• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN

Dalam dokumen MODAL SOSIAL DAN KETAHANAN EKONOMI OJEK (Halaman 16-42)

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Skripsi ini secara umum membahas peran modal sosial dengan

mengambil studi pada Ojek Pangkalan Salemba (OPS) di Salemba Raya,

Jakarta Pusat. Secara khusus, skripsi ini mendeskripsikan latar belakang

terbentuknya modal sosial OPS dan perannya bagi ketahanan ekonomi OPS

di Salemba Raya, Jakarta Pusat di tengah-tengah maraknya ojek berbasis

aplikasi – online.

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi tidak dapat dielakkan

oleh masyarakat. Masyarakat harus menyesuaikan diri – beradaptasi dengan

kemajuan teknologi. Sementara itu di Indonesia, pemanfaatan teknologi telah

memberikan manfaat pada sektor jasa transportasi. Hal itu kini berimplikasi

pada sektor jasa transportasi ojek di Indonesia. Moda transportasi ojek

berbasis aplikasi (ojek online) telah menggeser moda transportasi ojek

konvensional (ojek pangkalan) dalam hal mendapatkan penumpang.

Jasa transportasi ojek online saat ini lebih diminati ketimbang ojek

pangkalan. Seperti yang diutarakan oleh Direktur Jendral Perhubungan Darat,

Djoko Sasono bahwa ojek online digemari masyarakat karena memenuhi dua

prinsip: biaya murah dan kepastian (Aditiasari, Kemenhub: Masyarakat

Senang Pakai Ojek Digital Meski Rawan Kecelakaan, diakses dari

http://www.detik.com/finance/berita-ekonomi-bisnis/d-3053278/kemenhub-2

masyarakat-senang-pakai-ojek-digital-meski-rawan-kecelakaan). Pada

dasarnya, ada tiga pilar utama yang membuat ojek online menggeser

keberadaan ojek pangkalan: keamanan, kepastian dan kecepatan (3

Kekurangan dan 4 Kelebihan Dari Jasa Ojek Online, diakses dari

http://www.ojekindonesia.net/2016/10/kekurangan-dan-kelebihan-dari-jasa-ojek.html?=1).

Di sisi lain, banyak ojek pangkalan yang membubarkan dirinya karena

tidak mampu bersaing dengan ojek online. Selain itu, beberapa ojek

pangkalan yang masih bertahan justru tidak menunjukkan hal-hal positif.

Pemberitaan diwarnai dengan perilaku kejahatan berujung kekerasan oleh

tukang ojek pangkalan terhadap pengemudi ojek online (Antara, Lagi

Pengemudi Go-Jek Diamuk Tukang Ojek, diakses dari

http://wartakota.tribunnews.com/2015/10/31/lagi-pengemudi-go-jek-diamuk-tukang-ojek).

3

Tabel I.A.1. Bentuk Penolakan Ojek Pangkalan terhadap Ojek Online

No Lokasi Kasus Tahun Sumber

1. Gambir

(Jakarta Pusat),

Manggarai

(Jakarta

Selatan)

Pengusiran

paksa ojek

online yang

menurunkan

penumpang

dekat stasiun

2015 Larasati,

Rawan Dijalan, Driver Ojek Online

Gunakan Siasat Ini,

diakses

dari

http://bisnispost.com/news/

megapolitan/2015/08/27/ra

wan-dijalan-driver-ojek-online-gunakan-siasat-ini.

2. Kelapa Gading

(Jakarta Utara),

Kalibata City

(Jakarta

Selatan)

Memasang

spanduk yang

berisi larangan

bagi ojek

online untuk

melintasi

daerah tersebut

2015 Armindya dan Siregar,

Gojek Ditolak, Pengemudi Grab Bike Ini Aman-Aman

Saja,

diakses dari

http://tempo.co/read/news/2

015/07/10/083682733/goje

k-ditolak-pengemudi-grabbike

-ini-aman-aman-saja

3. Tebet (Jakarta

Selatan)

Bentrokan

fisik antara

ojek pangkalan

dengan ojek

online

2016 Fauzy,

Kronologi Bentrok Grab Bike dengan Ojek

Pangkalan di Tebet,

diakses

dari

http://okezone.com/read/20

16/02/04/338/1304899/kron

ologi-bentrok-grabbike-

dengan-ojek-pangkalan-di-tebet

4. Kebayoran

Lama (Jakarta

Selatan)

