• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyakit degeneratif akibat berlebihnya radikal bebas di dalam tubuh merupakan slah satu penyebab kematian tertinggi di dunia (WHO 2010). Radikal bebas dalam tubuh dapat mengakibatkan penuaan dini dengan merusak jaringan lemak yang berada di bawah kulit, menghilangkan kekencangan kulit dan kulit menjadi keriput (Winarno 1992). Pada kondisi stres oksidatif, yaitu kondisi tidak seimbangnya antioksidan alami yang terkandung di dalam tubuh, menyebabkan manusia tidak dapat bergantung pada antioksidan alami yang sudah terkandung di dalam tubuhnya untuk mengatasi radikal bebas. Oleh karena itu dibutuhkan sumber lain untuk menanggulangi penyakit degeneratif ini.

Salah satu cara penanggulangan penyakit degeneratif adalah dengan menambahkan antioksidan alami pada produk farmasi dan bahan pangan (Campanella et al. 2004). Antioksidan alami mampu melindungi tubuh dari kerusakan yang disebabkan spesies oksigen reaktif dan menghambat terjadinya peroksidasi lipid, yaitu suatu rantai reaksi yang menghasilkan radikal lipid bebas

(R•) (Halliwel dan Gutteridge 1999). Antioksidan dapat meredam radikal bebas

dengan cara menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas (Moon et al. 2009). Antioksidan dapat menangkap berbagai jenis oksigen yang secara biologis bersifat reaktif (O2-, H2O2, ·OH, dan ·HOCl), dengan mengubah

pembentukan molekul radikal bebas atau memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya (Wijaja et al. 2006).

Antioksidan topikal, baik yang berasal dari bahan alami maupun sintesis, telah banyak diteliti untuk melawan stres oksidatif yang disebabkan sinar UV (Endang et al. 2005). Penggunaan antioksidan secara topikal sangat penting untuk mengatasi kekurangan antioksidan pada jaringan kulit karena penggunaan secara

oral tidak cukup untuk meningkatkan konsentrasi α tokoferol pada kulit (Deny et

al. 2006). Vitamin C dapat diberikan secara oral dan topikal. Vitamin C topikal digunakan untuk mencegah kerusakan karena radiasi ultraviolet, terapi melasma, strie alba dan eritem postoperatif laser. Beberapa penelitian terhadap tikus memperlihatkan pemakaian vitamin C topikal dapat menurunkan sel sunburn, eritema dan fotokarsinogenesis.

Zeolit merupakan salah satu material yang potensial untuk dikembangkan sebagai antioksidan. Hal ini disebabkan oleh kelimpahan yang besar, kemudahannya diperoleh, dan harganya yang relatif murah. Zeolit alam sebagai antioksidan memang belum banyak dimanfaatkan, tetapi beberapa penelitian menunjukkan potensi penggunaan zeolit sebagai antioksidan. Zeolit tidak dapat menetralkan radikal bebas tetapi dapat menonaktifkan sifat radikal melalui penjerapan sehingga dapat dengan aman dihilangkan dari tubuh (Warren 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Pavelic et al.(2002) menunjukkan bahwa konsentrasi lipid hidroperoksida (LOOH) menurun dalam hati tikus setelah diberikan suplemen yang mengandung 80% zeolit alam klinoptilolit. Penelitian lainnya Ipek (2012) juga menunjukkan terjadinya penurunan secara signifikan konsentrasi LOOH dengan nilai P<0,05 pada sapi perah setelah diberikan suplemen yang mengandung 85% zeolit alam klinoptilolit selama 2 bulan. LOOH merupakan senyawa antara nonradikal turunan dari asam lemak tak jenuh,

fosfolipid, glikolipid, dan kolesterol yang terbentuk dari reaksi enzimatik atau nonenzimatik yang melibatkan senyawa oksigen reaktif (ROS). ROS merupakan radikal bebas yang memberikan efek toksik pada makhluk hidup melalui perusakan jaringan (Halliwel dan Whiteman 2004). Turunnya LOOH mengindikasikan berkurangnya aktivitas ROS.

