• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama terbesar di dunia, pada tahun 2004 penyakit kardiovaskular merupakan penyebab 17 juta kematian yang merupakan 30% dari seluruh penyebab kematian dan juga merupakan penyebab 151 juta Disability Adjusted Life Years Lost (DALYs) yang merupakan 14% dari seluruh penyebab DALYs setiap tahunnya. World Health Organization (WHO) memproyeksi mortalitas kardiovaskular global akan meningkat dari 17 juta pada tahun 2004 menjadi 23,4 juta pada tahun 2030, dengan 4 penyebab utama kematian global yaitu penyakit jantung iskemik, penyakit serebrovaskular, penyakit paru obstruktif kronik, dan infeksi saluran napas bawah.1

Data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 menunjukkan proporsi penyakit kardiovaskular sebagai penyebab kematian semakin meningkat dari 5,9% pada tahun 1975, 9,1% pada tahun 1986, 19% pada tahun 1995 dan menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian kelompok usia lebih dari 35 tahun pada tahun 2001 sebanyak 26,3% kematian.2 Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007, prevalensi penyakit kardiovaskular di Indonesia adalah 7,2%, dengan mortalitas pada semua kelompok umur karena penyakit kardiovaskular sebanyak 5,1%.3

Terjadinya Major Adverse Cardiac Events (MACE) yang terdiri dari kematian kardiovaskular dan nonkardiovaskular, infark miokard berulang, stroke serta revaskularisasi intervensi koroner perkutan berulang di rumah sakit berkisar 8-10% pada pasien dengan sindrom koroner akut (SKA), 4 sedangkan menurut data dari intensive coronary care unit (ICCU) Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusomo (RSCM) didapati angka mortalitas pasien SKA selama perawatan di rumah sakit tahun 2010 sebesar 12,1%.5 Komplikasi MACE yang terjadi pada pasien SKA dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko diantaranya usia, jenis kelamin, riwayat keluarga penyakit jantung koroner, diabetes, nilai hemoglobin, hitung leukosit, nilai kreatinin, nilai asam urat, nilai petanda enzim jantung, tekanan darah sistolik, denyut jantung, henti jantung, deviasi segmen ST, dan kelas killip. Pada pasien SKA secara global saat ini laju mortalitas telah mengalami penurunan namun masih banyak ditemukan kematian pada masa 48 jam pertama fase

perawatan akut dengan median waktu mortalitas 72 jam dimana hampir 22% kematian terjadi dalam 24 jam pertama fase perawatan akut, sehingga dibutuhkan penilaian prediksi awal akan terjadinya komplikasi MACE pada pasien SKA agar laju MACE dapat dikurangi.6,7

Stratifikasi awal pasien SKA dengan risiko terjadinya MACE sangat penting dievaluasi untuk menentukan siapa yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi yang membutuhkan tindakan pencegahan berbasis strategi invasif awal atau kelompok yang hanya membutuhkan strategi konservatif inisial. Stratifikasi awal yang dilakukan meliputi identifikasi faktor risiko demografi individual dan karakteristik klinis disertai faktor-faktor multipel lainnya yang dinilai secara simultan untuk meningkatkan kemampuan akurasi penilaian risiko sehingga bisa menurunkan laju angka MACE pada pasien SKA.

Pada pasien SKA dengan risiko tinggi untuk terjadinya MACE membutuhkan penatalaksanaan terapi yang lebih agresif, namun ternyata sebagian besar MACE terjadi pada individu dengan risiko intermediate sehingga dibutuhkan penilaian risiko yang akurat agar dapat membantu menurunkan insidensi MACE melalui pencapaian target terapi yang sesuai dengan risiko yang dimiliki oleh pasien SKA dan skor prediksi merupakan representasi bentuk stratifikasi awal risiko yang mudah, sederhana dan akurat pada pasien dengan SKA yang menjalani fase perawatan akut.7,8,9

Annika dkk,10 pada studinya mendapatkan usia merupakan prediktor independen untuk terjadinya MACE pada pasien SKA, dimana didapatkan pada usia > 65 risiko untuk terjadinya MACE meningkat 3 kali. Boonchu dkk11, pada studinya melaporkan jenis kelamin wanita merupakan faktor prediktor independen untuk terjadinya MACE pada pasien SKA dengan peningkatan risiko 2 kali dibandingkan pria.Choongki dkk,12 pada studinya melaporkan pasien SKA yang memiliki riwayat keluarga penyakit jantung koroner merupakan prediktor independen untuk terjadinya MACE dengan peningkatan risiko 2 kali. Carolina dkk,13 pada studinya mendapatkan diabetes merupakan faktor prediktor independen untuk terjadinya MACE pada pasien SKA, dimana pasien dengan diabetes berisiko 3 kali dibandingkan pasien tanpa riwayat diabetes.

