PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Skripsi ini secara umum membahas peran modal sosial dengan
mengambil studi pada Ojek Pangkalan Salemba (OPS) di Salemba Raya,
Jakarta Pusat. Secara khusus, skripsi ini mendeskripsikan latar belakang
terbentuknya modal sosial OPS dan perannya bagi ketahanan ekonomi OPS
di Salemba Raya, Jakarta Pusat di tengah-tengah maraknya ojek berbasis
aplikasi – online.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi tidak dapat dielakkan
oleh masyarakat. Masyarakat harus menyesuaikan diri – beradaptasi dengan
kemajuan teknologi. Sementara itu di Indonesia, pemanfaatan teknologi telah
memberikan manfaat pada sektor jasa transportasi. Hal itu kini berimplikasi
pada sektor jasa transportasi ojek di Indonesia. Moda transportasi ojek
berbasis aplikasi (ojek online) telah menggeser moda transportasi ojek
konvensional (ojek pangkalan) dalam hal mendapatkan penumpang.
Jasa transportasi ojek online saat ini lebih diminati ketimbang ojek
pangkalan. Seperti yang diutarakan oleh Direktur Jendral Perhubungan Darat,
Djoko Sasono bahwa ojek online digemari masyarakat karena memenuhi dua
prinsip: biaya murah dan kepastian (Aditiasari, Kemenhub: Masyarakat
Senang Pakai Ojek Digital Meski Rawan Kecelakaan, diakses dari
http://www.detik.com/finance/berita-ekonomi-bisnis/d-3053278/kemenhub-2
masyarakat-senang-pakai-ojek-digital-meski-rawan-kecelakaan). Pada
dasarnya, ada tiga pilar utama yang membuat ojek online menggeser
keberadaan ojek pangkalan: keamanan, kepastian dan kecepatan (3
Kekurangan dan 4 Kelebihan Dari Jasa Ojek Online, diakses dari
http://www.ojekindonesia.net/2016/10/kekurangan-dan-kelebihan-dari-jasa-ojek.html?=1).
Di sisi lain, banyak ojek pangkalan yang membubarkan dirinya karena
tidak mampu bersaing dengan ojek online. Selain itu, beberapa ojek
pangkalan yang masih bertahan justru tidak menunjukkan hal-hal positif.
Pemberitaan diwarnai dengan perilaku kejahatan berujung kekerasan oleh
tukang ojek pangkalan terhadap pengemudi ojek online (Antara, Lagi
Pengemudi Go-Jek Diamuk Tukang Ojek, diakses dari
http://wartakota.tribunnews.com/2015/10/31/lagi-pengemudi-go-jek-diamuk-tukang-ojek).
3
Tabel I.A.1. Bentuk Penolakan Ojek Pangkalan terhadap Ojek Online
No Lokasi Kasus Tahun Sumber
1. Gambir
(Jakarta Pusat),
Manggarai
(Jakarta
Selatan)
Pengusiran
paksa ojek
online yang
menurunkan
penumpang
dekat stasiun
2015 Larasati,
Rawan Dijalan, Driver Ojek OnlineGunakan Siasat Ini,
diakses
dari
http://bisnispost.com/news/
megapolitan/2015/08/27/ra
wan-dijalan-driver-ojek-online-gunakan-siasat-ini.