Pranoto (2012) menyatakan bahwa zeolit alam asal Banten, Sukabumi, Tasikmalaya, dan Lampung memiliki aktivitas menyerupai antioksidan karena mampu menyerap senyawa radikal lain, yaitu 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH), masing-masing sebesar 55,20%, 42,26%, 41,20% dan 31,95% dengan konsentrasi DPPH 125µM dan bobot zeolit 2g. Namun, aktivitas antioksidan ini semakin berkurang dengan meningkatnya suhu. Hal ini diduga pada suhu tinggi terjadi reduksi jumlah logam pengotor seperti oksida logam Fe yang dapat berperan sebagai reduktor dan meningkatkan aktivitas antioksidan zeolit alam (Pranoto 2012). Dengan kata lain, zeolit berfungsi menjerap DPPH sementara oksida besi berfungsi sebagai antioksidan .

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, aktivitas antioksidan zeolit bergantung pada pori-pori dan kandungan oksida logamnya. Zeolit alam diketahui memiliki pori yang tidak seragam, sehingga efek/fungsi penjerapannya sangat bergantung pada pengotor yang terdapat di pori-pori zeolit. Pengaruh keseragaman pori terhadap adsorpsi DPPH perlu dikaji lebih lanjut. Zeolit dengan pori yang seragam dapat diperoleh dengan cara menyintesis zeolit. Bahan baku yang biasanya digunakan untuk menyintesis zeolit adalah kaolin. Namun, kandungan oksida logam pada zeolit sintetik pada umumnya sangat sedikit. Kandungan tersebut dapat ditingkatkan melalui pemilaran zeolit menggunakan oksida logam.

Oksida logam yang banyak digunakan sebagai pemilar adalah TiO2 dan

Fe2O3. TiO2 bersifat semikonduktorfotokatalis, mudah didapatkan dipasaran, tidak

toksik, stabil pada suhu tinggi, dan dapat digunakan berulang kali tanpa kehilangan aktivitas katalitiknya (Fatimah et al. 2006). Oksida logam Fe2O3

memiliki kelebihan, di antaranya stabil pada suhu tinggi, tidak beracun, dan melimpah (Mohapatra 2010), serta memiliki energi celah yang besar yaitu 3,0- 3,1eV sehingga dapat digunakan sebagai fotokatalis (Kunarti 2009). Oksida TiO2

dan Fe2O3 memiliki kemampuan mereduksi senyawa lain dengan melepaskan

elektron yang dimilikinya (Guilard 2008).

Penelitian ini telah menunjukkan keberhasilan sintesis zeolit dari bahan baku kaolin yang berasal dari Bangka Belitung dan pemilarannya menggunakan TiO2 dan Fe2O3. Kinerja zeolit hasil sintesis dalam penelitian ini sebagai

antioksidan dipelajari dengan membandingkan perubahan serapan larutan DPPH yang ditambahkan bahan tersebut. Metode DPPH memberikan informasi reaktivitas senyawa yang diuji dengan suatu radikal dan memberikan serapan kuat pada panjang gelombang 517nm dengan warna violet gelap (Kuncahyo & Sunardi 2007).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menyintesis zeolit dan memilarnya dengan TiO2 dan

ke dalam persamaan regresi (Y=aX+b) dengan konsentrasi zeolit sintesis (% berat) sebagai absis (sumbu X) dan nilai persentase inhibisi sebagai ordinat (sumbu Y). Nilai IC50 diperoleh pada saat persentase inhibisi sebesar 50%.

Penentuan Kapasitas Adsorpsi ( Hediana 2011)

Sebanyak 50.0mg zeolit sintesis dan yang terpilar ditambahkan larutan biru metilena 100, 200, 300, 400 dan 500mg L-1 sebanyak 15 ml, kemudian dikocok menggunakan vortex selama 2 jam. Setelah itu larutan disentrifugasi dengan kecepatan 500rpm selama 20 menit. Konsentrasi supernatant ( biru metilena / Ct) ditentukan dengan spektrofotometer UV – tampak pada panjang gelombang maksimum ( λ maks). Penentuan λ maks dilakukan dengan mengukur serapan

larutan biru metilena pada rentang panjang gelombang 200 700nm. Larutan baku biru metilena dibuat dengan konsentrasi 2 , 3, 4, 5, dan 6 mg L-1. Kapasitas adsorpsi ditentukan dengan persamaan :