Pierre dkk,14 pada studinya menyebutkan kadar hemoglobin secara independen dapat memprediksi terjadinya MACE dan mampu memperbaiki performa prognostik pada pasien SKA, didapatkan hasil kadar hemoglobin yang rendah merupakan prediktor independen MACE dengan meningkatkan risiko 3 kali pada pasien SKA. Julio dkk,15

Universitas Indonesia  

 

pada studinya mendapatkan peningkatan hitung leukosit signifikan berhubungan dengan meningkatnya risiko 2 kali MACE pada pasien SKA dan hitung leukosit merupakan prediktor independen untuk terjadinya MACE.

Nilai Laju Filtrasi Glomerular (LFG) saat masuk rumah sakit merupakan prediktor independen yang kuat untuk terjadinya MACE di rumah sakit pada pasien SKA. Farsad dkk,16 melaporkan adanya nilai LFG yang rendah pada pasien SKA yang mengalami komplikasi MACE (41,7±25,1 ml/menit/1,73m2) dibandingkan pasien SKA yang tidak mengalami komplikasi MACE (68,2±33,8 ml/menit/1,73m2) serta didapati peningkatan risiko mortalitas 2 kali setiap penurunan LFG 10 ml/menit/1,73 m2. Sunao dkk,17 pada studinya melaporkan pasien dengan kadar asam urat >399 µmol/L memiliki risiko MACE 30 hari >3 kali dibandingkan pasien dengan kadar asam urat < 274 µmol/L.

Milena dkk,6 pada studinya mendapatkan kematian dengan syok kardiogenik dan henti jantung sering terjadi dalam 30 hari pertama perawatan dimana setengah kejadian kematian terjadi dalam 48 jam pertama, dan Christopher dkk,7 pada studinya mendapatkan peningkatan risiko MACE 9 kali pada pasien SKA yang mengalami henti jantung pada fase inisial. Christopher dkk, pada studinya juga mendapatkan beberapa faktor yang memiliki peranan prediktor independen untuk terjadinya MACE pada pasien SKA diantaranya kelas killip, tekanan darah, denyut jantung, usia, nilai kreatinin, henti jantung, perubahan segmen ST dan peningkatan penanda enzim jantung.

Pada model multivariabel, kelas killip merupakan prediktor yang paling kuat dengan peningkatan 2 kali risiko terhadap kematian pada setiap peningkatan kelas killip. Usia juga memiliki nilai prognostik yang signifikan dengan 1,7 kali risiko setiap peningkatan usia 10 tahun. Tekanan darah sistolik (TDS) memiliki peningkatan risiko 1,4 kali setiap mengalami penurunan tekanan darah 20 mmHg. Peningkatan penanda enzim jantung pada fase inisial 1 mg/dL akan meningkatkan 1,2 kali risiko terjadinya MACE. Ditemukannya deviasi segmen ST pada fase inisial akan diikuti peningkatan 2,4 kali risiko terjadinya MACE, dan setiap peningkatan denyut jantung 30 denyut setiap menit akan meningkatkan risiko 1,3 kali terjadinya MACE.7

Berbagai faktor risiko yang dikemukakan diatas telah terbukti mempunyai nilai prediktor independen, sehingga determinasi faktor risiko yang akurat menjadi fokus utama evaluasi awal pasien SKA. Stratifikasi awal risiko merupakan hal yang sangat penting untuk mengidentifikasi kelompok pasien yang memiliki risiko tinggi,

menentukan derajat perawatan (level of care), memperkirakan lama rawat inap, menentukan manajemen terapi dengan strategi optimal medikamentosa atau dengan strategi invasif berbasis intervensi koroner perkutan, membuat keputusan yang sesuai kebutuhan untuk transfer ke pusat pelayanan tersier, dan pada akhirnya dapat memperbaiki hasil luaran pasien yang mengalami SKA.

