LAPUK KAYUTERAS PADA TEGAKAN
HUTAN TANAMAN
Acacia mangium
Willd
SIMON TAKA NUHAMARA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Lapuk Kayuteras pada Tegakan Hutan Tanaman Acacia mangium Willd” adalah gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Pustaka Acuan di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Mei 2008
Simon Taka Nuhamara
ABSTRACT
SIMON TAKA NUHAMARA. Heart rot on Acacia mangium Willd Forest Stand. Under the direction of SOETRISNO HADI, ENDANG SUHENDANG, MAGGY T. SUHARTONO, WASRIN SYAFII and ACHMAD
Heart rot on Acacia mangium Willd forest stand is critical especially for mechanical or construction wood based purposes. Failure on understanding the nature and the way it get established into the tree stem may cause high economic consequences. Anticipating such a worse condition, studies on cull factor in relation to age was initiated. Eventually the study is aimed at healthy cutting cycles of the clear and purposely stand establishment. The study had been carried out at BKPH Parung Panjang, KPH Bogor. Following the cull factor measurement technique combined with the pathological rotation estimation procedures, it was found that the healthy volume was 0.0608 m3 and the cull factor was 29.73 %. The figures were at the age of eight years. Therefore, the pathological rotation cycle for the A. mangium stand in the area could be fitted at eight years, as being adopted so far. This is true, when the plantation is established for the production of wood, provided that the tending operation is optimal. Cultural diagnosis was used to identify the isolated heart rot decaying fungi of Fomes connatus, Bjerkandera adusta, Phellinus conchatus and unidentified one (isolate no 3).All of them belong to Polyporaceae except for Phellinus conchatus which belongs to Hymenochaetaceae but still in the class of Basidiomycetes. The most common damage types observed during the assessment period were consecutively: the branch stub, open wound on the trunk, decay and broken root. Extractives obtained from the fresh cut of A.mangium heartwood of different provenances, indicated weak to moderate but positive and differential antifungal activities to the P. conchatus heart rot decaying fungus. Applying the United State Department of Agriculture (USDA) Forest Health Monitoring (FHM) indices, the general performance of the A. mangium forest stand in Parung Panjang is found to be in healthy criteria. The damage indices for all stand ages investigated varied from 2.77 (lowest) to 5.16 (highest) as compared to the 21.18 value, the possible highest FHM tree index.
RINGKASAN
SIMON TAKA NUHAMARA.
Lapuk Kayuteras pada Tegakan Hutan
Tanaman A
cacia mangium
willd. Dibimbing oleh
SOETRISNO HADI, ENDANG SUHENDANG, MAGGY T. SUHARTONO, WASRIN SYAFII dan ACHMADLapuk kayuteras (LKT) merupakan penyakit khas kehutanan. Penyakit
tersebut khas karena mikroba penyebabnya bukan termasuk kategori patogen
biotrof sebagaimana lazim dikenal, melainkan tergolong sebagai nekrotrof.
Jaringan kayu yang diserang kelompok mikroba unik ini merupakan jaringan kayu
mati pohon hidup dan dikenal sebagai kayuteras.
Kayuteras merupakan komponen kayu penting untuk kebutuhan yang
mementingkan keawetan dan kekuatan sebagai kualitas yang disyaratkan,
misalnya bahan untuk kayu pertukangan dan / atau kayu konstruksi. Untuk
mendapatkan kayu yang mengandung kayuteras seperti dimaksud, umumnya
diperlukan waktu. Dengan perkataan lain umur tegakan atau daur tebang lebih
panjang dibandingkan dengan tegakan untuk keperluan bahan kayu untuk kertas
misalnya.
Dengan umur atau daur tebang tegakan lebih panjang, resiko batang pohon
terluka oleh satu dan lain sebab menjadi lebih terbuka. Pada gilirannya luka
menjadi jalan masuk berbagai mikroba termasuk fungi pelapuk kayuteras.
Umumnya tidak disadari oleh kebanyakan rimbawan, bahwa luka yang terjadi
ketika pohon atau tanaman berkayu masih sangat muda sekalipun dapat dan
memang menjadi awal timbulnya LKT.
Luka pada pohon muda tadi, dapat diatasi dengan mudah oleh pohon melalui
mekanisme pembentukan kalus, bergantung pada lebar dan dalamnya luka. Pohon
terluka dapat sembuh secara alami. Dari luar pohon tidak tampak gejala yang
biasa dikenal sebagai indikator penyakit biotrofi. Sesungguhnya unsur fungi
pelapuk kayu seperti spora telah memperoleh kesempatan masuk ketika pohon
terluka. Spora kelompok fungi ini tidak dapat langsung berkembang tetapi mampu
bertahan hidup (dorman) karena dinding sporanya umumnya terdiri atas khitin.
2
tersebut melalui proses alamiah mentransformasi sel-sel hidup menjadi sel-sel
mati berupa jaringan yang dikenal sebagai kayuteras.
Ketika kayuteras mulai terbentuk, kadar air ideal jaringan kayu sangat
menentukan peluang fungi pelapuk kayuteras (FPKT) untuk berkecambah dan
berkembang. Perkembangan FPKT dan proses pelapukan selanjutnya juga
ditentukan oleh sifat antifungi zat ekstraktif yang dikandung atau dihasilkan oleh
jenis pohon tertentu. Jika ternyata berbagai kondisi yang ada lebih cocok untuk
perkembangan FPKT, maka proses pelapukan akan berlangsung terus. Tiap kali
kayu baru dibentuk, kayu teras yang telah berasosiasi dengan FPKT akan terus
menjadi sasaran pelapukan. Dari luar pohon tidak tampak gejala yang berarti
bahkan sering sama sekali tidak dapat dideteksi. Riap diameter maupun tinggi
terus bertambah dan pelapukan kayuteras pun terus berlanjut sekali telah pernah
dimulai.
Penelitian dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang besar persen kayu
hilang serta hubungannya dengan umur tegakan. Fungi penyebab LKT, indikator
mekanisme terjadinya LKT (jalan masuk FPKT), seberapa kuat aktivitas antifungi
zat ekstraktif terhadap FPKT dan akhirnya ingin pula diketahui kondisi kesehatan
tegakan sebagai potret/ gambaran secara umum tentang pengelolaan tegakan
sesuai tujuan pembangunan tegakan hutan tanaman A. mangium di BKPH Parung
Panjang.
Tiap umur tanaman mulai dari tanaman umur 2 tahun hingga tanaman umur
12 tahun dibuat dua petak contoh dengan bentuk dan ukuran petak contoh
menurut metode FHM, 1997 yang disesuaikan. Petak contoh ditentukan secara
purposive. Volume kotor, volume lapuk dan volume bersih dihitung berdasarkan
metode Bakshi, 1997 dan sesuai dengan rumus Newton diacu Philip (1994). Hasil
pengukuran volume bersih ini disajikan secara grafis dan juga dibandingkan
berdasarkan uji t dengan volume bersih tegakan umur delapan tahun di areal
penebangan yang sedang berjalan sesuai rencana Perum Perhutani.
Bentuk hubungan volume bersih dengan umur tegakan diperoleh sebagai
3
Y = -0.01885 + 0.01802x - 0.001077 x2( R2 =0.920). Daur tebang tegakan
adalah 8 tahun. Besar persen kayu hilang (cull factor) = 29.73 % untuk umur 8
tahun atau 31. 25 % untuk umur 9 tahun.
Identifikasi FPKT menggunakan metode Nobles, 1948; Bakshi dkk, 1969 dan
Stalpers, 1978. FPKT terisolasi serta yang diidentifikasi adalah Fomes connatus,
Bjerkandera adusta, Phellinus conchatus dan isolat nomor 3 (fungi pelapuk
kayuteras tidak teridentifikasi)
Jalan masuk (infetion court) adalah melalui cabang patah/ mati, luka terbuka
pada batang dan akar yang luka/patah.
Zat ekstraktif yang diperoleh melalui fraksinasi bertingkat mempunyai
aktivitas antifungi (AAF) pada tingkat lemah hingga sedang yakni :
0 <AAF 25 % hingga 50 % AAF 25 %
Kondisi kesehatan tegakan hutan tanaman A. mangium di BKPH Parung
Panjang saat penilaian dilakukan tergolong kriteria sehat yakni dengan nilai
indeks kerusakan tingkat tegakan berkisar dari 2.77 (terendah) sampai 5.16
(tertinggi). Nilai ini masih jauh lebih rendah dari nilai indeks kerusakan tertinggi
yang dapat diberikan menurut metode FHM USDA Forest Service 1997.
Besar persen kayu hilang sebesar 29.73 % hingga 31. 25 % sesungguhnya
dapat ditekan apabila pemeliharaan tegakan telah berjalan dengan baik misalnya
melalui Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Jika hal ini
dapat terjadi (sesuatu yang niscaya), maka daur tebang tegakan hutan tanaman A.
mangium di BKPH Parung Panjang dapat diperpanjang menjadi lebih dari 8 tahun
dan dengan demikian pada saat kualitas kayu pertukangan yang menjadi tujuan
Perum Perhutani tercapai, kualitas lingkungan akan terjaga dan dengan kualitas
daya dukung lingkungan yang terjaga maka kelak kelestarian hutan berupa kayu
pun akan terjamin. Pengelolaan hutan dan pengendalian penyakit termasuk LKT
harus diperlakukan sebagai pengelolaan sistem/ekosistem.
Paradigma pengelolaan hutan sehat secara terpadu (Integrated forest health
management) sangat relevan dengan kondisi terbaru kehutanan Indonesia.
4
tidak perlu dipertentangkan bahkan dapat dipaduserasikan, jika pemahaman
tentang lapuk kayuteras dapat menjadi satu acuan.