Q =

Dimana Q = kapasitas adsorpsi ( mg g-1), V = volume larutan biru metilen (L),

Co = konsentrasi biru metilen awal (mg L-1),

Ct = konsentrasi biru metilena sisa (mg L-1), dan m = massa zeolit (mg)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pencirian Zeolit , Zeolit Terpilar TiO2 serta Zeolit Terpilar Fe2O3

Zeolit yang dibuat dalam penelitian ini berasal dari kaolin. Kaolin merupakan bahan yang banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan zeolit , karena kaolin mengandung SiO2 dan Al2O3 sebagai bahan dasar untuk

menyintesis zeolit (Barrer 1978). Hal ini karena struktur dan senyawa penyusun kaolin mirip dengan penyusun zeolit. Kaolin mempunyai struktur yang berupa lapisan 1 : 1, yaitu untuk setiap lembar terdiri atas satu lapisan tetrahedral oksida –

Si (lapisan silikat) dan satu lapisan oktahedral hidroksioksida – Al (lapisan aluminat). Selembar silika tetrahedral dikombinasi dengan hidroksil oktahedral yang dibagi dengan lembar alumina oktahedral (Murray 2000). Sementara zeolit memiliki struktur tetrahedral semua,oleh sebab itu diperlukan pemanasan agar struktur oktahedral aluminat kaolin dapat diubah menjadi struktur tetrahedral aluminat zeolit. Morfologi serbuk kaolin, metakaolin, zeolit sintetik dan zeolit sintetik terpilarisasi diperlihatkan pada Gambar 1.

Gambar 1 memperlihatkan perbedaan mendasar pada kaolin (K), metakaolin (M) dan zeolit sintetik (ZS). Perubahan yang terjadi yaitu dari kaolin yang semula serbuk berwarna putih (Gambar 1a), kemudian setelah dikalsinasi

pada suhu 700 C menjadi sedikit kecoklatan tetapi masih berbentuk serbuk kasar yang kemudian disebut metakaolin (Gambar 1b). Pemanasan 700 C bertujuan meruntuhkan struktur kristal kaolin yang ditandai dengan hilangnya gugus hidroksil yang terikat secara kimia.

Adapun reaksinya diperlihatkan pada Persamaan 1 (Hosseini et al. 2011).

(1)

Kaolin metakaolin

Persamaan 1 menunjukkan perubahan jumlah molekul oksigen dan hidrogen dari kaolin. Selama proses kalsinasi struktur kaolin terdegradasi dan dua molekul H2O akan terdehidroksilasi (Hosseini et al. 2011). Dehidroksilasi adalah

hilangnya molekul air yang terserap pada kisi-kisi kristal dari mineral kaolin membentuk metakaolin. Proses kalsinasi telah merubah molekul Al2O3 yang

berbentuk oktahedral pada kaolin membentuk ion AlO2- yang berbentuk

tetrahedral pada metakaolin.

Metakaolin selanjutnya direaksikan dengan NaOH 2M yang berfungsi sebagai pemberi suasana basa yang memengaruhi waktu nukleasi dengan mengubah fase metakaolin dari fase padat menjadi larutan. NaOH juga berfungsi sebagai donor kation yang berperan dalam mengarahkan dan menyeimbangkan muatan pada kerangka struktur zeolit (Georgiev et al. 2009). Larutan metakaolin dipanaskan pada suhu 40 C selama 6 jam untuk mempercepat proses pembentukan inti kristal zeolit. Pemanasan dilanjutkan pada suhu 100 C selama 24 jam untuk menyempurnakan pembentukan kristal zeolit.