Pada saat ini ada beberapa skor prediksi yang sering digunakan untuk memprediksi terjadinya MACE pada pasien SKA diantaranya skor TIMI (Thrombolisis in Myocardial Infarction) dan skor GRACE (Global Registry of Acute Coronary Events). Pada skor TIMI populasi penelitian hanya pada pasien angina pektoris tidak stabil (APTS) dan infark miokard tanpa ST elevasi, dan pada skor TIMI ini juga beberapa variabel prediktor independen yang kuat untuk memprediksi terjadinya MACE pada pasien SKA tidak digunakan seperti jenis kelamin, denyut jantung, tekanan darah sistolik, serum kreatinin dan henti jantung, serta skor TIMI ini hanya memiliki discriminative power dengan c-statistic 0,65 yang mengindikasikan lemahnya kekuatan prediktor skor TIMI ini.

Pada skor GRACE walaupun memiliki discriminative power dengan c-statistic 0,83 yang cukup kuat dalam memprediksi terjadinya MACE pada pasien SKA namun beberapa variabel prediktor independen yang kuat tidak digunakan, skor GRACE ini juga dalam operasionalnya membutuhkan calculating tools handheld device system sehingga tidak mudah dan sederhana.18 Pada pasien SKA dengan profil yang kompleksdibutuhkan alat stratifikasi awal estimasi risiko terjadinya MACE pada pasien SKA seperti skor GRACE dengan penambahan beberapa variabel prediktor independen yang kuat seperti jenis kelamin, riwayat keluarga penyakit jantung koroner, diabetes, nilai hemoglobin, jumlah leukosit dan kadar asam urat, skor prediksi yang berupa nomogram ini merupakan integrasi dari berbagai model multivariabel faktor risiko independen yang dianalisis multivariat secara simultan sehinga lebih akurat, informatif, mudah, sederhana dan memiliki keseimbangan antara kelengkapan dengan keakuratannya.

Pada pasien SKA stratifikasi awal risiko merupakan bagian integral dari manajemen terapi pasien. Identifikasi pasien yang berisiko tinggi dengan skor prediksi menjadi sangat penting untuk dapat memprediksi respon pasien SKA dan meningkatkan kewaspadaan sekaligus mengurangi tindakan serta perawatan yang berlebihan terhadap pasien dengan risiko rendah sehingga lebih cost effectiveness. Adanya perbedaan

Universitas Indonesia  

 

karakteristik, populasi yang besar dan heterogenitas antara pasien SKA di Indonesia dengan populasi di negara maju yang dapat mempengaruhi prognosis pasien SKA sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai skor prediksi terjadinya MACE pada pasien SKA berdasarkan karakteristik pasien SKA di Indonesia.

Studi ini didedikasikan untuk menghasilkan suatu skor prediksi yang sederhana, mudah digunakan, lengkap dan akurat dalam stratifikasi awal risiko pasien SKA yang dapat meningkatkan prediksibilitas MACE, sehingga memudahkan para klinisi dalam menentukan strategi penatalaksanaan yang optimal dengan tujuan akhir dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada pasien SKA.

1.2. Identifikasi Masalah

Dari uraian di atas dapat diidentifikasi beberapa masalah, yaitu:

1. Terjadinya MACE merupakan masalah penting yang menjadi penyebab meningkatnya morbiditas dan mortalitas pasien SKA sehingga perlu diidentifikasi dan ditatalaksana dengan baik.

2. Pasien SKA terutama yang memiliki risiko untuk terjadinya MACE perlu dikenali lebih awal sehingga dapat diberikan penatalaksanaan revaskularisasi dini yang lebih agresif.

3. Skor prediksi MACE pada pasien SKA yang dapat membantu mengidentifikasi dan menstratifikasi pasien SKA yang memiliki risiko tinggi untuk terjadinya MACE belum tersedia dan dikenal secara luas di Indonesia ini.

4. Saat ini belum ada data proporsi MACE dan faktor-faktor prediktor yang mempengaruhi terjadinya MACE pada pasien SKA di Indonesia.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, penulis merumuskan masalah penelitian yang dirangkum dalam 3 pertanyaan penelitian berikut ini

1. Berapakah proporsi MACE 7 hari pada pasien SKA selama perawatan di ICCU RSCM?

2. Apakah faktor-faktor usia, jenis kelamin, riwayat keluarga penyakit jantung koroner, diabetes, nilai hemoglobin, hitung leukosit, nilai kreatinin, nilai asam urat, nilai petanda enzim jantung, tekanan darah sistolik, denyut jantung, henti jantung, deviasi segmen ST dan kelas killip mempunyai nilai prediksi untuk terjadinya MACE 7 hari pada pasien SKA selama perawatan di ICCU RSCM?