Kata kunci: Acacia mangium, lapuk kayuteras, daur tebang, kayu pertukangan,
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
LAPUK KAYUTERAS PADA TEGAKAN
HUTAN TANAMAN
Acacia mangium
Willd
SIMON TAKA NUHAMARA
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Disertasi : Lapuk Kayuteras pada Tegakan Hutan Tanaman
Acacia mangium Willd
Nama Mahasiswa : Simon Taka Nuhamara Nomor Induk : 985092
Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Soetrisno Hadi, M.Sc.F. Ketua
Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono Anggota Anggota
Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr. Dr. Ir. Achmad, MS
Anggota
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Maha Pengasih atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2005 ini ialah tegakan hutan sehat dengan topik lapuk kayuteras, dan judul Lapuk Kayuteras pada Tegakan Hutan Tanaman Acacia mangium
Willd.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr.Ir Soetrisno Hadi, MScF, Prof. Dr. Ir Endang Suhendang, MS, Prof Dr. Ir Maggy T. Suhartono, Prof Dr. Ir. Wasrin Syafii, MAgr, dan Dr. Ir Achmad, MS selaku komisi pembimbing serta Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS mantan Dekan Fakultas Kehutanan atas dorongan dan dukungannya selama mengikuti pendidikan. Demikian pula ucapan terima kasih diucapkan kepada Dr. Ir Hendrayanto, MAgr Dekan Fakultas Kehutanan atas dukungan dan saran-sarannya; Dr Ir Rinekso Soekmadi, MSc dan Dr Ir Irdika Mansyur, M.Sc.For., Dr. Ir Lailan Syaufina, MSc., masing-masing sebagai Ketua Program Studi IPK, Ketua dan Sekretaris Departemen Silvikultur atas segala dukungan serta saran-sarannya. Demikian juga ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr Ir. Suprianto DEA, Dr. Ir. Charles B. Simangunsong, MSc., Dr E. Togu Manurung,MSc., Prof. Dr.Ir. Bambang H. Saharjo, MAgr., atas berbagai dukungan yang tak ternilai. Demikian pula dukungan tak ternilai Ir. Ragil S.B. Irianto MS tentang material penelitian. Ucapan terima kasih yang tulus disampaikan kepada Dr. Ir Satyawati Hadi, MSc atas semua dukungan dan penghargaan atas segala pengorbanannya selama mendampingi suami Prof. Dr. Ir Soetrisno Hadi MSc.F selama ini.
Terima kasih yang tulus juga penulis ucapkan kepada Bapak Supriatin (Laboratorium Kimia Kayu Fakultas Kehutanan, IPB); Bapak Iwa Sutiwa, (Laboratorium Biokimia dan Mikrobiologi Pusat Antar Universitas IPB) Bapak Dadang (Laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB), Ir. Ika (Laboratorium Biokimia, Pusat Antar Universitas, IPB) dan Dra Endang Purwaningsih, MSc Laboratorium Zoologi, Dr Sunaryo dan Dr Erlin Rachmat, Laboratorium Morfologi dan Anatomi LIPI, Cibinong atas segala bantuannya selama penulis melakukan penelitian. Tidak lupa ucapan terima kasih ditujukan kepada Saudara Achmad Fatoni dari Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan dan Saudara Ronny Gultom atas bantuannya yang tidak terhingga dalam banyak hal.
Terima kasih ditujukan kepada Pemerintah, lewat Departemen Pendidikan Nasional atas beasiswa serta dana Hibah Bersaing yang telah penulis terima selama ini. Demikian pula kepada Perum Perhutani atas izin untuk melaksanakan penelitian di KPH Bogor.
Ucapan terima kasih diucapkan pula kepada kedua orang tua penulis almarhum dan kepada seluruh keluarga: istri Trini Suprapti, anak Prasetyanto Taka Nuhamara SE, menantu Kristiana Puspitorini SE, cucu Ezra C.S.R Nuhamara; adik-adik Dominggus Karang Nuhamara BSc.,Dr. Daniel Nuhamara, MTh., Ir. Samuel Nuhamara, MPH., Yuli Emu Nuhamara dan Ir. Melkianus Nuhamara, SU atas segala doa dan kasih sayang mereka.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Mei 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lai Lunggi, Sumba, Nusa Tenggara Timur pada
tanggal 29 September 1942 sebagai anak pertama dari enam bersaudara pasangan
Paulus Pura Nuhamara (alm) dan Kaita Riwa (alm).
Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Payeti I tamat tahun 1958.
Penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SMP Kristen Payeti
dan tamat tahun 1961. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke sekolah
lanjutan tingkat atas SMA Katolik Andaluri dan SMA Katolik Suryadikara, dan
tamat tahun 1964. Penulis diterima di Fakultas Biologi Universitas Kristen Satya
Wacana dan tamat tahun 1979 dan memperoleh ijazah Sarjana Biologi. Tahun
1988 penulis diterima di Program Master Program Studi Entomologi dan
Fitopatologi Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan tamat tahun 1992.
Tahun 1998 penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
untuk program Doktor pada Institut Pertanian Bogor.
Riwayat pekerjaan: penulis pernah bekerja sebagai guru SMP Katolik tahun
1964-1965, tahun 1973 hingga tahun 1987 penulis bekerja di BIOTROP
SEAMEO, dan tahun 1980 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Tahun 2007 bulan September penulis memasuki masa pensiun sebagai
Pegawai Negeri Sipil.
Bogor, Mei 2008
Simon Taka Nuhamara
2
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir Elis Nina Herlyana, MS.
ISI
Hal
DAFTAR TABEL. ... xv
DAFTAR GAMBAR... xvi
DAFTAR LAMPIRAN... xix
1 PENDAHULUAN ...1
A. Latar Belakang ... B. Tujuan Penelitian... C. Manfaat Penelitian... D. Hipotesis Penelitian ... E. Ruang Lingkup Penelitian ... 1 5 5 6 6 2 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... A. Sejarah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor... B. Letak dan Luas... C. Keadaan Hutan ... D. Tanah dan Iklim ... E. Lokasi Penelitian dan Riwayatnya... 8 8 8 9 10 11 3 DAUR PATOLOGIS TEGAKAN HUTAN TANAMAN Acacia mangium Willd ...14
A. Pendahuluan ... B. Metodologi ... C. Analisis Data ... D. Hasil ... E. Pembahasan ... F. Simpulan ... 14 30 34 35 36 38 4 FUNGI PELAPUK KAYUTERAS PADA Acacia mangium Willd ...39
A. Pendahuluan ... B. Metodologi ... C. Hasil ... D. Pembahasan ... E. Simpulan ... 39 42 51 66 69 5 DETEKSI JALAN MASUK FUNGI PELAPUK KAYUTERAS...70
A. Pendahuluan ... B. Metodologi ... C. Hasil ... D. Pembahasan ... E. Simpulan ...
2
6 UJI ANTI FUNGI ZAT EKSTRAKTIF KAYU Acacia
mangium Willd TERHADAP FUNGI PELAPUK KAYUTERAS... 79
A. Pendahuluan ... B. Metodologi ... C. Hasil ... D. Pembahasan ... E. Simpulan ... 79 81 88 93 95 7 KONDISI KESEHATAN TEGAKAN A. mangium DI BAGIAN KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN (BKPH) PARUNG PANJANG, KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN (KPH) BOGOR 96 A. Pendahuluan ... B. Metodologi ... C. Hasil ... D. Pembahasan ... E. Simpulan ... 96 97 103 107 108 SINTESIS HASIL-HASIL PENELITIAN... 109
SIMPULAN ... 113
PUSTAKA ACUAN... 115
LAMPIRAN ... 122
DAFTAR TABEL
Hal
1 Kelas Perusahaan A .mangium di BKPH Parung Panjang ...1
2 Proses terjadinya kayugubal menjadi kayuteras pada marga yang
berbeda menurut umur ... 25
3 Contoh Penentuan Daur Patologis Tegakan Fir (Abies sp.) di Wilayah Franklin River, British Columbia...
28
4 Volume pohon dan kayu –hilang berdasarkan umur tanaman...35
5 Karakteristik fungi hasil diagnosis biakan...51
6 Tabel 6 Klasifikasi tingkat aktivitas antifungi (AAF) zat ekstraktif ...88
7 Kandungan zat ekstraktif rata-rata kayu Acacia mangium provenans Queensland, Papua Nugini dan Subanjeriji pada tiap Jenis bahan pelarut ...
89
8 Pertumbuhan Phellinus conchatus pada berbagai zat ekstraktif kayu A. mangium dari beberapa provenans dalam bahan pelarut dan konsentrasi berbeda selama 12 hari (rata-rata dari n = 3)...
90
9 Kode lokasi untuk berbagai bagian organ pohon tempat kerusakan ditemukan ...
99
10 Kode, tipe-tipe kerusakan serta nilai ambang keparahan untuk berbagai tipe kerusakan yang ditemukan pada pohon ...
100
11 Kode tipe kerusakan, kelas serta kode keparahan...101
12 Pembobotan indeks kerusakan menurut tipe, lokasi dan keparahan...103
DAFTAR GAMBAR
Hal 1 Diagram alir kerangka penelitian dan cakupan penelitian...7
2 Peta lokasi daerah penelitian, berikut penyebaran plot contoh...12
3 Hubungan antara umur tegakan Fir (Abies sp.) dengan volume kotor, volume lapuk dan volume bersih (Buckland dkk,1949)...
