• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelapa merupakan komoditi sosial kedua setelah padi di Indonesia dengan luas areal sekitar 3.7 juta ha, setara dengan sepertiga luas penanaman kelapa dunia dan menjadikan Indonesia sebagai negara penanam kelapa terluas di dunia (Deptan 2007). Di Pulau Derawan (Kalimantan Timur), kelapa menjadi satu- satunya tanaman perkebunan yang dibudidayakan. Selain sebagai penambah pendapatan masyarakat, tanaman kelapa di Pulau Derawan juga memiliki fungsi artistik sebagai penambah nilai estetika pantai yang menjadi maskot pariwisata di provinsi tersebut.

Keberadaan tanaman kelapa di Pulau Derawan mulai berkurang. Faktor utama terjadinya penurunan populasi tanaman ini adalah adanya penyakit layu yang telah mengakibatkan tidak kurang dari 10% tanaman mati (Waimin 9 September 2010, komunikasi pribadi). Selain itu, selama masa inkubasi penyakit, produktivitas tanaman sangat menurun. Di Indonesia, penyakit serupa pada tanaman kelapa dikenal dengan penyakit layu Kalimantan (Kalimantan wilt) yang ditemukan oleh Warokka et al.(2006). Penyakit ini disebabkan oleh fitoplasma dan telah mengakibatkan kerugian yang besar pada pertanaman kelapa di daerah Sampit Kalimantan Tengah.

Menurut Weintraub & Wilson (2010), pada tanaman kelapa, fitoplasma dapat menyebabkan gejala daun menguning sampai klorosis dan berakhir pada kematian tanaman. Tanaman kelapa yang telah menunjukkan gejala penyakit layu akibat fitoplasma umumnya akan mengalami gugur buah muda. Jika satu tanaman telah terinfeksi, maka penyebaran penyakit akan sangat cepat. Sampai saat ini, pengendalian penyakit ini pada tanaman kelapa belum ada yang memuaskan.

Strain fitoplasma yang menyebabkan penyakit layu kalimantan (kalimantan wilt) adalahCa. Phytoplasma oryzae(Warokkaet al.2006). Strain yang berbeda yakni Ca. Phytoplasma cynodontis juga dilaporkan menyebabkan penyakit coconut lethal decline di Malaysia (Nejat et al. 2009). Strain fitoplasma yang telah diketahui menyebabkan kerugian yang sangat besar pada tanaman kelapa di

daerah Amerika dan Afrika adalahCa. Phytoplasma palmae (Tymon et al.1998, Harrison et al. 2002a, b, Myrie et al. 2006). Strain fitoplasma tersebut terakhir masuk dalam kelas A1 Karantina Tumbuhan karena selain tanaman kelapa, strain ini juga telah diketahui dapat menyerang tanaman kelapa sawit yang saat ini menjadi sumber devisa non migas utama di Indonesia (Utomo & Susanto 2006)

Oleh karena itu, deteksi dan identifikasi fitoplasma sebagai penyebab penyakit layu kelapa di Pulau Derawan sangat penting dilakukan untuk mencegah perluasan penyakit yang dapat menjadi ancaman bagi kebun kelapa dan kelapa sawit. Jika penyebab penyakit telah diketahui, maka penyusunan strategi pengendalian penyakit akan lebih tepat. Pengklasifikasian berdasarkan karakteristik molekuler gen 16S rRNA antar strain fitoplasma yang ditemukan dan kemudian dibandingkan dengan data yang telah didepositkan di GenBank akan membantu menganalisis asal patogen ini dan kemungkinan adanya penularan fitoplasma dari tanaman kelapa ke kelapa sawit. Metode deteksi yang digunakan untuk mengetahui keberadaan fitoplasma pada tanaman kelapa adalah nested polymerase chain reaction (nPCR) menggunakan beberapa pasang primer universal fitoplasma.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menunjukkan gejala morfologi dan histopatologi penyakit layu kelapa di Pulau Derawan.

2. Menunjukkan asosiasi fitoplasma dengan penyakit layu kelapa di Pulau Derawan menggunakan teknik deteksinestedPCR.

3. Mengidentifikasi dan membuat hubungan kekerabatan fitoplasma yang berhubungan dengan penyakit layu kelapa di Pulau Derawan dengan fitoplasma yang telah tersimpan di GenBank berdasarkan sekuen gen 16S rRNA.