3. Bagaimana model skor prediksi yang dapat direkomendasikan untuk memprediksi terjadinya MACE 7 hari selama perawatan di ICCU RSCM pada pasien SKA berdasarkan faktor-faktor usia, jenis kelamin, riwayat keluarga penyakit jantung koroner, diabetes, nilai hemoglobin, hitung leukosit, nilai kreatinin, nilai asam urat, nilai petanda enzim jantung, tekanan darah sistolik, denyut jantung, henti jantung, deviasi segmen ST dan kelas killip.

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Menentukan model skor prediksi terjadinya MACE 7 hari selama perawatan di ICCU RSCM.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Menentukan proporsi MACE 7 hari pada pasien SKA selama perawatan di ICCU RSCM.

2. Menentukan kemampuan variabel faktor-faktor usia, jenis kelamin, riwayat keluarga penyakit jantung koroner, diabetes, nilai hemoglobin, hitung leukosit, nilai kreatinin, nilai asam urat, nilai petanda enzim jantung, tekanan darah sistolik, denyut jantung, henti jantung, deviasi segmen ST dan kelas killip dalam memprediksi terjadinya MACE 7 hari pada pasien SKA selama perawatan di ICCU RSCM.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Ilmiah

Dengan diketahuinya data faktor-faktor risiko terjadinya MACE 7 hari selama perawatan di rumah sakit pada pasien SKA dapat digunakan menjadi acuan penelitian lanjutan. 1.5.1 Manfaat Aplikatif

Dengan mengetahui faktor-faktor prediktor terjadinya MACE 7 hari selama perawatan di rumah sakit pada pasien SKA diharapkan akan meningkatkan kemampuan identifikasi dan stratifikasi awal pasien SKA yang berisiko terjadinya MACE 7 hari selama perawatan di rumah sakit sehingga dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap risiko terjadinya MACE serta mampu memberikan penatalaksanaan yang lebih optimal, tepat guna dan cost effective pada pasien SKA.

Universitas Indonesia 7  

 

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sindrom Koroner Akut

2.1.1 Patofisiologi Sindrom Koroner Akut

Sindrom koroner akut merupakan kondisi mengancam nyawa yang dapat terjadi pada pasien dengan penyakit jantung koroner setiap saat. Sindrom ini merupakan bentuk continuum mulai dari bentuk APTS sampai terjadinya infark miokard akut (IMA), yang merupakan kondisi dari nekrosis irreversibel dari otot jantung. Sindrom koroner akut merupakan hasil dari disrupsi plak aterosklerotik yang diikuti agregasi platelet dan pembentukan trombus intrakoroner.

Bentuk dari SKA bergantung kepada derajat obstruksi koroner, trombus oklusi parsial berhubungan dengan sindrom APTS dan infark miokard tanpa elevasi dan trombus oklusi total berhubungan dengan iskemia berat dan terjadinya nekrosis luas yang bermanifestasi sebagai infark miokard dengan ST elevasi. Kejadian trombus pada SKA merupakan interaksi antara plak aterosklerotik, endotelium lumen, sirkulasi platelet dan tonus vasomotor dinamik dinding pembuluh darah yang merupakan dasar mekanisme keadaan trombosis. 19,20

Kejadian SKA bermula dari adanya aterogenesis pada arteri normal, diikuti inisiasi lesi dan akumulasi dari lipid ekstra selular pada intima, berevolusi menjadi derajat fibrofatty dan terjadi progresi lesi dengan ekspresi prokoagulan dan melemahnya fibrous cap. Sindrom koroner akut terjadi ketika plak vulnerable mengalami disrupsi dari fibrous cap, disrupsi plak ini merupakan stimulus terjadinya trombogenesis. Resorpsi trombus akan diikuti akumulasi kolagen dan pertumbuhan sel otot polos. Pada saat terjadi disrupsi dari plak vulnerable, pasien akan mengalami keluhan iskemik hasil dari reduksi aliran ke arteri koroner. Reduksi aliran bisa disebabkan oleh trombus oklusi total atau trombus oklusi subtotal. Pasien dengan keluhan iskemik bisa dengan atau tanpa elevasi Segmen ST pada gambaran elektrokardiogram. Pasien tanpa disertai elevasi Segmen STdapat mengalami APTS sampai infark miokard tanpa ST elevasi, dimana hal yang membedakan berdasar ada atau tidak adanya peningkatan petanda serum jantung seperti CKMB atau troponin jantung yang terdeteksi pada darah. Spektrum presentasi klinis mulai dari APTS, infark miokard tanpa ST elevasi sampai infark miokard dengan ST elevasi dikenal sebagai sindrom koroner akut. 20,21

