Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membuat pengunaan TIK itu penting di karenakan berkontribusi secara signifikan terhadap perubahan dan membantu dalam pencapaian tujuan pedagosis mereka (Alharbi & Drew, 2014). Akan tetapi proliferasi faktor elektronik baru-baru ini berdampak pada penerimaan pengguna sistem informasi (Radnan & Purba, 2018). Di dalam penerimaan sebuah teknologi baru, tidak semua dapat langsung memahami perubahan teknologi tersebut terutama bagi pengguna yang berpengalaman dan yang tidak berpengalaman (S. Taylor & P. Todd, 1995). Tornatzky and Klein (1982) Menemukan bahwa semakin kompleks suatu sistem akan berdampak pada rendahnya pengguna mengadopsi sistem tersebut. Konsep Technology Acceptance Model (TAM) dikembangkan oleh Davis (1989), menawarkan teori sebagai dasar untuk belajar dan memahami perilaku pengguna dalam menerima dan menggunakan sistem informasi.
Technology Acceptance Model (TAM) memiliki teori tentang niat seseorang dalam menggunakan teknologi ditentukan oleh dua faktor, yaitu manfaat yang dirasakan yaitu tingkat keyakinan seseorang bahwa penggunaan teknologi akan meningkatkan kinerja dan persepsi kemudahan penggunaan merupakan tingkat kemampuan seseorang dan keyakinan bahwa menggunakan teknologi memudahkan penyelesaian (Venkatesh & Davis, 2000). Ketika kompleksitas teknologi informasi lebih rendah, sistem akan lebih mudah dioperasikan dan meningkatkan niat pengguna untuk menggunakan teknologi informasi (C.-C. Chen & Tsai, 2019). Dalam mengadopsi teknologi baru, persepsi pengguna dan kemudahan penggunaan memberikan dampak kepada pengguna dan tingkat struktural (Cheung & Vogel, 2013). Sikap pengguna dianggap dipengaruhi oleh dua keyakinan utama persepsi kegunaan dan persepsi kemudahan penggunaan, dengan Persepsi kemudahan penggunaan memiliki pengaruh langsung pada persepsi kegunaan (Sakala & Phiri, 2019).
Masalah kemiskinan masih membutuhkan perhatian khusus bagi pemerintah karena membutuhkan banyak waktu dan strategi dalam proses
penangannya. Dalam permasalahan ini pemerintah mendirikan Program Keluarga Harapan (PKH) sebagai upaya untuk menanggulangi kemiskinan dengan cara memberikan bantuan sosial bersyarat kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Program bantuan sosial bersyarat adalah sebuah intervensi yang mentransfer uang tunai dari pemerintah ke rumah tangga miskin dengan persyaratan yang harus di patuhi dengan spesifik kondisi (atau persyaratan), biasanya difokuskan pada kesehatan dan pendidikan untuk anak-anak mereka (Rasella, Aquino, Santos, Paes-Sousa, & Barreto, 2013). Dengan bantuan bersyarat itu diharapkan Program Keluarga Harapan (PKH) sebagai upaya percepatan penanggulangan kemiskinan dan juga merupakan Program Perlindungan Sosial yang juga dikenal di dunia internasional dengan istilah Conditional Cash Transfers (CCT). Sebuah program yang ditargetkan kepada orang miskin untuk menciptakan situasi yang kondisoional pada perilaku mereka dalam memenuhi kebutuhan (Baird, McIntosh, & Özler, 2011).