2. Kelapa Gading
(Jakarta Utara),
Kalibata City
(Jakarta
Selatan)
Memasang
spanduk yang
berisi larangan
bagi ojek
online untuk
melintasi
daerah tersebut
2015 Armindya dan Siregar,
Gojek Ditolak, Pengemudi Grab Bike Ini Aman-AmanSaja,
diakses dari
http://tempo.co/read/news/2
015/07/10/083682733/goje
k-ditolak-pengemudi-grabbike
-ini-aman-aman-saja
3. Tebet (Jakarta
Selatan)
Bentrokan
fisik antara
ojek pangkalan
dengan ojek
online
2016 Fauzy,
Kronologi Bentrok Grab Bike dengan OjekPangkalan di Tebet,
diakses
dari
http://okezone.com/read/20
16/02/04/338/1304899/kron
ologi-bentrok-grabbike-
dengan-ojek-pangkalan-di-tebet
4. Kebayoran
Lama (Jakarta
Selatan)
Penganiayaan
(pemukulan)
terhadap ojek
online
2016 Ronald,
Dituding Ambil Penumpang, Driver OjekOnline Dipukul Ojek
Pangkalan,
diakses dari
http://merdeka.com/tag/p/m
atcont-
penganiayaan/dituding-
ambil-penumpang-
pengemudi-ojek-online-
dipukul-ojek-pangkalan.html
5. Palembang Pengeroyokan
terhadap ojek
online
2017 Haryanto,
Tarik Penumpang, PengemudiOjek Online Opang,
diakses
dari
http://daerah.sindonews.co
m/read/1173853/190/tarik-
penumpang-pengemudi-
ojek-online-dikeroyok-opang-1485264807
4
Citra ojek pangkalan semakin buruk ditambah dengan permasalahan
sistem pengelolaan mereka, misalnya penetapan tarif. Terdapat perbedaan
tarif yang signifikan antara ojek pangkalan dengan ojek online. Feby seorang
pengguna jasa ojek online mengatakan, “Dari Senayan hingga Jalan Abdul
Muis, Saya bisa cuma bayar 28 ribu, kalau ojek pangkalan pasti nembak
(harga) minimal 40 ribu”. (Yudhistira, Go-Jek: Antara Pangkalan dan Waktu
Luang, diakses dari
http://katadata.co.id/telaah/2015/07/28/go-jek-antara-pangkalan-dan-waktu-luang).
Bertolak belakang dengan hal itu, ternyata masih ada komunitas ojek
pangkalan yang mampu bertahan tanpa harus melakukan
perbuatan-perbuatan seperti dijelaskan di atas. Ojek Pangkalan Salemba (OPS) di
Salemba Raya, Jakarta Pusat, merupakan salah satu ojek pangkalan yang
bertahan di tengah-tengah keberadaan ojek online. Mereka memiliki
penumpang yang tetap percaya menggunakan jasa mereka. Bagaimana
kepercayaan itu tetap ada tidak terlepas dari bagaimana jaringan atau
hubungan dibangun di atas komitmen terhadap norma-norma yang dipegang
teguh bersama. Hal ini menunjukkan bahwa memang diperlukan modal dalam
bentuk lain yang berguna untuk menciptakan ketahanan ekonomi yang baik
bagi ojek pangkalan.
Beberapa pemberitaan menjadi bukti dan mendukung asumsi peneliti –
bahwa modal sosial berperan bagi ketahanan ekonomi ojek pangkalan.
Misalnya Rahmat, seorang tukang ojek pangkalan di bilangan Rawamangun,
Jakarta Timur, menuturkan, “Saya hanya bisa berdoa dan bersikap ramah
5
kepada pelanggan”. (Sari, Ini Pesan Tukang Ojek Pangkalan ke Gojek Saat
Ambil Penumpang, diakses dari
http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-pesan-tukang-ojek-pangkalan-ke-gojek-saat-ambil-penumpang.html).
Selanjutnya, ojek pangkalan di Kiaracondong, Bandung, memiliki spanduk
yang bertuliskan, “Pangkalan Ojek Zamov, Jalur Bebas, Semua Jenis Ojek
Silahkan Masuk, Rejeki Sudah Ada Yang Ngatur”. (Wahidi, Pangkalan Ojek
Zamov: Rejeki Sudah Ada yang Ngatur, diakses dari
http://www.radarempoa.com/2015/09/pangkalan-ojek-zamov-rejeki-sudah-ada-yang-ngatur.html). Ojek pangkalan sejatinya memiliki keunggulan
tersendiri dibandingkan dengan ojek online. Misalnya sebagaimana
dituturkan oleh pengguna jasa ojek pangkalan, Dwi Ayu, “Enakan naik abang
ojek (pangkalan), enak diajak ngobrol dan tahu jalan, kalau Grab Bike,
patokan jalannya suka salah padahal sudah diberitahu arahnya”.(Sari, Celah
Ojek Pangkalan Ungguli Layanan Go-Jek dan Grab Bike, diakses dari
http://www.merdeka.com/jakarta/celah-ojek-pangkalan-ungguli-layanan-go-jek-dan-grabbike.html).
