• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Adat istiadat merupakan warisan leluhur yang masih ada di tengah-tengah masyarakat, karena adat istiadat merupakan tatanan yang mengatur kehidupan di masyarakat secara turun temurun. Masyarakat yang beradat lebih tertib dalam menjalankan berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat. Begitu pula adat istiadat yang masih dipakai masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, begitu pula khususnya di Tapanuli Selatan.

Pada prosesi pelaksanaan upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan, tokoh adat selalu menggunakan media bahasa yang disampaikan secara lisan. Tradisi lisan dilakukan pada upacara perkawinan adat, di samping persyaratan adat yang harus dipenuhi agar upacara adat tersebut dapat terselenggara. Tradisi lisan pada upacara adat merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh komunitas adat untuk menyampaikan maksud sesuai dengan bahasa adat dan aturan adat yang berlaku. Tradisi lisan itu terwujud melalui leksikon-leksikon adat.

Leksikon adat yang digunakan sebagai sistem isyarat “language is a system of codes” yang digunakan oleh kelompok sosial adat berdasarkan konvensi antara anggota kelompok masyarakat dalam satu kesatuan adat. Leksikon bahasa adat merupakan sesuatu yang konvensional bagi komunitasnya. Isyarat-isyarat yang digunakan harus merupakan kesepakatan bersama secara turun-temurun oleh warga komunitas bahasa yang diejawantahkan dengan leksikon adat. Komunitas penutur bahasa adat menggunakan tradisi lisan dengan perantaraan leksikon atau ungkapan

yang sama untuk menyebut sesuatu keadaan atau untuk penamaan sesuatu hal yang disebabkan oleh keperluan yang berasal dari lingkungan di sekitarnya.

Menurut Sapir (1921), Bahasa adalah murni kemanusiaan (purely humane) dan merupakan jalur non-instingtif (non-instinctive network) untuk mengkomunikasikan ide, emosi, kehendak, harapan, dan cita-cita dengan memanfaatkan secara sengaja sistem yang dihasilkan oleh isyarat-isyarat bahasa dan kebahasaan (language and linguistic codes). Sejalan dengan Sapir, Halliday (1978) menyatakan bahwa bahasa merupakan semiotik sosial. Semiotik sosial menurut Sinar (2003) adalah sistem makna yang direalisasikan melalui sistem linguistik, yang terwujud dengan penggunaan melalui leksikon pada upacara adat berbentuk tradisi lisan.

Tradisi lisan pada upacara adat di Tapanuli Selatan digunakan untuk berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya. Tradisi lisan yang digunakan pada upacara adat merupakan kearifan lokal (local wisdom), karena berfungsi mengatur sistem nilai, pengetahuan tradisional (local knowledge), hukum, pengobatan, sistem kepercayaan, dan religi.

Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa, para penutur dan komunitas tradisi lisan semakin berkurang. Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan cepat. Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam upaya menjaga tradisi lisan pada upacara adat sebagai pengetahuan pada masa kini dan yang akan datang adalah sistem pewarisan adat istiadat dan budaya Tapanuli Selatan.

Adat istiadat dan budaya Tapanuli Selatan pada khususnya dan budaya Batak pada umumnya melakukan prosesi upacara perkawinan adat dengan tradisi lisan. Tradisi lisan di Tapanuli Selatan dilakukan untuk menyampaikan maksud dan tujuan dilakukannya upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan seperti: martahi, panaek gondang, tu tapian raya bangunan magupa, haroan boru, malehen mangan, dan lain-lain.

Upacara adat perkawinan merupakan budaya yang diyakini masyarakat pemakainya dan sebagai bagian yang harus dijalankan bila melakukan kegiatan tersebut. Besar kecilnya upacara adat perkawinan disesuaikan dengan kemampuan finansial pemilik hajat perkawinan. Oleh karena itu, besar kecilnya upacara adat perkawinan tidak mengurangi nilai-nilai pelaksanaan upacara adat perkawinan tersebut.

Sebagian besar pelaksanaan tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan dilakukan dengan menggunakan bahasa lisan. Oleh karena itu, tadisi lisan selalu hadir dalam keseluruhan rangkaian upacara adat perkawinan. Hanya saja, dalam tradisi lisan tersebut diasumsikan telah terjadi kemunduran konsepsi pengetahuan tentang leksikon yang dipakai pada tradisi lisan itu. Hal ini disebabkan oleh faktor agama, finansial, ekologi lingkungan, dan pemahaman masyarakat tentang tradisi lisan pada upacara perkawinan adat.

Ada indikasi bahwa, pengetahuan masyarakat tentang tradisi lisan pada upacara perkawinan adat, belum dikembangkan melalui jalur pendidikan, sehingga tradisi lisan pada upacara perkawinan adat (Mandailing, Angkola, dan Batak) kian terabaikan. Padahal bila dikaji dan analisis, leksikon yang digunakan dalam tradisi

lisan tersebut mengandung kearifan lokal dan mengandung nilai-nilai filosofis adat dan tradisi yang terpatri pada komunitas adat. Karena tidak dipelajari, adat istiadat yang mengandung nilai-nilai tradisi dan kaya makna itu, menjadi terlupakan. Akibatnya generasi muda Mandailing/ Tapanuli Selatan pun berpaling kepada nilai-nilai Barat yang membuatnya terasing dan kehilangan kepribadian (Nasution, 2005; 483).

Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan Sinar (2010: 70) bahwa banyak bahasa daerah di Indonesia berada di ambang kritis, semakin sulit untuk “hidup”, bertahan, berfungsi, dan terwaris secara utuh. Banyak nilai yang tergusur dan punah. Belum lagi dengan ancaman hegemoni dan dominasi beberapa bahasa internasional, regional, dan nasional yang semakin mendesak bahasa-bahasa minoritas.

Begitu pula pemikiran Nasution, “Tidak sedikit adat dan pola-pola tradisi masyarakat disebabkan karena hantaman palu pembangunan yang dilancarkan dengan semangat kapitalisme yang tanpa moral, ekologi, hutan dan tanah adat digusur demi pembangunan (2005: 485). Hal ini sesuai dengan pendapat Adisaputra (2010: 57) bahwa, kondisi ekologi yang berubah, maka sejumlah entitas akan mengalami perubahan, penyusutan dan bahkan hilang sama sekali. Akibatnya, pada sejumlah leksikal yang terekam melalui proses konseptualisasi dalam pikiran penutur menjadi leksikal yang fungsional untuk digunakan. Pada kondisi ekologi yang berubah, maka sejumlah entitas pun akan mengalami perubahan, penyusutan atau bahkan hilang sama sekali. Akibatnya, sejumlah leksikal akan hilang dalam alam pikiran penutur. Konseptualisasi penutur dunia juga akan berubah sesuai dengan perubahan sosial ekologis mereka.

Bila pembangunan yang dilaksanakan tidak mempertimbangkan sistem ekologi lingkungan, maka akan berdampak pada kepunahan habitat di lingkungan tersebut. Dengan demikian, leksikal yang digunakan untuk habitat itu pun dengan sendirinya akan hilang. Untuk itu, perlu tindakan prepentif yang ditegaskan oleh Haugenian, bahwa upaya penyelamatan bahasa amat diperlukan karena kepunahan bahasa begitu cepat dalam satu dasawarsa.(Fill, 2001: 44).

Penghilangan leksikal akan berpengaruh pada kelangsungan tradisi adat istiadat dan budaya Tapanuli Selatan/ Mandailing, yang hanya dikenal di daerah yang hanya pada komunitas pemakainya. Sebaliknya generasi muda sebagai penerus budaya daerah Tapanuli Selatan/ Mandailing belum berkeinginan untuk mempelajari tradisi lisan, karena belum memahami leksikon yang digunakan pada tradisi lisan tersebut.

Lebih memprihatinkan lagi yang disebutkan Dalimunthe dalam Nasution, (2005: xiii), “Sekarang bukan hanya generasi muda/ remaja saja yang tidak memahami adat/ budayanya, tetapi tidak sedikit pula orang tua telah melupakan jati dirinya yang berbudaya khas.” Hal tersebut tidak lain disebabkan pengaruh dari luar tadi serta minimnya informasi dan rasa penghargaan terhadap apa yang dimilikinya, apakah itu sopan santun, tata krama, adab bertutur, hingga pengetahuan di bidang upacara adat perkawinan dan sebagainya.

Adisaputra (2009: 24) menjelaskan, penyusutan konsepsi leksikal pada penutur bahasa generasi baru, yaitu komunitas remaja pada aspek sosial, dinamika kehidupan komunitas remaja ditandai oleh adanya paradigma baru yang tidak berakar dari budaya tradisi. Penyusutan konsepsi leksikal tentang dunia sekitar ataupun

tercerabutnya akar budaya tradisi pada komunitas remaja menyebabkan penurunan kualitas hidup secara sosiobudaya.

Lubis (2001) menyebutkan, pada masa ini sebagian besar orang Mandailing/ Tapanuli Selatan yang lahir Tahun 1940-an tidak banyak mengenal sepenuhnya kebudayaan Mandailing/ Tapanuli Selatan dan generasi keturunan mereka sekarang ini lebih tidak mengenal lagi kebudayaan Mandailing/ Tapanuli Selatan, dari kedua generasi tersebut ternyata pula tidak banyak yang sungguh-sungguh memperdulikan kebudayaan Mandailing/ Tapanuli Selatan dan kondisinya yang terus menerus mengalami erosi. Dalam keadaan yang demikian itu banyak diantara bagian-bagian penting dari kebudayaan Mandailing/ Tapanuli Selatan yang punah sama sekali, misalnya hata andung, hata sibaso, hata parkapur, dan hata teas dohot jampolak, yang masih dipakai hata somal, demikian juga gordang sambilan, gordang dua, dan juga sastra lisan.

Berkaitan dengan kenyataan yang sebutkan di atas mengundang perlunya peneliti untuk melakukan penelitian tradisi lisan upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan: pemahaman leksikal remaja di Padangsidimpuan, kajian ini menggunakan perpaduan dua pendekatan yaitu pendekatan nilai-nilai kearifan lokal tradisi lisan dengan pendekatan ekolinguistik, hal ini disebabkan bahwa terjadi penyusutan pemahaman leksikon bahasa tradisi lisan pada upacara perkawinan adat itu sendiri dan merupakan peristiwa ekologi yang menyebabkan perubahan pada bahasa yang digunakan, begitu pula tradisi lisan upacara perkawinan adat memiliki nilai-nilai kearifan lokal, yang menjadi falsafah hidup masyarakat di Tapanuli Selatan.

Dokumen terkait