untuk kegunaan akhir yang khusus. Faktor-faktor tersebut mencakup kerapatan, keseragaman, proporsi kayuteras, panjang serat, keberadaan kayu remaja dan kayu reaksi, susunan sel, mata kayu, arah serat serta susunan kimia kayu. Pengaruh kombinasi faktor-faktor ini menentukan kualitas kayu dan oleh karena itu dipandang sangat penting untuk mengaitkan tiap faktor tersebut dengan tujuan penggunaan akhirnya.

b. Kualitas A. mangium untuk kayu pertukangan

A. mangium diketahui mempunyai kerapatan 420; 480 dan 560 kg cm-3, nilai kekuatan untuk Modulus of Rupture (MOR), 101.18 (MPa), sedang Modulus of Elastisities (MOE) 11.671 Mpa, kekuatan pecah maksimum 12.50 Mpa dan Compression Stress maksimum 43.5 Mpa.

Kayu A. mangium merupakan jenis kayu bahan industri yang sangat menjanjikan (Surjokusumo dkk., 2003). Selanjutnya dinyatakan bahwa dengan kemampuannya yang cukup baik dalam menahan beban sekitar 12 - 27 tension stress (TS 12 – TS 27), maka kayu A. mangium layak diperhitungkan sebagai bahan baku kayu konstruksi.

Alipon dkk (2003) menyimpulkan bahwa kerapatan relatif dan kelas kekuatan A. mangium pada umur 10 – 12 tahun lebih cocok untuk kualitas kayu pertukangan, sementara kualitas kayu tersebut

19 pada umur 6 – 8 tahun lebih sesuai untuk keperluan yang kurang mementingkan kekuatan kayu.

Kualitas kayu pertukangan dan/atau kayu konstruksi berkaitan erat dengan kekuatan dan keawetan kayu. Kekuatan kayu berkaitan dengan bobot jenis dan kerapatan kayu. Kerapatan kayu berhubungan langsung dengan porositasnya, yaitu proporsi volume rongga kosong (lumen). Adapun sifat-sifat seperti kekuatan dan kestabilan dimensi kayu berhubungan erat dengan kerapatan kayu.

Sifat-sifat fisikomekanik kayu ditentukan oleh tiga ciri: (1) porositas, yang dapat diperkirakan dengan mengukur kerapatannya; (2) organisasi struktur sel, yang meliputi struktur mikro dinding sel dan keragaman serta proporsi tipe-tipe sel; dan (3) kandungan air (Haygreen dan Bowyer, 1996).

Tentang kualitas kayu Larson (1969, diacu oleh Haygreen dan Bowyer, 1996) menyatakan: “ Selama proses pembentukan kayu, banyak faktor-faktor di dalam dan di luar pohon berperan dalam menentukan keragaman dalam tipe, jumlah, ukuran, bentuk, struktur fisik, dan susunan kimia komponen-komponen kayu”.

2. Daur Tebang

Daur tebang adalah suatu jangka waktu antara penanaman dan penebangan atau antara penanaman dan penanaman berikutnya di tempat yang sama, yang ditentukan oleh jenis, hasil yang diinginkan, nilai tanah dan suku bunga usaha yang tersedia. Konsep daur dipakai untuk pengelolaan hutan seumur, sedang untuk hutan tidak seumur istilah yang memiliki arti yang sama adalah siklus tebang (cutting cycle).

Istilah daur berkaitan erat dengan adanya konsep hutan normal. Secara ideal, hutan normal akan terdiri atas kelompok tegakan semua umur yang mempunyai potensi sama, mulai dari umur satu tahun sampai akhir daur. Oleh karena itu. menentukan panjang daur merupakan satu faktor kunci dalam pengelolaan hutan seumur sesuai dengan definisinya. Masalah penentuan panjang daur sangat berkaitan erat dengan cara menentukan

20 waktu, yang diperlukan oleh suatu jenis tegakan untuk mencapai kondisi masak tebang, atau siap dipanen. Lama waktu tersebut bergantung pada sifat pertumbuhan jenis yang diusahakan, tujuan pengelolaan dan pertimbangan ekonomi.

