1.1 Latar Belakang
Indonesia mempunyai perairan laut seluas 5,8 juta km
2dan mencapai
hampir 70 persen dari total luas wilayahnya (KADIN Indonesia 2011). Wilayah
laut yang luas ini menyimpan banyak potensi sumber daya perikanan yang
merupakan komoditas perikanan laut primadona untuk dimanfatkan. Salah satu
daerah di Indonesia yang memiliki potensi dalam hal perikanan tangkap yaitu
Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, yang terletak di ujung bagian barat
Pulau Jawa dan berhadapan langsung dengan Selat Sunda dan Samudera Hindia.
Laut Jawa dan Selat Sunda termasuk ke dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan
(WPP) Utara Jawa dan Selat Sunda dengan potensi lestari sebesar 847,515 ribu
ton pertahun (Rakhmania 2008).
Salah satu Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) di Kabupaten Pandeglang
yaitu PPP Labuan yang terletak di lokasi strategis dengan daerah-daerah
penangkapan ikan yang potensial di perairan Selat Sunda dan Samudera Hindia,
serta kedekatannya dengan pasar-pasar penting terutama Daerah Khusus Ibu kota
(DKI) Jakarta. Salah satu jenis ikan yang didaratkan di PPP Labuan ialah ikan
kurisi dari famili Nemipteridae. Ikan tersebut menempati urutan ketiga terbanyak
dari hasil tangkap ikan demersal yang didaratkan di PPP Labuan Banten yaitu
sebesar 14 % (Ditjen-Tangkap KKP 2010 in Rahayu 2012).
Pemanfaatan akan potensi sumberdaya laut tersebut harus didasari pada
prinsip pengelolaan sumberdaya alam yaitu bagaimana memanfaatkan
sumberdaya tersebut dengan memperhatikan kelestariannya agar tetap terjaga
sehingga dapat dimanfaatkan secara terus menerus dan dapat dinikmati oleh
generasi yang akan datang. Pengelolaan perikanan membutuhkan suatu analisis
dan informasi mendasar, terencana dengan benar dan terstruktur agar pengambilan
keputusan dalam pengelolaan tersebut lebih efektif dan efisien.
Menurut Widodo & Suadi 2006 bahwa dalam perumusan program
pengelolaan perikanan dibutuhkan suatu informasi salah satunya yaitu informasi
mengenai aspek biologi dari setiap perikanan. Aspek biologi perikanan dalam hal
ini berkisar tentang ilmu pengkajian stok dari spesies tertentu yang sedang dikaji.
Aspek biologi sering digunakan dalam penyusunan model pengelolaan perikanan
karena dapat menggambarkan karakteristik dari stok ikan.
Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin maju, namun
masih minimnya analisis dan informasi perikanan memungkinkan terjadinya
kesalahan dalam perencanaan pengelolaan perikanan. Penulis berinisiatif untuk
mengembangkan sebuah sistem informasi yang mendasar mengenai pengkajian
stok ikan secara terpadu. Program ini bernama CIAFISH (Calculation,
Information, and Analysis of Fisheries). Hasil rancangan ini nantinya akan
memudahkan dalam analisis pengkajian stok ikan.
1.2 Perumusan Masalah
Sistem analisis dan informasi yang ada saat ini masih minim dan belum
tertata dengan rapi. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Tangke 2010 bahwa
Tantangan dalam pengembangan usaha perikanan di Indonesia adalah lemahnya
sistem basis data dan sistem informasi perikanan yang berpengaruh terhadap
akurasi dan ketepatan waktunya, kelemahan ini dapat mengakibatkan salah
perencanaan akan berakibat pada kegagalan usaha. Salah satunya yaitu sistem
analisis dan informasi akan pengkajian stok ikan yang masih minim dan belum
terpadu. Microsoft Excel dan FiSAT merupakan salah satu contoh sistem analisis
dan informasi akan pengkajian stok ikan yang umum digunakan. Namun sistem
tersebut memiliki kekurangan dalam penggunaannya.
Penggunaan Microsoft Excel mengharuskan pengguna memahami secara
baik akan rumus pengkajian stok ikan. Hal ini akan menyulitkan bagi pengguna
yang kurang teliti dan tidak begitu memahami akan rumus pengkajian stok ikan.