29
4 Cara pengukuran volume sortimen kayu bulat 2 m ... 32
5 Pola lapuk kayuteras, (1) pola tidak teratur, dengan satu noda, (2) pola tidak teratur, dengan lebih dari satu noda tetapi yang berkembang dari lapuk yang sama, (3) lapuk mengelilingi kayu yang masih utuh, (4) noda-noda lapuk yang berbeda-beda (Bakshi,
1977). ...33
6 Hubungan antara umur pohon A. mangium di BKPH Parung
Panjang dan volume kotor, volume lapuk dan volume bersih ...36
7 Skema yang memperlihatkan urutan proses isolasi dari batang A. mangium yang kayuterasnya telah lapuk hingga menghasilkan isolat
yang diduga merupakan fungi pelapuk kayuteras...43
8 Skema yang memperlihatkan urut-urutan proses isolasi A. Potongan batang A. mangium yang kayuterasnya lapuk dengan ciri lapuk putih. B. Serpihan kayuteras dari A dengan permukaan memperlihatkan miselium berwarna putih...44
9 Bagan alir identifikasi fungi pelapuk kayuteras ...49
10 Bagan pengujian biokemis dan pengamatan mikroskopis fungi pelapuk kayuteras menurut Bakshi dkk,1969 dan Stalpers, 1978. ...50
11 Kantong plastik (A) berisi serbuk gergaji dan diperkaya dengan berbagai bahan kimia standar (Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Antar Universitas, IPB) (a) dan tubuh buah fungi Fomes connatus (b). Himenofor F. connatus(B) memperlihatkan tabung-tabung (a) dan mulut tabung atau pori (b) ... 52
12 Hifa yang membesar dan berkelok-kelok ditunjukkan oleh anak panah (A), Sel kutikuler ditunjukkan oleh anak panah (B) ...53
13 Biakan fungi pelapuk kayuteras: a. Fomes connatus’ b.Bjerkandera adusta, c. Trametes gibbosa dan d Phellinus (Fomes) conchatus (umur biakan 6 minggu) ...54
2
14 A. Fenoloxidase : Uji Bavendamm a. F. connatus; b.B. adusta;
c. T. gibbosa; d.P. (F) conchatus:
B. Uji enzim : 1.laccase; 2.tyrosinase; 3. peroxidase 4. terjadi
perubahan warna akibat pemberian KOH ...55
15 Kantong plastik berisi serbuk gergaji dan diperkaya dengan berbagai bahan kimia standar Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Antar Universitas, IPB dan tubuh buah fungi Bjerkandera adusta (anak panah). ...57
16 Himenofor Bjerkandera adusta(A) memperlihatkan mulut tabung atau pori (dengan penunjuk). Uji Bavendamm (ada zona reaksi baik
dengan asam tanat B1) maupun dengan asam galat B2...58
17 Adanya reaksi laccase A1, reaksi peroksidase A3, sel kutikuler B1,
sambungan apit B2dan oidia B3... 59
18 Hifa dengan percabangan yang tidak seimbang (A), khlamidospora (B1) dan sambungan apit B2...60
19 Kantong plastik (A) yang berisi serbuk gergaji dan diperkaya dengan berbagai bahan kimia standar Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Antar Universitas , IPB dan tubuh buah fungi Trametes gibbosa (anak panah). Himenofor Trametes gibbosa (B)
yang memperlihatkan mulut tabung atau pori ...61
20 Zona difusi pada cawan dengan penambahan asam tanat A1, tetapi tidak ada zona difusi pada cawan dengan penambahan asam galat A2, , oidia B1dan sambungan apit B2...62
21 Kantong plastik (A) berisi serbuk gergaji dan diperkaya dengan berbagai bahan kimia standar Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Antar Universitas , IPB dan tubuh buah fungi Phellinus conchatus (anak panah). Himenofor Phellinus conchatus(B) yang memperlihatkan mulut tabung atau pori (anak panah)...64
22 Enzim laccase (A1), enzim peroxidase (A3) perubahan warna karena pemberian KOH (A4), hifa bagian ujung yang membesar (B1), dan sambungan apit B2 ...65
23 Siklus penyakit busuk hati (lapuk kayuteras) (Manion, 1981) ...71
3
25 Model-model dinding suatu tanggapan pohon terhadap pelukaan (Shigo, 1977, diacu Blanchard dan Tattar, 1981)...74
26 Contoh uji pohon terpilih dan urut-urutan cara kerja penyiapan sayatan terbaik hingga pengamatan sayatan di bawah mikroskop...76
27 (A) Struktur mikroskopik jaringan kayu antara cabang dan batang A. mangium yang memperlihatkan konsep CODIT dengan dinding d1– d4.
(B) Struktur anatomi penampang melintang ranting yang memperlihatkan warna cokelat kehitaman sebagai gejala perubahan warna pada floem (phloem dysfunction)(fl).
(C) Sel-sel jari-jari (r) batang yang memperlihatkan warna cokelat kehitaman sebagai reaksi perubahan warna ...77
28 Struktur senyawa 3,Tetrahydroxyflavanone (1),
4’,7,8-trihydroxyflavanone (2) dan Teracacidin (Mihara dkk., 1989) ...80
29 Contoh bahan kayuteras dari tiga provenas A. mangium...81
30 Skema fraksinasi bertingkat ekstrak aseton kayuteras A. mangium
Willd dari tiga provenans...85
31 Pengujian pertumbuhan fungi pelapuk kayuteras terhadap zat ekstraktif kayu tiga provenans A. mangium...87
32 Rata-rata pertumbuhan miselia P. conchatus pada berbagai bahan pelarut ...92
33 Rata-rata pertumbuhan P.conchatus pada zat ekstraktif A. mangium
dari provenans dan kadar konsentrasi berbeda ...92
34 Interaksi antara provenans dan bahan pelarut ...93
35 Kode lokasi (bagian organ pohon tempat kerusakan ditemukan)...99
36 Kondisi kesehatan tegakan hutan tanaman A. mangium di BKPH Parung Panjang dari umur 1-12 tahun (data tahun 2005) yang diperlihatkan dalam bentuk angka indeks kerusakan...104
37 Persen jumlah pohon rusak menurut umur ...105
38 Grafik yang memperlihatkan kecendrungan tipe kerusakan pada tanaman A. mangium yang paling umum di BKPH Parung Panjang menurut metode FHM: ( a) 2 tahun; (b) 7 tahun dan (c) 11 tahun (beberapa contoh umur) ...106
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
1 Tabel Lampiran 1 Volume pohon Acacia mangium umur (2 hingga 12 tahun) di BKPH Parung Panjang (Data tahun 2005) ...
122
2 Tabel Lampiran 2 Uji t Rata-rata volume umur tebangan (8 tahun) versus volume tegakan contoh uji umur 8 tahun ...
125
3 Tabel Lampiran 3 Nilai persen kayu hilang dan indeks kerusakan menurut umur tegakan hutan tanaman A. Mangium...
126
4 Tabel Lampiran 4 Hasil pengujian anti fungal activity (AFA) zat ekstraktif A. mangium berdasarkan provenans, pelarut dan konsentrasi (%) ...
127
5 Tabel Lampiran 5Analisis sidik ragam pertumbuhan diameter fungi pelapuk kayu ...
129
6 Tabel lampiran 6 (UJI DUNCAN) Kombinasi perlakuan provenans pelarut dan konsentrasi zat ekstraktif A. mangium terhadap P.Conchatus...
130
7 Lampiran Gambar 1 Indeks Kerusakan ...136
8 Lampiran Gambar 2 Uji anti fungi pelapuk kayuteras P.conchatus dengan persen konsentrasi berbeda (n = 3)...
137
9 Lampiran Gambar 3 Grafik memperlihatkan berbagai tipe kerusakan dan jumlah pohon pada tegakan A.mangium umur 1-12 tahun di BKPH Parung Panjang (2005) ...
139
1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah penyakit hutan di Indonesia makin hari makin nyata. Hal ini
berkaitan dengan makin luas dan intensifnya pembangunan hutan tanaman. Selain
itu, penyakit hutan makin menjadi persoalan akhir-akhir ini, juga karena
jenis-jenis pohon hutan yang sedang banyak dikembangkan dalam dua atau tiga dekade
terakhir ini adalah jenis pohon hutan cepat tumbuh yang umumnya tergolong jenis
eksotik.
Kondisi seperti diuraikan di atas berbeda dengan situasi pada awal
pembangunan hutan tanaman di Indonesia yakni ketika membangun hutan jati
(Tectona grandis) dan tusam (Pinus merkusii) yang rupanya relatif tahan terhadap
berbagai jenis penyakit. Di samping kedua jenis pohon hutan ini relatif tahan
terhadap berbagai jenis penyakit, tujuan pembangunannya jelas serta penerapan
sistem silvikultur yang tepat dan taat azas telah ikut menjamin pengelolaan
tegakan hutan jati dan tusam yang sehat.
Gambaran tentang penyakit hutan seperti diuraikan di atas: baik itu
mengenai luas areal, intensif atau kurang intensifnya pengelolaan hutan, jenis
pohon hutan cepat tumbuh atau yang tumbuhnya lambat, tahan atau rentannya
jenis pohon hutan terhadap penyakit tertentu, bahkan dengan sistem silvikultur
yang tepat, semuanya masih mengacu pada hal yang sama yakni bahwa jaringan
yang sakit itu adalah jaringan hidup pohon hutan. Jaringan hidup tersebut dapat
berupa jaringan daun, ranting, batang maupun akar pohon.
Penyakit yang terjadi pada jaringan mati atau kayuteras pohon yang masih
hidup merupakan satu kasus yang khas penyakit hutan. Penyakit ini dikenal
sebagai penyakit lapuk kayuteras (PLKT) atau penyakit busuk hati atau heart rot.
Sesungguhnya PLKT telah diangkat menjadi satu masalah di bidang kehutanan di
Indonesia lebih dari tiga dekade yang lalu (Hadi, 1972) diacu Hadi, (2001). Akan
tetapi penyakit ini baru mendapat perhatian yang berarti di Indonesia sekitar satu
dekade yang lampau. Di negara lain misalnya di Amerika Serikat hal ini sudah
2
Tentang PLKT di Indonesia yang dipermasalahkan Hadi, 1972 adalah
PLKT pada tegakan jati di Jawa yang pernah menjadi pembahasan yang
kontroversial berkaitan dengan daur tebang tegakan jati sejak tahun 1930.