Pada program bantuan sosial bersyarat, ada perubahan sistem yang semula dilakukan dengan cara manual beralih menggunakan aplikasi online dengan harapan bisa mengurangi biaya dan kebocoran terkait dengan program perlindungan sosial (Aker, Boumnijel, McClelland, & Tierney, 2016). Program tersebut dapat berjalan dengan baik apabila pengguna suatu sistem mampu menjalankan dengan baik dan data yang diperoleh akurat dan dapat dipercaya karena proliferasi data (besar) telah membawa layanan di mana penggunaan data secara signifikan berkontribusi pada penciptaan nilai (Lim, Kim, Kim, Kim, & Maglio, 2018). Kumpulan data besar biasanya mengumpulkan data dari sumber yang berbeda dengan akurasi, kerumitan, dan ketidakpastian terkait bisa lebih buruk (Yang, Liu, & Xie, 2019). Data tentang berbagai indikator ini harus di kumpulkan secara teratur dengan penggunaan sistem yang baik karena sensus tradisional dan survey rumah tangga tidak akan lagi cukup (Van den Homberg & Susha, 2018).
Untuk mendukung program tersebut agar berjalan dengan baik Kementerian Sosial membuat sebuah aplikasi E-PKH yang merupakan aplikasi untuk mempermudah proses validasi karena langsung menggunakan aplikasi
tanpa banyak menggunakan paperless, untuk menghitung bantuan sosial secara otomatis, memasukkan hasil verifikasi, pemutahkhiran data dan pengontrolan keaktifan kegiatan Familiy Development Session (FDS) agar hasilnya akurat dan dapat dipercaya Intuitif seseorang dalam menggunakan sebuah sistem bisa di dapatkan dari informasi yang tersedia dengan menggabungkan antara pengamatan dari data survey dengan data administrasi (Meijer, Rohwedder, &
Wansbeek, 2012). Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Barrera-Osorio, Bertrand, Linden, and Perez-Calle (2011) tentang peningkatkan program transfer sosial bersyarat yang di buktian dari experiment pendidikan anak di Kolombia menemukan bahwa program transfer tunai bersyarat sangat penting karena mengingat sifat intervensi program di rancang untuk menghasilkan tingkat partisipasi yang tinggi didukung dengan keakuratan data yang di pantau dan administratif yang mempengaruhi jumlah bantuan yang diterima. Penerimaan sebuah sistem pada program tersebut penting untuk diteliti karena kesalahan data secara mendasar yang disebabkan karena kesalahan pengguna (human error) dan kesalahan sistem (error system) membutuhkan beberapa ukuran kebenaran standar objektif yang dengannya akurasi data dapat dinilai (Abowd & Stinson, 2013).
Penelitian ini membahas tentang pengaruh persepsi kegunaan, persepsi kemudahan penggunaan, niat perilaku dan penggunaan sebenarnya di dalam mengoperasikan aplikasi Elektronik Program Keluarga Harapan (E-PKH) dengan beberapa perspektif eksternal diantaranyapengalaman serta kerumitan yang saling keterkaitan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Arndt and Peterson (2018) menemukan bahwa pengalaman dan persepsi kemudahan penggunaan berpengaruh secara positif terhadap Persepsi Kegunaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh W. M. Al-Rahmi et al. (2019) menemukan bahwa menemukan bahwa Kerumitan berpengaruh secara signifikan terhadap Persepsi Kegunaan. Dari penelitian terdahulu tersebut, di harapkan agar hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui tingkat perkembangan teknologi aplikasi EPKH yang sudah di terapkan kepada para pekerja.
Orisinalitas penelitian ini di ambil karena kurangnya penelitian yang membahas tentang penerimaan model teknologi pada aplikasi E-PKH di
Indonesia. Dan di dalam program tersebut Silva (2015) membahas tentang sebuah teori sistem informasi yang di desain untuk menerangkan bagaimana pengguna mengerti dan mengaplikasikan sebuah teknologi informasi. Muchran and Ahmar (2019) membangun model TAM dengan memasukkan variabel pengalaman karena mengasumsikan pengalaman juga penentu perilaku bagi pengguna suatu sistem. Ada perbedaan yang signifikan antara penguna sistem yang berpengalaman dengan yang tidak berpengalaman (S. Taylor & P. Todd, 1995). Khususnya, pengalaman dari masa lalu dan tingkat kerumitan sebuah sistem akan membantu mewujudkan sikap dan niat dalam penggunaannya. Inilah yang menyebabkan perhitungan dalam pembentukan niat dalam menggunakan sebuah system (H. Ajzen & Fishbein, 1980).