Osmaton (1968) diacu Gunawan, 2003 menjelaskan bahwa daur merupakan suatu faktor pengatur dalam pengusahaan hutan seumur. Daur akan dipakai pada waktu membuat rancangan perusahaan tersebut, dan akan terdapat perbedaan yang besar dalam penataan hutan apabila tegakan ditebang pada batas bawah umur tebang atau dibiarkan tumbuh sampai tegakan berada di atas miskin riap. Lama daur tidak selalu sama dengan tahun sebenarnya tegakan harus ditebang. Karena keadaan silvikultur dan/atau pertimbangan lain dapat menyebabkan tegakan harus ditebang lebih cepat atau lebih lambat dari waktu yang telah ditentukan.

Dari segi pasar, daur ditentukan oleh macam produk tegakan, tipe tegakan, tempat tumbuh dan jenis tanaman. Dengan demikian daur jenis yang sama sedikit banyak dipengaruhi oleh tempat tumbuh (Chapman, 1931) diacu Gunawan, 2003.

Menurut Osmaston (1968) diacu Gunawan, 2003, panjang daur bergantung pada interaksi beberapa faktor, yaitu :

a. Tingkat kecepatan pertumbuhan tegakan, yang bergantung pada jenis pohon, lokasi tempat tumbuh serta intensitas penjarangan,

b. Karakteristik jenis tanaman, dengan memperhatikan umur maksimal secara alami, umur menghasilkan benih, umur kecepatan tumbuh terbaik dan umur kualitas terbaik

c. Pertimbangan ekonomi, dalam hal ini diperhitungkan ukuran yang dapat dipasarkan dan harga terbaik yang dapat diperoleh, dan

d. Respons tanah terhadap penggunaan yang berulang-ulang, erat hubungannya dengan batuan induk, pelapukan tanah dan allelopathy. Hiley (1956) membedakan beberapa macam daur tebang yang ditetapkan berdasarkan keadaan sifat tegakan sesuai dengan tujuan pengelolaan hutan yang bersangkutan, yaitu:

21 2. Daur Silvikultur, yaitu daur yang ditetapkan berdasarkan keadaan saat

tegakan dapat tumbuh mempertahankan kualitasnya atau mengadakan permudaan dan reproduksi. Hal ini dikaitkan dengan ketersediaan benih untuk pembuatan tanaman baru,

3. Daur Teknis, yaitu daur yang ditetapkan berdasarkan keadaan tempat tegakan yang telah mencapai ukuran yang sudah ditetapkan berdasarkan pada teknis pengolahan kayu untuk keperluan produk tertentu yang akan dihasilkan,

4. Daur Pendapatan Tertinggi (daur produksi maksimal), yaitu daur yang ditetapkan berdasarkan keadaan waktu tegakan dapat menghasilkan pendapatan atau volume tertinggi per satuan luas per tahun tanpa memperhitungkan jumlah modal untuk mendapatkannya. Daur ini dapat ditentukan dengan mencari titik potong kurva riap CAI dan kurva riap MAI jenis yang bersangkutan, dan

5. Daur Finansial, yaitu daur yang ditetapkan berdasarkan keadaan waktu tegakan dapat menghasilkan keuntungan atau nilai finansial terbesar. Penentuan daur mi dapat didekati dengan dua cara, yaitu: a. Nilai Harapan Tanah, dan

b. Hasil Finansial.

Dengan bahasa lain, daur tebang diartikan sebagai : jarak waktu yang direncanakan dalam tahun antara saat tegakan dibangun atau diregenerasi dan saat tebangan akhir dilakukan yaitu ketika tegakan telah mencapai tingkat masak tebang yang diharapkan (Ford-Robertson, 1971 diacu oleh Nyland, 2002).