Masalahnya adalah apakah daur tebang tegakan jati itu dapat lebih dari 100 tahun
dengan akibat akan kehilangan nilai karena PLKT atau harus kurang dari 100
tahun. Itulah sebabnya daur tebang tegakan jati pernah ditetapkan antara 60
hingga 100 tahun. Sejak saat itu belum juga ada penelitian untuk menjawab
pertanyaan di atas yang demikian penting itu.
Kini, PLKT dalam konteks Indonesia bahkan juga di beberapa negara Asia
Tenggara, India bahkan di Australia adalah pada jenis tanaman hutan Acacia
mangium. Tentang PLKT pada A. mangium yang telah banyak diteliti dan
disampaikan dalam berbagai pertemuan ilmiah atau publikasi antara lain: jenis
fungi penyebab PLKT, kejadiannya atau incidence, umur tanaman A. mangium
mulai mengalami PLKT, zat ekstraktif yang terkandung di dalam kayuteras dan
keterkaitan antara cabang yang mati dan terjadinya PLKT.
Sementara besar persen kayu hilang atau cull factor dan hubungannya
dengan umur tegakan hutan tanaman A. mangium sepengetahuan penulis belum
pernah dilaporkan. Bentuk hubungan dimaksud penting sebagai satu informasi
dalam pengaturan hasil hutan khususnya untuk kualitas kayu yang mementingkan
kekuatan kayu. Topik ini menurut penulis menemukan momentum baru justru
dalam kondisi dan situasi kehutanan Indonesia terbaru.
Momentum baru tentang PLKT yang dimaksudkan sedikitnya dalam dua
hal. Pertama, dahulu PLKT dipahami sebagai bagian dari upaya meminimalkan
kerugian melalui perpendekan daur tebang. Terkenal dalam ilmu penyakit hutan
dengan istilah daur patologis Boyce, 1961; Tainter dan Baker, 1997. Hal ini dapat
dimengerti karena dahulu pembicaraan tentang PLKT menyangkut jenis pohon
hutan jati yang pertumbuhannya lambat, relatif tahan terhadap berbagai penyakit
dan karenanya daur tebangnya dapat mencapai sekitar 60 hingga 100 tahun.
Konsep kelestarian hasil hutan berupa kayu ketika itu sangat menonjol.
Sekarang, PLKT ingin dilihat secara baru dibandingkan dengan cara
pandang di atas. Ini terkait dengan jenis pohon hutan A. mangium yang
3
dan daur tebangnya delapan tahun jauh lebih pendek daripada T. grandis. Konsep
kelestarian hasil hutan, menjadi lebih luas dari sekedar hanya hasil hutan berupa
kayu.
Kedua, sejauh mana pemahaman tentang PLKT diterjemahkan dalam
praktek silvikultur melalui paradigma baru, benar dan bertanggung jawab.
Pendekatan yang bagaimana yang kiranya lebih konseptual tetapi sekaligus juga
lebih operasional di lapangan. Pertanyaan-pertanyaan ini didasarkan pada
kenyataan bahwa masalah kehutanan di Indonesia sedang menghadapi dua
masalah pokok dan sama pentingnya. Kedua masalah tersebut adalah kekurangan
persediaan bahan baku asal kayu dan kerusakan lingkungan yang sangat berat.
Memilih mengedepankan satu hal dan mengabaikan satu hal yang lain yang
diutarakan di atas, tampaknya akan menimbulkan resiko yang luas terutama dalam
jangka panjang. Menghadapi kondisi seperti ini menjadi penting bagaimana cara
mengedepankan paradigma dan/atau visi yang jelas dan rasional tentang
pengelolaan hutan tanaman yang sehat secara terpadu, efisien dan efektif. Dengan
demikian, pengurusan hutan dan utamanya pengelolaan hutan (pada tingkat satuan
pengelolaan hutan lokal) atau management unit perlu terus didukung oleh
informasi-informasi yang baik dan relevan dari berbagai aspek. Hal ini merupakan
tantangan dan sekaligus peluang bagi ilmuwan di Indonesia.
Tantangan ini perlu dijawab secara baik dan tepat sasaran. Artinya
bagaimana pembangunan hutan dirumuskan yang di satu sisi mencerminkan hutan
sebagai sumber untuk pemenuhan kebutuhan akan bahan asal kayu dalam jumlah
dan kualitas yang justru makin meningkat, dan pada sisi yang lain, hutan dipahami
sebagai pengemban fungsi ekosistem khususnya di daerah tropis seperti di
Indonesia.
Jawaban terhadap persoalan di atas sesungguhnya sudah sangat jelas. Ini
terbukti dengan luas hutan yang telah banyak dibangun di berbagai wilayah di
Indonesia. Tercapai tidaknya tujuan antara lain ditentukan oleh kemampuan
pengelola dan para pemangku kepentingan dalam memahami persoalan nyata
yang bersifat menyeluruh. Hal tersebut dapat dilihat pada pemilihan jenis pohon
serta penerapan sistem silvikultur yang sesuai dengan tujuan dan taat azas dalam
4
Satu di antara berbagai jenis pohon hutan yang dipandang sesuai untuk
menanggulangi masalah seperti yang telah diuraikan di atas adalah jenis Acacia
mangium. Hal ini tidak terlepas dari sifat kayu A. mangium yang mempunyai
spektrum kemanfaatan yang luas. Di seluruh Indonesia jenis pohon hutan tanaman
industri (HTI) A. mangium telah mencapai luas 443.535 ha atau 64.2 % dari jenis
HTI yang ada. Laporan terakhir menyebutkan bahwa di Indonesia, luas tanaman
akasia telah mencapai 1.2 juta ha dan sebagian besar memang berupa tanaman A.
mangium (Mohammed dan Rimbawanto, 2006).
Dari sekian luas tanaman hutan A. mangium yang telah dibangun di
berbagai wilayah di Indonesia, tampaknya tujuan atau peruntukan akhir kayunya
belumlah jelas benar. Dari informasi yang berhasil diperoleh, ternyata
pembangunan HTI pulp (dari berbagai jenis pohon) dicanangkan seluas 4.94 juta
ha atau 67 % dibandingkan dengan keperluan lain seperti untuk kayu konstruksi
yang hanya seluas 1.65 juta ha atau 23 % (Cossalter dan Nair, 2000).
Dalam kenyataannya, tegakan hutan tanaman A. mangium yang dibangun
adalah untuk menghasilkan pulp dan kertas. Daur tebang untuk kelas perusahaan
seperti ini semula delapan tahun. Sekarang ada kecenderungan agar daur tebang
tersebut lebih diperpendek lagi yakni menjadi hanya enam tahun. Jika
kecenderungan seperti ini akan menjadi kenyataan, dikhawatirkan akan
menimbulkan masalah baru ibarat pisau bermata dua. Terdapat sisi yang
menguntungkan dan ada pula sisi yang kurang menguntungkan. Sisi yang
menguntungkan: kebutuhan akan bahan baku asal kayu akan dapat dipenuhi
dalam kurun waktu yang relatif singkat, jasa terkait dengan kegiatan bidang
kehutanan berkembang atau menguntungkan dan kemajuan teknologi pengolahan
kayu seperti glulam ikut mendorong pemanfaatan kayu dengan diameter kecil dan
dengan umur pendek serta menghasilkan kayu dengan kualitas yang lebih tinggi
dan ragam kemanfaatan yang lebih luas. Sebaliknya sisi yang kurang
menguntungkan yakni: daya dukung tempat tumbuh makin memburuk dengan
akibat kemunculan berbagai penyakit seperti penyakit busuk akar, fungsi atau
potensi terbaik pohon hidup dan/atau ekosistem tegakan hutan menjadi tidak
optimal khususnya berkaitan dengan penyimpanan karbon, penghasil oksigen
5
Rumusan Masalah Penelitian
1. Bagaimana bentuk hubungan kerusakan kayu akibat lapuk kayuteras dengan
umur tegakan,
2. Apa penyebab lapuk kayuteras pada tegakan hutan tanaman A. mangium ?
3. Apa indikator mekanisme lapuk kayuteras pada tegakan A. mangium
khususnya di areal penelitian.
B. Tujuan Penelitian
B. 1 Tujuan umum
Mendapatkan informasi mengenai daur tebang yang tepat dalam
rangka menciptakan tegakan hutan tanaman A. mangium yang sehat secara
terpadu efisien dan efektif
B.2 Tujuan khusus
1. Mendapatkan informasi mengenai besar persen kayu hilang (cull
factor) pada berbagai umur tanaman A. mangium /tegakan,
2. Mengidentifikasi fungi PLKT,
3. Mendeteksi jalan masuk fungi pelapuk kayuteras pada batang pohon,
4. Melakukan uji anti fungi pelapuk kayuteras pada beberapa provenans
A.mangium, dan
5. Mendapatkan informasi mengenai kondisi kesehatan tegakan hutan
tanaman A. mangium di areal penelitian.