Berdasarkan latar belakang tersebut maka permasalahan penelitian ini dapat di rumuskan sebagai berikut :
1. Apakah Pengalaman (Experience) berpengaruh terhadap Persepsi Kegunaan (Perceived Usefulness) pada penerimaan aplikasi E-PKH ? 2. Apakah Pengalaman (Experience) berpengaruh terhadap Kemudahan
Penggunaan (Perceived Ease Of Us) pada penerimaan aplikasi E-PKH ? 3. Apakah Kerumitan (Complexity) berpengaruh terhadap Persepsi
Kegunaan (Perceived Usefulness) pada penerimaan aplikasi E-PKH ? 4. Apakah Persepsi Kemudahan Penggunaan (Perceived Ease Of Use)
berpengaruh terhadap Persepsi Kegunaan (Perceived Usefulness) pada penerimaan aplikasi E-PKH ?
5. Apakah Persepsi Kegunaan (Perceived Usefulness) berpengaruh terhadap Niat Untuk Menggunakan (Behavioral Intention to Use) pada penerimaan aplikasi E-PKH ?
6. Apakah Niat Untuk Menggunakan (Behavioral Intention to Use) berpengaruh terhadap Penggunaan secara nyata (Actual Use) pada penerimaan aplikasi E-PKH ?
B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Landasan Teori
Technology Acceptance Model (TAM)
Technology Acceptance Model (TAM) merupakan model yang mengadopsi Theory of Reasoned Action (TRA) yang dikembangkan oleh Fishbein (1981). Motivasi pengguna dapat dijelaskan oleh tiga faktor diantaranya Persepsi Kegunaan (Perceived Usefulness), Persepsi Kemudahan Penggunaan (Perceived Ease Of Use), dan Sikap terhadap penggunaan sistem (attitude) (Davis, 1985). Sikap membentuk perilaku seseorang untuk berniat menggunakan teknologi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi penggunaan sistem yang sebenarnya (Actual Use) (Davis, 1989). Davis (1989) mengadaptasi TRA dengan mengembangkan dua keyakinan yang secara spesifik pada penggunaan teknologi.
Gambar 1. Model TAM tahun 1986
Dari gambar diatas dapat disimpulkan bahwa Persepsi Kegunaan (Perceived Usefulness) dan persepsi kemudahan penggunaan (Perceived Ease Of Use), mempengaruhi sikap terhadap pengguna (attitude) dalam mengadopsi atau mengguankan suatu teknologi (Actual Use). TAM mengadopsi rantai sebab akibat dari niat, sikap, keyakinan, dan perilaku seperti yang telah diajukan oleh Fishbein (1981) yang dikenal Theory of Reasoned Action (TRA). Thompson, Higgins, and Howell (1991) menyatakan bahwa manfaat teknologi informasi merupakan dampak yang diharapkan oleh pengguna
X1
X2
X3
Perceived Ease Of Usefulness
Perceived Usefulness
Attitude Toward Using
Actual System Use
teknologi informasi dalam menjalankan tugas mereka jika orang tersebut memiliki pemahaman mengenai manfaat atau kegunaan (usefulness) yang baik atas kegunaannya. Manfaat yang dapat dirasakan memiliki korelasi yang lebih kuat dengan penerimaan pengguna terhadap teknologi (Tibenderana, Ogao, Ikoja-Odongo, & Wokadala, 2010)
Menurut TAM, Niat Untuk Menggunakan (Behavioral Intention to Use) mengacu pada penggunaan (Actual Use), yang mencerminkan perasaan disukai atau tidak disukai dalam menggunakan teknologi, dan manfaat yang dirasakan mencerminkan keyakinan bahwa menggunakan teknologi akan meningkatkan kinerja. Sikap ditentukan bersama oleh manfaat yang dirasakan dan persepsi kemudahan penggunaan (Perceived Ease Of Use). Akhirnya, kemudahan penggunaan adalah penentu langsung yang di rasakan (S. Taylor &
P. Todd, 1995). Karena itu penerimaan bisa lebih jauh digambarkan sebagai faktor penting dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam mengadopsi teknologi dan penerimaan telah dikonseptualisasikan sebagai variabel hasil dalam proses psikologis yang dilalui pengguna dalam membuat keputusan (Samaradiwakara & Gunawardena, 2014). TAM menunjukkan bahwa keyakinan, sikap dan niat-perilaku dijelaskan dan diprediksi penerima teknologi di antara pengguna yang berpengalaman (Dajani & Yaseen, 2016).