Penganiayaan

(pemukulan)

terhadap ojek

online

2016 Ronald,

Dituding Ambil Penumpang, Driver Ojek

Online Dipukul Ojek

Pangkalan,

diakses dari

http://merdeka.com/tag/p/m

atcont-

penganiayaan/dituding-

ambil-penumpang-

pengemudi-ojek-online-

dipukul-ojek-pangkalan.html

5. Palembang Pengeroyokan

terhadap ojek

online

2017 Haryanto,

Tarik Penumpang, Pengemudi

Ojek Online Opang,

diakses

dari

http://daerah.sindonews.co

m/read/1173853/190/tarik-

penumpang-pengemudi-

ojek-online-dikeroyok-opang-1485264807

4

Citra ojek pangkalan semakin buruk ditambah dengan permasalahan

sistem pengelolaan mereka, misalnya penetapan tarif. Terdapat perbedaan

tarif yang signifikan antara ojek pangkalan dengan ojek online. Feby seorang

pengguna jasa ojek online mengatakan, “Dari Senayan hingga Jalan Abdul

Muis, Saya bisa cuma bayar 28 ribu, kalau ojek pangkalan pasti nembak

(harga) minimal 40 ribu”. (Yudhistira, Go-Jek: Antara Pangkalan dan Waktu

Luang, diakses dari

http://katadata.co.id/telaah/2015/07/28/go-jek-antara-pangkalan-dan-waktu-luang).

Bertolak belakang dengan hal itu, ternyata masih ada komunitas ojek

pangkalan yang mampu bertahan tanpa harus melakukan

perbuatan-perbuatan seperti dijelaskan di atas. Ojek Pangkalan Salemba (OPS) di

Salemba Raya, Jakarta Pusat, merupakan salah satu ojek pangkalan yang

bertahan di tengah-tengah keberadaan ojek online. Mereka memiliki

penumpang yang tetap percaya menggunakan jasa mereka. Bagaimana

kepercayaan itu tetap ada tidak terlepas dari bagaimana jaringan atau

hubungan dibangun di atas komitmen terhadap norma-norma yang dipegang

teguh bersama. Hal ini menunjukkan bahwa memang diperlukan modal dalam

bentuk lain yang berguna untuk menciptakan ketahanan ekonomi yang baik

bagi ojek pangkalan.

Beberapa pemberitaan menjadi bukti dan mendukung asumsi peneliti –

bahwa modal sosial berperan bagi ketahanan ekonomi ojek pangkalan.

Misalnya Rahmat, seorang tukang ojek pangkalan di bilangan Rawamangun,

Jakarta Timur, menuturkan, “Saya hanya bisa berdoa dan bersikap ramah

5

kepada pelanggan”. (Sari, Ini Pesan Tukang Ojek Pangkalan ke Gojek Saat

Ambil Penumpang, diakses dari

http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-pesan-tukang-ojek-pangkalan-ke-gojek-saat-ambil-penumpang.html).

Selanjutnya, ojek pangkalan di Kiaracondong, Bandung, memiliki spanduk

yang bertuliskan, “Pangkalan Ojek Zamov, Jalur Bebas, Semua Jenis Ojek

Silahkan Masuk, Rejeki Sudah Ada Yang Ngatur”. (Wahidi, Pangkalan Ojek

Zamov: Rejeki Sudah Ada yang Ngatur, diakses dari

http://www.radarempoa.com/2015/09/pangkalan-ojek-zamov-rejeki-sudah-ada-yang-ngatur.html). Ojek pangkalan sejatinya memiliki keunggulan

tersendiri dibandingkan dengan ojek online. Misalnya sebagaimana

dituturkan oleh pengguna jasa ojek pangkalan, Dwi Ayu, “Enakan naik abang

ojek (pangkalan), enak diajak ngobrol dan tahu jalan, kalau Grab Bike,

patokan jalannya suka salah padahal sudah diberitahu arahnya”.(Sari, Celah

Ojek Pangkalan Ungguli Layanan Go-Jek dan Grab Bike, diakses dari

http://www.merdeka.com/jakarta/celah-ojek-pangkalan-ungguli-layanan-go-jek-dan-grabbike.html).

