• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENTINGNYA PENGATURAN TINDAK PIDANA

B. Pendanaan Terorisme

Pendanaan terorisme merupakan urat nadi dari terjadinya suatu kegiatan terorisme. Dalam melakukan suatu aksi teror dibutuhkan dana dalam jumlah besar. Berdasarkan kenyataan ini upaya pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme dianggap sebagai upaya terkini untuk memberantas kegiatan terorisme itu sendiri. Pengaturan pendanaan terorisme dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyatakan bahwa “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana

57

terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10”.58 Selanjutnya Pasal 13 huruf (a) menyebutkan bahwa Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme.

Berdasarkan Pasal tersebut di atas dapat terlihat bahwa pembuat Undang Undang sudah mencoba untuk mengkriminalisasi pendanaan terorisme. Walaupun pengertian maupun istilah pendanaan terorisme itu sendiri tidak didefinisikan secara jelas, namun dengan adanya sanksi atas pemberian dana bagi kegiatan terorisme sebetulnya undang-undang itu sendiri telah menunjukkan adanya kriminalisasi pendanaan terorisme seperti yang telah diamanatkan oleh konvensi internasional tentang pencegahan pendanaan terorisme. Pendanaan terorisme sebagaimana yang diatur dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sifatnya sebagai penyertaan dimana tindak pidana ini dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana. Penyertaan yang dianut oleh UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme berbeda dengan penyertaan sebagaimana yang dikenal dalam Pasal 56 KUHP.

Sedangkan pendanaan terorisme yang diatur dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak terdapat unsur memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana atau tidak harus bersifat

58

penyertaan. Selain itu, penyertaan yang dianut oleh UU Terorsime pada prinsipnya menggunakan ketentuan dalam Pasal 56 KUHP, hanya pemidanaannya saja yang dipersamakan dengan pelaku.

Selanjutnya, teroris memerlukan dana untuk mendapatkan senjata dan bahan- bahan peledak yang belakangan ini banyak digunakan. Kelompok-kelompok teroris yang sudah sangat terorganisir menggunakan peralatan-peralatan yang lebih canggih, baik untuk senjata maupun sarana komunikasi. Selain itu, agar tenaga-tenaga dapat terlatih untuk menjalankan aksinya mereka perlu membuat pelatihan. Dibutuhkan adanya tempat untuk menampung para teroris sehingga mereka dapat hidup dan memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Semua kegiatan dan kebutuhan diatas membutuhkan dana yang dapat dibilang tidak sedikit. Sehingga, apabila setiap negara dapat memotong aliran dana bagi para teroris maka tindakan terorisme dapat dicegah. Upaya terbaru untuk memberantas kegiatan terorisme adalah dengan memotong aliran dana bagi kegiatan tersebut. Dalam melaksanakan aksinya teroris atau organisasi teroris membutuhkan dana yang cukup besar. Apabila pemerintahan di setiap negara dapat bekerjasama dan mendukung upaya pencegahan pendanaan terorisme maka bukanlah suatu harapan yang mustahil untuk dapat memberantas kegiatan terorisme secara nyata. Perserikatan Bangsa-Bangsa juga menyadari akan pentingnya upaya terbaru ini, sehingga pada tanggal 9 Desember 1999 dikeluarkanlah International Convention For The Suppression of The Financing of Terrorism. Konvensi pendanaan terorisme ini menghendaki agar tiap negara peserta mengambil langkah-langkah

untuk mencegah dan mengatasi pendanaan terorisme baik secara langsung maupun tidak langsung.59

Perkembangan selanjutnya adalah Indonesia meratifikasi konvensi internasional tentang pendanaan terorisme dengan diundangkannya UU No. 6 Tahun 2006 sehingga apa yang diatur dalam konvensi tersebut menjadi telah berlaku di Indonesia.60 Pada Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Pendanaan Terorisme atau International Convention For The Suppression of The Financing of Terrorism hanya mengatur pendanaan yang dilakukan oleh orang ataupun sekelompok orang yang terjadi antar negara atau yang bersifat multinasional.61 Sedangkan dalam metode pembiayaan bagi terorisme juga dikenal negara sebagai pihak yang mendukung kegiatan terorisme (state- sponsored terrorism) dengan ikut menyalurkan dana bagi kegiatan tersebut. Contoh nyata dari metode ini adalah Afghanistan selama dibawah pimpinan Taliban yang kerap kali memberikan fasilitas seperti kamp-kamp pelatihan kepada Osama bin Laden dan bahkan memberikan dukungan dana yang berasal dari Al-Qaeda dan ekstrimis islam

59

Christy Natalia, Op.cit, hal. 85 60

United Nations, International Convention For The Suppression of The Financing of

Terrorism, (New York, 1999), article 3.

61

Soeharto, Op.cit, hal. 3 bahwa dari segi pengaturan hukum Internasional terdapat tiga konvensi internasional yang mengatur tentang terorisme yaitu:

a. International Convention and Suppression of Terorism, 1973 (Konvensi tentang Pencegahan

dan Pemberantasan Terorisme).

b. International Convention of Suppression of Terrorist Bombing 1997 (Konvensi Internasional

tentang Pemberantasan Pengeboman oleh Terorisme) disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2006 tanggal 5 April 2006.

c. International Convention for the Suppression of Financing of Terorism 1999. (Konvensi

Internasional tentang Pemberantasan Pendanaan untuk Terorisme) disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 tanggal 5 April 2006.

yang berada di Pakistan.62 Atas dasar kenyataan ini perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1333 Tahun 2001 yang memberikan sanksi kepada Taliban atas kegiatan pembiayaan terorisme yang dilakukannya. Indonesia sendiri pada saat ini telah dapat ditemui kasus yang diadili dengan menggunakan Pasal-Pasal yang mengatur pendanaan terorisme. Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pemerintah Indonesia juga telah mengatur pendanaan terorisme. Ketentuan pendanaan terorisme ini diatur secara bersamaan dengan kegiatan terorisme dalam undang-undang tersebut. Namun, undang-undang ini tidak secara tegas menggunakan istilah pendanaan terorisme atau bahkan memberikan pengertian apa itu pendanaan terorisme. Dalam ketentuan yang mengatur pendanaan terorisme hanya melarang tindakan- tindakan untuk memberikan bantuan dana bagi kegiatan terorisme.