2.1.2 Disrupsi Plak Vulnerable

Selama evolusi alami dari plak aterosklerotik (terutama plak lipid-laden), dapat terjadi transisi tiba-tiba dan mengalami katastropik yang ditandai oleh disrupsi plak. Disrupsi plak memaparkan substansi yang mempromosikan aktivasi platelet dan agregasi, generasi trombin, dan pada akhirnya pembentukan trombus. Hasil resultan trombus menginterupsi aliran darah dan mengarah kepada ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, dan bila ketidakseimbangan ini berat serta persisten akan menyebabkan nekrosis miokardial.22

Plak aterosklerotik berhubungan dengan oklusi trombotik total dari arteri koroner epikardial, berlokasi pada pembuluh darah terkait infark yang secara umum lebih kompleks dan irreguler dibandingkan pembuluh darah yang tidak berhubungan dengan infark. Komposisi trombus bervariasi pada derajat yang berbeda, terdiri dari white trombi yang mengandung platelet, fibrin atau keduanya dan red thrombi yang mengandung eritrosit, fibrin, platelet dan leukosit. Disrupsi plak mengekspresikan substansi trombogenik yang mungkin memproduksi trombus ekstensif pada arteri terkait infark. Jaringan kolateral yang adekuat dapat mencegah terjadinya nekrosis miokardial dan menghasilkan episode tanpa gejala klinis dari oklusi koroner. Terjadinya trombus oklusif

Universitas Indonesia  

 

total maupun parsial mengarah kepada cedera dinding ventrikel pada miokardial dan lokasinya bergantung kepada arteri koroner yang terlibat. 23

2.1.3 Trombosis

Pembentukan trombus memiliki peranan utama pada terjadinya SKA, kombinasi faktor intrinsik dan ekstrinsik memiliki peranan pada terjadinya ruptur dari fibrous cap dengan terpaparnya komponen sentral dari plak terhadap sirkulasi darah yang kemudian membentuk trombosis. Agregasi dan aktivasi platelet memiliki peranan esensial pada hemostasis normal dan kejadian sindrom koroner akut. Setelah terjadinya cedera terhadap dinding pembuluh darah (seperti pada ruptur plak), platelet terlibat dalam respon inisial tubuh (hemostasis primer). Hemostasis primer yang efektif membutuhkan tiga kejadian utama yaitu platelet adherence, aktivasi platelet dan agregasi platelet. 24

Sistim kaskadekoagulasi juga memiliki peranan penting pada hemostasis normal (hemostasis sekunder) dan SKA. Sistem koagulasi melibatkan beberapa plasma protein yang terlibat dalam serial reaksi yang berujung pada produksi trombin, yang merubah fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin yang diproduksi melalui sistem ini penting untuk menguatkan sumbatan hemostasis primer yang dibentuk oleh platelet. Beberapa faktor lokal dan sistemik dijumpai pada saat terjadinya ruptur plak yang mungkin mempengaruhi derajat dan durasi dari deposisi trombus setelah cedera dinding pembuluh darah. Interaksi dari beberapa faktor ini menimbulkan manifestasi patologik dan klinis yang berbeda-beda pada SKA. Pada faktor lokal terdapat derajat dari cedera dinding pembuluh darah, derajat stenosis dan trombosis residual. 25

Pada plak awal fisura, fisura terselubungi dan bersama trombus membentuk jaringan fibrotik yang berkontribusi terhadap terjadinya penyakit arteri koroner. Kemudian fisura tersebut masuk ke intraintima dan intraluminal bersama trombus dan menyebabkan reduksi arteri koroner secara parsial maupun transien seperti yang terjadi pada APTS. Selanjutnya fisura dapat menyebabkan trombosis oklusif yang dapat terkikis dan menyebabkan infark miokard atau kematian mendadak terutama bila terdapat aliran kolateral. 26