Berangkat dari realitas tersebut, maka peneliti tertarik untuk

mendeskripsikan lebih dalam peran modal sosial OPS di Salemba Raya,

Jakarta Pusat bagi ketahanan ekonomi mereka. Sebagaimana telah dijelaskan,

banyaknya ojek pangkalan yang membubarkan diri juga disebabkan oleh

faktor internal – buruknya sistem pengelolaan mereka. OPS diduga peneliti

memanfaatkan modal sosial terkait dengan sistem pengelolaannya bagi

6

ketahanan ekonomi mereka. Terlepas dari penurunan jumlah penumpang,

tetapi OPS tetap masih ada sampai saat ini.

Sementara itu, beberapa ojek pangkalan yang dulunya berada di sekitar

kawasan ini tidak memiliki sistem pengelolaan yang baik – dibuktikan dengan

ketidakmampuan mereka untuk bertahan. Terkait hal ini J menceritakan,

“Rebut-rebutan penumpang kaya di opang laen yang pade bubar tuh... Dulu

tuh di Carolus ojeknye berebutan tunjuk-tunjuk.” (Wawancara dengan J,

Jakarta 4 Januari 2017). Beberapa ojek pangkalan memilih membubarkan

diri. Beberapa tukang ojek pangkalan akhirnya bekerja seacara individual

tanpa tergabung dengan komunitas ojek pangkalan. S mengungkapkan,

“Banyak juga... tapi yang bertahan kita doang satu. Sampe Opang Salemba

terdaftar jadi paguyuban nih.” (Wawancara dengan Informan S, Jakarta, 3

Oktober 2016).

Perbedaan karakter antara OPS dengan ojek pangkalan lain (yang telah

membubarkan diri) di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, menjadi alasan

khusus dilakukannya penelitian ini. Lebih jauh, langkanya studi-studi

sosiologi yang menjelaskan ketahanan ekonomi ojek pangkalan tentu sangat

disayangkan, mengingat transformasi jasa transportasi ojek di Indonesia

merupakan hal baru. Selain itu, transportasi memiliki dimensi sosial yang

penting untuk dikaji (Usman, 2015). “Faktanya masih sedikit sekali studi

-studi sosiologi terkait hal ini, karena masalah transportasi hanya bagian dari

masalah perkotan di dalam literatur sosiologi” (Usman, 2015: 31).

7

Dari latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan, maka

penelitian mengenai peran modal sosial bagi ketahanan ekonomi ojek

pangkalan merupakan hal yang menarik dan penting untuk dilakukan. Untuk

itulah skripsi ini berjudul “Modal Sosial dan Ketahanan Ekonomi Ojek

Pangkalan (Studi Kasus: Ojek Pangkalan Salemba di Salemba Raya,

Jakarta Pusat)”.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pernyataan masalah, pertanyaan penelitian yang

dirumuskan:

1. Bagaimana latar belakang terbentuknya modal sosial Ojek Pangkalan

Salemba di Salemba Raya, Jakarta Pusat?

2. Bagaimana peran modal sosial bagi ketahanan ekonomi Ojek Pangkalan

Salemba di Salemba Raya, Jakarta Pusat?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pertanyaan penelitiannya, maka tujuan penelitian

ini:

a. Untuk mendeskripsikan latar belakang terbentuknya modal sosial

Ojek Pangkalan Salemba di Salemba Raya, Jakarta Pusat.

8

b. Untuk mendeskripsikan peran modal sosial bagi ketahanan ekonomi

Ojek Pangkalan Salemba di Salemba Raya, Jakarta Pusat.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki nilai guna, baik secara teoritis

maupun praktis.

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur kajian

sosiologi terutama mengenai proses pembentukan dan peran modal

sosial bagi ketahanan ekonomi pelaku ekonomi informal, khususnya

pada sektor jasa transportasi ojek pangkalan.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan menjadi informasi bagi perkembangan

permasalahan sosial serupa di waktu mendatang. Serta menjadi evaluasi

bagi pelaku ekonomi informal umumnya dan ojek pangkalan khususnya

dalam mengatasi permasalahan terkait membentuk dan memanfaatkan

modal sosial kelompok. Selain itu, informasi ini diharapkan menjadi

bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan.

9

D. Tinjauan Pustaka

Telah banyak penelitian menggunakan modal sosial sebagai kerangka

berpikir utama. Baik menggunakan metode kualitatif (Sila, 2010; Puspitasari,

2012; Asrori, 2014; Utomo, 2015), metode kuantitatif (Thobias, Tungka dan

Rogahang, 2013) maupun metode campuran (Kamarani, 2012).