Hal tersebut akan mempengaruhi proses dalam menghasilkan informasi
pengkajian stok ikan yang menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam
pengelolaan perikanan. Sehingga akan memungkinkan terjadinya kesalahan dalam
perencanaan pengelolaan perikanan. Penggunaan FiSAT membutuhkan waktu
lama untuk memahami cara penggunaannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa
sistem tersebut kurang user friendly. Selain itu belum terpadunya sistem analisis
dan informasi pengkajian stok ikan menjadikan tidak efisien dalam memperoleh
informasi akan pengkajian stok ikan yang menjadi dasar pertimbangan
pengelolaan perikanan. Berikut Gambar 1 disajikan kerangka pemikiran dari
penelitian ini.
Perencanaan pengelolaan perikanan membutuhkan sistem
analisis dan informasi yang mendasar akan pengkajian stok
ikan
Masih minimnya sistem analisis dan informasi mengenai pengkajian stok ikan secara
terpadu
Diperlukannya sistem analisis dan informasi akan pengkajian stok ikan secara efisien dan
terpadu
1. Pertumbuhan (hubungan panjang dan berat, sebaran frekuensi panjang, nilai K, L∞, t0) 2. Mortalitas
3. Laju eksploitasi 4. Model surplus produksi
instansi terkait
perikanan masyarakat umum akademisi
Sistem yang ada kurang user
friendly dan belum terpadu
Gambar 1. Kerangka pemikiran
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sebuah sistem analisis dan
informasi biologi yang terpadu akan hubungan panjang berat, sebaran frekuensi
panjang, nilai K, L∞, t
0, nilai mortalitas, laju eksploitasi dan model surplus
1.4 Manfaat
Manfaat yang didapat dengan dikembangkannya program CIAFISH
(Calculation, Information, and Analysis of Fisheries) adalah sebagai berikut:
a. Memudahkan dalam analisis pengkajian stok ikan
b. Aplikasi ini dapat digunakan oleh instansi terkait perikanan, akademisi,
maupun peneliti
c. Informasi dari analisis pengkajian stok ikan tersebut dapat digunakan
sebagai dasar penunjang keputusan dalam pengelolaan perikanan
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi PPP Labuan, Banten
Letak Geografis Provinsi Banten berada antara 5
o7'50" – 7
o1'11" LS dan
105
o1'11" – 106
o'7’12" BT, dengan luas wilayah 9.160,70 Km
2. Wilayah terluas
adalah Kabupaten Pandeglang dengan luas 3.746,90 Km
2. Di bagian Utara,
wilayah Provinsi Banten berbatasan dengan Laut Jawa. Batas sebelah Barat
adalah Selat Sunda, sebelah Timur adalah Samudera Hindia dan batas sebelah
Timur adalah Provinsi Jawa Barat. Provinsi Banten dikelilingi oleh laut, oleh
karena itu memiliki sumber daya laut yang potensial. Salah satunya yaitu berada
di daerah Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten (www.bantenprov.go.id).
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan berada di sebelah Utara
Kabupaten Pandeglang, dan terletak di Desa Teluk, Kecamatan Labuan
(Anonymous 2000 in Rakhmania 2008). Volume produksi hasil tangkapan
didaratkan di PPP Labuan pada tahun 2005 adalah 2.150,2 ton yang merupakan
produksi PPP terbesar dibanding PPP-PPP lainnya di Kabupaten Pandeglang;
yaitu sekitar 71,4% dari jumlah volume produksi hasil tangkapan Kabupaten
Pandeglang. Nilai produksi PPP ini juga tertinggi diantara PPP-PPP lainnya pada
tahun yang sama yaitu sebesar Rp 13.336,8 juta atau sekitar 82,3% dari jumlah
nilai produksi hasil tangkapan kabupaten ini (Rakhmania 2008).
2.2 Sumberdaya Ikan
Sumberdaya adalah sesuatu yang berguna dan bernilai pada kondisi kita
menemukannya. Secara umum sumberdaya alam dikelompokkan menjadi tiga
bagian yaitu (1) sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui dengan
contohnya adalah barang-barang tambang (minyak bumi dan batu bara), (2)
sumberdaya alam mengalir dengan contohnya adalah energi matahari dan
gelombang laut, dan (3) sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dengan
contohnya adalah hutan dan ikan (Randal 1987 in Ruslan 2005).