Pengaturan terkait pendanaan terorisme diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu dengan diundangkannya UU No. 25 Tahun 2003 yang merubah dan menambah UU No. 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian sebelum lahirnya UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. UU No.15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang diundangkan sebelum adanya undang-undang tentang tindak pidana terorisme. Namun, Pasal 2 UU No. 15 Tahun 2002 telah memasukkan tindak pidana terorisme sebagai salah satu bentuk kejahatan asal pada pencucian uang. Diaturnya

62

terorisme dalam undang-undang ini adalah untuk mengcover apabila kemudian diundangkannya UU tentang Tindak Pidana Terorisme. Setelah adanya perubahan dan penambahan , yaitu dengan diundangkannya UU No. 25 Tahun 2003 barulah pendanaan terorisme diatur dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang serta diikuti dengan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPPTPPU).

Perkembangan tindak pidana terorisme ke depannya tentu saja akan semakin kompleks kepentingannya dan didukung oleh berbagai peralatan yang yang semakin canggih. Aksi-aksi teror yang ada sekarangpun ini jauh lebih berbahaya dari aksi teror yang dikenal sebelumnya. Selain itu, sulit dideteksi apa, bagaimana, dimana dan siapa yang menjadi sasaran berikut.63 Namun, dari awal dan perkembangan terorisme didapati satu hal yang tidak akan berubah bahwa kegiatan atau aksi teror pastilah membutuhkan dana. Berdasarkan pemahaman ini maka dengan semakin ditingkatkannya kerjasama dan usaha-usaha untuk dapat memotong aliran dana bagi kegiataan teroris maka bukanlah suatu yang mustahil untuk dapat mencegah atau menekan angka terjadinya aksi-aksi terorisme.

Istilah pendanaan terorisme muncul dikarenakan adanya aksi teror diberbagai belahan dunia. Teror berarti usaha menciptakan ketakutan, kengerian atau kekejaman oleh seseorang, kelompok atau golongan. Namun ketika teror telah hadir dan menyeruak dalam realitas berarti aksi teror telah menjelma dalam berbagai wujud serta cara yang demikian akrab dengan kehidupan

63

manusia yang mengisi agenda sejarah kebiadaban manusia. Dengan akrabnya aksi teror ini sebagai salah satu pilihan manusia, akhirnya teror bergeser dengan sendirinya sebagai terorisme. Artinya terorisme ikut ambil bagian dalam kehidupan berbangsa untuk menunjukkan potret lain dari dan di antara berbagai jenis dan ragam kejahatan khususnya kejahatan kekerasan, kejahatan terorganisir dan kejahatan yang tergolong luar biasa (extra ordinary crime).64 Dalam berbagai pengaturan dan penulisan pendanaan terorisme ada beberapa istilah yang sering digunakan, yaitu Financing of Terrorism dan Terrorist Financing. Apabila diartikan secara bebas Financing of Terrorism adalah pendanaan atau pembiayan terorisme, sedangkan terrorist financing adalah pendanaan atau pembiayaan kepada teroris. Perbedaan antara kedua istilah ini adalah pendanaan terorisme ditujukan kepada pendanaan aksi teror atau kegiatan terorisme, sedangkan pendanaan kepada teroris berarti untuk keperluan latihan sehari-hari, dan kebutuhan para teroris selama di dalam kamp pelatihan (lebih ditujukan kepada pelaku tindak pidana terorisme).65

Penggunaan istilah Financing of Terrorism dapat dilihat pada Pasal 11 UU Tindak Pidana Terorisme yang melarang tindakan menyediakan dana yang akan digunakan untuk melakukan tindak pidana terorisme. Sedangkan istilah terrorist financing dapat dilihat pada Pada 13a UU Tindak Pidana Terorisme yang

64

Sidik, Muhammad Imam dan Abdul Wahid, Sunardi, Kejahatan Terorisme: Perspektif

Agama, HAM, dan Hukum. Cet. I. (Bandung: PT Refika Aditama, 2004), hal 1-2

65

Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pembiayaan

melarang memberikan bantuan atau kemudahan dengan memberikan atau meminjamkan uang kepada pelaku tindak pidana terorisme. Dari segi gramatikal pendanaan terorisme terdiri dari dua kata, yaitu pendanaan (financing) dan terorisme (terrorism). Pendanaan berasal dari kata dana yang berarti uang yang disediakan untuk suatu keperluan, sedangkan pendanaan sendiri berarti penyediaan dana yang digunakan untuk suatu keperluan.66 Pengertian pendanaan terorisme secara gramatikal ini belum dapat mewakili sepenuhnya pemahaman akan pendanaan bagi kegiatan terorisme pada prakteknya di setiap negara. Hal ini dikarenakan memberikan definisi atau pengertian dari istilah terorisme itu sendiri sudah merupakan wacana tersendiri yang sifatnya subjektif dari pihak yang memberikan istilah tersebut. Menurut Brian Jenkins mendukung pernyataan ini dengan pendapatnya, yaitu: “… what called terrorism thus seems depend on the point of view. At the time, point in this expanding use of the term “terrorism” can mean just what those who use the term (not the terrorist) want it to mean- almost any violent act by any opponent”.67

Dokumen terkait