C. Manfaat Penelitian
1. Diperolehnya informasi tentang daur tebang tegakan A. mangium yang
sesuai untuk produksi kayu pertukangan atau kayu konstruksi dengan
kualitas tinggi, dan
2. Hasil penelitian ini dapat menjadi model dalam pendekatan pengelolaan
penyakit berbasis sistem/ekosistem, dengan produksi kayu berkualitas yang
6
D. Hipotesis Penelitian
1. Makin tua umur pohon/tegakan A. mangium, makin besar persen pelapukan
kayuteras,
2. Penyakit lapuk kayuteras disebabkan oleh fungi kelas Basidiomycetes,
3. Tempat masuk fungi pelapuk kayuteras antara lain adalah cabang yang mati,
4. Zat ekstraktif provenans A. mangium mempunyai sifat
anti fungi pelapuk kayuteras, dan
5. Kondisi kesehatan tegakan hutan tanaman A. mangium berhubungan
dengan besar persen kayu hilang.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Pada Gambar 1 disajikan kerangka pendekatan masalah berikut diagram alir
kerangka penelitian atau ruang lingkup penelitian. Pertama-tama peubah yang
ingin ditemukan jawabannya adalah yang berkaitan dengan besar persen kayu
hilang. Peubah ini merupakan satu dasar penting dalam menentukan daur tebang
yang diinginkan sesuai tujuan. Berikut ingin diketahui fungi penyebab lapuk
kayuteras pada A. mangium di daerah penelitian. Fungi sebagai komponen lapuk
kayuteras diperlukan sebagai bahan rujukan bagi studi lain yang terkait dalam
keseluruhan penelitian ini. Sebagai parasit fakultatif atau sebagai kelompok fungi
pelapuk kayuteras memerlukan jalan masuk sebelum dapat mencapai kayuteras.
Jalan masuk fungi tersebut perlu dideteksi melalui pendekatan anatomis pada
jaringan kayu yang merupakan daerah peralihan antara kayucabang dan
kayubatang. Untuk mendapatkan informasi mengenai ada tidaknya peran zat
ekstraktif dalam mengatasi perkembangan fungi pelapuk kayuteras, dilakukan uji
anti fungi terhadap zat ekstraktif beberapa provenans kayu A. mangium. Akhirnya,
dilakukan pula penilaian kondisi kesehatan tegakan A. mangium di BKPH Parung
Panjang. Informasi ini diperlukan sebagai potret kondisi tegakan saat penelitian
dilakukan. Potret ini diperlukan sebagai bahan untuk lebih memahami nilai
temuan tentang besar persen kayu hilang yang pada gilirannya akan menjadi dasar
7
Keterangan :
Pengaruh langsung
Pengaruh tidak langsung
1) fpkt : fungi pelapuk kayuteras
Gambar 1 Diagram alir kerangka penelitian / ruang lingkup penelitian
Kondisi kesehatan tegakan
Tegakan hutan tanaman A.mangium
untuk kualitas kayu perkakas atau pertukangan yang optimal dan lestari
Penetapan daur patologis tegakan hutan tanaman A. mangium
Lapuk kayuterras
A.mangium
Fungi pelapuk
kayuteras (fpkt) Jalan masuk fpkt1
(infection court) Hutan sehat
Persen kayu hilang (cull factor)
Uji anti fungi pelapuk kayuteras
2 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Pembentukan Kesatuan Pemangkuan Hutan Bogor
Mulai tahun 1975, berdasarkan Surat Kepala Dinas Kehutanan Propinsi
Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 6907/XV/10 tanggal 1 Agustus 1975, Kesatuan
Pemangkuan Hutan Bogor-Jakarta sebutannya diubah menjadi Kesatuan
Pemangkuan Hutan Bogor. Dengan dimasukkannya kawasan hutan Kehutanan
Jawa Barat ke dalam Unit Produksi PT. Perhutani (Persero) berdasarkan PP No.2
tahun 1978, maka sebutan Kesatuan Pemangkuan Hutan Bogor berubah menjadi
PT. Perhutani (Persero)/Kesatuan Pemangkuan Hutan Bogor.
Organisasi pengelolaan KPH Bogor terdiri atas 2 Sub KPH, 7 bagian KPH
dan 28 Resort Polisi Hutan. Diketahui berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP)
nomor 14 tahun 2001 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Kehutanan
Negara (PT. Perhutani (Persero)) menjadi Perusahaan Perseroan (Pesero), maka
status PT. Perhutani (Persero) berubah menjadi Perum Perhutani.
B. Letak dan Luas
Wilayah kerja Perum Perhutani KPH Bogor memiliki kawasan hutan yang
terletak di wilayah administrasi kabupaten Bogor, Tangerang dan Bekasi, dengan
batas-batas:
a. Di sebelah Utara berbatasan dengan laut Jawa dan DKI Jakarta,
b. Di sebelah Timur berbatasan dengan kawasan hutan KPH Purwakarta dan
Cianjur,
c. Di sebelah Selatan berbatasan dengan kawasan hutan KPH Sukabumi dan
Banten, dan
d. Di sebelah Barat berbatasan dengan KPH Banten.
Secara geografis wilayah kerja Perum Perhutani KPH Bogor terletak antara
0°28'00" dan 0º 41' 8" Bujur Timur dan dari 06°4'08" s/d 06°46'00" Lintang
Selatan. Adapun letak garis lintang Kelas Perusahaan Acacia mangium adalah
0°13'25" sampai dengan 0°22'23" Bujur Barat dan dari 06°21 '00" s/d 06°26'59"
9
Guna tercapainya kelestarian kawasan hutan di KPH Bogor telah dilakukan
penataan oleh Biro Perencanaan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat Produk
akhir kegiatan tersebut, telah diterbitkan dalam Buku Rencana Pengaturan
Kelestarian Hutan (RPKH) sebagai arah/pedoman Pengusahaan Hutan di daerah.
Luas wilayah total kring kabupaten Bogor, Tangerang dan Bekasi sekitar
585.837,65 ha, di antaranya berupa kawasan hutan seluas 89.744,16 ha, dengan
rincian sebagai berikut (Biro Perencanaan, 1994):
a. Kabupaten Bogor : 77.915,35 ha • Kawasan KPH Bogor : 60.795,85 ha • Hutan produksi : 36.318,96 ha • Hutan lindung terbatas : 24.476,89 ha • Kawasan PHPA : 17.115,50 ha b. Kabupaten Tangerang : 1.351,66 ha
c. Kabupaten Bekasi : 10.481,15 ha.
C. Keadaan Hutan
Kawasan hutan yang dikelola KPH Bogor tersebar dalam 32 kelompok
hutan, dengan Kelas Perusahaan (KP) menjadi 4 jenis, yaitu :
1. KP Rimba lain (A. mangium) 5.342,90 ha
2. KP Meranti 14.954,33 ha
3. KP Pinus 23. 280,10 ha
4. KP Payau (belum ditata) 11.832,81 ha
5. Kawasan PHPA 17.115,50 ha
Jumlah 72.525,64 ha.
Sisanya seluas 17.218,52 Ha berada di BKPH Jonggol, Parung Panjang dan
Leuwiliang.
Penyebaran tegakan kawasan hutan Kelas Perusahaan A. mangium jangka
tahun 2001 s/d 2005 ke dalam kelas-kelas hutan dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan fungsinya, kawasan hutan pada Kelas Perusahaan A. mangium
10
Tabel 1. Kelas Perusahan A.mangium di BKPH Parung Panjang
_______________________________________________________
a. Hutan produksi = 2.503.52 ha
b. Hutan Tidak Produktif = 2.152.65 ha
c. Lapangan dengan Tujuan istimewa (Ldti) = 521.07 ha
d. Tidak cocok untuk Acasia = 155.66 ha
_______________________________________________________
Jumlah = 5.342.90 ha.
D. Tanah dan Iklim
Jenis tanah yang terdapat di KPH Bogor, menurut peta tanah De Young dan
Mohr, diacu Gunawan (2003) adalah sebagai berikut:
a. Di bagian Utara arah ke pantai terdiri atas tanah Latent (tanah liat bandung),
b. Di bagian Tengah terdiri atas tanah tuf batu timbul, tanah laterit merah dari
bahan muda gunung berapi, tanah liat bandung dan tanah endapan mergel
dan mergel kapur,
c. Bagian Selatan terdiri atas tanah laterit merah, sawo matang, tanah laterit
kuning dan sawo matang serta tanah laterit merah dengan sawo matang
batuan tertier. Dai (1960, diacu oleh Subardja dan Buurman, 1980)
melaporkan bahwa batuan induk, di sekitar Bogor – Jakarta pada ketinggian
1500 m dpl pada daerah gunung berapi yang menurun ke arah sebelah
Selatan Jakarta pada ketinggian sekitar 50 m dpl yang termasuk daerah
Parung Panjang, adalah seragam berupa pyrexene-andesites dan tuff dengan
komposisi yang sama (Newmann van Padang, 1951), Selanjutnya
berdasarkan data pada peta geologi, Effendi (1974) menyebutkan adanya
andesitic basalt dengan oligoclaseandesite, labradorite, olivine, dan
pyroxyne hornblende yang berasal dari kawasan Gunung Gede serta
tuffaceous breccia, pumicous tuff dan basalt yang semuanya dari komposit
andensitic dan berasal dari Gunung Salak, dan
d. Jenis tanah diketahui tergolong Podsolik Kuning dan Podsolik Merah
11
Ditinjau dari banyaknya curah hujan maka wilayah KPH Bogor terbagi
dalam beberapa bagian, masing-masing dengan tipe curah hujan, yaitu :
a. Bagian Utara mempunyai curah hujan tahunan rata-rata sebesar 1500 mm
dengan curah hujan terendah pada bulan Agustus yaitu 50 mm, sedang yang
tertinggi pada bulan Februari yaitu sebesar 300 mm,
b. Bagian Tengah mempunyai curah hujan tahunan rata-rata 3000 mm dengan
curah hujan bulan terendah terdapat pada bulan Agustus yaitu 100 mm,
sedang yang tertinggi pada bulan Februari, yaitu sebesar 540 mm, dan
c. Bagian Selatan mempunyai curah hujan tahunan rata-rata sebesar 4000 mm,
dengan curah hujan terendah terdapat pada bulan Mei yaitu 200 mm, sedang
yang tertinggi pada bulan Februari sebesar 550 mm.