4. Mendeteksi keberadaan fitoplasma dalam wereng daun danCassytha filiformis sebagai pendugaan agen penularan fitoplasma penyakit layu kelapa di Pulau Derawan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai keberadaan fitoplasma sebagai penyebab penyakit layu tanaman kelapa di Pulau Derawan serta kemungkinan agen penularnya. Studi penelitian ini akan bermanfaat dalam langkah-langkah penyusunan strategi pengendalian penyakit.

TINJAUAN PUSTAKA

Ciri Geografis dan Potensi Ekonomis Pulau Derawan

Pulau Derawan terletak di Kecamatan Pulau Derawan, Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Pulau ini memiliki dataran pantai bertopografi datar dengan pantai pasir memiliki kemiringan lereng sekitar 7° - 11° dan lebar 13,5 - 20 meter (Pemrov Kaltim 2011). Secara geografis, pulau ini terletak diantara 116osampai 119oBujur Timur dan 1osampai dengan 2,33oLintang Utara (Disbun Berau 2009).

Pulau Derawan mempunyai potensi laut yang sangat kaya yang dicirikan dengan keindahan taman laut dan keanekaragaman biota laut, serta menjadi daerah konservasi penyu hijau menduduki posisi ke tiga di dunia. Pulau ini telah dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 2005. Sebagai lokasi wisata, pulau ini kini dikelola oleh PT. Bhumi Manimbora Interbuana sejak 1993 dan telah dilengkapi dengan cottages, restoran,speed boat serta perlengkapan selam lainnya, sehingga menjadi salah satu maskot pariwisata perairan Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim 2011).

Pulau Derawan memiliki potensi sumber daya alam dan letak yang strategis, yang dapat dikembangkan menjadi suatu kegiatan usaha unggulan. Potensi tersebut terutama pada sektor perkebunan dalam penyediaan bahan baku pengembangan Agroindustri. Tanaman kelapa yang menjadi satu-satunya komoditi perkebunan yang dibudidayakan di Pulau Derawan, selain berfungsi sebagai tanaman penghias bibir pantai, juga sering dimanfaatkan untuk diambil buah muda maupun kopra (Disbun Berau 2009).

Sejak tahun 2005, Dinas Perkebunan Berau Kalimantan Timur telah menemukan tanaman kelapa bergejala penyakit menguning dan layu yang kemudian diikuti dengan kematian tanaman di Pulau Derawan. Penyakit ini kemudian menyebar di dalam pulau ini hingga mengakibatkan lebih dari 10% tanaman kelapa mati sampai tahun 2010 (Waimin 9 September 2010, komunikasi pribadi). Penyakit ini telah menjadi perhatian serius Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur sejak tahun 2008, salah satunya dengan melakukan upaya- upaya pencegahan dan pengendalian di lapangan agar tidak menyebar luas ke pertanaman kelapa dan kelapa sawit di luar Pulau Derawan. Dinas Perkebunan

Provinsi Kalimantan Timur dan Dinas Perkebunan Kabupaten Berau bekerjasama dengan Puslit Kelapa Manado dan Puslit Kelapa Sawit Medan untuk melakukan sosialisasi mengenai penyakit layu kelapa kepada masyarakat di Kepulauan Derawan pada tahun 2009 (Pemprov Kaltim 2011).

Kondisi Pertanaman Kelapa di Indonesia

Kelapa (Cocos nucifera L.) adalah tanaman monokotil tropis dari Famili Palmae yang sangat dikenal masyarakat Indonesia. Tanaman ini merupakan komoditas strategis yang memiliki peran sosial, budaya, dan ekonomi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Manfaat tanaman kelapa tidak saja terletak pada daging buahnya yang dapat diolah menjadi santan, kopra, dan minyak kelapa, tetapi seluruh bagian tanaman kelapa mempunyai manfaat yang besar. Demikian besar manfaat tanaman kelapa sehingga ada yang menamakannya sebagai "pohon kehidupan" (the tree of life) atau "pohon surga" (a heaven tree) (Deptan 2007).