Gambar 2.2 Representasi skematik hasil luaran fissuring plak aterosklerotik.27

Faktor sistemik yang berperan diantaranya hiperkoagulabilitas yang meningkatkan pembentukan trombus. Kadar sirkulasi katekolamin saat disrupsi plak dapat mempromosikan agregasi platelet dan pembentukan trombin. Sindrom metabolik termasuk diabetes, hipertensi, dan obesitas dapat meningkatkan trombogenisitas melalui mediasi induksi inflamasi. Hiperkolesterolemia akan meningkatkan reaktivasi platelet pada sisi kerusakan vaskular dan hiperkoagulabilitas.28 Peningkatan kadar dan aktivitas protein hemostasis seperti fibrinogen dan faktor VII didapati pada usia lanjut, obesitas, hiperlipidemia, diabetes, merokok yang keseluruhannya merupakan faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko infark miokard. Setelah terjadinya ruptur plak dan terbentuknya trombus akan membuat hasil luaran klinis yang berbeda-beda, yang dipengaruhi oleh ruptur plak, adanya kolateral, keparahan cedera pembuluh darah dan derajat stenosis.29

2.2 Major Adverse Cardiac Events Pada Sindrom Koroner Akut 2.2.1 Major Adverse Cardiac Events

Angka mortalitas jangka pendek pada pasien dengan SKA yang mendapat terapi reperfusi farmakologik agresif berdasarkan studi randomisasi berkisar 6,5-7,5%, dimana

Universitas Indonesia  

 

berdasarkan data observasional didapati hasil angka mortalitas pasien dengan SKA pada komunitas berkisar 15-20%. Major adverse cardiac events merupakan hasil end point yang terdiri dari kematian oleh sebab apapun, infark miokard berulang, tindakan intervensi perkutaneus koroner ulang dikarenakan adanya gejala nyeri dada berulang dan stroke yang dialami pasien setelah mengalami SKA.30

Berdasarkan definisi standar untuk end point events pada studi kardiovaskular menurut standardized data collection for cardiovascular trials, dibuat sebuah kesepakatan mengenai definisi kematian kardiovaskular dan non kardiovaskular juga yang disebabkan oleh hal yang tidak dapat ditentukan, infark miokardial, stroke, dan tindakan intervensi kardiologi.31,32

2.2.2 Kematian kardiovaskular, non kardiovaskular dan sebab lain

Kematian kardiovaskular termasuk hasil dari infark miokard akut, sudden cardiac death, kematian sehubungan dengan gagal jantung, stroke dan dengan penyebab kardiovaskular lainnya. Kematian sehubungan dengan infark miokard akut menunjukkan kematian oleh berbagai mekanisme (aritmia, gagal jantung, low output) dalam 30 hari setelah infark miokard akut sehubungan dengan konsekuensi dari infark miokard, seperti gagal jantung kronik, cardiac output yang tidak adekuat, atau aritmia yang fatal. Kematian yang disebabkan oleh prosedur terapi terhadap infark miokard (intervensi koroner perkutaneus, operasi jantung pintas koroner atau terapi komplikasi dari infark miokard) juga harus dimasukkan di dalam kriteria kematian kardiovaskular.

Sudden cardiac death merujuk kepada kematian yang terjadi tidak diharapkan bukan merupakan ikutan dari infark miokard akut, termasuk kematian yang disaksikan dan mendadak tanpa gejala baru atau perburukan gejala, kematian yang disaksikan dalam 60 menit dari awitan gejala baru kardiak atau perburukan gejala kecuali gejala diduga infark miokard akut kemudian kematian yang disaksikan karena sehubungan dengan identifikasi aritmia (terlihat pada elektrokardiografi, monitor atau tidak disaksikan namun ditemukan tinjauan implantable cardioverter defibrillator), kematian setelah resusitasi yang gagal dari henti jantung, kematian sehubungan dengan sindrom pasca henti jantung, kematian yang tidak disaksikan tanpa penyebab kematian lainnya.7,31,32

Kematian sehubungan dengan gagal jantung atau syok kardiogenik, kematian yang terjadi pada perburukan gejala dan atau tanda klinis dari gagal jantung tanpa ada

bukti penyebab kematian lainnya dan tidak diikuti oleh infark miokard akut, kematian mendadak yang terjadi selama perawatan karena perburukan gagal jantung seperti kematian pada gagal jantung progresif atau syok kardiogenik karena implantasi mechanical assist device. Kematian sehubungan dengan stroke menunjukkan kematian yang terjadi dalam waktu tiga puluh hari setelah stroke atau disebabkan oleh komplikasi dari stroke. Kematian sehubungan dengan penyebab kardiovaskular lainnya sehubungan dengan kematian kardiovaskular yang tidak termasuk dalam kategori di atas (seperti aritmia yang tidak berhubungan dengan sudden cardiac death, emboli paru, intervensi

Dokumen terkait