Berdasarkan data curah hujan tersebut, maka wilayah tipe iklim Ferguson
termasuk ke dalam tipe iklim A dengan angka curah hujan rata-rata 3000 mm
tahun-1, suhu harian tertinggi 25,5°C dan suhu terendah 18°C. Iklim areal studi
menurut klasifikasi Köppen termasuk tipe Afa dengan curah hujan tipe A
(Schmidt dan Ferguson, 1951). Curah hujan rata-rata per bulan berkisar 84-86
mm untuk bulan-bulan Juni, Juli dan Agustus dan 132-381 mm untuk bulan-bulan
September hingga Januari. Suhu udara rata-rata per bulan 260C dengan
maksimum rata-rata per bulan 320C dan minimum 220C. Rata-rata kelembaban
nisbi udara 78-82 % dengan rata-rata maksimum 99-100 % dan minimum 47-77
% (Data 10 tahun terakhir pada Stasion Meteorologi Budiarto, Curug Tangerang).
E. Lokasi Penelitian dan Riwayatnya
Penelitian dilakukan di Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH)
Parung Panjang, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor, sekitar 60 Km
12
Gambar 2 Peta lokasi daerah penelitian, berikut penyebaran plot contoh
Sebelum dibangun tegakan A. mangium (termasuk campuran dengan
Paraserianthes falcataria, ataupun Peronema canescens) kawasan hutan Parung
Panjang pernah ditanami Puspa (Schima wallichii). Dari arah Bogor sebelum
mencapai Parung Panjang dijumpai perkebunan karet dan cokelat yang
dikembangkan oleh Dinas Perkebunan ataupun sisa-sisa perkebunan karet zaman
sebelum Perang Dunia II.
Di samping pertanaman kelapa milik rakyat serta jenis-jenis tanaman
lainnya yang berupa jenis tanaman buah-buahan, terdapat pula lahan persawahan
yang merupakan mosaik di antara pertanaman A. mangium atau jenis tanaman
13
Pada tahun 1986 pada areal hutan tempat penelitian dilakukan, jenis
tanaman pokok adalah P. falcataria, sedang A. mangium hanyalah berupa
tanaman pengisi. Tahun 1989 A. mangium sudah mulai ditanam sebagai tanaman
pokok khususnya di RPH Tenjo tanpa tanaman pengisi.
Di RPH lainnya masih digunakan P. falcataria sebagai tanaman pengisi
termasuk di Blok Simpak, Petak 19, RPH Jagabaya. Mulai tahun 1991 di seluruh
areal Parung Panjang, yang terdiri atas 3 RPH yakni RPH Maribaya, RPH
Jagabaya dan RPH Tenjo, hanya ditanam A. mangium.
Mulai tahun tanam 1990 di Blok Cimahi RPH Maribaya, oleh PT.
PERHUTANI (PERSERO) mulai diperkenalkan upaya pengapuran dalam rangka
pengembangan tanaman tumpang sari.
Sejak tahun 1992 di semua areal penanaman baru diberi perlakuan yang
sama. Kapur dan pupuk diberikan dalam bentuk campuran sebagai berikut:
Kapur 2 ton hektar-1; TSP 100 kg hektar-1; Urea 200 kg hektar-1; dan KCI 50 kg
hektar-1 Kapur dan/atau pupuk diberikan dalam 4 tahap untuk satu tahun.
Sejalan dengan upaya pembinaan sistem tumpang sari yang lebih teratur
melalui program INSUS, juga mulai tahun tanam 1992 dikembangkan sistem
wanatani (agrokehutanan) dengan menggunakan tanaman rumput gajah, jahe dan
tanaman kencur pada beberapa petak tertentu. Rencana tersebut disajikan pada
peta RTT 1992/1995. Sekarang sistem wanatani telah ditinggalkan dan diganti
dengan sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat disingkat PHBM. Sejak
beberapa tahun terakhir penjarangan telah dilaksanakan secara terpola yakni untuk
tiap tanaman berumur 3, 5 dan 7 tahun.
Dalam 2 atau 3 tahun terakhir tanaman cokelat dan kelapa telah diganti
dengan tanaman kelapa sawit. Kondisi terakhir ini diharapkan mampu menambah
14
3 DAUR PATOLOGIS TEGAKAN HUTAN TANAMAN
Acacia mangium
Willd
A. PENDAHULUAN
Di seluruh Indonesia Hutan Tanaman Industri (HTI) A. mangium telah
mencapai luas 443.535 ha atau 64.2 % dari luas HTI yang ada. Dari informasi
yang berhasil diperoleh, ternyata pembangunan HTI pulp (dari berbagai jenis
pohon) dicanangkan seluas 4.94 juta ha atau 67 % dibandingkan dengan keperluan
lain seperti untuk kayu konstruksi yang hanya 1.65 juta ha atau 23 % (Cossalter
dan Nair, 2000). Laporan terakhir menyebutkan bahwa di Indonesia, luas tanaman
acacia telah mencapai 1.2 juta ha dan sebagian besar berupa tanaman A. mangium
(Mohammed dan Rimbawanto, 2006).
Tegakan hutan tanaman A. mangium yang luas seperti diuraikan di atas ini
cukup menggembirakan. Namun, di lain pihak, A. mangium juga dihadapkan
pada banyak faktor pembatas. Di antara faktor pembatas tersebut adalah hama dan
penyakit.
Jika pengelolaan tegakan kurang sesuai, maka dapat terjadi seperti yang
disaksikan di berbagai tegakan hutan, timbulnya penyakit lapuk kayuteras
(PLKT). Penyakit yang terakhir ini telah dilaporkan di berbagai tempat antara lain
di Australia (Old, dkk., 1996) dan di Indonesia (Nuhamara, 1993; Mohammed dan
Rimbawanto, 2006). Penyakit lapuk kayuteras atau biasa disebut busuk hati
(heart rot) atau heart decay adalah pelapukan bagian tengah kayubatang pohon hidup. Dalam hal ini lapuk tidak lagi terbatas hanya pada kayuteras, yang terdiri atas jaringan kayu yang telah mati (Helms,1998; Tainter dan Baker, 1996),
tetapi juga kayugubal yang mati sebelum waktunya oleh suatu sebab yang lain.
Masalah ini erat kaitannya dengan daur tebang. Daur tebang adalah suatu
jangka waktu antara penanaman dan penebangan atau antara penanaman dan
penanaman berikutnya di tempat yang sama, yang ditentukan oleh jenis, hasil
yang diinginkan, nilai tanah dan suku bunga yang tersedia. Secara umum, terdapat
15
oleh (Hiley, 1956). Adapun macam-macam daur dimaksud adalah: daur
silvikultur, daur teknis, daur pendapatan tertinggi (daur produksi maksimal) dan
ada pula daur finansial.
Makin tua umur tanaman atau makin panjang daur tebangnya, makin
terbuka pula peluang untuk mendapatkan kualitas kayu pertukangan dengan
kualitas tinggi, asalkan disertai dengan perlakuan silvikultur yang tepat.
Sebaliknya dapat pula terjadi, justru daur tebang A. mangium seyogianya perlu
diperpendek, agar kerugian akibat penyakit dapat diminimalkan. Perpendekan
daur tebang yang bertujuan untuk mengurangi kerugian hasil hutan akibat
gangguan penyakit hutan seperti oleh PLKT sesuai dengan konsep daur patologis
(Boyce, 1961; Tainter dan Baker, 1996).
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang besar persen
kayuhilang (cull factor) akibat PLKT, sebagai satu dasar penentuan daur tebang
tegakan A. mangium. Dengan perkataan lain, umur tegakan ditetapkan
sedemikian, dengan daur tebang yang sedikit lebih panjang, kualitas kayu
menjadi lebih sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan yaitu untuk produksi
kayu pertukangan atau kayu konstruksi. Oleh karena itu, ingin diketahui pada
umur berapa tegakan A. mangium tepat ditebang demikian, sehingga banyak kayu
yang lapuk tidak lebih besar dari kayu baru yang dibentuk pada periode
pertumbuhan berikutnya.
1. Pertumbuhan dan Kualitas Kayu A. mangium
a. Pertumbuhan
Pada waktu muda batang pohon bersifat lunak dan pohon
tumbuh cepat menjadi besar terutama jika tersedia hara yang cukup
dan lingkungan yang tepat (Haygreen dan Bowyer, 1982). Selanjutnya
diketahui pula bahwa waktu muda jaringan-jaringan yang dibentuknya
berbeda dengan ketika pohon telah menjadi dewasa. Apabila
batangnya terluka, pohon bahkan dapat cepat memberikan reaksi
untuk penyembuhannya.
Mangium dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah. Pada areal
16
lahan dengan tanah lempung yang sudah kurus dengan bahan dasar
vulkanik, lahan gersang bekas perladangan liar, jenis pohon ini masih
dapat tumbuh baik dengan produksi rata-rata 20 m3 ha-1
(Sindusuwarno dan Utomo, 1979). Pada kondisi yang sama, di-
bandingkan dengan Eucalyptus deglupta dan Gmelina arborea, A.
mangium tumbuh lebih baik, atau setidaknya sama.
Mangium termasuk jenis pohon yang dapat mencapai tinggi 30
m dengan batang bebas cabang lebih dari separuh tinggi dan diameter
batangnya dapat mencapai 99 cm atau lebih (NRC, 1983 diacu
Anonim 1996). A. mangium yang telah berumur 9 tahun dapat
mencapai tinggi 23 meter dengan diameter batangnya 23 cm, dan
rata-rata dapat menghasilkan kayu sebanyak 41.5 m3 ha-1 (NAS,
1979). Christine (1989) diacu Anonim (1996) melaporkan bahwa pada
umur 14 tahun tinggi A. mangium dapat mencapai 40 meter dan
diameter batangnya 40 cm. Sutisna dan Fatawi (1993) juga
melaporkan bahwa pertumbuhan tanaman mangium berumur 9 tahun
di Balikpapan, Kalimantan Timur mampu mencapai riap diameter 2.8
cm/tahun dan riap volume 15.7 m3ha-1tahun-1.