Berdasarkan pertimbangan kualitas kayu maka dikenal pula daur patologis yakni daur tebang saat fungi pelapuk kayuteras cenderung melapukkan lebih banyak volume kayu dibandingkan dengan volume kayu baru yang dibentuk oleh pohon (Tainter dan Baker, 1996). Daur ini juga dikenal sebagai daur fisik (Evans, 1992). Dengan perkataan lain, umur tebang pohon ditentukan ketika volume kayu lapuk sudah sama dengan volume kayu baru yang dibentuk oleh pohon.

22 Untuk tegakan A. mangium di BKPH Parung Panjang, Perhutani telah menetapkan daur tebang adalah 8 tahun. Selama ini umumnya tegakan A. mangium yang dibangun oleh berbagai perusahaan hutan tanaman industri (HTI) di Indonesia adalah untuk produksi pulp dan kertas. Kebutuhan akan bahan kayu untuk pulp dan kertas sering atau cenderung dipenuhi melalui pengelolaan tegakan A. mangium dengan daur tebang yang pendek. Sekarang daur tebang A. mangium umumnya ditetapkan delapan tahun dan telah timbul gagasan untuk menurunkannya menjadi hanya enam tahun, seperti yang digagas PT. Musi Hutan Persada (Djoyosoebroto, 2003).

3. Kehilangan Volume Kayu akibat Penyakit Lapuk Kayuteras a. Kayuteras

Kayuteras adalah jaringan kayu yang semula merupakan kayu gubal yang seiring dengan perkembangannya berubah menjadi jaringan yang sel-selnya makin menua dan akhirnya mati. Zat-zat cadangan makanan yang biasanya terdapat pada kayu gubal diubah menjadi senyawa-senyawa atau zat-zat ekstraktif. Pembentukan zat ekstraktif ini dikendalikan oleh faktor genetik. Biasanya jaringan kayuteras terlihat lebih gelap daripada jaringan kayugubal dan kadar airnya lebih rendah dibandingkan dengan kadar air kayu gubal (Hillis, 1987).

Helms (1998) menyatakan bahwa kayuteras adalah xilem bagian dalam batang pohon, yang merupakan jaringan yang sudah mati dan karena itu fungsinya lebih pada perlindungan, atau penopang mekanis, yang keseluruhannya merupakan bagian proses perkembangan sel-sel pohon yang normal, dari yang semula hidup kemudian berangsur-angsur mati sesuai dengan sifat-sifat genetiknya.

Akan tetapi diketahui pula bahwa beberapa jenis pohon yang porinya tersusun menyebar ternyata tidak membentuk kayuteras atau setidaknya sulit dibedakan antara kayuteras dan kayugubal seperti yang dijumpai pada kebanyakan pohon jenis lainnya (Tainter dan Baker, 1996). Dengan demikian lanjut mereka, yang dimaksud dengan

23 kayuteras adalah kayu berbentuk silinder di bagian poros tengah batang pohon yang sel-selnya tidak lagi berfungsi sebagai pengangkut air dan mineral dan/atau sebagai tempat penyimpanan bahan cadangan makanan.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kayuteras b.1 Keturunan

Nichols (1965 diacu oleh Hills, 1987) mengamati pengaruh faktor genetik terhadap pembentukan kayuteras pada Pinus radiata. Akan tetapi dalam pengamatannya yang lain pengaruh faktor lingkungan ternyata hampir sama dengan pengaruh faktor genetik.

b.2 Pengaruh laju pertumbuhan dan ukuran tajuk

Paul (1932 diacu oleh Hillis, 1987) menemukan bahwa pada suatu tegakan seumur, walau dengan tinggi yang sama (5 m) pohon-pohon dengan lebar tajuk kecil (3 m) atau dari areal yang tegakannya rapat, secara proporsional membentuk kayuteras lebih banyak (28 %) dibandingkan dengan pohon jenis yang sama tetapi dengan lebar tajuk besar (10 m). Pohon dengan tajuk lebih besar ini mempunyai kayuteras hanya sekitar 8 %.