Penelitian ini menjelaskan kekhawatiran dalam mengintegrasi teknologi tentang niat, sikap dan perilaku dalam menggunakan teknologi dengan tingkat kerumitan yang ada berdasarkan pengalaman mereka (S. K. Howard &
Gigliotti, 2016).
Persepsi Kegunaan (Perceived Usefulness)
Persepsi Kegunaan merupakan persepsi yang menjelaskan tentang bagaimana pengguna dapat percaya bahwa dengan menggunakan sebuah teknologi akan meningkatkan kinerjanya. Di dalam penelitiannya Harfouche (2010) Menemukan bahwa persepsi kegunaan merupakan faktor yang penting dalam menjelaskan penerimaan teknologi. Thompson et al. (1991) berpendapat bahwa tidak memahami persepsi kegunaan suatu teknologi baru dapat menyebabkan produktivitas menjadi rendah, dan akhirnya akan membuat suatu
masalah yang komplek dalam suatu pekerjaan. Menurut R. Howard, Restrepo, and Chang (2017) menyatakan bahwa Persepsi kegunaan dari suatu sistem informasi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya :
1. Niat perilaku yang merupakan konstruksi yang terdiri dari harapan kinerja, Harapan Usaha, dan Pengaruh Sosial.
2. Kondisi Fasilitasi: Konstruksi ini mengacu pada sejauh mana seorang individu percaya bahwa organisasi ada untuk mendukung penggunaan sistem
Menurut M. Ali, Zhou, Miller, and Ieromonachou (2016) Persepsi penggunaan teknologi baru dapat langsung berkorelasi dengan faktor kepribadian diantaranya sebagai berikut :
1. Usia pengguna 2. Tingkat pendidikan
3. Kebutuhan yang dirasakan
4. Tingkat penggunaan TI yang diharapkan
Persepsi Kemudahan Penggunaan (Perceived Ease Of Use)
Menurut Davis (1989) persepsi kemudahan penggunaan merupakan persepsi yang menjelaskan tentang bagaimana seseorang dapat percaya bahwa dengan menggunakan sebuah teknologi akan mempermudah dalam menyelesaikan pekerjaan. Intensitas dan interaksi pengguna dalam menggunakan teknologi dapat menunjukkan kemudahan dalam menggunakan teknologi tersebut. Persepsi kemudahan dipengaruhi oleh teknologi itu sendiri, dan tersedianya sarana dan prasarana yang dapat mendukung penggunaan teknologi (Venkatesh, Morris, Davis, & Davis, 2003). Dimensi kemudahan penggunaan di bagi sebagai berikut :
1. Interaksi individu dengan sistem jelas dan mudah dimengerti
2. Tidak dibutuhkan banyak usaha untuk berinteraksi dengan sistem tersebut
3. Sistem mudah digunakan
4. Mudah mengoperasikan sistem sesuai dengan apa yang ingin individu kerjakan
Davis (1989) berpendapat bahwa dalam persepsi kemudahan penggunaan terdapat beberapa indikator yang harus di perhatikan diantaranya :
1. Teknologi informasi mudah untuk di pelajari dan di pahami
2. Mengerjakan dengan mudah tentang apa yang di inginkan oleh para pengguna
3. Meningkatnya keterampilan pengguna
4. Teknologi informasi mudah untuk di operasikan
Persepsi kemudahan penggunaan merupakan faktor penentu tentang manfaat yang dirasakan para pengguna (Maduku, Mpinganjira, & Duh, 2016).Kemudahan selanjutnya akan memiliki efek pada perilaku para pengguna, yaitu apabila semakin meningkat seseorang beranggapan mengenai kemudahan menggunakan sistem maka akan semakin meningkat pula skala pemanfaatan teknologi informasi tersebut. Pengguna (user) sebuah teknologi memiliki kepercayaan bahwa sistem yang efektif dan efisien serta mudah dalam pengaplikasiannya (compartible) adalah sebuah karakter dari kemudahan penggunaan.