Selanjutnya Suarsa, dkk. (1991) melaporkan bahwa
pertumbuhan tanaman mangium di PT. ITCI di Propinsi Kalimantan
Timur pada umur 7 – 8 tahun mencapai rata-rata volume tegakan
Mean Annual Increment (MAI) 18.14 – 25.62 m3ha-1tahun-1. Awang
dan Taylor (1995) melaporkan bahwa di berbagai lokasi pertumbuhan
diameter pohon mangium meningkat cepat hingga 15 – 20 cm, dalam
waktu kurang dari 4 tahun.
Laju pertumbuhan selanjutnya menurun setelah pohon mencapai
umur 5 tahun dengan diameter dapat mencapai 30 cm setelah berumur
8 tahun. Pertumbuhan diameter dan tinggi tersebut beragam menurut
umur dan tempat tumbuh. MAI untuk diameter berkisar 1.8 – 7.4 cm
tahun-1. Sementara MAI tinggi lebih dari 4 m tahun-1pada umur 2 – 4
17
Dilaporkan bahwa pertumbuhan dan hasil tegakan A.mangium
selain dipengaruhi oleh umur tegakan dan keadaan tempat tumbuh,
juga sangat dipengaruhi oleh pemberian tindakan penjarangan
(Anonim, 1996). Hasil dan pertumbuhan tegakan yang lebih baik akan
diperoleh apabila dilakukan tindakan penjarangan pada umur 3 tahun
dengan intensitas penjarangan 30 % untuk tegakan dengan kelas
bonita 2, tindakan penjarangan pada umur 4 tahun dengan intensitas
30 % untuk tegakan dengan bonita 3 dan penjarangan pada umur 5
tahun dengan intensitas penjarangan 40 % untuk tegakan dengan
bonita 4.
Dari hasil penelitian (Anonim, 1996) disimpulkan bahwa
pertumbuhan volume tegakan maksimum A. mangium dicapai pada
saat kurva MAI berpotongan dengan kurva CAI dan untuk kelas
bonita II hal tersebut terjadi pada umur 4 – 5 tahun; untuk kelas bonita
III umur 6 – 7 tahun dan untuk kelas bonita IV umur 7 – 8 tahun.
Temuan –temuan ini adalah untuk tegakan tanpa perlakuan
penjarangan.
Sementara tegakan dengan perlakuan penjarangan diperoleh
hasil sebagai berikut: pada kelas bonita II, perlakuan penjarangan pada
umur 3 tahun dengan intensitas penjarangan 30 % dari jumlah pohon
asalnya, sangat nyata meningkatkan hasil dibandingkan dengan yang
tidak dijarangi sama sekali. Di sini pertumbuhan dengan volume
tegakan maksimum dicapai pada umur 7 tahun. Pada kelas bonita III,
dengan penjarangan pada umur 4 tahun dengan intensitas 30 %,
pertumbuhan volume tegakan maksimum dicapai juga pada umur 7
tahun. Terakhir pada kelas bonita IV, penjarangan pada umur 5 tahun
dan intensitas 40 %, pertumbuhan volume tegakan maksimum dicapai
juga pada umur 7 – 8 tahun. Hasil-hasil yang diperoleh seperti
diuraikan di atas berkaitan dengan pertumbuhan A. mangium baik itu
berupa kurva bonita di berbagai tapak khususnya di Jawa Barat,
maupun fungsi hasil tegakan, hingga kini umumnya didasarkan pada
18
Dalam kenyataannya, pengelolaan tegakan A. mangium
tampaknya belum sepenuhnya dilakukan sesuai dengan praktek
silvikultur secara taat azas. Satu di antaranya adalah karena informasi
yang kurang tentang faktor pembatas yang mungkin timbul seperti
penyakit lapuk kayuteras. Secara fisik gejala lapuk kayuteras ini
sering sulit dideteksi dari luar. Hal yang terakhir ini dipandang dapat
mempengaruhi pendugaan hasil tegakan baik dalam jumlah (volume)
maupun dalam kualitas.
Haygreen dan Bowyer (1996) mengungkapkan bahwa kualitas
kayu ditentukan oleh sejumlah faktor yang berkaitan dengan
kecocokan kayu untuk kegunaan akhir yang khusus. Faktor-faktor
tersebut mencakup kerapatan, keseragaman, proporsi kayuteras,
panjang serat, keberadaan kayu remaja dan kayu reaksi, susunan sel,
mata kayu, arah serat serta susunan kimia kayu. Pengaruh kombinasi
faktor-faktor ini menentukan kualitas kayu dan oleh karena itu
dipandang sangat penting untuk mengaitkan tiap faktor tersebut
dengan tujuan penggunaan akhirnya.
b. Kualitas A. mangium untuk kayu pertukangan
A. mangium diketahui mempunyai kerapatan 420; 480 dan 560
kg cm-3, nilai kekuatan untuk Modulus of Rupture (MOR), 101.18
(MPa), sedang Modulus of Elastisities (MOE) 11.671 Mpa, kekuatan
pecah maksimum 12.50 Mpa dan Compression Stress maksimum 43.5
Mpa.
Kayu A. mangium merupakan jenis kayu bahan industri yang
sangat menjanjikan (Surjokusumo dkk., 2003). Selanjutnya dinyatakan
bahwa dengan kemampuannya yang cukup baik dalam menahan beban
sekitar 12 - 27 tension stress (TS 12 – TS 27), maka kayu A. mangium
layak diperhitungkan sebagai bahan baku kayu konstruksi.
Alipon dkk (2003) menyimpulkan bahwa kerapatan relatif dan
kelas kekuatan A. mangium pada umur 10 – 12 tahun lebih cocok
19
pada umur 6 – 8 tahun lebih sesuai untuk keperluan yang kurang
mementingkan kekuatan kayu.
Kualitas kayu pertukangan dan/atau kayu konstruksi berkaitan
erat dengan kekuatan dan keawetan kayu. Kekuatan kayu berkaitan
dengan bobot jenis dan kerapatan kayu. Kerapatan kayu berhubungan
langsung dengan porositasnya, yaitu proporsi volume rongga kosong
(lumen). Adapun sifat-sifat seperti kekuatan dan kestabilan dimensi
kayu berhubungan erat dengan kerapatan kayu.
Sifat-sifat fisikomekanik kayu ditentukan oleh tiga ciri: (1)
porositas, yang dapat diperkirakan dengan mengukur kerapatannya; (2)
organisasi struktur sel, yang meliputi struktur mikro dinding sel dan
keragaman serta proporsi tipe-tipe sel; dan (3) kandungan air
(Haygreen dan Bowyer, 1996).
Tentang kualitas kayu Larson (1969, diacu oleh Haygreen dan
Bowyer, 1996) menyatakan: “ Selama proses pembentukan kayu,
banyak faktor-faktor di dalam dan di luar pohon berperan dalam
menentukan keragaman dalam tipe, jumlah, ukuran, bentuk, struktur
fisik, dan susunan kimia komponen-komponen kayu”.
2. Daur Tebang
Daur tebang adalah suatu jangka waktu antara penanaman dan
penebangan atau antara penanaman dan penanaman berikutnya di tempat
yang sama, yang ditentukan oleh jenis, hasil yang diinginkan, nilai tanah
dan suku bunga usaha yang tersedia. Konsep daur dipakai untuk
pengelolaan hutan seumur, sedang untuk hutan tidak seumur istilah yang
memiliki arti yang sama adalah siklus tebang (cutting cycle).
Istilah daur berkaitan erat dengan adanya konsep hutan normal.
Secara ideal, hutan normal akan terdiri atas kelompok tegakan semua umur
yang mempunyai potensi sama, mulai dari umur satu tahun sampai akhir
daur. Oleh karena itu. menentukan panjang daur merupakan satu faktor
kunci dalam pengelolaan hutan seumur sesuai dengan definisinya. Masalah
20
waktu, yang diperlukan oleh suatu jenis tegakan untuk mencapai kondisi
masak tebang, atau siap dipanen. Lama waktu tersebut bergantung pada
sifat pertumbuhan jenis yang diusahakan, tujuan pengelolaan dan
pertimbangan ekonomi.
Osmaton (1968) diacu Gunawan, 2003 menjelaskan bahwa daur
merupakan suatu faktor pengatur dalam pengusahaan hutan seumur. Daur
akan dipakai pada waktu membuat rancangan perusahaan tersebut, dan
akan terdapat perbedaan yang besar dalam penataan hutan apabila tegakan
ditebang pada batas bawah umur tebang atau dibiarkan tumbuh sampai
tegakan berada di atas miskin riap. Lama daur tidak selalu sama dengan
tahun sebenarnya tegakan harus ditebang. Karena keadaan silvikultur
dan/atau pertimbangan lain dapat menyebabkan tegakan harus ditebang
lebih cepat atau lebih lambat dari waktu yang telah ditentukan.
Dari segi pasar, daur ditentukan oleh macam produk tegakan, tipe
tegakan, tempat tumbuh dan jenis tanaman. Dengan demikian daur jenis
yang sama sedikit banyak dipengaruhi oleh tempat tumbuh (Chapman,
1931) diacu Gunawan, 2003.