Zeolit sintetik (ZS) yang diperoleh dicuci menggunakan air bebas ion hingga pH netral. Pencucian bertujuan menghilangkan material yang tidak menjadi bagian dari penyusun zeolit yang mungkin ada di permukaan dan larut dalam air bebas ion. ZS selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 100 C selama 24 jam dengan tujuan selain menguapkan air yang terperangkap dalam pori-pori kristal zeolit juga agar jumlah pori dan luas permukaan spesifiknya bertambah (Suardana 2008). ZS yang dihasilkan berupa kristal putih kekuningan (Gambar 1c). ZS yang diperoleh dipanaskan lagi pada suhu 300 C selama 5 jam dengan tujuan memperbaiki kristalinitas, meski secara fisik tidak terjadi perubahan warna yang mencolok (Gambar 1d) tetapi dari data difraktogram terjadi kenaikan kristalinitas.

Pemilaran menggunakan TiO2 (Gambar 1e) dilakukan melalui

penambahan TiO2 ke larutan awal metakaolin – NaOH menghasilkan zeolit

sintetik ZSTi (Gambar 1f) yang warnanya putih kekuningan dengan bentuk serbuk lebih halus . Kemudian ZSTi dioksidasi lagi dan diperoleh hasil ZSTiO berbentuk serbuk lebih kasar (Gambar 1g) dibandingkan serbuk ZSTi. Pemilaran TiO2

secara fisik dilakukan melalui penambahan TiO2 pada zeolit yang telah disintesis

menghasilkan campuran/komposit berupa serbuk berwarna kuning pucat (Gambar 1h) yang selanjutnya disebut ZSTiF.

Pemilaran ZS dengan Fe2O3 (Gambar 1i) dilakukan melalui penambahan

Fe2O3 ke larutan awal metakaolin – NaOH menghasilkan serbuk berwarna merah

ZSFeO (Gambar 1k). Pemilaran secara fisik antara ZS dengan Fe2O3

menghasilkan serbuk ZSFeF (Gambar 1l) yang berwarna merah coklat pekat dibandingkan dengan ZSFe.

Serbuk TiO2 berwarna putih dan Fe2O3 berwarna merah bata , apabila

kedua bahan ini dicampurkan dengan zeolit sintetik baik secara fisik maupun saat proses sintesis zeolit maka warnanya akan saling mempengaruhi. Proses sintesis zeolit dengan pilarisasi TiO2 dan Fe2O3 yang dilakukan secara fisik maupun saat

proses sintesis memengaruhi warna zeolit yang dihasilkan, namun secara kasat mata semuanya bercampur dengan merata. Morfologi zeolit maupun zeolit terpilar TiO2 dan Fe2O3 akan terlihat lebih jelas menggunakan SEM – EDS dan

keberhasilan pemilaran ini juga diamati dengan XRD.

a b c

d e f

g h i

j k l

Gambar 1 Morfologi serbuk (a) K, (b) M, (c) ZS, (d) ZSO, (e) TiO2, (f) ZSTi,

(g) ZSTiO, (h) ZSTiF, (i) Fe2O3, (j) ZSFe, (k) ZSFeO, dan (l)

ZSFeF.

Karakter zeolit melalui pengamatan menggunakan XRD

Difraksi sinar X digunakan untuk mengidentifikasi jenis mineral zeolit yang terkandung dan kristalinitasnya. Gambar 2a dan 3a menunjukkan difraktogram

kaolin, sedangkan Gambar 2b dan 3b memperlihatkan difraktogram metakaolin. Perbandingan kedua difraktogram ini memperlihatkan adanya perbedaan puncak antara kaolin dan metakaolin, yang berarti bahwa telah terjadi perubahan struktur pada kaolin, yaitu lepasnya gugus hidroksil. Perubahan ini menghasilkan metakaolin dengan struktur yang lebih amorf dibandingkan kaolin, diindikasikan oleh kristalinitas metakaolin (45.39%), dan kaolin (83.33%).

Gambar 2c dan 3c memperlihatkan difraktogram zeolit sintetik referensi Joint Committee on Powder Difraction Standards (JCPDS ) nomor 39 – 0222, sedangkan difraktogram zeolit sintetik hasil penelitian ditunjukkan pada Gambar 2f dan 3e. ZS hasil penelitian memiliki puncak pada sudut 2θ=10.19°, 12.47°, 16.10°, 21.64°, 23.95°, 26.07°, 27.08°, 29.90°, 32.49°, dan 34.14° dengan kristalinitas sebesar 79.27%. Berdasarkan JCPDS nomor 39–0222 puncak khas zeolit referensi tersebut sebagai zeolit tipe A mempunyai sudut 2θ sebesar 10.17°, 12.46° , 16.11°, 21.36° , 23.99°, 26.11°, 27.11°, 29.94°, 32.54°, dan 34.18°.