Ikan termasuk kelompok ketiga sebagai sumberdaya alam yang dapat
diperbaharui. Sifat kelompok ini apabila telah dipanen masih akan tumbuh
kembali dalam waktu dan dengan kecepatan tertentu. Sifatnya dapat diperbaharui.
Tetapi juga punya batas, apabila eksploitasi melebihi batas maksimum, maka
perkembangan dan pertumbuhan akan terganggu dan akan mengakibatkan
kepunahan. Jadi dalam usaha eksploitasi diperlukan manajemen yang bijaksana
(Muzakir 2008).
Potensi sumberdaya perikanan terdiri dari sumberdaya perikanan tangkap,
budidaya pantai (tambak), budidaya laut, dan bioteknologi kelautan (Dahuri 2001
in Tangke 2010). Potensi perikanan laut sesungguhnya merupakan asset yang
sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia namun masih belum banyak
yang digarap secara optimal karena informasinya belum ditempatkan dalam suatu
sistem basis data yang terpadu sehingga menyulitkan dalam pencariannya
(Tangke 2010).
Salah satu sifat sumberdaya ikan adalah sangat dinamis yang dapat
berubah dengan cepat sesuai dengan ruang dan waktu dan dengan kondisi lautan
yang sangat luas, maka untuk pengelolaan sumberdaya ikan diperlukan informasi
yang lebih spesifik baik secara temporal maupun secara spasial. Masih banyak
informasi mengenai sumberdaya perikanan yang belum tersedia misalnya dimana
ikan berada, kapan, jenis apa saja, berapa banyak, daerah mana yang belum
dimanfaatkan, bagaimana pengaruh kondisi oseanografi terhadap sumberdaya dan
sebagainya (Tangke 2010).
2.3 Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus)
Klasifikasi ikan kurisi menurut FAO (2001) in Rahayu (2012) adalah
sebagai berikut :
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Super kelas : Osteichthyes
Kelas : Actinopterygii
Sub Kelas : Actinopterygii
Super ordo : Acanthopterygii
Ordo : Perciformes
Family : Nemipteridae
Genus : Nemipterus
Spesies : Nemipterus japonicus (Bloch 1791)
Nama Internasional : Japanese threadfine bream
Nama Indonesia : Kurisi
Ciri-ciri umum ikan kurisi menurut Russel 1990 in Fitriyanti 2000 antara
lain sirip dada sangat panjang yaitu 1,0-1,3 kali panjang kepala dan hampir
mencapai sirip dubur, sirip perut cukup panjang dan hampir mencapai anus. Sirip
ekor menyerupai garpu dengan bagian cuping sirip ekor lebih panjang dari bagian
bawah dan membentuk filamen yang cukup panjang. Terdapat 4-5 gigi taring
yang kecil pada bagian anterior rahang atas. Warna ikan pada bagian atas merah
muda dan keperakan dibawahnya, bagian atas kepala di belakang mata berwarna
keemasan, serta mempunyai 11-12 garis berwarna kuning di sepanjang tubuh
yang dimulai dari belakang kepala sampai dasar sirip ekor. Berikut Gambar 2
disajikan gambar ikan kurisi (Nemipterus japonicus).
Gambar 2. Ikan Kurisi Nemipterus japonicus
Sumber : www.fishbase.org
Ikan kurisi merupakan ikan demersal, namun ada juga yang hidup di dasar
dan kolom air pada saat matahari terbenam. Ikan kurisi merupakan hewan
karnivora. Makanan ikan ini terdiri dari ikan kecil, crustacea, molusca (terutama
cephalopoda), polychaeta dan echinodermata (De Bruin et al. In Fitriyanti 2000).
Berdasarkan penelitian yang terdahulu dapat diketahui bahwa pola pertumbuhan
ikan kurisi adalah alometrik negatif dengan b = 2.664 (Raeisi et al. 2012). Untuk
ukuran pertama kali matang gonad ikan kurisi Nemipterus japonicus menurut
Kizhakudan (2008) sebesar 141 mm.