Niat untuk menggunakan (Behavioral Intention to Use)
Menurut Davis (1989) Niat untuk menggunakan merupakan kecenderunagn perilaku untuk tetap menggunakan suatu teknologi. Sikap terhadap penggunaan adalah evaluasi pengguna terhadap keinginan untuk menggunakan sistem informasi tertentu dan niat seseorang dalam menggunakan sistem digunakan sebagai tolak ukur dari kemungkian seseorang akan menggunakan suatu sistem (H. Ajzen & Fishbein, 1980). Niat untuk menggunakan suatu teknologi di pengaruhi oleh persepsi kegunaan (Perceived Usefulness) dan persepsi kemudahan penggunaan (Perceived Ease Of Use) (Holden & Karsh, 2010), semakin mudah dan bermanfaatnya suatu teknologi maka akan mempengaruhi niat orang tersebut untuk terus menggunakan teknologi.
Douglass (1977) menyebutkan bahwa perilaku individu dalam menggunakan suatu sistem didasarkan pada niat individu untuk terlibat dalam tindakan tertentu. Sikap dan norma subyektif membentuk niat seseorang untuk
melakukan suatu perilaku, akhirnya niat seseorang akan menentukan perilaku yang di inginkan (Rahmawati, 2019). Menurut R. Howard et al. (2017) Penerimaan dalam penggunaan teknologi memprediksi bahwa niat perilaku dari suatu sistem informasi dipengaruhi beberapa faktor diantaranya :
1. Kinerja Harapan yaitu sejauh mana pengguna sistem percaya itu akan membantu mereka mencapai keuntungan dalam meningkatkan kinerja.
2. Upaya Harapan yaitu sejauh mana penggunaan sistem ini mudah untuk individu.
3. Pengaruh Sosial yaitu sejauh mana individu memandang mereka harus menggunakan sistem.
Menurut Almaiah and Alyoussef (2019), pengaruh sosial, fasilitasi kondisi, harapan usaha dan harapan kinerja memiliki pengaruh kuat pada niat perilaku untuk menggunakan sebuah sistem. Ketertarikan pada perilaku individu dapat dilihat dari tingkat penggunaan teknologi sehingga dapat diprediksi dari sikap dan perhatian (Muchran & Ahmar, 2019). Olasina (2019) Menyatakan bahwa niat perilaku terkait dengan penggunaan aktual dan dikenal sebagai niat perilaku untuk menggunakan suatu sistem
Penggunaan Secara Nyata (Actual Use)
Menurut Davis (1989) Pemakaian aktual merupakan bagaimana pengguna teknologi dalam kondisi nyata mengaplikasian suatu sistem. Shrestha and Vassileva (2019) Berpendapat bahwa penggunaan aktual sistem ditentukan oleh niat perilaku untuk menggunakan, yang pada gilirannya dipengaruhi oleh sikap pengguna terhadap penggunaan sistem, persepsi kegunaan dan persepsi kemudahan penggunaan. Bentuk pengukuran pemakaian aktual adalah seberapa sering seseorang menggunakan dan durasi waktu pemakaian terhadap teknologi.