Berdasarkan perbandingan pola difraktogram antara ZS hasil penelitian dengan referensi disimpulkan bahwa zeolit hasil penelitian merupakan zeolit sintetik tipe A. Hasil pemanasan tidak menunjukkan perubahan yang signifikan pada nilai 2θ yaitu berturut-turut 10.24°, 12.52°, 16.16°, 21.72°, 24.03°, 26.18°, 27.16°, 29.99°, 32.59°, dan 34.24°. Bagaimanapun, pemanasan menghasilkan zeolit dengan kristalinitas yang lebih baik, ditunjukkan oleh meningkatnya kristalinitas dari 79.27% menjadi 85.41% (Gambar 2d). Kenaikan kristalinitas ini disebabkan oleh terjadinya penyusunan ulang kristal seiring kenaikan suhu.

Gambar 2e memperlihatkan difraktogram TiO2 (anatase) dengan tiga

puncak yang kuat pada sudut difraksi (2θ) yaitu 25.32° (d=3.51440Ȧ), 48.06° (d=1.89158Ȧ), dan 37.80° (d=2.37805Ȧ), sedangkan Gambar 2g sampai 2i memperlihatkan pola difraktogram ZS setelah dipilar menggunakan TiO2. ZS

yang dipilar TiO2 bersamaan saat sintesis zeolit (ZSTi) yang diperlihatkan pada

Gambar 2g menunjukkan puncak 2θ pada 25.29°, puncak ini merupakan puncak dari TiO2 yang berhasil disisipkan. Selain itu terjadi peningkatan kristalinitas dari

79.27% menjadi 89.97%, hasil ini sedikit berbeda ketika ZSTi dioksidasi (Gambar 2h). Setelah dioksidasi, terjadi perbedaan puncak 2θ pada ZSTi dari 25.29° menjadi 29.95° dan penurunan kristalinitas dari 89.97% menjadi 86.67%. Turunnya kristalinitas dan berubahnya 2θ setelah dioksidasi menunjukkan bahwa

proses oksidasi mengakibatkan interaksi fisik antara ZS dengan TiO2 menjadi

lebih lemah. Namun, hasil yang cenderung sama diperlihatkan pada pemilaran TiO2 yang dilakukan secara fisik (ZSTiF) dengan terlihat puncak 2θ yang tidak

jauh berbeda, yaitu pada 25.31° (d=3.51592 A˚) dan kristalinitas sebesar 88.37% (Gambar 2i).

Difraktogram Fe2O3 (hematit) memperlihatkan puncak 2θ pada 33.18°

(d=2.69725Ȧ), 35.66° (d=2.51563Ȧ), dan 54.10° (d=1.69379Ȧ) (Gambar 3d).

Gambar 3f menunjukkan difraktogram zeolit yang dipilar dengan Fe2O3

bersamaan saat sintesis dengan sudut 2θ pada 30.01° dengan kristalinitas 90.68%. Ketika ZSFe dioksidasi, terjadi sedikit perubahan pada sudut sudut 2θ, yaitu dari

30.01° menjadi 29.94° dan naiknya kristalinitas dari 90.68% menjadi 95.45% (Gambar 3g). Gambar 3hmenunjukkan difraktogram zeolit ketika dipilar dengan Fe2O3 secara fisik (ZSFeF) dengan sudut 2θ pada 29.93° dengan kristalinitas

84.20%. Telah terjadinya pilarisasi pada zeolit juga diperlihatkan pada data EDS (Lampiran 3). Data EDS memperlihatkan bahwa sebelum dipilar dengan Fe2O3,

ZS tidak mengandung unsur Fe. Sementara, setelah dipilar terdapat unsur Fe sebesar 2.31%. Artinya, ZS telah berhasil dipilar dengan Fe.