b.3 Pengaruh lingkungan

Studi mengenai pengaruh dan taraf kelembaban dan ketersediaan air memberikan hasil yang saling bertentangan antara satu dan yang lain. Kelembaban dan ketersediaan air yang cukup tinggi cenderung memperlambat pembentukan kayuteras pada Pinus sylvertris ( Pilz, 1907 diacu oleh Hills, 1987). Sebaliknya Harris (1953 dan 1954a diacu oleh Hillis, 1987) melaporkan bahwa justru faktor-faktor yang menunjang pembentukan kayuteras antara lain adalah ketersediaan air yang cukup dan menyebar merata sepanjang tahun, dan tiadanya angin kering atau kondisi kelembaban yang rendah.

24

b.4 Pengaruh luka dan kesehatan pohon

Masuknya udara ke bagian batang melalui puntung cabang atau luka sudah lama diterima dapat mempercepat pembentukan kayuteras (Bürgen dan Münch, 1929 diacu oleh Hillis 1987).

Pemangkasan Cryptomeria japonica diketahui telah

meningkatkan nisbah kayuteras dan volume (Ikara, 1970 diacu oleh Hillis 1987). Kecenderungan yang sama juga dijumpai pada Lopulus sp. (Sachsse, 1965) diacu Hillis, 1987 dan juga pada Pseudotsuga menziesii (Smith dkk, 1966 diacu oleh Hillis 1987). Lappi Seppälä (1952) diacu oleh Hillis, 1987 juga menyimpulkan bahwa peningkatan proporsi kayuteras menurut umur Pinus sylvestris adalah karena telah menurunnya vitalitas pohon.

b.5 Faktor jenis pohon dan umur

Selain berbagai faktor seperti telah diuraikan di atas berbagai sumber dapat dirangkum untuk memperlihatkan pengaruh jenis dan umur terhadap pembentukan kayuteras seperti terlihat pada

Tabel 2 Proses terjadinya kayugubal menjadi kayuteras pada marga yang berbeda menurut umur

Umur (Tahun)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 ... 50 51 52 53 ... 66 67 68 69 70 ... 99 100 Jenis

Cryptomeria japonicaa,b) Robiniaspp. a)

Nothofagus cunninghamiia) Fraxinus excelsiora) Alstonia scholarisa)

Acacia mangiumc) dan d) ? ? ?

Sumber : a) Ikara, 1972

b) Nobuchi dkk., 1979 c) Nuhamara (data pribadi) d) Lee, 1988

26

c. Lapuk kayuteras

c.1 Pengertian kayu lapuk

Kayu lapuk adalah kayu yang komponen-komponen penyusunnya terurai oleh fungi dan/atau mikroba lain yang kemudian menyebabkan kayu tersebut menjadi lebih lunak, kekuatan serta bobotnya makin berkurang dan sering diikuti oleh perubahan tekstur dan warnanya (Helms, 1998). Dengan demikian yang dimaksud dengan lapuk kayuteras (heart rot ) atau heart decay adalah kelapukan kayuteras, yang terdiri atas jaringan kayu yang sudah mati, dalam batang pohon yang masih hidup / berdiri (Helms, 1998). Sementara menurut Tainter dan Baker (1996) istilah heart decay atau busuk hati yang semula digunakan untuk menyatakan kelapukan bagian kayuteras batang pohon, sekarang hanyalah dimaksudkan untuk mengindikasikan posisi lapuk pada batang pohon dan tidak mesti dikaitkan dengan tipe jaringan kayu yang lapuk.