Ada beberapa indikator pengukuran konstruk penggunaan teknologi, yaitu: penggunaan aktual, frekuensi aktual dan kepuasan pengguna (Muntianah, Astuti, & Azizah, 2012). Jika seseorang percaya bahwa penggunaan suatu sistem benar-benar dapat membantunya dalam pekerjaannya, maka pengguna akan menggunakan teknologi tersebut (perasaan positif), sebaliknya jika seseorang merasa bahwa teknologi yang akan di gunakan tidak
akan membantunya, maka dia tidak akan menggunakan teknologi (perasaan negatif) (Fathema, Shannon, & Ross, 2015; Nagy, 2018), menemukan bahwa sikap memiliki efek positif pada penggunaan aktual. Menurut Perkins (1985), ada tiga kondisi agar teknologi dapat digunakan secara efektif yaitu peluang memang tersedia, pengguna mengenalinya dan pengguna cukup termotivasi untuk menggunakannya (Surry & Land, 2010: 146). Seseorang akan merasa puas menggunakan sistem jika mereka meyakini bahwa sistem tersebut mudah digunakan dan akan meningkatkan produktifitas mereka, yang tercermin dari kondisi dalam penggunaannya secara nyata (Hermanto & Patmawati, 2017)
Variabel Eksternal Pengalaman (Experience)
Pengalaman adalah aktivitas masa lalu dalam menggunakan teknologi untuk mendorong kecenderungan dalam menggunakan teknologi sejenis secara berulang-ulang (Muchran & Ahmar, 2019). Pengalaman kerja menunjukkan keterampilan seseorang dalam belajar di tempat kerja yang bisa dilihat dari cara pekerja mengatasi masalah baru secara efektif, memahami langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas, mengidentifikasi informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan operasi, atau merancang cara yang digunakan untuk mencapai persyaratan informasi (Stern & Nakata, 1989) dan membantu untuk memahami pengalaman dari berbagai sudut pandang dan skenario potensial (Lengelle, Meijers, Poell, Geijsel, & Post, 2016).
Menurut Patry and Pelletier (2001), dalam penelitiannya menemukan adanya perbedaaan yang menonjol antara pekerja yang berpengalaman dengan yang tidak berpengalaman dalam mempengaruhi penggunaan yang sebenarnya dalam menerima sebuah perubahan suatu sistem. Tingkat kinerja dan penempatan kerja seseorang pada suatu bidang dapat dilihat dari pengalaman kerja sebelumnya (Uppal & Mishra, 2014). Pekerja yang berpengalaman memiliki keyakinan yang terinternalisasi, nilai-nilai dan harapan kerja yang unik di dalam pekerjaan mereka (Uppal, Mishra, &
Vohra, 2014). Pengalaman kerja dapat di lihat dari lama individu beroperasi
dalam bidang yang diberikan, semakin baik mereka dalam menyerap pengetahuan baru dan menggabungkan konsep-konsep dalam bidang tertentu (Gabrielsson & Politis, 2012).
Pekerja sosial yang berpengalaman cenderung mempertimbangkan re-aktif maupun pro-re-aktif dalam aspek ketahanan setelah mereka merefleksikan pengalamannya dan mencatat perubahan hubungan interaktif antara berbagai elemen dari diri pekerja sosial, konteks praktik mereka dan faktor mediasi (Collins, 2017). Menurut Adamson, Beddoe, and Davys (2014) para pekerja berpengalaman lebih mudah melihat di luar kebutuhan mereka sendiri untuk fokus terhadap kebutuhan penggunaan sebuah teknologi. Pengalaman dan persepsi tentang teknologi adalah faktor penting yang mempengaruhi integritas teknologi (Mokhtar, Katan, & Hidayat-ur-Rehman, 2018). Menurut Foster et al. (2009), ada beberapa indikator untuk menentukan pengalaman kerja seorang pegawai diantaranya :