Berangkat dari realitas tersebut, maka peneliti tertarik untuk
mendeskripsikan lebih dalam peran modal sosial OPS di Salemba Raya,
Jakarta Pusat bagi ketahanan ekonomi mereka. Sebagaimana telah dijelaskan,
banyaknya ojek pangkalan yang membubarkan diri juga disebabkan oleh
faktor internal – buruknya sistem pengelolaan mereka. OPS diduga peneliti
memanfaatkan modal sosial terkait dengan sistem pengelolaannya bagi
6
ketahanan ekonomi mereka. Terlepas dari penurunan jumlah penumpang,
tetapi OPS tetap masih ada sampai saat ini.
Sementara itu, beberapa ojek pangkalan yang dulunya berada di sekitar
kawasan ini tidak memiliki sistem pengelolaan yang baik – dibuktikan dengan
ketidakmampuan mereka untuk bertahan. Terkait hal ini J menceritakan,
“Rebut-rebutan penumpang kaya di opang laen yang pade bubar tuh... Dulu
tuh di Carolus ojeknye berebutan tunjuk-tunjuk.” (Wawancara dengan J,
Jakarta 4 Januari 2017). Beberapa ojek pangkalan memilih membubarkan
diri. Beberapa tukang ojek pangkalan akhirnya bekerja seacara individual
tanpa tergabung dengan komunitas ojek pangkalan. S mengungkapkan,
“Banyak juga... tapi yang bertahan kita doang satu. Sampe Opang Salemba
terdaftar jadi paguyuban nih.” (Wawancara dengan Informan S, Jakarta, 3
Oktober 2016).
Perbedaan karakter antara OPS dengan ojek pangkalan lain (yang telah
membubarkan diri) di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, menjadi alasan
khusus dilakukannya penelitian ini. Lebih jauh, langkanya studi-studi
sosiologi yang menjelaskan ketahanan ekonomi ojek pangkalan tentu sangat
disayangkan, mengingat transformasi jasa transportasi ojek di Indonesia
merupakan hal baru. Selain itu, transportasi memiliki dimensi sosial yang
penting untuk dikaji (Usman, 2015). “Faktanya masih sedikit sekali studi
-studi sosiologi terkait hal ini, karena masalah transportasi hanya bagian dari
masalah perkotan di dalam literatur sosiologi” (Usman, 2015: 31).
7
Dari latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan, maka
penelitian mengenai peran modal sosial bagi ketahanan ekonomi ojek
pangkalan merupakan hal yang menarik dan penting untuk dilakukan. Untuk
itulah skripsi ini berjudul “Modal Sosial dan Ketahanan Ekonomi Ojek
Pangkalan (Studi Kasus: Ojek Pangkalan Salemba di Salemba Raya,
Jakarta Pusat)”.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pernyataan masalah, pertanyaan penelitian yang
dirumuskan:
1. Bagaimana latar belakang terbentuknya modal sosial Ojek Pangkalan
Salemba di Salemba Raya, Jakarta Pusat?
2. Bagaimana peran modal sosial bagi ketahanan ekonomi Ojek Pangkalan
Salemba di Salemba Raya, Jakarta Pusat?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pertanyaan penelitiannya, maka tujuan penelitian
ini:
a. Untuk mendeskripsikan latar belakang terbentuknya modal sosial
Ojek Pangkalan Salemba di Salemba Raya, Jakarta Pusat.
8
b. Untuk mendeskripsikan peran modal sosial bagi ketahanan ekonomi
Ojek Pangkalan Salemba di Salemba Raya, Jakarta Pusat.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki nilai guna, baik secara teoritis
maupun praktis.
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur kajian
sosiologi terutama mengenai proses pembentukan dan peran modal
sosial bagi ketahanan ekonomi pelaku ekonomi informal, khususnya
pada sektor jasa transportasi ojek pangkalan.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan menjadi informasi bagi perkembangan
permasalahan sosial serupa di waktu mendatang. Serta menjadi evaluasi
bagi pelaku ekonomi informal umumnya dan ojek pangkalan khususnya
dalam mengatasi permasalahan terkait membentuk dan memanfaatkan
modal sosial kelompok. Selain itu, informasi ini diharapkan menjadi
bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan.