2.4 Sebaran Frekuensi Panjang
Metode pendugaan pertumbuhan berdasarkan data frekuensi panjang
sering digunakan jika metode lain seperti metode penentuan umur tidak dapat
dilakukan (Sparre and Venema 1999). Menurut Pauly 1983 in Sinaga 2010 bahwa
hasil dari pengukuran panjang ikan yang dijadikan contoh dan analisa dengan
benar dapat menduga parameter pertumbuhan yang digunakan dalam pendugaan
stok spesies tunggal. Parameter pertumbuhan tersebut diantaranya kelompok
ukuran ikan yang penentuannya didasarkan pada frekuensi panjang individu
dalam suatu spesies dengan kelompok umur yang sama akan bervariasi mengikuti
sebaran normal (Effendie 2005) dan untuk melihat komposisi tangkapan.
Setelah komposisi umur diketahui melalui analisis frekuensi panjang, maka
parameter pertumbuhan, mortalitas penangkapan dan laju eksplotasi dapat
ditentukan dengan metode-metode estimasi yang sesuai (Syakila 2009). Boer
1996 bahwa penggunaan histogram frekuensi panjang sering dianggap teknik
yang paling sederhana diterapkan untuk mengetahui tingkatan stok ikan, tetapi
yang perlu dicatat bahwa struktur data panjang sangat bervariasi tergantung
letaknya baik secara geografis, habitat, maupun tingkah laku. Selain itu dapat
disebabkan oleh beberapa kemungkinan seperti perbedaan lokasi pengambilan
ikan contoh, keterwakilan ikan contoh yang diambil dan kemungkinan tekanan
penangkapan yang tinggi terhadap ikan (Syakila 2009)
2.5 Pertumbuhan
Pertumbuhan suatu individu merupakan pertambahan ukuran panjang atau
berat dalam suatu waktu (Effendie 2005). Sedangkan menurut Affandi 2002
bahwa pengertian pertumbuhan populasi merupakan proses perubahan jumlah
individu atau biomasa pada periode waktu tertentu. Secara umum pertumbuhan
ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal pada
umumnya faktor yang sukar dikontrol diantaranya yaitu keturunan (genetik), jenis
kelamin, umur, parasit dan penyakit. Namun faktor eksternal yang mempengaruhi
pertumbuhan diantaranya makanan dan suhu perairan (Effendie 2005).
Pentingnya pendugaan pertumbuhan dalam dinamika populasi yaitu laju
pertumbuhan mempengaruhi kapan ikan pertama kali bertelur (kematangan),
rekruitment, komposisi umur stok dan mortalitas (Aziz 1989). Effendie 2005
mengatakan pola pertumbuhan ikan terdiri atas isometrik dan allometrik.
Isometrik adalah pertumbuhan pada ikan yang terjadi terus menerus dimana
penambahan berat proporsional terhadap perubahan panjang. Sedangkan
allometrik adalah pertambahan berat tidak proposional terhadap perubahan
panjang.
2.6 Hubungan Panjang-Berat
Analisis hubungan panjang dengan berat bertujuan untuk mengetahui pola
pertumbuhan ikan di alam yang selanjutnya akan berguna bagi kegiatan
pengelolaan perikanan (Ricker 1975 in Effendie 2005). Dari pola pertumbuhan
akan dihasilkan nilai regresi antara panjang dengan berat serta akan didapatkan
nilai a dan b. Apabila nilai b=3 disebut pola pertumbuhan isometrik yaitu
pertumbuhan panjang dengan berat sebanding. Ketika b <3 ditafsirkan bahwa
pertambahan beratnya tidak secepat pertambahan panjang (pola pertumbuhan
allometrik negatif) dan sebaliknya b> 3 ditafsirkan bahwa pertambahan beratnya
lebih cepat dibandingkan pertambahan panjangnya yang disebut pola
pertumbuhan allometrik positif (Effendie 2005). Raesi et al. 2012 mengatakan
bahwa nilai b dapat menggambarkan bentuk tubuh.
