• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendanaan Terorisme Terkait Pencucian Uang

BAB II PENTINGNYA PENGATURAN TINDAK PIDANA

C. Pendanaan Terorisme Terkait Pencucian Uang

Di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pasal khusus yang mengatur pendanaan terorisme adalah Pasal 11 yang menyebutkan

66

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. Ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 183-184.

67

Indriyanto Seno Adji, Permasalahan Terorisme dan Hukum Pidana, (Makalah disampaikan pada sosialisasi RUU tentang pemberantasan terorisme yang diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I., Jakarta, 3 Desember 2001), hal. 1

bahwa dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10. selanjutnya Pasal 13 mensyaratkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme.

Dengan diundangkannya UU No. 25 Tahun 2003 sebelum lahirnya UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pemcegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPPTPPU), maka pendanaan terorisme telah diatur dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal 1 angka 1 UUPPTPPU menyatakan bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 3 merumuskan bahwa setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)

tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Hasil tindak pidana yang dimaksud dalam perumusan pencucian di atas adalah berdasarkan Pasal 2 ayat 1 UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 (UUPPTPPU). Harta kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana yang diperoleh dari tindak pidana terorisme.

International Convention For The Suppression of The Financing of Terrorism sebagai konvensi internasional pertama yang melarang pendanaan terorisme tidak mengatur kaitan antara pendanaan terorisme dan tindak pidana pencucian uang. Namun, dalam perkembangan selanjutnya ternyata metode yang digunakan dalam pendanaan terorisme dan pencucian uang memiliki beberapa keterkaitan dan persamaan. Untuk dapat melihat keterkaitan dan hubungan antara pendanaan terorisme dan kegiatan pencucian uang maka sebelumnya kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan pencucian uang dan mengapa kegiatan tersebut harus dilarang. Kegiatan pencucian uang atau Money Laundering merupakan istilah yang sebetulnya belum lama dipakai. Penggunaan pertama kali adalah di dalam surat kabar berkaitan dengan skandal Watergate di Amerika Serikat pada tahun 1973. Sedangkan penggunaan istilah tersebut dalam konteks pengadilan atau hukum muncul untuk pertama kalinya pada tahun 1982 dalam perkara US v $.4.255.625,39 (12982) 551 F Supp. 314. 69 Kasus ini menyangkut denda terhadap pencucian uang hasil penjualan kokain Colombia.

Istilah pencucian uang pada saat itu menunjuk kepada pencucian hak milik mafia yaitu hasil usaha yang diperoleh secara gelap dengan maksud menjadikan seluruh hasil tersebut seolah-olah diperoleh dari sumber yang yang sah.68 Amerika serikat adalah negara pertama di dunia yang mengkriminalisasi kegiatan pencucian uang dengan diundangkannya Money Laundering Control Act of 1986 atau MLCA. Sejak saat itu undang-undang yang berkaitan dengan pencucian uang yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat sering dijadikan acuan oleh banyak negara di dunia.69

Tujuan dari dilarangnya kegiatan pencucian uang adalah dampaknya yang negatif bagi perekenomian suatu negara serta untuk mencegah para pelaku tindak pidana untuk menikmati hasil kejahatannya. Kegiatan pencucian uang akan membawa dampak buruk bagi pembangunan dan ekonomi suatu negara. Dalam kondisi dana langka, uang panas hasil kejahatan bisa sangat menggiurkan, apakah bagi suatu negara miskin atau lembaga keuangan yang menghadapi masalah likuiditas. Maka secara sengaja atau tidak suatu negara seolah-olah menyediakan diri dijadikan sebagai tempat pencucian uang. Padahal akibat negatif yang ditimbulkan sangat dahsyat. Tidak hanya dari sudut etika moral berusaha, tetapi juga dampaknya yang dapat mengacaukan kinerja lembaga keuangan dan bahkan merusak sistem politik dan ekonomi suatu negara.70 Dengan pencucian uang maka

68

Sutan Remy Sjahdeini dalam Chiristy Natalia, Op.cit, hal. 54 69

Arief Amrullah, Tindak Pidana Pencucian Uang: Money Laundering, (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), hal. 8-9.

