• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini babi sering digunakan sebagai hewan model pembedahan untuk manusia karena memiliki kesamaan anatomi terutama pembedahan pada rongga abdomen seperti pengangkatan kantong empedu, tranplantasi hati, pemotongan usus halus dan lain-lain. Di Bali awal hingga pertengahan tahun 2020 yang lalu banyak terjadi kematian pada babi yang diduga disebabkan oleh visus African Swine Fever (ASF). Kematian sangat banyak terjadi pada babi-babi ras luar sementara babi Bali yang berwarna hitam relative lebih kuat dan sekarang masih banyak yang dipelihara oleh masyarakat. Kebutuhan babi untuk hewan model pembedahan pada manusia semakin banyak diperlukan termasuk babi Bali yang merupakan salah satu plasma nutfah yang semakin berkurang populasinya karena sedikit peternak yang memeliharanya. Akibat kematian pada babi ras luar yang sangat banyak, sekarang peternak banyak yang beralih memelihara babi Bali yang diduga memiliki ketahanan yang lebih kuat terhadap penyakit dibandingkan babi ras luar.

Anestesi umum yang sering digunakan dan dinyatakan cukup aman baik pada hewan kecil maupun pada hewan besar seperti babi adalah anestesi inhalasi, tetapi anestesi inhalasi memerlukan perangkat yang rumit, mahal, dan mempunyai waktu induksi (onset) relatif lambat, serta tidak praktis dalam menangani kasus pembedahan di lapangan.

Anestesi inhalasi seperti halotan dapat mengakibatkan keracunan organ dan menyebabkan polusi terhadap individu yang berada di ruangan operasi. Individu yang terpapar halotan subklinis mengakibatkan gangguan fungsi hati (Ernawati 2006). Dilaporkan juga anestesi inhalasi, seperti gas nitrogen oksida dan anestesi yang diuapkan dengan halogen mengakibatkan pencemaran lingkungan dan penipisan lapisan ozon (Amadasun dan Edomwonyi 2005).

Anestesi umum injeksi maupun inhalasi pada babi memiliki beberapa kelemahan seperti hipersalivasi, terbatasnya pembuluh darah perifer, bentuk anatomi laring yang menjadi penyulit dalam intubasi trakhea, serta cenderung terjadinya laringospasmus (Geovanini et al., 2008). Babi bali juga sulit untuk dikekang sehingga penyuntikan intravena sulit untuk dilakukan. Dengan kesulitan-kesulitan tersebut di atas, metode pembiusan kombinasi intramuskuler dan intravena merupakan salah satu pilihan pembiusan (Gunanti et al., 2011). Senyawa anestesi intramuskuler yang digunakan harus memiliki onset cepat dan volume pemberian yang sedikit agar pemberian obat bius dapat

2

dengan cepat dilakukan. Karakter mulai kerja obat (onset) yang cepat juga harus memiliki batas keamanan yang luas, langsung memberikan efek hipnosis, serta analgesia (Geovanini et al., 2008).

Anestetikum parenteral yang dapat diberikan melalui tetes infus intravena adalah propofol (BBraun 2009). Propofol adalah substansi parenteral sebagai agen induksi pada anestesi umum (Wanna et al. 2004) khususnya anestesi inhalasi (Dzikiti et al. 2007).

Propofol mempunyai waktu pemulihan yang singkat, tetapi mengakibatkan bradikardia dan pemberian dosis tinggi mengancam nyawa pasien. Ketamin dapat dikombinasikan dengan propofol untuk menurunkan dosis propofol dan mengurangi pengaruh depresi kardiovaskuler akibat propofol (Badrinath et al. 2000). Kombinasi ketamin dan propofol (ketapol) dapat digunakan sebagi agen induksi anestesi dan berpotensi sebagai alternatif anestesi umum inhalasi bila diberikan melalui tetes infus dalam waktu yang lama pada anjing namun belum diketahui bagaimana respon fisiologis dan dosis yang aman pada babi Bali. Untuk itu, data kualitas anestesi diperlukan apabila digunakan kombinasi tersebut sebagai anestesi untuk durasi anestesi yang panjang pada babi Bali yang sering digunakan sebagai hewan model untuk pembedahan pada manusia.