9
D. Tinjauan Pustaka
Telah banyak penelitian menggunakan modal sosial sebagai kerangka
berpikir utama. Baik menggunakan metode kualitatif (Sila, 2010; Puspitasari,
2012; Asrori, 2014; Utomo, 2015), metode kuantitatif (Thobias, Tungka dan
Rogahang, 2013) maupun metode campuran (Kamarani, 2012).
Penelitian-penelitian di atas menyimpulkan bahwa modal sosial dapat
memberikan manfaat bila digunakan. Modal sosial di antaranya mampu
mengembangkan ekonomi Lembaga Keuangan Mikro (LKM), (Sila, 2010)
dan Pedagang Kaki Lima (PKL) (Utomo, 2015). Modal sosial juga hadir
sebagai solusi pengentasan kemiskinan Rumah Tangga Miskin (RTM)
(Kamarani, 2012). Lebih dari itu, modal sosial juga berguna bagi
pemberdayaan ekonomi perempuan (Puspitasari, 2012) dan pemberdayaan
komunitas perempuan majelis taklim (Asrori, 2014). Terakhir, penelitian
modal sosial yang peneliti temui di atas berpengaruh bagi perilaku pelaku
Usaha Mikro Kecil Menegah (UMKM) (Thobias et al, 2013).
Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian di atas. Perbedaan
tersebut dapat dilihat dari subjek penelitiannya. Subjek penelitian ini adalah
ojek pangkalan, sementara penelitian-penelitian di atas tidak ada yang
menjadikan ojek pangkalan sebagai subjek penelitiannya.
Di sisi lain, selain memetakan tinjauan pustaka dari sisi teori (modal
sosial), tinjauan pustaka juga dilakukan dengan memetakan kasus atau subjek
penelitian – ojek pangkalan. Penelitian tentang ojek sepeda motor berhasil
10
peneliti temui yaitu penelitian yang dilakukan oleh Bahar dan Tamin (2010)
dengan judul “Hubungan Kualitas Pelayanan, Kepuasan dan Loyalitas
Pengguna Ojek Sepeda Motor”. Namun, penelitian tersebut berbeda dengan
penelitian ini – dilihat dari teori, fokus dan metode penelitian yang digunakan.
Selanjutnya, satu penelitian yang paling relevan berhasil peneliti temui.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Antonius Tarigan (2003) dengan judul
“Sektor Informal: Parasitkah Mereka atau A Necessary Evil?” (Studi
Etnografi Tukang Ojek, Kelurahan Cibubur, Jakarta Timur). Penelitian
tersebut menyimpulkan bahwa efektifitas hukum publik dalam mengatur
kehidupan bersama ditentukan oleh kualitas modal sosial seperti kesepakatan,
ikatan emosional dan kekerabatan, solidaritas, intensitas interaksi yang tinggi
serta saling percaya. Oleh karena itu, Tarigan (2003) berargumen bahwa
pemerintah harus percaya adanya aturan-aturan berbasis lokal yang tidak
dapat diintervensi dan alangkah bijak ketika ia dipercayakan dan dikelola
sepenuhnya oleh kelompok masyarakat terkait.
Penelitian dari Tarigan (2003) mungkin memiliki relevansi yang besar
terhadap penelitian ini. Namun, meskipun menggunakan teori modal sosial,
penelitian Tarigan fokus kepada studi etnografi yang mencoba
membandingkan dua ojek pangkalan dengan menjelaskan persepsi dan
perilakunya, ditambah penelitian tersebut dilakukan dalam konteks sosial
yang berbeda (sebelum berkembangnya ojek online di Indonesia). Lagipula,
hasil penelitiannya dikaitkan dengan peran pemerintah. Dengan kata lain,
fokus dari penelitian tersebut berbeda dengan fokus penelitian ini.