70

sumber daya dan dana banyak digunakan untuk kegiatan yang tidak sah dan merugikan masyarakat. Pada awalnya dampak buruk ini belum telihat. Hal ini dikarenakan apabila uang hasil tindak pidana dalam jumlah yang sangat besar dimasukkan kedalam suatu penyedia jasa keuangan awalnya dirasakan sebagai investasi yang akan pendukung kegiatan ekonomi. Namun, yang perlu diingat bahwa uang ini dapat dimasukkan dan dikeluarkan sewaktu-waktu karena tujuan utamanya memang bukan untuk investasi melainkan hanya untuk menyamarkan asal- usul uang. Penarikan dan pemasukkan sejumlah besar uang yang terus menerus secara keseluruhan akan mengakibatkan ketidakstabilan dalam kondisi ekonomi dan pembangunan negara.

Dari uraian mengenai pencucian uang, maka selanjutnya dikenal pula yang dinamakan dengan Terrorist Money Laundering. Terrorist Money Laundering dapat diartikan sebagai tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh teroris atau anggota organisasi teroris dan/atau ditujukan untuk membiayai kegiatan teroris. Pendanaan terorisme dengan pencucian uang dalam perkembangannya ternyata memilik metode atau proses yang hampir sama. Sehingga seringkali pendanaan terorisme diatur secara bersamaan dengan kegiatan pencucian uang dalam peraturan perundang-undangan. Hal inilah yang terjadi di Indonesia, dimana berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010 maka pendanaan terorisme juga diatur dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang. Hubungan antara pendanaan terorisme dengan pencucian uang dipertegas dengan dikeluarkannya Special Recommendation on Terrorist

Financing oleh The Financial Action Task Force on Money Laundering(FATF). Lembaga ini semula bertujuan untuk memerangi kegiatan pencucian uang, namun saat ini FATF telah memperluas misinya yaitu dengan ikut memberantas kegiatan pendanaan terorisme. Perluasan misi yang dilakukan oleh FATF menunjukan keterkaitan yang erat antara pendanaan terorisme dengan pencucian uang.71

Predicate Crime atau kejahatan asal dari tindak pidana pencucian uang disebut juga sebagai underlying criminal activity yang ketika masuk kedalam suatu sistem keuangan atau proses pencucian, akan menghasilkan kejahatan pencucian uang. Berdasarkan istilah “predicate offense”, Konvensi Vienna memberikan batasan tindak pidana yang dapat dijadikan predicate offense hanyalah pada tindak pidana obat-obatan terlarang. Sebagai akibatnya, kejahatan yang tidak berhubungan dengan penjualan obat-obatan terlarang seperti penipuan, penculikan, dan pencurian tidak dapat dikatakan adanya pencucian uang dari uang hasil kejahatan tersebut berdasarkan Konvensi Vienna.72 Perkembangannya, FATF dan berbagai instrumen internasional lainnya telah memperluas definisi dari kejahatan asal yang diberikan oleh Konvensi Vienna yaitu dengan memasukkan beberapa macam kejahatan serius lainnya. Misalnya, Konvensi Pallermo yang memberikan pengaturan bahwa, “Palermo Convention requires all participant countries to apply that convention’s Money Laundering offenses

71 Ibid 72

to the widest range of predicate offenses.” 73 Berdasarkan Konvensi Palermo maka kejahatan yang dapat dijadikan predicate offense atau predicate crime akan semakin luas. Sewaktu diundangkannya UU No. 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Indonesia belum mempunyai undang-undamg yang secara khusus mengatur tindak pidana terorisme terlebih lagi pendanaan terorisme. Namun, dalam Pasal 2 UU No. 15 Tahun 2002 (sebelum lahirnya UUPPTPPU) terorisme telah dimasukkan sebagai salah satu bentuk kejahatan asal dalam pencucian uang. Hal ini dilakukan oleh para pembuat undang- undang sebelum dikeluarkannya Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pembuat undang-undang memasukkan kejahatan terorisme sebagai predicate crime walaupun belum dikriminalisasi untuk mengantisipasi keluarnya undang-undang terorisme yang akan mengkriminalisasi terorisme sebagai tindak pidana dan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia ikut dalam gerakan anti terorisme.