Propofol adalah substansi parenteral sebagai agen induksi pada anestesi umum (Wanna et al. 2004) khususnya anestesi inhalasi (Dzikiti et al. 2007). Propofol mempunyai waktu pemulihan yang singkat, tetapi mengakibatkan bradikardia dan pemberian dosis tinggi mengancam nyawa pasien. Ketamin hidroklorida adalah anestetikum disosiatif dari golongan nonbarbiturat dengan sifat menghilangkan rasa sakit kuat serta reaksi anestesi tidak menyebabkan ngantuk (Kul et al. 2001). Penghambatan reseptor NMDA dengan dosis ketamin rendah menghasilkan analgesik yang baik (Intelisano et al. 2008), tetapi ketamin menyebabkan kekejangan otot dan peningkatan denyut jantung (Pathak et al.1982; Kul et al. 2001). Mengatasi efek samping ketamin tersebut, sering dikombinasikan dengan premedikasi sedatif hipnotik golongan α2-adrenoceptor (xilazin) atau golongan benzodiazepin (diazepam, midazolam).

1.2 Perumusan Masalah

Pembedahan tidak dapat dilakukan bila pembiusan belum dilaksanakan, maka anestesi merupakan tahapan yang sangat penting pada tindakan pembedahan. Anestesi mempunyai resiko yang jauh lebih besar dari prosedur pembedahan karena nyawa pasien yang dianestesi dapat terancam. Untuk itu pemilihan anestesi yang ideal diperlukan dalam menghasilkan analgesia, sedasi, relaksasi, keamanan dan kenyamanan untuk sistem vital

3

tubuh , ekonomis serta mudah diaplikasikan. Sampai saat ini anestesi yang memenuhi kriteria ideal belum ada (Fossum 1997). Penggunaan babi sebagai hewan model pembedahan terutama untuk pembedahan laparoskopi semakin berkembang dan telah digunakan di berbagai negara. Penggunaan babi sebagai hewan model untuk berbagai metode pembedahan mulai giat dilaksanakan di Indonesia. Hewan babi termasuk babi bali merupakan model yang ideal untuk berbagai pelatihan teknik bedah laparoskopi karena anatomi babi secara umum memiliki kesamaan dengan anatomi manusia. Pelatihan dengan hewan babi sebagai model dapat memperhalus teknik dan meningkatkan efisiensi serta keahlian pembedahan (Gunanti et al., 2011). Sampai saat ini penelitian mengenai anestesi ketamin dan propofol pada babi terbatas pada babi ras luar sementara pada babi Bali belum banyak dilaporkan dan belum diketahui berapa dosis yang aman digunakan serta bila dikombinasikan dengan agen anestetika yang lain apakah berpengaruh terhadap lama kerja anestesinya. Disisi lainnya penggunaan babi sebagai hewan model pembedahan saat ini semakin berkembang terutama pada Ilmu Kedokteran manusia sehingga perlu dilakukan penelitian tentang anestesi pada babi Bali.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui berapa dosis yang aman dari ketamin, propofol dan kombinasinya pada babi Bali serta ingin mengetahui waktu anstesi mulai dari kerja anestesi, lama kerja anestesi dan waktu pemulihan anestesi. Di samping itu untuk mengetahui keamanan dari agen anestesi yang digunakan pada babi Bali perlu diketahui bagaimana pengaruh, dan respon fisiologis penggunaan anestesi ketamin, propofol dan kombinasinya (ketapol) pada babi Bali jika diberikan dalam waktu lama sebagai metode anestesi yang mudah dan murah, terutama bila digunakan di lapangan sebagai alternatif anestesi umum inhalasi pada bali Bali.

4

Dokumen terkait