2.7 Nilai L∞, K, dan t
0Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy 1938 in Aziz 1989 adalah satu
dari kebanyakan model yang digunakan secara luas untuk menduga panjang atau
berat ikan pada titik waktu mendatang. Model ini menjelaskan perubahan panjang
(Lt) sepanjang waktu sebagai suatu fungsi dari panjang maksimum (L∞) dan
koefisien pertumbuhan (K). Metode Ford Walford dapat digunakan untuk
menduga panjang maksimum (L∞) ikan dan koefisien pertumbuhan (K) dari
persamaan Von Bartalanffy (Aziz 1989). L∞ yaitu nilai rata-rata panjang ikan
yang sangat tua. Koefisien pertumbuhan (K) didefinisikan sebagai parameter
yang menyatakan kecepatan kurva pertumbuhan dalam mencapai panjang
asimtotiknya (L∞) dari pola pertumbuhan ikan. Jadi semakin tinggi nilai koefisien
pertumbuhan, maka ikan semakin cepat mencapai panjang asimtotik dan beberapa
spesies kebanyakan diantaranya berumur pendek. Sebaliknya ikan yang memiliki
nilai koefisien pertumbuhan rendah maka umurnya semakin tinggi karena lama
untuk mencapai nilai panjang asimtotiknya (Spare & Venema 1999).
2.8 Mortalitas dan Laju Eksploitasi
Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas alami (M) dan
laju mortalitas penagkapan (F). Mortalitas alami yaitu mortalitas yang terjadi
karena berbagai sebab selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stres
pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999).
Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan
Von Bartalanffy yaitu K dan L∞. Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai k tinggi)
mempunyai nilai “M” tinggi dan sebaliknya. Nilai “M” berkaitan dengan L∞
karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Sedangkan mortalitas
penangkapan yaitu mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan.
Tingginya laju mortalitas penangkapan dan menurunnya laju mortalitas alami juga
dapat menunjukkan dugaan terjadi growth overfishing yaitu sedikitnya jumlah
ikan tua di alam (Sparre dan Venema 1999).
Laju eksploitasi (E) merupakan jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan
dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik alami maupun
penangkapan (Pauly 1984 in Sinaga 2010). Menurut Pauly 1984 in Sinaga 2010
bahwa menduga stok yang dieksploitasi optimum, laju eksploitasi (E) sama
dengan 0.5. Semakin tinggi tingkat eksploitasi di suatu daerah maka mortalitas
penangkapannya semakin besar (Lelono 2007 in Syakila 2009).
2.9 Model Surplus Produksi
Pengkajian stok mencakup suatu estimasi tentang jumlah atau kelimpahan
(abundance) dari sumberdaya. Selain itu, mencakup pula pendugaan terhadap laju
penurunan sumberdaya yang diakibatkan oleh penangkapan serta sebab-sebab
lainnya, dan mengenai berbagai tingkat laju penangkapan atau tingkat kelimpahan
stok yang dapat menjaga dirinya dalam jangka panjang (Widodo & Suadi 2006).
Pada prinsipnya kelestarian sumberdaya akan terjamin jika jumlah volume
ikan yang ditangkap sama dengan jumlah ikan akibat pertumbuhan populasi.
Konsep ini kemudian berkembang menjadi model pengelolaan perikanan tangkap
yang disebut model surplus produksi. Hal tersebut bertujuan untuk induk-induk
berkembang biak secara alamiah (Susilo 2009).
Model surplus produksi merupakan model-model stok tunggal yang
dikarakteristikkan tidak memerlukan data struktur umur namun menggunakan
hasil tangkapan dan upaya penangkapan (Aziz 1989). Tujuan penggunaan model
surplus produksi untuk meningkatkan upaya optimum ( effort MSY atau f
msy),
yaitu upaya yang menghasilkan suatu hasil tangkapan yang maksimum lestari
tanpa mempengaruhi stok secara jangka panjang atau yang sering disebut
Maximum Sustainable Yield/MSY serta jumlah tangkapan yang diperbolehkan
(JTB/TAC) (Sinaga 2011). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB/TAC)
adalah 80% dari potensi maksimum lestarinya (MSY) (Susilo 2009).
2.10 Sistem Informasi Perikanan
Sistem dapat didefinisikan sebagai kesatuan elemen yang saling terkait
(Rochim 2002). Elemen-elemen tersebut saling berhubungan dan bekerja bersama
untuk mencapai tujuan bersama dengan menerima input/masukan serta
menghasilkan output/keluaran dalam proses yang terjadi (O’Brien 2008).
Komponen-komponen atau fungsi dasar dari sistem menurut O’Brien 2008
diantaranya : input/masukan, proses, output/keluaran.