11
Dapat disimpulkan dari pemetaan yang telah dilakukan, baik secara
teori maupun kasus, penelitian ini berbeda dan memiliki keunikannya sendiri
dengan penelitian-penelitian terdahulu. Perhatikan bagan berikut:
Gambar I.D.1. Pemetaan Penelitian Terdahulu
OJEK SEPEDA MOTOR:
1. Hubungan Kualitas Pelayanan,
Kepuasan dan Loyalitas Pengguna
Ojek Sepeda Motor, (Bahar dan
Tamin, 2010)
MODAL SOSIAL:
1. LKM dan Pengentasan
Kemiskinan (Sila, 2010)
2. Perempuan dan Penguatan
Ekonomi Keluarga (Puspitasari,
2012)
3. RTM dan Pengentasan
Kemiskinan Kemiskinan
(Kamarani, 2012)
4. Pelaku UMKM (Thobias et al,
2013)
5. Perempuan Majelis Taklim,
(Asrori, 2014)
MODAL SOSIAL OJEK
PANGKALAN:
1. Studi Etnografi Ojek Pangkalan
Kel. Cibubur (Tarigan, 2003)
MODAL SOSIAL DAN
KETAHANAN EKONOMI
OJEK PANGKALAN:
1. Studi Kasus Ojek Pangkalan
Salemba, Jakarta Pusat. (Rusydan,
2017)
12
Sementara itu, tinjauan pustaka yang telah dilakukan dapat dilihat
dengan jelas seperti di bawah ini:
Tabel I.D.1.Tinjauan Pustaka
•Tarigan: "Sektor Informal: Parasitkah Mereka atau A Necessary Evil? (Studi Etnografi Tukang Ojek, Kelurahan Cibubur, JakartaTimur)”
•Sila: “Lembaga Keuangan Mikro dan Pengentasan Kemiskinan: Kasus Lumbung Pitih Nagari diPadang”
•Asrori: “Pemberdayaan Perempuan Majlis Taklim Daarunnisa: Analisis Kapital Sosial”
•Utomo: "Peran Modal Sosial Terhadap Perkembangan Pedagang Kaki Lima Asal Daerah Padang di Sandratex Rempoa Ciputat"
•Kamarani: “Analisis Modal Sosial Sebagai Salah Satu Upaya dalam Pengentasan Kemiskinan: Studi Kasus: Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang”
•Thobias, Tungka dan Rogahang: “Pengaruh Modal Sosial Terhadap Perilaku Kewirausahawan: Studi Pada Pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah di Kecamatan Kabaruan Kabupaten Kepulauan Talaud”Bahar, Taslim dan Tamin: “Hubungan Kualitas pelayanan, Kepuasan dan Loyalitas Pengguna Ojek SepedaMotor”
•Bahar dan Tamim: "Hubungan Kualitas Pelayanan, Kepuasan dan Loyalitas Pengguna Ojek Sepeda Motor"
•Puspitasari: "Modal Sosial Perempuan dalam Penguatan Ekonomi Rumah Tangga"
Judul
•Tarigan : Modal Sosial (Ojek Pangkalan)
•Sila : Modal Sosial (Lembaga Kredit Mikro)
•Asrori : Modal Sosial (Majelis Taklim)
•Utomo : Modal Sosial (PKL)
•Kamarani : Modal Sosial (Rumah Tangga Miskin)
•Thobias, Tungka dan Rogahang : Modal Sosial (UMKM)
•Bahar dan Tamin : Kualitas Pelayanan, Kepuasan dan Loyalitas (Ojek Sepeda Motor)
•Puspitasari : Modal Sosial (Perempuan dalam Keluarga)
Teori
(Subjek)
•Tarigan : Etnografi dan Efektifitas Hukum Publik
•Sila : Pengentasan Kemiskinan
•Asrori : Pemberdayaan Perempuan
•Utomo : Pengembangan Ekonomi
•Kamarani : Pengentasan Kemiskinan
•Thobias, Tungka dan Rogahang : Perngembangan Ekonomi
•Bahar dan Tamin : Hubungan Kualitas Pelayanan dengan Kepuasan dan Loyalitas
•Puspitasari : Pemberdayaan Perempuan dan Pengembangan
Ekonomi
13
Dari tinjauan pustaka yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa
kesimpulan. Meskipun penelitian ini dengan penelitian Tarigan memiliki
kesamaan dari sisi teori dan subjek penelitiannya, akan tetapi berbeda dari sisi
fokus penelitiannya. Dengan demikian, penelitian ini memiliki keunikannya
sendiri dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya.