1. Lama waktu atau masa kerja
2. Tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki 3. Penguasaan terhadap pekerjaan dan peralatan.
Kerumitan (Complexity)
Menurut Gould (1979) kompleksitas pekerjaan didefinisikan sebagai sejauh mana permasalahan yang terdapat pada pekerjaan terutama mengenai penerimaan sebuah sistem yang baru. Peningkatan kompleksitas sebuah sistem memiliki tantangan dalam konsekuensi jangka panjang yang mencakup peningkatan kehidupan sistem, biaya siklus dan peningkatan kesulitan dalam memperbaiki dan memelihara sistem (Boardman & Sauser, 2006). Sudah menjadi hal yang biasa untuk mengataan bahwa pekerjaan sosial di tandai dengan ketidakpastian, ambiguitas dan kompleksitas (Parton, 1998).
Ketidakmampuan pekerja sosial untuk menjamin keakuratan, kepastian pengambilan keputusan dan tindakannya mencerminkan status pengetahuan yang menjadi sandaran praktik tidak pasti dan kurangnya konsensus (ambiguity) berkenaan dengan tujuan, metode, dan pencapaiannya menjadi rumit (Fish & Hardy, 2015). Menurut Pajo and Wallace (2001) ada beberapa hambatan yang mempengaruhi penggunaan teknologi diantaranya :
1. Hambatan pribadi (kurangnya pengetahuan, keterampilan, pelatihan, panutan dan waktu.
2. Hambatan sikap (tidak percaya pada teknologi, keengganan untuk bekerja dengan teknologi, kekhawatiran tentang akses)
3. hambatan organisasi (dukungan teknis, perangkat keras, perangkat lunak, instruksional yang tidak memadai, desain dan tidak ada pengakuan nilai pengajaran online)
Kompleksitas mengasumsikan bahwa tidak liniernya antara input yang diberikan dengan hasil yang di dapatkan atas apa yang di lakukan oleh para pekerja sosial (Pycroft & Wolf-Branigin, 2016). Kemampuan mereka untuk mengelola banyak hal dalam pekerjaan tak terhindarkan dari tingkat kompleksitas emosional intra dan antar pribadi dari pekerjaan mereka (Kinman, McMurray, & Williams, 2014). McDermott (2014) Berpendapat teori kompleksitas saling berinteraksi dengan manajemen resiko, dan menurut Fish and Hardy (2015) dalam kompleksitas prediksi memiliki nilai terbatas, karena perubahan kecil dalam suatu variabel dapat menyebabkan perbedaan hasil yang besar.
2. Hipotesis
Pengalaman mempengaruhi penerimaan sistem secara tidak langsung melalui kepercayaan, persepsi kemudahan penggunaan dan persepsi kegunaan (Igbaria et al., 1995). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh (Arndt &
Peterson, 2018; Danurdoro & Wulandari, 2016; Igbaria et al., 1995) menemukan bahwa pengalaman dan persepsi kemudahan penggunaan berpengaruh secara positif terhadap Persepsi Kegunaan. Menurut Sunny, Patrick, and Rob (2019) ada hubungan langsung antara keberhasilan dalam menggunakan teknologi dengan pengalaman penggunanya.
Al-Maroof, Salloum, AlHamadand, and Shaalan (2020) mendukung hubungan pengalaman dengan persepsi penggunaan yang membuat pengukuran pengalaman lebih praktis dan efisien. Demikian pula, efisiensi diri memiliki hubungan langsung dengan sikap, persepsi kegunaan dan kemudahan penggunaan. Semakin tinggi efisiensinya, semakin tinggi pengalaman dan
penerimaannya (S. C. Chen, Chen, & Chen, 2009). Berdasarkan penelitian terdahulu tersebut dapat diajukan hipotesis sebagai berikut :
H1 : Pengalaman (Experience) berpengaruh terhadap Persepsi Kegunaan (Perceived Usefulness)
H2 : Pengalaman (Experience) berpengaruh terhadap Persepsi Kemudahan Penggunaan (Perceived Ease Of Use).