Informasi memiliki arti data yang telah diolah/terorganisir sehingga
memiliki arti dan nilai bagi penerima informasi (Stair 1992). Informasi
merupakan hasil dari pengolahan data dalam suatu bentuk yang lebih berguna
bagi penerimanya dan menggambarkan suatu kejadian nyata yang digunakan
untuk pengambilan keputusan. Sumber dari informasi adalah data yang
merupakan bentuk yang masih mentah (belum dapat bercerita banyak) sehingga
perlu diolah lebih lanjut melalui suatu model. Data tersebut akan ditangkap
sebagai input/masukan (Andayati 2010). Pengertian dari sistem dan informasi
dapat digabungkan menjadi sekelompok elemen yang saling berhubungan, bekerja
bersama untuk mencapai tujuan bersama dengan menerima input/masukan berupa
data serta menghasilkan output/masukan berupa informasi dalam proses
transformasi yang teratur. Komponen sistem informasi menurut Stair 1992 dalam
bukunya Principle of Information Systems a Managerial Approach diantaranya :
hardware/perangkat keras, software/perangkat lunak, database, jaringan, prosedur
dan manusia.
Sistem informasi perikanan Indonesia pada dasarnya berfungsi sebagai
infrastruktur informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan berbagai
permasalahan dan juga mengakomodir semua tujuan yang diharapkan. Sistem ini
diharapkan dapat memberikan informasi yang berbasis multimedia kepada
penggunanya (Tangke 2010).
Pembentukan sistem informsi perikanan memerlukan informasi perikanan.
Informasi perikanan yang diperlukan dikelompokkan dalam informasi perikanan
tangkap dan informasi perikanan budidaya. Informasi perikanan tangkap yang
diperlukan meliputi: (1) distribusi spasial dan temporal jenis-jenis sumberdaya
perikanan, (2) potensi lestari setiap jenis sumberdaya perikanan, (3) persyaratan
ekologis bagi kehidupan dan pertumbuhan setiap jenis sumberdaya perikanan, (4)
trophodynamics (transfer energi dan materi antar trophic level) dalam suatu
ekosistem perairan dimana sumberdaya perikanan yang dikelola hidup, (5)
dinamika populasi sumberdaya perikanan, (6) sejarah hidup dari sumberdaya
perikanan, (7) kualitas perairan dimana sumberdaya hidup, dan (8) tingkat
penangkapan/pemanfaatan terhadap sumberdaya perikanan, dalam bentuk upaya
tangkap secara berkala, (9) Jumlah armada penangkapan ikan dari berbagai
ukuran baik yang artisanal maupun modern secara spasial dan temporal serta
jumlah nelayan yang memang benar-benar melakukan kegiatan sebagai nelayan
(Soselisa 2001 in Tangke 2010).
Tantangan dalam pengembangan usaha perikanan di Indonesia adalah
lemahnya sistem basis data dan sistem informasi perikanan yang berpengaruh
terhadap akurasi dan ketepatan waktunya, kelemahan ini dapat mengakibatkan
salah perencanaan akan berakibat pada kegagalan usaha. Namun pada masa
sekarang dimana sumberdaya tersebut telah dimanfaatkan dan keadaan
lingkungan yang semakin memburuk ketepatan data dan timingnya menjadi
sangat menentukan. Tantangan lain adalah kualitas sumberdaya manusia, karena
untuk membangun suatu sistem informasi dibutuhkan sumberdaya manusia yang
berkualitas dan mampu menguasai teknologi sistem informasi serta
mengoperasikannya (Tangke 2010).
Salah satu permasalahan pembangunan perikanan Indonesia adalah
keterbatasan data dan informasi yang dapat dijadikan rujukan perencanaan dan
pengelolaan sumberdaya perikanan. Ketersediaan data dan informasi perikanan
yang akurat hingga saat ini masih dipandang sebagai hal yang tidak begitu penting
dan mendesak dalam pembangunan perikanan nasional. Hingga saat ini, belum
ada lembaga yang menangani penyediaan data dan informasi secara menyeluruh,
melainkan masih dilakukan oleh masing-masing instansi sesuai dengan
kebutuhan. Akibatnya sering terjadi perbedaan data dan informasi perikanan
(Tangke 2010).