Penelitian-penelitian di atas menyimpulkan bahwa modal sosial dapat

memberikan manfaat bila digunakan. Modal sosial di antaranya mampu

mengembangkan ekonomi Lembaga Keuangan Mikro (LKM), (Sila, 2010)

dan Pedagang Kaki Lima (PKL) (Utomo, 2015). Modal sosial juga hadir

sebagai solusi pengentasan kemiskinan Rumah Tangga Miskin (RTM)

(Kamarani, 2012). Lebih dari itu, modal sosial juga berguna bagi

pemberdayaan ekonomi perempuan (Puspitasari, 2012) dan pemberdayaan

komunitas perempuan majelis taklim (Asrori, 2014). Terakhir, penelitian

modal sosial yang peneliti temui di atas berpengaruh bagi perilaku pelaku

Usaha Mikro Kecil Menegah (UMKM) (Thobias et al, 2013).

Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian di atas. Perbedaan

tersebut dapat dilihat dari subjek penelitiannya. Subjek penelitian ini adalah

ojek pangkalan, sementara penelitian-penelitian di atas tidak ada yang

menjadikan ojek pangkalan sebagai subjek penelitiannya.

Di sisi lain, selain memetakan tinjauan pustaka dari sisi teori (modal

sosial), tinjauan pustaka juga dilakukan dengan memetakan kasus atau subjek

penelitian – ojek pangkalan. Penelitian tentang ojek sepeda motor berhasil

10

peneliti temui yaitu penelitian yang dilakukan oleh Bahar dan Tamin (2010)

dengan judul “Hubungan Kualitas Pelayanan, Kepuasan dan Loyalitas

Pengguna Ojek Sepeda Motor”. Namun, penelitian tersebut berbeda dengan

penelitian ini – dilihat dari teori, fokus dan metode penelitian yang digunakan.

Selanjutnya, satu penelitian yang paling relevan berhasil peneliti temui.

Penelitian tersebut dilakukan oleh Antonius Tarigan (2003) dengan judul

“Sektor Informal: Parasitkah Mereka atau A Necessary Evil?” (Studi

Etnografi Tukang Ojek, Kelurahan Cibubur, Jakarta Timur). Penelitian

tersebut menyimpulkan bahwa efektifitas hukum publik dalam mengatur

kehidupan bersama ditentukan oleh kualitas modal sosial seperti kesepakatan,

ikatan emosional dan kekerabatan, solidaritas, intensitas interaksi yang tinggi

serta saling percaya. Oleh karena itu, Tarigan (2003) berargumen bahwa

pemerintah harus percaya adanya aturan-aturan berbasis lokal yang tidak

dapat diintervensi dan alangkah bijak ketika ia dipercayakan dan dikelola

sepenuhnya oleh kelompok masyarakat terkait.

Penelitian dari Tarigan (2003) mungkin memiliki relevansi yang besar

terhadap penelitian ini. Namun, meskipun menggunakan teori modal sosial,

penelitian Tarigan fokus kepada studi etnografi yang mencoba

membandingkan dua ojek pangkalan dengan menjelaskan persepsi dan

perilakunya, ditambah penelitian tersebut dilakukan dalam konteks sosial

yang berbeda (sebelum berkembangnya ojek online di Indonesia). Lagipula,

hasil penelitiannya dikaitkan dengan peran pemerintah. Dengan kata lain,

fokus dari penelitian tersebut berbeda dengan fokus penelitian ini.

11

Dapat disimpulkan dari pemetaan yang telah dilakukan, baik secara

teori maupun kasus, penelitian ini berbeda dan memiliki keunikannya sendiri

dengan penelitian-penelitian terdahulu. Perhatikan bagan berikut:

Gambar I.D.1. Pemetaan Penelitian Terdahulu

OJEK SEPEDA MOTOR:

1. Hubungan Kualitas Pelayanan,

Kepuasan dan Loyalitas Pengguna

Ojek Sepeda Motor, (Bahar dan

Tamin, 2010)

MODAL SOSIAL:

1. LKM dan Pengentasan

Kemiskinan (Sila, 2010)

2. Perempuan dan Penguatan

Ekonomi Keluarga (Puspitasari,

2012)

3. RTM dan Pengentasan

Kemiskinan Kemiskinan

(Kamarani, 2012)

4. Pelaku UMKM (Thobias et al,

2013)

5. Perempuan Majelis Taklim,

(Asrori, 2014)

MODAL SOSIAL OJEK

PANGKALAN:

1. Studi Etnografi Ojek Pangkalan

Kel. Cibubur (Tarigan, 2003)

MODAL SOSIAL DAN

KETAHANAN EKONOMI

OJEK PANGKALAN:

1. Studi Kasus Ojek Pangkalan

Salemba, Jakarta Pusat. (Rusydan,

2017)

12

Sementara itu, tinjauan pustaka yang telah dilakukan dapat dilihat

dengan jelas seperti di bawah ini:

Tabel I.D.1.Tinjauan Pustaka

•Tarigan: "Sektor Informal: Parasitkah Mereka atau A Necessary Evil? (Studi Etnografi Tukang Ojek, Kelurahan Cibubur, JakartaTimur)”

•Sila: “Lembaga Keuangan Mikro dan Pengentasan Kemiskinan: Kasus Lumbung Pitih Nagari diPadang”

•Asrori: “Pemberdayaan Perempuan Majlis Taklim Daarunnisa: Analisis Kapital Sosial”

•Utomo: "Peran Modal Sosial Terhadap Perkembangan Pedagang Kaki Lima Asal Daerah Padang di Sandratex Rempoa Ciputat"

•Kamarani: “Analisis Modal Sosial Sebagai Salah Satu Upaya dalam Pengentasan Kemiskinan: Studi Kasus: Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang”

•Thobias, Tungka dan Rogahang: “Pengaruh Modal Sosial Terhadap Perilaku Kewirausahawan: Studi Pada Pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah di Kecamatan Kabaruan Kabupaten Kepulauan Talaud”Bahar, Taslim dan Tamin: “Hubungan Kualitas pelayanan, Kepuasan dan Loyalitas Pengguna Ojek SepedaMotor”

•Bahar dan Tamim: "Hubungan Kualitas Pelayanan, Kepuasan dan Loyalitas Pengguna Ojek Sepeda Motor"

•Puspitasari: "Modal Sosial Perempuan dalam Penguatan Ekonomi Rumah Tangga"

Judul

•Tarigan : Modal Sosial (Ojek Pangkalan)

•Sila : Modal Sosial (Lembaga Kredit Mikro)

•Asrori : Modal Sosial (Majelis Taklim)

•Utomo : Modal Sosial (PKL)

•Kamarani : Modal Sosial (Rumah Tangga Miskin)

•Thobias, Tungka dan Rogahang : Modal Sosial (UMKM)

•Bahar dan Tamin : Kualitas Pelayanan, Kepuasan dan Loyalitas (Ojek Sepeda Motor)

•Puspitasari : Modal Sosial (Perempuan dalam Keluarga)

Teori

(Subjek)

•Tarigan : Etnografi dan Efektifitas Hukum Publik

•Sila : Pengentasan Kemiskinan

•Asrori : Pemberdayaan Perempuan

•Utomo : Pengembangan Ekonomi

•Kamarani : Pengentasan Kemiskinan

•Thobias, Tungka dan Rogahang : Perngembangan Ekonomi

•Bahar dan Tamin : Hubungan Kualitas Pelayanan dengan Kepuasan dan Loyalitas

•Puspitasari : Pemberdayaan Perempuan dan Pengembangan

Ekonomi

13

Dari tinjauan pustaka yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa

kesimpulan. Meskipun penelitian ini dengan penelitian Tarigan memiliki

kesamaan dari sisi teori dan subjek penelitiannya, akan tetapi berbeda dari sisi

fokus penelitiannya. Dengan demikian, penelitian ini memiliki keunikannya

sendiri dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

E. Kerangka Teoritis

1. Modal Sosial (social capital)

Coleman (1989) melihat modal sosial sebagai keseluruhan sesuatu

yang diarahkan atau diciptakan untuk memudahkan tindakan individu dalam

struktur sosialnya. Sementara itu Putnam mengatakan, Sedangkan modal

fisik mengacu kepada objek-objek fisik dan modal manusia mengacu

kepada properti individu, modal sosial merujuk kepada hubungan antara

individu, jaringan sosial dan norma-norma timbal balik serta kepercayaan

yang timbul dari mereka” (2000: 19).