E. Kerangka Teoritis
1. Modal Sosial (social capital)
Coleman (1989) melihat modal sosial sebagai keseluruhan sesuatu
yang diarahkan atau diciptakan untuk memudahkan tindakan individu dalam
struktur sosialnya. Sementara itu Putnam mengatakan, “Sedangkan modal
fisik mengacu kepada objek-objek fisik dan modal manusia mengacu
kepada properti individu, modal sosial merujuk kepada hubungan antara
individu, jaringan sosial dan norma-norma timbal balik serta kepercayaan
yang timbul dari mereka” (2000: 19).
Analisa Coleman (1989) terhadap modal sosial memasukkan unsur
hubungan horisontal dan vertikal – dapat dilihat dari keterkaitan antara
ketimpangan sosial dengan prestasi akademik di sekolah. Sementara
gagasan modal sosial dari Putnam (2000) fokus pada hubungan horisontal
yang bersifat resiprokal antara berbagai elemen masyarakat sipil. Putnam
pada gilirannya – berdasarkan definisi modal sosialnya – lebih menitik
beratkan kepada jaringan sebagai unsur modal sosial. Menurut Putnam
14
(2000), ada dua bentuk modal sosial: bonding social capital (modal sosial
mengikat) dan bridging social capital (modal sosial menjembatani).
Merujuk pada Sila (2010), penjelasan konsep modal sosial Putnam
memang lebih sempit dibandingkan dengan Coleman yang memasukkan
hubungan-hubungan horisontal dan vertikal sekaligus, serta juga perilaku di
dalam dan antara seluruh pihak dalam masyarakat. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa modal sosial Coleman dan Putnam berada pada level yang
berbeda. Modal sosial Coleman diidentifikasi berada pada analisa level
meso. Gagasan Putnam tentang modal sosial berada pada analisa level
mikro. Hal ini dikarenakan penjelasan Putnam tidak melibatkan unsur
hubungan vertikal di dalamnya.
Modal sosial Putnam menunjukkan relevansinya dengan penelitian ini
karena penelitian ini berada pada tingkat level mikro. Penelitian ini ingin
melihat hubungan horisontal antar sesama anggota OPS, antara anggota
OPS dengan pengemudi ojek online dan penumpang. Penelitian ini
dikatakan bersifat mikro karena tidak memasukkan unsur hubungan
vertikal. Dengan kata lain, peneliti tidak melihat hubungan OPS dengan
pemerintah, kebijakan maupun otoritas tertentu.
15
Gambar I.E.1.1 Level Modal Sosial Coleman dan Putnam
Terakhir yang juga penting untuk diingat, baik Coleman dan Putnam
sama-sama mengakui bahwa modal sosial dapat bertambah maupun
berkurang dari waktu ke waktu (Field, 2010). Sama halnya Coleman dan
Putnam, Fukuyama (2002) menjelaskan bahwa setiap kelompok memiliki
potensi modal sosial – sejauh mana ia dimanfaatkan berkenaan dengan
radius kepercayaan. Penelitian ini diarahkan kepada deskripsi tentang
bagaimana Ojek Pangkalan Salemba (OPS) menciptakan dan
memanfaatkan modal sosialnya sehingga memiliki ketahanan ekonomi yang
baik.
2. Unsur-Unsur Modal Sosial (Norma, Jaringan dan Kepercayaan)
Unsur yang pertama yaitu norma-norma sosial (social norms). Secara
umum norma merupakan nilai yang bersifat kongkret. Diciptakan untuk
Meso: Hubungan Horisontal
dan Vertikal
• Coleman
Mikro: Hubungan
Horisontal
• Putnam
Social
Caiptal
16
menjadi panduan bagi setiap individu untuk berperilaku sesuai dengan
aturan yang berlaku di masyarakat. Terkait hal ini, Putnam (2000)
menjelaskan bahwa nilai-nilai terkandung di dalam suatu jaringan sosial.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa posisi nilai-nilai menjadi penting
sebagai pengikat atau perekat – kohesifitas – mempersatukan dalam
menjalin hubungan.
Sementara itu menurut Fukuyama:
Pada umumnya norma yang terbentuk secara spontan cenderung bersifat
informal, dalam arti tidak dituliskan dan diumumkan. Selain merentangkan
norma-norma sosial, mulai dari norma sosial hierarkis hingga norma
spontan, kita juga dapat merentangkan norma lainnya hasil pilihan rasional,
serta norma turun menurun dan arasional. (2005: 179).