Gambar 2 Difraktogram (a) K, (b) M, (c) Zref, (d) ZSO, (e) TiO2,(f) ZS, (g) ZSTi,

Gambar 3 Difraktogram sinar-X (a) K, (b) M, (c) Zref, (d) Fe2O3,(e) ZS, (f) ZSFe,

(g) ZSFeO, (h) ZSFeF.

Apabila TiO2 dan Fe2O3 memiliki aktivitas antioksidan maka proses

pilarisasi TiO2 dan Fe2O3 ke dalam zeolit sintesis akan meningkatkan aktivitas

antioksidannya, namun hal ini bergantung pada seberapa banyak TiO2 dan Fe2O3

yang terpilar pada zeolit sintesis dan bagaimana cara pilarisasinya. Proses pilarisasi TiO2 dan Fe2O3 ke dalam zeolit melalui pemilaran fisik hanya akan

menghomogenkan campuran dan tidak dapat memaksimalkan penyisipan antara TiO2 dan Fe2O3 dengan zeolit sintetik, namun hal ini dapat dilakukan dengan cara

pemilaran secara hidrotermal, karena TiO2 dan Fe2O3 dapat bergerak secara

termal menembus ruang-ruang kosong zeolit dan menyisip diantaranya sehingga meningkat nilai derajat kristalinitasnya. Meningkatnya nilai derajat kristalinitasnya sangat berhubungan erat dengan proses sintesis antara pemilaran fisik saja dengan bersamaan proses sintesis zeolit.

Hasil Pengamatan SEM terhadap morfologi zeolit dan kompositnya

Keberhasilan sintesis maupun pemilaran suatu material juga dapat ditunjukkan dengan melihat morfologi material tersebut. Oleh karena itu, dilakukan pencirian selanjutnya dengan pengamatan SEM (Gambar 4). Gambar 4a memperlihatkan morfologi kaolin yang memiliki tekstur permukaan kasar dan bentuk kristal berupa lembaran persegi yang menumpuk. Hasil SEM ini mirip dengan morfologi kaolin referensi dari Excalibur Mineral Company (2010) (Gambar 4b) yang juga memperoleh bentuk kristal kaolin berupa lembaran persegi yang menumpuk dan cenderung beraturan. Proses agregasi terlihat ketika kaolin dikalsinasi menghasilkan metakaolin (Gambar 4c). Metakaolin memiliki tekstur permukaan kasar dan berbentuk lapisan yang terdiri atas kristal lembaran persegi tak beraturan serta cenderung beragregat. Penelitan yang dilakukan oleh Weng et al. (2013) juga memperoleh hasil SEM metakaolin berbentuk kristal yang beragregat dan tak beraturan (Gambar 4d).

Gambar 4 Mikrograf SEM (a) kaolin, (b) kaolin referensi, (c) metakaolin, (d) metakaolin referensi.

Gambar 5a memperlihatkan zeolit sintetik tipe A referensi dari Warzywoda (2000) dengan ciri-ciri berbentuk kristal kubus. Zeolit dalam penelitian ini memperlihatkan morfologi yang sama dengan zeolit tipe A (Gambar 5a dan 5b). Perbandingan morfologi zeolit pada Gambar 5 dengan metakaolin pada Gambar 4 menunjukkan perubahan struktur yang lebih teratur dan berbentuk kubus dari metakaolin menjadi zeolit. Gambar 5c menujukkan morfologi dari zeolit sintesis dengan pemanasan lebih lanjut pada 300 ºC. Pemanasan tidak mengakibatkan banyak perubahan pada permukaan zeolit sintetik. Bentuk kristal zeolit terlihat masih berbentuk kubus, hanya saja terlihat lebih menumpuk. Data EDS juga menunjukkan komposisi logam-logam yang terkandung dalam zeolit

cenderung tidak jauh berbeda. Artinya, zeolit sintetik tahan terhadap pemanasan atau dengan kata lain pemanasan tidak merubah struktur zeolit.

Gambar 5 Mikrograf SEM (a) referensi zeolit tipe A (b) Zeolit hasil sintesis dan (c) Zeolit hasil sintesis setelah dioksidasi.