Analisa Coleman (1989) terhadap modal sosial memasukkan unsur

hubungan horisontal dan vertikal – dapat dilihat dari keterkaitan antara

ketimpangan sosial dengan prestasi akademik di sekolah. Sementara

gagasan modal sosial dari Putnam (2000) fokus pada hubungan horisontal

yang bersifat resiprokal antara berbagai elemen masyarakat sipil. Putnam

pada gilirannya – berdasarkan definisi modal sosialnya – lebih menitik

beratkan kepada jaringan sebagai unsur modal sosial. Menurut Putnam

14

(2000), ada dua bentuk modal sosial: bonding social capital (modal sosial

mengikat) dan bridging social capital (modal sosial menjembatani).

Merujuk pada Sila (2010), penjelasan konsep modal sosial Putnam

memang lebih sempit dibandingkan dengan Coleman yang memasukkan

hubungan-hubungan horisontal dan vertikal sekaligus, serta juga perilaku di

dalam dan antara seluruh pihak dalam masyarakat. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa modal sosial Coleman dan Putnam berada pada level yang

berbeda. Modal sosial Coleman diidentifikasi berada pada analisa level

meso. Gagasan Putnam tentang modal sosial berada pada analisa level

mikro. Hal ini dikarenakan penjelasan Putnam tidak melibatkan unsur

hubungan vertikal di dalamnya.

Modal sosial Putnam menunjukkan relevansinya dengan penelitian ini

karena penelitian ini berada pada tingkat level mikro. Penelitian ini ingin

melihat hubungan horisontal antar sesama anggota OPS, antara anggota

OPS dengan pengemudi ojek online dan penumpang. Penelitian ini

dikatakan bersifat mikro karena tidak memasukkan unsur hubungan

vertikal. Dengan kata lain, peneliti tidak melihat hubungan OPS dengan

pemerintah, kebijakan maupun otoritas tertentu.

15

Gambar I.E.1.1 Level Modal Sosial Coleman dan Putnam

Terakhir yang juga penting untuk diingat, baik Coleman dan Putnam

sama-sama mengakui bahwa modal sosial dapat bertambah maupun

berkurang dari waktu ke waktu (Field, 2010). Sama halnya Coleman dan

Putnam, Fukuyama (2002) menjelaskan bahwa setiap kelompok memiliki

potensi modal sosial – sejauh mana ia dimanfaatkan berkenaan dengan

radius kepercayaan. Penelitian ini diarahkan kepada deskripsi tentang

bagaimana Ojek Pangkalan Salemba (OPS) menciptakan dan

memanfaatkan modal sosialnya sehingga memiliki ketahanan ekonomi yang

baik.

2. Unsur-Unsur Modal Sosial (Norma, Jaringan dan Kepercayaan)

Unsur yang pertama yaitu norma-norma sosial (social norms). Secara

umum norma merupakan nilai yang bersifat kongkret. Diciptakan untuk

Meso: Hubungan Horisontal

dan Vertikal

• Coleman

Mikro: Hubungan

Horisontal

• Putnam

Social

Caiptal

16

menjadi panduan bagi setiap individu untuk berperilaku sesuai dengan

aturan yang berlaku di masyarakat. Terkait hal ini, Putnam (2000)

menjelaskan bahwa nilai-nilai terkandung di dalam suatu jaringan sosial.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa posisi nilai-nilai menjadi penting

sebagai pengikat atau perekat – kohesifitas – mempersatukan dalam

menjalin hubungan.

Sementara itu menurut Fukuyama:

Pada umumnya norma yang terbentuk secara spontan cenderung bersifat

informal, dalam arti tidak dituliskan dan diumumkan. Selain merentangkan

norma-norma sosial, mulai dari norma sosial hierarkis hingga norma

spontan, kita juga dapat merentangkan norma lainnya hasil pilihan rasional,

serta norma turun menurun dan arasional. (2005: 179).

Gambar I.E.2.1. Jagat Norma

Rasional

Arasional

(Sumber: Fukuyama, 2005: 180)

Fukuyama (2005) menjelaskan lebih lanjut, bahwa akan terbentuk 4

macam norma dengan 4 sifat yang berbeda: spontan-arasional (alami teratur

sendiri), spontan rasional (tertata sukarela), hierarkis-arasional (keagamaan)

dan hierarkis-rasional (politis). Kemudian, Putnam (2000) menjelaskan

Terbentuk Secara Hierarkis

17

bahwa nilai dan norma yang terkandung dalam jaringan sosial akan

memunculkan kepercayaan. Sama halnya Putnam, bagi Fukuyama (2002)

nilai dan norma merupakan pra kondisi – pondasi yang melandasi timbulnya

kepercayaan.