Menurut Cook, Beccari, dan Herjerdhal, tanaman kelapa berasal dari Amerika Selatan. Namun Berry, Werth, Mearil, Mayurathan, Lepesma, dan Pureseglove menyebutkan bahwa tanaman ini berasal dari Asia atau Indo Pasifik (Suhardiono 1993). Tanaman kelapa yang sering dibudidayakan dibagi menjadi tiga: (1) Kelapa dalam, misalnya varietas Viridis (kelapa hijau), Rubescens (kelapa merah), Marcocorpu (kelapa kelabu), dan Sakarina (kelapa manis), (2) Kelapa genjah, misalnya varietas Eburnea (kelapa gading), Regia (kelapa raja), Pumila (kelapa puyuh), dan Pretiosa (kelapa raja malabar), (3) Kelapa hibrida (Warisno 1998).

Areal penanaman kelapa di Indonesia terdapat di hampir seluruh wilayah negeri, yaitu di Sumatera dengan areal 1,20 juta ha (32,90%), Jawa 0,903 juta ha (24,30%), Sulawesi 0,716 juta ha (19,30%), Bali, NTB, dan NTT 0,305 juta ha (8,20%), Maluku dan Papua 0,289 juta ha (7,80%), dan Kalimantan 0,277 juta ha (7,50%). Kelapa diusahakan petani baik di kebun maupun pekarangan rumah (Deptan 2007).

Pertanaman kelapa di Indonesia merupakan yang terluas di dunia. Persentase luas areal perkebunan kelapa di Indonesia adalah 31,2% dari total luas areal kelapa dunia. Peringkat kedua diduduki Filipina (25,8%), disusul India

(16,0%), Sri Langka (3,7%) dan Thailand (3,1%) (Deptan 2007). Menurut Allorerung & Hossang (2003), luas areal perkebunan kelapa sekitar 3,74 juta ha dengan 96,60% pertanaman kelapa dikelola oleh petani dengan rata-rata pemilikan 1 ha/kepala keluarga. Tanaman ini dibudidayakan secara monobiakan, kebun campuran atau sebagai tanaman pekarangan.

Namun demikian, dari segi produksi ternyata Indonesia hanya menduduki posisi kedua setelah Filipina. Ragam produk dan devisa yang dihasilkan Indonesia juga di bawah India dan Sri Lanka. Perolehan devisa dari produk kelapa mencapai US$ 229 juta atau 11% dari ekspor produk kelapa dunia pada tahun 2003 (Deptan 2007).

Rendahnya produktivitas kelapa di Indonesia ini salah satunya disebabkan oleh kurang intensifnya pengelolaan kebun oleh petani. Banyak dari perkebunan kelapa yang ada hanya bersifat usaha sampingan. Pengelolaan kebun yang dimaksud termasuk juga dalam hal manajemen pengendalian hama dan penyakit. Sebagai tanaman tropis, kelapa masih cukup rentan dengan adanya berbagai serangan hama dan penyakit (Deptan 2007).

Fitoplasma

Nama fitoplasma mulai diusulkan oleh Sears & Kirkpatrick (1994) karena sifatnya hanya sebagai patogen yang menyerang tumbuhan. Sebelumnya patogen ini disebut mycoplasma-like organism (MLO) berdasarkan pengamatan menggunakan mikroskop elektron pada jaringan floem tanaman oleh peneliti di Jepang, yaitu Doi et al. pada tahun 1967 yang mirip dengan mikoplasma pada hewan. Bahkan sebelum itu, karena sifat gejala penyakit dan cara penularannya patogen ini dianggap sebagai virus (Kirkpatrick 1989). Fitoplasma merupakan bakteri tanpa dinding sel (Bertaccini 2007, Hogenhoutet al.2008). Bentuk selnya adalah polimorfik dengan distribusi berada pada jaringan floem. Fitoplasma belum bisa dibiakankan pada media buatan serta perkembangbiakannya sangat tergantung pada tanaman inang dan serangga vektor inang. Oleh karena itu, fitoplasma termasuk patogen obligat (Leeet al.2000).

Fitoplasma termasuk ke dalam kelas Mollicute Kingdom Bacteria dengan sistem penamaan belum dikukuhkan (masih sebatas Candidatus (‘Ca’)

fitoplasma). Sistem klasifikasi fitoplasma baru didasarkan pada karakteristik molekuler yaitu gen 16S rRNA (Zhaoet al.2010) dan gen selain gen 16S rRNA seperti gen Intergenic Spacer Region (ISR) antara gen 16S–23S rRNA, gen Tuf, genRibosomal Protein(rp), genSecY,dan gen SecA(Leeet al.2010, Hodgetts & Dickinson 2010).