Menurut Osmaston (1968) diacu Gunawan, 2003, panjang daur
bergantung pada interaksi beberapa faktor, yaitu :
a. Tingkat kecepatan pertumbuhan tegakan, yang bergantung pada jenis
pohon, lokasi tempat tumbuh serta intensitas penjarangan,
b. Karakteristik jenis tanaman, dengan memperhatikan umur maksimal
secara alami, umur menghasilkan benih, umur kecepatan tumbuh
terbaik dan umur kualitas terbaik
c. Pertimbangan ekonomi, dalam hal ini diperhitungkan ukuran yang
dapat dipasarkan dan harga terbaik yang dapat diperoleh, dan
d. Respons tanah terhadap penggunaan yang berulang-ulang, erat
hubungannya dengan batuan induk, pelapukan tanah dan allelopathy.
Hiley (1956) membedakan beberapa macam daur tebang yang
ditetapkan berdasarkan keadaan sifat tegakan sesuai dengan tujuan
21
2. Daur Silvikultur, yaitu daur yang ditetapkan berdasarkan keadaan saat
tegakan dapat tumbuh mempertahankan kualitasnya atau mengadakan
permudaan dan reproduksi. Hal ini dikaitkan dengan ketersediaan
benih untuk pembuatan tanaman baru,
3. Daur Teknis, yaitu daur yang ditetapkan berdasarkan keadaan tempat
tegakan yang telah mencapai ukuran yang sudah ditetapkan
berdasarkan pada teknis pengolahan kayu untuk keperluan produk
tertentu yang akan dihasilkan,
4. Daur Pendapatan Tertinggi (daur produksi maksimal), yaitu daur yang
ditetapkan berdasarkan keadaan waktu tegakan dapat menghasilkan
pendapatan atau volume tertinggi per satuan luas per tahun tanpa
memperhitungkan jumlah modal untuk mendapatkannya. Daur ini
dapat ditentukan dengan mencari titik potong kurva riap CAI dan
kurva riap MAI jenis yang bersangkutan, dan
5. Daur Finansial, yaitu daur yang ditetapkan berdasarkan keadaan
waktu tegakan dapat menghasilkan keuntungan atau nilai finansial
terbesar. Penentuan daur mi dapat didekati dengan dua cara, yaitu:
a. Nilai Harapan Tanah, dan
b. Hasil Finansial.
Dengan bahasa lain, daur tebang diartikan sebagai : jarak waktu yang direncanakan dalam tahun antara saat tegakan dibangun atau diregenerasi dan saat tebangan akhir dilakukan yaitu ketika tegakan telah mencapai tingkat masak tebang yang diharapkan (Ford-Robertson, 1971 diacu oleh Nyland, 2002).
Berdasarkan pertimbangan kualitas kayu maka dikenal pula daur patologis yakni daur tebang saat fungi pelapuk kayuteras cenderung melapukkan lebih banyak volume kayu dibandingkan dengan volume kayu
baru yang dibentuk oleh pohon (Tainter dan Baker, 1996). Daur ini juga
dikenal sebagai daur fisik (Evans, 1992). Dengan perkataan lain, umur
tebang pohon ditentukan ketika volume kayu lapuk sudah sama dengan
22
Untuk tegakan A. mangium di BKPH Parung Panjang, Perhutani telah
menetapkan daur tebang adalah 8 tahun. Selama ini umumnya tegakan A.
mangium yang dibangun oleh berbagai perusahaan hutan tanaman industri
(HTI) di Indonesia adalah untuk produksi pulp dan kertas. Kebutuhan akan
bahan kayu untuk pulp dan kertas sering atau cenderung dipenuhi melalui
pengelolaan tegakan A. mangium dengan daur tebang yang pendek.
Sekarang daur tebang A. mangium umumnya ditetapkan delapan tahun dan
telah timbul gagasan untuk menurunkannya menjadi hanya enam tahun,
seperti yang digagas PT. Musi Hutan Persada (Djoyosoebroto, 2003).
3. Kehilangan Volume Kayu akibat Penyakit Lapuk Kayuteras a. Kayuteras
Kayuteras adalah jaringan kayu yang semula merupakan kayu
gubal yang seiring dengan perkembangannya berubah menjadi
jaringan yang sel-selnya makin menua dan akhirnya mati. Zat-zat
cadangan makanan yang biasanya terdapat pada kayu gubal diubah
menjadi senyawa-senyawa atau zat-zat ekstraktif. Pembentukan zat
ekstraktif ini dikendalikan oleh faktor genetik. Biasanya jaringan
kayuteras terlihat lebih gelap daripada jaringan kayugubal dan kadar
airnya lebih rendah dibandingkan dengan kadar air kayu gubal (Hillis,
1987).
Helms (1998) menyatakan bahwa kayuteras adalah xilem bagian
dalam batang pohon, yang merupakan jaringan yang sudah mati dan
karena itu fungsinya lebih pada perlindungan, atau penopang mekanis,
yang keseluruhannya merupakan bagian proses perkembangan sel-sel
pohon yang normal, dari yang semula hidup kemudian
berangsur-angsur mati sesuai dengan sifat-sifat genetiknya.
Akan tetapi diketahui pula bahwa beberapa jenis pohon yang
porinya tersusun menyebar ternyata tidak membentuk kayuteras atau
setidaknya sulit dibedakan antara kayuteras dan kayugubal seperti
yang dijumpai pada kebanyakan pohon jenis lainnya (Tainter dan
23
kayuteras adalah kayu berbentuk silinder di bagian poros tengah
batang pohon yang sel-selnya tidak lagi berfungsi sebagai pengangkut
air dan mineral dan/atau sebagai tempat penyimpanan bahan cadangan
makanan.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kayuteras b.1 Keturunan
Nichols (1965 diacu oleh Hills, 1987) mengamati pengaruh
faktor genetik terhadap pembentukan kayuteras pada Pinus
radiata. Akan tetapi dalam pengamatannya yang lain pengaruh
faktor lingkungan ternyata hampir sama dengan pengaruh faktor
genetik.
b.2 Pengaruh laju pertumbuhan dan ukuran tajuk
Paul (1932 diacu oleh Hillis, 1987) menemukan bahwa pada
suatu tegakan seumur, walau dengan tinggi yang sama (5 m)
pohon-pohon dengan lebar tajuk kecil (3 m) atau dari areal yang
tegakannya rapat, secara proporsional membentuk kayuteras
lebih banyak (28 %) dibandingkan dengan pohon jenis yang
sama tetapi dengan lebar tajuk besar (10 m). Pohon dengan tajuk
lebih besar ini mempunyai kayuteras hanya sekitar 8 %.
b.3 Pengaruh lingkungan
Studi mengenai pengaruh dan taraf kelembaban dan ketersediaan
air memberikan hasil yang saling bertentangan antara satu dan
yang lain. Kelembaban dan ketersediaan air yang cukup tinggi
cenderung memperlambat pembentukan kayuteras pada Pinus
sylvertris ( Pilz, 1907 diacu oleh Hills, 1987). Sebaliknya Harris
(1953 dan 1954a diacu oleh Hillis, 1987) melaporkan bahwa
justru faktor-faktor yang menunjang pembentukan kayuteras
antara lain adalah ketersediaan air yang cukup dan menyebar
merata sepanjang tahun, dan tiadanya angin kering atau kondisi
24
b.4 Pengaruh luka dan kesehatan pohon
Masuknya udara ke bagian batang melalui puntung cabang atau
luka sudah lama diterima dapat mempercepat pembentukan
kayuteras (Bürgen dan Münch, 1929 diacu oleh Hillis 1987).
Pemangkasan Cryptomeria japonica diketahui telah
meningkatkan nisbah kayuteras dan volume (Ikara, 1970 diacu
oleh Hillis 1987). Kecenderungan yang sama juga dijumpai pada
Lopulus sp. (Sachsse, 1965) diacu Hillis, 1987 dan juga pada
Pseudotsuga menziesii (Smith dkk, 1966 diacu oleh Hillis 1987).
Lappi Seppälä (1952) diacu oleh Hillis, 1987 juga menyimpulkan
bahwa peningkatan proporsi kayuteras menurut umur Pinus
sylvestris adalah karena telah menurunnya vitalitas pohon.
b.5 Faktor jenis pohon dan umur
Selain berbagai faktor seperti telah diuraikan di atas berbagai
sumber dapat dirangkum untuk memperlihatkan pengaruh jenis
dan umur terhadap pembentukan kayuteras seperti terlihat pada
Tabel 2 Proses terjadinya kayugubal menjadi kayuteras pada marga yang berbeda menurut umur
Umur (Tahun)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 ... 50 51 52 53 ... 66 67 68 69 70 ... 99 100 Jenis
Cryptomeria japonicaa,b)
Robiniaspp. a)
Nothofagus cunninghamiia)
Fraxinus excelsiora)
Alstonia scholarisa)
Acacia mangiumc) dan d) ? ? ?
Sumber :
a) Ikara, 1972
b) Nobuchi dkk., 1979 c) Nuhamara (data pribadi) d) Lee, 1988
26
c. Lapuk kayuteras
c.1 Pengertian kayu lapuk
Kayu lapuk adalah kayu yang komponen-komponen
penyusunnya terurai oleh fungi dan/atau mikroba lain yang
kemudian menyebabkan kayu tersebut menjadi lebih lunak,
kekuatan serta bobotnya makin berkurang dan sering diikuti
oleh perubahan tekstur dan warnanya (Helms, 1998). Dengan
demikian yang dimaksud dengan lapuk kayuteras (heart rot )
atau heart decay adalah kelapukan kayuteras, yang terdiri atas
jaringan kayu yang sudah mati, dalam batang pohon yang masih
hidup / berdiri (Helms, 1998). Sementara menurut Tainter dan
Baker (1996) istilah heart decay atau busuk hati yang semula
digunakan untuk menyatakan kelapukan bagian kayuteras
batang pohon, sekarang hanyalah dimaksudkan u