Gambar I.E.2.1. Jagat Norma
Rasional
Arasional
(Sumber: Fukuyama, 2005: 180)
Fukuyama (2005) menjelaskan lebih lanjut, bahwa akan terbentuk 4
macam norma dengan 4 sifat yang berbeda: spontan-arasional (alami teratur
sendiri), spontan rasional (tertata sukarela), hierarkis-arasional (keagamaan)
dan hierarkis-rasional (politis). Kemudian, Putnam (2000) menjelaskan
Terbentuk Secara Hierarkis
17
bahwa nilai dan norma yang terkandung dalam jaringan sosial akan
memunculkan kepercayaan. Sama halnya Putnam, bagi Fukuyama (2002)
nilai dan norma merupakan pra kondisi – pondasi yang melandasi timbulnya
kepercayaan.
Fukuyama (2005) meyakini bahwa “norma-norma informal tidak akan
hilang dari kehidupan masyarakat modern dan sepertinya akan tetap
demikian di kemudian hari” (h. 230). Lebih penting lagi, norma-norma ini
menciptakan – meminjam istilah Fukuyama (2002) – kebajikan sosial
(social virtues). Kebajikan-kebajikan sosial:
Beberapa rangkaian kebajikan individu yang bersifat sosial di antaranya
adalah kejujuran, keterandalan, kesediaan untuk bekerja sama dengan orang
lain, kekompakkan dan
sense of dutyterhadap orang lain... Modal sosial
memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma yang berlaku, dan dalam
konteksnya termanifestasikan dalam kebajikan-kebajikan sosial umum –
kesetiaan, kejujuran, kekompakkan dan
dependability. (Fukuyama, 2002:
65).
Unsur modal sosial selanjutnya adalah jaringan sosial (social
networking). Definisi jaringan sebagai unsur modal sosial adalah
“Sekelompok orang yang memiliki norma-norma atau nilai-nilai informal
di samping norma-norma atau nilai-nilai yang diperlukan untuk transaksi
biasa di pasar” (Fukuyama, 2005: 245). Pertukaran informasi yang diwadahi
oleh jaringan untuk berinteraksi akhirnya berkontribusi memunculkan
kepercayaan di antara mereka (Fukuyama, 2002).
Putnam membagi dua jenis modal sosial dilihat dari sisi jaringan.
Menurut Putnam (2000) ada dua jenis modal sosial yang didasarkan pada
kemampuan kelompok mengasosiasikan dirinya dengan kelompok lain:
18
bonding social capital (modal sosial mengikat) dan bridging social capital
(modal sosial menjembatani). Sila menjelaskan terkait hal ini:
Yang pertama mengacu pada modal sosial yang berasal dari
identitas-identitas bersifat eksklusif seperti persekutuan yang berbasis suku atau
agama. Yang kedua bersifat inklusif karena mengacu pada jaringan
persekutuan yang lebih luas melewati basis kesukuan atau keagamaan yang
cenderung homogen. (Sila, 2010: 6).
Modal sosial mengikat cenderung mendorong identitas eksklusif dan
mempertahankan homogenitas sedangkan modal sosial menjembatani
cenderung menyatukan dari beragam ranah sosial (Putnam, 2000).
Masing-masing bentuk tersebut mampu menyatukan kebutuhan yang berbeda.
Modal sosial yang mengikat adalah sesuatu yang jadi perekat dan
memperkuat identitas spesifik (Putnam, 2000). Modal sosial yang
menjembatani merupakan hubungan-hubungan yang menjembatani lebih
baik dalam menghubungkan aset eksternal dan bagi persebaran informasi
dan dapat membangun identitas dan timbal balik yang lebih luas (Putnam,
2000).
Putnam (2000) dalam Asrori (2014) dijelaskan:
Bridging
ditandai oleh hubungan sosial yang bersifat terbuka (inklusif), para
anggotanya mempunyai latar belakang yang heterogen. Orientasi kelompok
ini lebih ditekankan upaya-upaya bersama dalam mencari jawaban atas
permasalahan bersama, serta mempunyai cara pandangan keluar
outwardlooking