Gejala Penyakit dan Kisaran Inang

Fitoplasma telah diketahui menyebabkan penyakit pada ratusan spesies tanaman (Bertaccini 2007, Hogenhout et al. 2008). Secara umum, tipe gejala penyakit yang disebabkan oleh fitoplasma meliputi filodi (perubahan warna bagian tanaman menjadi hijau yang pada umumnya tidak berwarna hijau), virescen (bagian yang seharusnya menjadi bunga, tumbuh menjadi daun), sapu (pertumbuhan tunas yang berlebihan dari satu titik tumbuh), pertambahan abnormal jumlah akar sekunder (akar rambut), penghambatan pembungaan, kerdil dan klorosis (Bertaccini 2007, Hogenhoutet al.2008). Gejala penyakit ini terjadi karena terganggunya sistem fotosintesis terutama transpor fotosintat dan konduktansi stomata, ketidakseimbangan hormon pertumbuhan, metabolisme senyawa sekunder, dan perubahan nutrisi pada berbagai bagian tanaman (Marcone 2010).

Pada tanaman palma, patogen ini telah dilaporkan menyerang lebih dari 30 jenis tanaman palma inang (Alvarez et al. 2005). Daftar genus tanaman palma yang termasuk ke dalam spesies yang rentan terhadap lethal yellowing akibat fitoplasma adalah: Allogoptera, Arenga, Arikuryroba, Borassus, Caryota, Chrysalidocarpus, Cocos, Corypha, Dictyosperma, Gaussia, Hyophorbe, Latania, Livistona, Mascarena, Nannorrops, Phoenix, Pritchardia, Trachycarpus dan Veitchia(Harrison & Elliot, 2006).

Salah satu penyakit yang merugikan pada tanaman kelapa adalah lethal yellowing. Penyakit sejenis yang disebabkan oleh fitoplasma ini telah dilaporkan menyebabkan kerugian yang cukup besar di berbagai daerah meliputi Afrika, Amerika Utara, Amerika Tengah dan Amerika Selatan serta terakhir daerah Asia. Di Afrika, patogen ini telah dilaporkan menyerang tanaman kelapa di Benin, Kamerun, Ghana, Nigeria, Togo, Tunisia (Triki et al. 2003), Kolombia (Alvarez

et al.2005), Mesir (Ammaret al.2005) dan Tanzania. Di Amerika Utara, patogen ini telah menyerang tanaman kelapa di Semenanjung Yucantan Meksiko (Aguilar et al. 2009), Florida, Miami dan Texas Amerika Serikat serta pulau Key West Kuba. Di Amerika Tengah, penyakit karena fitoplasma ini terjadi di pulau Cayman, Bahamas, Kuba, Republik Dominika, Haiti, Honduras dan Jamaika. Di Asia, beberapa peneliti telah melaporkan keberadaan patogen ini di India (Sharmilaet al.2004), Malaysia (Nejatet al.2009) dan Indonesia (Warokkaet al. 2006).

Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh penyakit ini sangat besar. Triki et al. (2003) melaporkan bahwa di Nefta oasis, persentase kematian tanaman meningkat dari 12% pada tahun 1987 menjadi 50% pada tahun 1994. Survey juga menunjukkan bahwa jumlah tanaman kelapa di Tunisia yang terinfeksi fitoplasma sejumlah 4.700 tanaman pada tahun 1987 meningkat menjadi 36.000 tanaman pada tahun 2002. Penyakit ini juga secara signifikan menurunkan jumlah tanaman kelapa di Florida dan Karibia (Harrison & Elliot 2006).

Pada tanaman kelapa, gejala penyakit karena fitoplasma yang paling khas adalah menguningnya daun-daun dari bawah (yang tua) dan merembet naik ke daun yang lebih muda (Harrison & Elliot 2006). Perkembangan generatif tanaman yang terserang fitoplasma juga menjadi terhambat. Gejala lanjut adalah gugurnya daun dan buah oleh produksi asam absisat dan etilen yang tinggi (Marcone 2010). Tingkat kemunculan gejala sampai kematian tanaman tergantung dari ketahanan tanaman, konsentrasi dan tingkat virulensi patogen.

Penularan

Fitoplasma merupakan patogen sistemik yang hanya ditemukan pada jaringan floem (jaringan vaskuler yang mengangkut sari-sari makanan) pada tanaman dan di dalam tubuh serangga vektor. Di luar tanaman ataupun serangga vektor, patogen ini tidak dapat hidup (Hogenhoutet al.2008).