Fukuyama (2005) meyakini bahwa “norma-norma informal tidak akan

hilang dari kehidupan masyarakat modern dan sepertinya akan tetap

demikian di kemudian hari” (h. 230). Lebih penting lagi, norma-norma ini

menciptakan – meminjam istilah Fukuyama (2002) – kebajikan sosial

(social virtues). Kebajikan-kebajikan sosial:

Beberapa rangkaian kebajikan individu yang bersifat sosial di antaranya

adalah kejujuran, keterandalan, kesediaan untuk bekerja sama dengan orang

lain, kekompakkan dan

sense of duty

terhadap orang lain... Modal sosial

memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma yang berlaku, dan dalam

konteksnya termanifestasikan dalam kebajikan-kebajikan sosial umum –

kesetiaan, kejujuran, kekompakkan dan

dependability

. (Fukuyama, 2002:

65).

Unsur modal sosial selanjutnya adalah jaringan sosial (social

networking). Definisi jaringan sebagai unsur modal sosial adalah

“Sekelompok orang yang memiliki norma-norma atau nilai-nilai informal

di samping norma-norma atau nilai-nilai yang diperlukan untuk transaksi

biasa di pasar” (Fukuyama, 2005: 245). Pertukaran informasi yang diwadahi

oleh jaringan untuk berinteraksi akhirnya berkontribusi memunculkan

kepercayaan di antara mereka (Fukuyama, 2002).

Putnam membagi dua jenis modal sosial dilihat dari sisi jaringan.

Menurut Putnam (2000) ada dua jenis modal sosial yang didasarkan pada

kemampuan kelompok mengasosiasikan dirinya dengan kelompok lain:

18

bonding social capital (modal sosial mengikat) dan bridging social capital

(modal sosial menjembatani). Sila menjelaskan terkait hal ini:

Yang pertama mengacu pada modal sosial yang berasal dari

identitas-identitas bersifat eksklusif seperti persekutuan yang berbasis suku atau

agama. Yang kedua bersifat inklusif karena mengacu pada jaringan

persekutuan yang lebih luas melewati basis kesukuan atau keagamaan yang

cenderung homogen. (Sila, 2010: 6).

Modal sosial mengikat cenderung mendorong identitas eksklusif dan

mempertahankan homogenitas sedangkan modal sosial menjembatani

cenderung menyatukan dari beragam ranah sosial (Putnam, 2000).

Masing-masing bentuk tersebut mampu menyatukan kebutuhan yang berbeda.

Modal sosial yang mengikat adalah sesuatu yang jadi perekat dan

memperkuat identitas spesifik (Putnam, 2000). Modal sosial yang

menjembatani merupakan hubungan-hubungan yang menjembatani lebih

baik dalam menghubungkan aset eksternal dan bagi persebaran informasi

dan dapat membangun identitas dan timbal balik yang lebih luas (Putnam,

2000).

Putnam (2000) dalam Asrori (2014) dijelaskan:

Bridging

ditandai oleh hubungan sosial yang bersifat terbuka (inklusif), para

anggotanya mempunyai latar belakang yang heterogen. Orientasi kelompok

ini lebih ditekankan upaya-upaya bersama dalam mencari jawaban atas

permasalahan bersama, serta mempunyai cara pandangan keluar

outward

looking

. Sedangkan

bonding

yaitu kapital sosial bersifat eksklusif,

keanggotannya biasanya didasarkan atas berbagai kesamaan, seperti

kesamaan suku, etnis dan agama, hubungan antar individu bersifat tertutup,

lebih mengutamakan solidaritas dan kepentingan kelompok. (h. 761).

19

Dalam pembahasan Putnam, dapat disimpulkan bahwa jaringan dan

kerja sama tidak dapat dipisahkan. Bonding social capital berperan dalam

menciptakan identitas bersama yang kuat. Hal ini penting sebagai salah satu

syarat menumbuhkan kerja sama internal kelompok. Dalam proses

pembentukan jaringan, menumbuhkan iklim kerja sama adalah syarat lain

selain nilai dan norma bersama (Fukuyama, 2005). Bridging social capital

pada gilirannya berperan penting bagi kelompok untuk menciptakan

perluasan kerja sama terhadap kelompok lain.

Mengembangkan jaringan-jaringan yang didasarkan pada

Dalam dokumen MODAL SOSIAL DAN KETAHANAN EKONOMI OJEK (Halaman 16-42)

Dokumen terkait