2.11 Sistem Penunjang Keputusan
Sistem penunjang keputusan (SPK) atau Decision Support System adalah
sistem yang bertujuan untuk menyediakan informasi, membimbing, memberikan
prediksi, serta mengarahkan pengguna informasi agar dapat melakukan
pengambilan keputusan dengan lebih baik dan berbasis fakta (Kusumadewi &
Hermaduanti 2008). SPK yang baik harus mampu menggali informasi dari
database, melakukan analisis, serta memberikan interprestasi dalam bentuk yang
mudah dipahami dengan format yang mudah untuk digunakan (user friendly).
Menurut Turban 2001 in Trisnawarman & Erlysa 2007 tujuan dari
pembuatan sistem penunjang keputusan yaitu:
a. Membantu membuat keputusan untuk memecahkan masalah yang
sepenuhnya terstruktur dan tidak terstruktur
b. Mendukung penilaian manajer bukan mencoba menggantikannya. Komputer
dapat diterapkan dalam menyelesaikan masalah yang terstruktur. Untuk
masalah yang tidak terstruktur, pengguna bertanggung jawab untuk
menerapkan penilaian, dan melakukan analisis. Komputer dan manajer
bekerja sama sebagai tim pemecahan masalah
Suatu sistem penunjang keputusan (SPK) memiliki tiga subsistem sesuai yang
pernyataan oleh Ekasari dan Husnul 2007, yaitu:
a. Subsistem Manajemen Basis Data
Sumber data untuk SPK (Sistem penunjang keputusan) berasal dari luar dan
dari dalam (basis data), terutama untuk proses pengambilan keputusan pada level
manajemen puncak. Kemampuan yang dibutuhkan dari manajemen basis data
SPK adalah:
Mengkombinasikan berbagai variasi data melalui pengambilan dan
ekstraksi data
Menambahkan sumber data secara cepat dan mudah
Menggambarkan struktur data logikal sesuai dengan pengertian
pemakai sehingga pemakai mengetahui apa yang tersedia dan dapat
menentukan kebutuhan penambahan dan pengurangan
Mengelola berbagai variasi data.
b. Subsistem Manajemen Basis Model
Model-model yang banyak digunakan dalam proses pengambilan
keputusan dibagi dalam dua jenis, yaitu:
Model matematika, yang mempresentasikan sistem secara simbolik
dengan menggunakan rumus-rumus atau abstrak, selanjutnya akan
dijabarkan dalam operasi matriks, algoritma iteratif dan model-model
keputusan matematika lainnya.
Model informasi, yang mempresentasikan sistem dalam format grafik
atau tabel. Model informasi akan mendeskripsikan apa dan bagaimana
objek secara rinci (bentuk tabel atau daftar), merepresentasikan
hubungan antar objek (bentuk grafis), menunjukkan urutan tugas atau
proses yang dilakukan objek (peta proses operasi atau diagram alur)
c. Subsistem Penyelenggara Dialog
Komponen dialog suatu SPK (Sistem Penunjang Keputusan) adalah sarana
antarmuka/interface antara pemakai dengan SPK (Sistem Penunjang Keputusan).
Komponen dialog menyajikan output/keluaran SPK (Sistem penunjang
keputusan) pada pemakai dan mengumpulkan input/masukan ke dalam SPK
(Sistem Penunjang Keputusan). Beberapa jenis gaya dialog, diantaranya:
Dialog tanya jawab: sistem bertanya pemakai menjawab, seterusnya
hingga sistem menghasilkan jawaban yang diperlukan untuk mendukung
keputusan.
Dialog perintah: adalah perintah untuk menjalankan fungsi-fungsi SPK
(Sistem Penunjang Keputusan).
Dialog menu: pemakai memilih salah satu dari beberapa menu yang
disediakan.
Dialog form masukan/keluaran: sistem menyediakan form input
(masukan) untuk pemakai memasukkan data atau perintah dan form
output (keluaran) sebagai bentuk tanggapan dari sistem.
2.12 Pengembangan Sistem
Pengembangan sistem dapat berarti menyusun suatu sistem yang baru
Dalam dokumen
SISTEM INFORMASI PENGKAJIAN STOK IKAN (STUDI KASUS : IKAN KURISI
(Halaman 15-33)