Perpindahan fitoplasma dari tanaman satu ke tanaman yang lain secara alami dibantu oleh serangga vektor dan tumbuhan parasit tali putri (Cuscutaspp.). Serangga vektor memiliki tipe alat mulut pencucuk penghisap, stilet serangga akan menghisap makanan dari jaringan vaskuler tanaman sakit termasuk floem

dan menyebarkan ke tanaman sehat (Hogenhoutet al.2008). Penularan fitoplasma oleh serangga vektor bersifat persisten dan propagatif yaitu selama vektor masih aktif hidup, patogen memperbanyak diri di dalam saluran pencernaan tengah dan saluran peredaran darah serangga hingga menuju kelenjar salivari sebelum ditransfer melalui penghisapan makanan pada tanaman inang yang baru (Fletcher et al.1998).

Serangga vektor yang terlibat dalam penularan fitoplasma adalah wereng (ordo Hemiptera) terutama wereng daun (famili Cicadellidae), wereng batang (famili Fulgoroidea), dan serangga psyllids (famili Psyllidae) (Mitchell 2004, Weintraub & Beanland 2006). Mathen et al. (1990) melaporkan bahwa Stephanitis typica (Distant) dewasa menjadi vektor penting fitoplasma pada tanaman kelapa dengan masa inkubasi 13-18 hari dan 5 hari akses periode akuisisi. Vektor Myndus crudus dewasa menyerang tanaman kelapa (Cocos nucifera) dan tanaman Palma yang lain, sedangkan stadia larva menyerang tanaman rumputan yang tumbuh di sekitar tanaman Palma khususnya rumput St Augustine (Stenotaphrum secundatum) (Howard, 1990). Vektor ini yang menyebabkan perpindahan patogen dari India ke Negri Karibia (Ogle & Harries, 2005).

Pengelolaan Penyakit

Pengendalian penyakit fitoplasma pada tanaman kelapa maupun pada tanaman lain belum ada yang efektif. Metode pengendalian yang paling baik bersifat preventif meliputi penggunaan bahan tanaman yang bebas dari patogen, penggunaan tanaman resisten, dan manajemen serangga vektor. Namun demikian, tanaman kelapa resisten fitoplasma masih sebatas pengujian ketahanan pada varietas kelapa tertentu sedangkan serangga vektor umumnya memiliki kisaran inang yang cukup luas sehingga menyulitkan pengendalian. Penggunaan tanaman resisten terhadap fitoplasma merupakan solusi jangka panjang sedangkan pengendalian serangga vektor dengan aplikasi insektisida juga tidak cukup mengurangi daya sebar penyakit (Weintraub & Wilson 2010).

Pengendalian penyakit tanaman yang disebabkan oleh fitoplasma pada areal endemik juga belum mendapatkan hasil yang memuaskan. Pengendalian secara

kimiawi dengan aplikasi antibiotik oxytetracycline HCl melalui injeksi batang ternyata tidak dapat membunuh fitoplasma tetapi hanya mampu mengurangi atau menekan populasi fitoplasma dalam tanaman sampai pada batas yang tidak merusak. Ketika injeksi antibiotik dihentikan, populasi fitoplasma kembali meningkat sehingga gejala penyakit akan berkembang kembali. Tanaman kelapa yang telah terserang sebaiknya dieradikasi, tetapi karena penyebaran penyakit dapat terjadi dengan cepat maka kehilangan hasil produksi bisa mencapai 100% (Harrison & Elliot 2006).

Deteksi dan Identifikasi Fitoplasma

Akhir-akhir ini deteksi dan identifikasi fitoplasma lebih didasarkan pada karakteristik molekuler, khususnya terhadap gen 16S rRNA (Alvarez et al.2005, Zhaoet al.2010). Klasifikasi pendahuluan pada fitoplasma yang belum diketahui dapat dilakukan menggunakan analisis randomly fragment length polymorphism (RFLP) dari hasil amplifikasi fragmen DNA dengannested PCR pada daerah 16S rRNA dan kemudian dibandingkan dengan grup 16S rRNA fitoplasma yang sudah ada (CIAT 2002, 2004, Alvarez et al. 2003, 2004). Fragmen hasil amplifikasi (amplikon) kemudian disekuen dan didepositkan ke GenBank sebagai referensi bagi peneliti yang lain (Sharmillaet al.2004).