c.2 Tipe-tipe kayu lapuk

1) Menurut lokasi pada pohon: dibedakan menjadi lapuk pada batang bagian atas (top rot) dan lapuk pada akar dan/atau banir (butt rot) (Manion,1981). Fungi yang melapukkan batang pohon bagian atas sering berkembang sangat jauh sampai mencapai akar namun tidak menyebar dari satu pohon ke pohon yang lain melalui akar ataupun dari tunggak pohon hasil penebangan ke generasi berikutnya. Selanjutnya Manion (1981) melaporkan bahwa fungi yang melapukkan bagian akar atau daerah banir mengkolonisasi batang bagian bawah dan akar pohon. Fungi tipe ini dapat saja memparasit kambium akar atau dapat tetap hanya pada jaringan xilem tengah pohon. 2) Menurut jaringan kayunya: dapat dibedakan menjadi lapuk

27 3) Menurut reaksi ensimatisnya: dikenal ada:

a. lapuk cokelat karena kayu yang lapuk terlihat berwarna cokelat, dan

b. lapuk putih, kayu yang lapuk terlihat berwarna putih c. lapuk lunak

Lapuk yang termasuk tipe terakhir ini merupakan tipe lapuk yang umumnya disebabkan oleh jenis-jenis fungi yang tergolong ke dalam fungi Deuteromycetes.

c.3 Persen Cull Factor

Pengertian Kayu hilang

(a) Kayuhilang adalah tiap bagian produksi misalnya pohon, kayu bulat, papan atau anakan yang tidak dapat dimanfaatkan oleh karena bagian itu tidak memenuhi spesifikasi kualitas untuk kemanfaatan tertentu.

(b) Dengan perkataan lain kayuhilang adalah bagian kayu bulat yang tidak dapat dipakai atau bagian kayu bulat yang harus dikurangkan dalam pengukuran volume kayu bulat karena cacat.

Pada pohon dalam tegakan cull factor merupakan persentase bagian volume kayu yang cacat terhadap volume total (Helms, 1998).

Sementara menurut Tainter dan Baker (1996) persen kayuhilang adalah bagian kayu pada pohon yang masih hidup yang tidak bisa dimanfaatkan oleh karena terserang fungi pelapuk kayu.

Berdasarkan informasi yang dapat dikumpulkan belum diperoleh informasi mengenai kayuhilang untuk A. mangium, khususnya di Indonesia.

28

c.4 Metode penentuan cull factor menurut Bakshi (1977)

Metode ini dikembangkan untuk menghitung volume bersih pohon dengan cara menghitung volume kotor sortimen dan menguranginya dengan volume kayu lapuk.

Pada Tabel 3 dan Gambar 3 disajikan contoh penentuan daur patologis tegakan Fir ( Abies sp.) di Wilayah Franklin River, British Columbia (Buckland dkk, 1949). Data ini telah dikonversi ke dalam satuan metrik.

Tabel 3 Contoh Penentuan Daur Patologis Tegakan Fir (Abies sp.) di Wilayah Franklin River, British Columbia

Umur Volume Kotor (M3) Volume Lapuk (M3) Volume Bersih (M3)

75 165.056 0 165.056 125 190.4492 4.2322 186.217 175 228.539 12.6966 215.842 225 296.2543 26.3932 270.861 275 448.6136 50.7864 397.861 325 651.7594 122.734 529.026 375 854.9052 338.576 516.329 425 1058.051 702.546 355.505

29 0 200 400 600 800 1000 1200 75 125 175 225 275 325 375 425 Umur V o lu m e (m 3 )

Volume Kotor Volume Lapuk Volume Bersih

Gambar 3 Hubungan antara umur tegakan Fir (Abies sp.) dengan volume kotor, volume lapuk dan volume bersih (Buckland dkk,1949)

Dalam kasus ini daur tebang ditentukan ketika pelapukan oleh fungi pelapuk kayu telah cenderung lebih besar dari kayu baru yang mampu dibuat oleh pohon. Dalam kurva pada Gambar 3 daur tebang ditemukan pada umur tegakan sekitar 325 tahun. Di Indonesia sepanjang diketahui belum ada daur tebang yang ditentukan atas dasar

Dokumen terkait