Kompleksitas merupakan teknologi sebagai kedalaman dan ruang lingkup upaya pemrograman, pengguna lingkungan, dan upaya teknis terkait yang terlibat dalam membangun sistem tersebut dan dalam mengimplementasikannya di lingkungan pekerjaan (M. H. Meyer & Curley, 1991). Hasil penelitian dari (W. M. Al-Rahmi et al., 2019; Gangwar, Date, &
Ramaswamy, 2015) menemukan bahwa Kerumitan berpengaruh secara signifikan terhadap Persepsi Kegunaan. Kompleksitas sistem yang di presepsikan mengacu pada sejauh mana sistem komputer dirasakan sulit untuk dipelajari atau digunakan. Berdasarkan penelitian terdahulu tersebut dapat diajukan hipotesis sebagai berikut :
H3 : Kerumitan (Complexity) berpengaruh terhadap Persepsi Kegunaan (Perceived Usefulness)
Apabila seseorang merasa yakin bahwa sistem informasinya mudah digunakan maka dia akan menggunakannya (S. Taylor & P. Todd, 1995). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh (W. M. Al-Rahmi et al., 2019; Muchran &
Ahmar, 2019) menunjukkan bahwa Persepsi Kemudahan Penggunaan memiliki pengaruh positif terhadap Persepsi Kegunaan. Persepsi kegunaan memerlukan waktu lebih lama untuk berkembang karena pengguna membutuhkan lebih banyak waktu untuk mendapatkan pengetahuan terperinci tentang sistem dan belajar bagaimana sistem dapat meningkatkan kemampuan kerja mereka.
Berdasarkan penelitian terdahulu tersebut dapat diajukan hipotesis sebagai berikut :
H4 : Persepsi Kemudahan Penggunaan (Perceived Ease Of Use) berpengaruh terhadap Persepsi Kegunaan (Perceived Usefulness)
Sikap terhadap penggunaan sebuah sistem telah dianggap sebagai sejauh mana seorang individu memandang positif atau perasaan negatif terkait dengan
penerimaan sebuah sistem. Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Elkaseh, Wong, & Fung, 2016; Wu & Chen, 2017) menemukan bahwa Persepsi Kegunaan berpengaruh secara positif terhadap Niat Untuk Menggunakan. Hal ini sama dengan pendapat Davis (1989) bahwa sikap berfungsi sebagai hal yang krusial untuk memediasi variabel antara persepsi kegunaan terhadap niat mengunakan sebuah sistem, karena efek sikap pengguna tidak langsung akan dirasakan manfaatnya pada niat untuk menggunakan sebuah sistem. Berdasarkan penelitian terdahulu tersebut dapat diajukan hipotesis sebagai berikut :
H5 : Persepsi Kegunaan (Perceived Usefulness) berpengaruh terhadap Niat Untuk Menggunakan (Behavioral Intention to Use)
Niat di definisikan sebagai suatu keinginan seseorang untuk melakukan suatu hal tertentu (Venkatesh et al., 2003). Di dalam penelitian yang dilakukan oleh (Hermanto & Patmawati, 2017; Muntianah et al., 2012) menemukan bahwa niat untuk menggunakan berpengaruh secara positif terhadap penggunaan secara nyata. Niat seseorang dalam menggunakan suatu sistem dapat digunakan sebagai acuan dalam mengambil keputusan untuk menggunakan atau tidak menggunakan sebuah sistem. Berdasarkan penelitian terdahulu tersebut dapat diajukan hipotesis sebagai berikut :
H6 : Niat Untuk Menggunakan (Behavioral Intention to Use) berpengaruh terhadap penggunaan secara nyata (Actual Use).
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk jenis penelitian explanatory research dengan menggunakan metode kuantitatif yang dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random. Pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif atau statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (PD Sugiyono, 2017). Penelitian ini
Penelitian ini termasuk jenis penelitian explanatory research dengan menggunakan metode kuantitatif yang dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random. Pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif atau statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (PD Sugiyono, 2017). Penelitian ini