Nested PCR menjadi pilihan yang paling tepat untuk mengamplifikasi daerah 16S rRNA dengan menggunakan pasangan primer universal yang kemudian diikuti dengan pasangan primer produk hasil PCR yang pertama. Nested PCR didesain memiliki sensitifitas yang tinggi dan spesifik untuk amplifikasi fitoplasma. Teknik ini digunakan untuk mengantisipasi sedikitnya jumlah patogen yang ditemukan pada jaringan floem (Lee et al.1994, Gundersen & Lee 1996, Ammaret al.2005, Nejatet al.2009).

Pasangan primer yang digunakan dalam PCR yang diturunkan dari sekuen DNA ribosom atau non ribosomal telah digunakan untuk mendeteksi fitoplasma pada daun, bunga jantan, jaringan batang atau akar tanaman kelapa (Harrison et al. 1999). Fitoplasma lebih mudah dideteksi dari jaringan yang masih muda daripada jaringan yang sudah tua (Escamilla et al. 1995, Harrison et al. 1995). Mpunami (1997) menyebutkan bahwa DNA fitoplasma terdeteksi dari semua

jaringan merismatik contoh, meliputi petiole daun yang masih sangat muda, daerah di bawah titik tumbuh, ujung akar, bunga jantan dan daun tombak. Konsentrasi paling tinggi ditemukan pada petiole daun yang belum membuka/daun tombak, ujung akar dan daerah di bawah titik tumbuh.

Klasifikasi Fitoplasma

Klasifikasi Konvensional dan Berdasarkan Gen 16S rRNA dan Gen Lain

Klasifikasi fitoplasma berdasarkan metode konvensional, yaitu lebih banyak didasarkan atas sifat-sifat fenotip terutama pada gejala penyakit tanaman yang ditimbulkan, masih belum memuaskan. Suatu fitoplasma dapat menyebabkan perbedaan gejala penyakit pada tanaman yang berbeda atau gejala penyakit yang sama dapat disebabkan oleh fitoplasma yang berbeda (Leeet al. 2000). Metode ini juga dinilai kurang efektif karena fitoplasma termasuk dalam patogen obligat sehingga sangat sulit dibiakan dalam media buatan. Kesulitan ini mengakibatkan proses determinasi status taksonomi dengan serangkaian uji morfologi, fisiologi dan biokimia dalam media buatan seperti halnya pada kelompok bakteri yang lain menjadi rumit (Murray et al. 1990). Oleh karena itu, pendekatan molekuler dibutuhkan untuk menjadi acuan utama dalam studi klasifikasi fitoplasma saat ini. Klasifikasi fitoplasma secara molekuler berdasarkan pada data sekuen genomik dapat dilakukan tanpa membutuhkan biakan bakteri hidup (Leeet al.2010).

Sampai saat ini, klasifikasi dan penamaan spesies fitoplasma utamanya didasarkan pada gen 16S rRNA yang sebagian besar peneliti mengacu pada sistem taksonomi untuk bakteri yang tidak dapat dibiakankan (Murray & Schleifer 1994). Penamaan patogen baru sebatas kandidat fitoplasma (Ca. Phytoplasma). Kini

telah diketahui 28 spesies ‘Ca. Phytoplasma’ yang telah dinamai berdasarkan pada kriteria yang direkomendasikan oleh International Research Program on Comparative Mycoplasmology, Phytoplasma/ Spiroplasma Working Team Phytoplasma Taxonomy Group(IRPCM 2004).

Penentuan gen 16S rRNA untuk klasifikasi fitoplasma terletak pada kestabilan gennya. Karena itu primer oligonukleotida universal relatif mudah didesain dari banyak sekuen yang tersedia di database GenBank. Namun demikian, karena tingginya kestabilan gennya, maka gen 16S rRNA tak sebanding

untuk pembedaan yang tepat antar strain fitoplasma. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa subgroup dari satu strain yang mempunyai sifat biologi yang berbeda (Zaoet al.2010).