Gambar 6a, 6b, dan 6cmenunjukkan mikrograf SEM hasil pilarisasi TiO2 ke

dalam ZS. Dari ketiga gambar tersebut terlihat TiO2 paling sedikit menempel di

permukaan ZS ketika dipilar secara hidrotermal (Gambar 6a). Hal ini terjadi karena TiO2 ikut masuk ke dalam kerangka struktur zeolit sehingga hanya sedikit

TiO2 yang terlihat di permukaan zeolit. Meskipun TiO2 terlihat sedikit menempel

di permukaan, namun jumlah titanium berdasarkan data EDS pada ZSTi paling besar dibandingkan zeolit sintesis yang dipilar dengan TiO2 secara fisik.

Sementara zeolit sintetik yang dipilar dengan TiO2 setelah dioksidasi

memperlihatkan lebih banyak TiO2 menempel di permukaan zeolit dibandingkan

sebelum ZSTi dioksidasi (Gambar 6b). Hal ini disebabkan oleh efek pemanasan mengakibatkan TiO2 keluar dari kerangka struktur zeolit dan diduga TiO2 bereaksi

dengan NaOH menjadi titanat seperti yang diperlihatkan pada Persamaan 2 (Qin et al. 2000).

(2) Titanium titanat

Data EDS menunjukkan jumlah titanium dalam ZSTi setelah dioksidasi menurun menjadi 0.40%. Oksidasi dilakukan pada suhu 300 ºC selama 5 jam, suhu ini belum cukup untuk menguapkan TiO2 yang memiliki titik didih 1825 ºC.

Dengan demikian, penurunan jumlah titanium disebabkan oleh adanya titanium yang bertransformasi menjadi titanat. Titanat yang terbentuk ini diduga menempel di permukaan (tidak berada dalam kerangka struktur zeolit), sedangkan TiO2 yang

dipilar secara fisik (Gambar 6c) menunjukkan paling banyak TiO2 terlihat

menempel di permukaan zeolit. Artinya, TiO2 yang dipilar secara fisik

berinteraksi dengan zeolit hanya di permukaan, diduga hanya sedikit sekali yang masuk ke dalam kerangka struktur zeolit. Data EDS menunjukkan titanium yang terdapat pada zeolit sintesis yang dipilar TiO2 secara fisik sebesar 0.41%. Analisis

data EDS menunjukkan bahwa pemilaran TiO2 ke dalam zeolit secara hidrotermal

lebih efektif dibandingkan dengan pemilaran secara fisik.

Gambar 6 Mikrograf SEM (a) ZSTi, (b) ZSTiO, (c) ZSTiF.

Keterangan: bagian yang dilingkari menunjukkan TiO2

Gambar 7a, 7b dan 7cmenunjukkan mikrograf SEM hasil pilarisasi Fe2O3

ke dalam ZS. Mikrograf SEM hasil pemilaran zeolit sintetik dengan Fe2O3

cenderung mirip dengan hasil mikrograf SEM zeolit sintetik yang dipilar dengan TiO2. Zeolit sintetik yang dipilar dengan Fe2O3 secara hidrotermal

memperlihatkan hanya sedikit Fe2O3 yang menempel di permukaan zeolit

(Gambar 7a). Setelah zeolit sintetik yang telah dipilar Fe2O3 dioksidasi, Fe2O3

terlihat lebih banyak menempel (Gambar 7b). Hal ini terjadi sebelum dioksidasi, Fe2O3 ikut masuk ke dalam kerangka struktur zeolit (hanya sedikit yang

menempel di luar), sementara setelah dioksidasi Fe2O3 keluar dari kerangka

struktur zeolit dan diduga bereaksi dengan NaOH membentuk senyawa NaHFe3O4

sesuai Persamaan 3.