Nilai ambang kesamaan antar sekuen gen 16S rRNA adalah 97.5%. Nilai ini direkomendasikan oleh International Research Program for Comparative Mycoplasmology, Phytoplasma/Spiroplasma Working Team(IRPCM 2004) untuk

memisahkan dua spesies ‘Ca. Phytoplasma’. Namun demikian, nilai ini tidak dapat digunakan secara sembarangan sebagai pedoman untuk menentukan spesies baru. Hal ini karena gen 16S rRNA bersifat sangat stabil sehingga mengecualikan banyak strain fitoplasma yang berbeda secara ekologi dan biologi. Spesifikasi spesies fitoplasma baru juga membutuhkan tambahan properti biologi seperti hubungannya dengan tanaman inang dan vektor (Leeet al.2010).

Penggunaan sistem banyak gen akan memberikan kriteria molekuler untuk klasifikasi fitoplasma sampai tingkat spesies dan strain yang lebih baik. Kelemahan sistem berdasarkan gen 16S rRNA sebagai sistem klasifikasi strain fitoplasma akan tertutupi dengan penambahan marka-marka molekuler lain sebagai parameter baru. Beberapa marka molekuler, selain gen 16S rRNA, telah berhasil diidentifikasi dan menunjukkan hasil yang lebih baik dalam mengklasifikasikan strain ekologis patogen tersebut (Hodgetts & Dickinson 2010).

Beberapa marka molekuler mempunyai potensi lebih besar untuk mendukung gen 16S rRNA sebagai parameter standar filogenetik tambahan, khususnya dalam mengetahui hubungan kekerabatan strain dengan sifat ekologi dan biologi tertentu. Kombinasi gen 16S rRNA dengan satu atau lebih variabel gen atau fragmen DNA, 16S rRNA dan SecY, 16S rRNA dan rp atau 16S rRNA dan SecA, terbukti cukup untuk menjelaskan dengan jelas hubungan kekerabatan antar strain (Leeet al.2004, Martiniet al.2007, Hodgetts et al.2008). Gen 16S rRNA dan ISR juga memberikan pemisahan antar strain yang lebih baik yang tidak didapat apabila hanya menggunakan gen 16S rRNA (Langer & Maixner 2004).

Kemajuan pengetahuan genom dan bioinformatik telah menghasilkan empat genom fitoplasma yang ter-sequencing(Oshimaet al.2004, Baiet al.2006, Kube

et al. 2008, Tran-Nguyen et al. 2008). Namun demikian, masih banyak proyek sequencinggenom fitoplasma yang sedang dalam proses. Kompilasi dari genom- genom ini akan memberikan kecocokan gen tambahan dari marka molekuler yang akan menjadi pilihan untuk klasifikasi fitoplasma pada tingkatan strain, spesies, genus dan populasi. Oleh karena itu, sistem klasifikasi fitoplasma sampai saat ini kebanyakan masih berdasarkan gen 16S rRNA (Leeet al.2010).

Kajian Proses Evolusi Fitoplasma

Lebih dari 1500 strain fitoplasma telah dikarakterisasi dan diidentifikasi berdasarkan pada sekuen gen 16S rRNA dalam dekade terakhir. Analisis filogenetik berdasarkan ketersediaan gen 16S rRNA dari berbagai strain fitoplasma di GenBank membuktikan bahwa fitoplasma mempunyai nenek moyang sama dengan Acholeplasma spp. dan kemudian menjadi beragam dari spesies ini (Weiet al.2007, 2008, Zhaoet al.2009).

Fitoplasma merupakan patogen yang ditularkan oleh serangga dan mempunyai kemampuan untuk berkembangbiak pada serangga vektor dan tanaman inang (Leeet al.2000). Karenanya strain fitoplasma mudah terpengaruh (spesifik) oleh jenis serangga dan tanaman tertentu. Termasuk strain dalam subgroup 16Sr, selektifitas masing-masing strain fitoplasma telah memudahkan proses evolusi dan atau isolasi populasi atau strain fitoplasma tertentu sepanjang waktu. Bahkan, distribusi spesies tanaman inang dan serangga vektor yang berbeda-beda diduga juga akan mempengaruhi proses isolasi geografis strain fitoplasma (Leeet al.2010).

Interaksi segitiga antara fitoplasma, vektor dan tanaman inang berkontribusi terhadap kompleksitas ekologi fitoplasma. Setiap strain fitoplasma mempunyai sifat-sifat ekologi tertentu serta kenampakan biologi yang khas, seperti spesifitas terhadap jenis tanaman dan vektor maupun gejalanya pada tanaman yang

Dokumen terkait