(3) Sama seperti pada pemilaran dengan TiO2, oksidasi dilakukan pada suhu

300 ºC selama 5 jam. Suhu ini belum cukup untuk menguapkan Fe2O3 yang

memiliki titik didih 1538 ºC. Hal ini didukung dari data EDS, yaitu ZSFe sebelum dioksidasi memiliki jumlah Fe sebesar 4.26%, sedangkan setelah dioksidasi jumlahnya menurun menjadi 1.68%. Penurunan jumlah Fe2O3dapat terjadi karena

diduga Fe2O3 bertransformasi menjadi NaHFe3O4. Senyawa ini diduga menempel

di permukaan zeolit sintetik. Sementara zeolit sintetik yang dipilar dengan Fe2O3

secara fisik (Gambar 7c) menunjukkan paling banyak Fe2O3 terlihat menempel di

permukaan zeolit. Data EDS zeolit sintetik yang dipilar Fe2O3 secara fisik

memperlihatkan jumlah Fe sebesar 2.31%. Artinya, meskipun terlihat banyak menempel di permukaan zeolit, namun jumlah Fe yang terkandung dalam zeolit sintetik yang dipilar dengan Fe2O3 lebih sedikit dibandingkan jumlah Fe yang

terkandung pada zeolit sintetik yang dipilar dengan Fe2O3 secara hidrotermal.

Dengan demikian, pemilaran zeolit secara hidrotermal baik dengan TiO2 maupun

dengan Fe2O3 lebih efektif dibandingkan pemilaran zeolit secara fisik.

Pilarisasi dengan TiO2 maupun Fe2O3, baik secara fisik maupun

hidrotermal dan hidrotermal dilanjutkan dengan pemanasan tidak mengubah bentuk kristal dari zeolit sintetik. Bentuk kristal zeolit masih berbentuk kubus dengan perbandingan Si/Al mendekati 1. Dengan demikian, penambahan TiO2

atau Fe2O3 maupun pemanasan saat sintesis zeolit tidak mengganggu proses

pembentukan inti kristal.

c

Gambar 7 Mikrograf SEM (a) ZSFe (b) ZSFeO (c) ZSFeF

Keterangan: bagian yang dilingkari menunjukkan Fe2O3

Kapasitas adsorpsi Zeolit dan kompositnya terhadap biru metilena

Kapasitas adsorpsi pada penelitian ini ditentukan dengan mengukur banyaknya biru metilena yang dapat dijerap zeolit yang hasilnya diperlihatkan pada Tabel 1. Penentuan kapasitas penjerapan menggunakan variasi konsentrasi biru metilena 100, 200, 300, 400, dan 500ppm. Pengukuran dilakukan pada panjang gelombang serapan maksimum 664.5nm menggunakan spektrofotometer. Panjang gelombang maksimum yang diperoleh pada penelitian ini mirip dengan yang diperoleh Mouzdahir et al. (2007), yaitu 663nm.

Kapasitas adsorpsi(Xm) menggambarkan jumlah adsorbat (biru metilena) yang dapat diserap oleh adsorben pada saat kesetimbangan. Sedangkan tetapan isoterm Langmuir (KL) adalah kekuatan ikatan molekul adsorbat pada permukaan

adsorben. Nilai Xm dan KL tertinggi diperlihatkan oleh zeolit sintetik yang

dioksidasi (ZSO), sementara zeolit sintetik terpilar TiO2 secara fisik memiliki nilai

Xm terendah dan zeolit sintetik terpilar Fe2O3 secara fisik memiliki nilai KL

terendah (Tabel 2). Umumnya nilai KL dan Xm berbanding lurus, semakin tinggi

nilai KL, maka nilai Xm juga semakin tinggi. Namun, pada penelitian ini nilai KL

dan Xm tidak memiliki kecenderungan berbanding lurus. Hal ini terlihat dari nilai

koefisien determinasi atau linearitas adsorben pada persamaan Langmuir yang tidak sama sehingga prediksi nilai KL dan Xm berbeda keakuratannya.

Korelasi antara kapasitas adsorpsi zeolit dan kompositnya dengan aktivitas antioksidan melalui pengamatan adsorpsi terhadap DPPH

Pengukuran aktivitas antioksidan biasanya dilakukan dengan beberapa metode di antaranya uji kapasitas antioksidan reduksi kuprat (CUPRAC), uji kekuatan antioksidan mereduksi ferat (FRAP), dan metode DPPH. Metode

Dokumen terkait