Sebelum lahirnya undang-undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme yakni UU No. 8 Tahun 2010, undang-undang hanya mengatur terorisme sebagai salah satu predicate crime atau underlying crime yang menjadi sumber atau asal-usul harta kekayaan yang digunakan dan merupakan objek pencucian uang. Tetapi kemudian dengan UU No. 8 Tahun 2010 ditambahkan satu ayat baru ke dalam Pasal 2 UUPPTPPU, yaitu Pasal 2 ayat 2 yang menyangkut pembiayaan terorisme. Pasal 2 ayat 2 UU No. 8 Tahun 2010 jo UU No. 25 Tahun

73

2003 jo. UU No. 15 Tahun 2002 mengatur bahwa yang harta kekayaan yang digunakan secara langsung ataupun tidak langsung untuk membiayai kegiatan terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana. Adakalanya dalam pendanaan terorisme menggunakan uang yang berasal dari kejahatan lainnya, dapat dikatakan sudah ada kegiatan pencucian uang, kemudian digunakan kembali untuk membiayai kegiatan terorisme. 74

Organisasi terorisme juga memperoleh dana untuk membiayai segala kegiatannya melalui cara atau jalur yang sah. Dalam UUPPTPPU Indonesia ,baik sumber pendanaan kegiatan terorisme tersebut halal maupun berasal dari kejahatan yang lainnya, keduanya dipersamakan sebagai hasil tindak pidana. Pendanaan terorisme yang berasal dari kejahatan yang lainnya dan kemudian dimasukkan ke dalam financial system untuk dapat digunakan kembali bagi kegiatan terorisme dinamakan dengan terrorist money laundering. Sedangkan, bagi dana yang berasal dari sumber yang sah dan kemudian digunakan untuk mendanai kegiatan terorisme dikenal dengan istilah financing of terrorism reverse money laundering. Perbedaan antara Financing of Terrorism dengan Money Laundering salah satunya adalah berdasarkan sumbernya. Pendanaan terorisme bisa diperoleh dari sumber yang halal kemudian dimasukkan ke dalam suatu sistem keuangan untuk digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk melakukan tindakan terorisme.75

74

Ibid 75

Pencucian uang berasal dari suatu kejahatan lainnya (predicate crime) kemudian dimasukkan kedalam suatu sistem keuangan sehingga menjadi uang yang seolah-olah berasal dari suatu sumber yang sah. Pada pendanaan terorisme yang ingin disembunyikan atau disamarkan adalah tujuan dari penggunaan uang tersebut bukan sumber dari uang yang dimasukkan kedalam suatu sistem keuangan. Berbeda halnya dengan pencucian uang, yang ingin disembunyikan atau disamarkan justru sumber atau asal usul dari uang yang dimasukkan kedalam sistem keuangan. Kedua konsep ini kemudian dikenal dengan Financing of Terrorism reverse Money Laundering. Dari berbagai uraian mengenai kaitan antara pendanaan terorisme dengan pencucian uang, maka secara garis besar perbedaan utama antara kedua tindak pidana tersebut adalah:76

1. Pendanaan terorisme dapat atau seringkali berasal dari uang yang halal (clean money) atau didapat dari usaha yang sah atau dana yang dikumpulkan dari bantuan sosial atau sumbangan atau dapat pula berasal dari suatu tindak pidana; sedangkan pencucian uang melibatkan atau berasal dari kejahatan yang lainnya atau “ dirty money”.

2. Dalam pendanaan terorisme biasanya jumlah yang dimasukan kedalam sistem keuangan lebih kecil dibandingkan dengan pencucian uang yang terkait dengan jumlah uang yang sangat besar (significant amount).

3. Pendanaan terorisme biasanya menggunakan orang-orang biasa yang tidak mempunyai teman (terbatas jumlahnya) atau kegiatan-kegiatan yang mencurigakan. Satu hal yang harus diingat bahwa aksi teror dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak harus seorang profesional bahkan orang desa sekalipun dapat melakukannya, misalnya Amrozi sebagai pelaku bom Bali awalnya hanyalah lulusan SMA yang tidak mempunyai keahlian. Pencucian uang berkaitan atau meliputi pihak-pihak yang biasanya berhungan dengan kejahatan (khususnya dalam dunia perbankan).

4. Tujuan dari pendanaan terorisme adalah untuk membeli perlengkapan atau kebutuhan lainnya yang mendukung kegiatan para teroris (misalnya, pelatihan untuk merekrut para anggota baru, gedung dan infrastruktur

76

lainnya yang akan dijadikan kamp-kamp pelatihan, serta menambah jumlah mata-mata untuk mendukung aksinya tersebut). Tujuan dari pencucian sendiri lebih kepada mengubah uang dari sumber yang tidak sah menjadi seolah-olah sah.

5. Selain itu, pendanaan terorisme lebih fokus kepada penggunaan uang dan tujuan dari penggunaan uang tersebut. Sedangkan pencucian uang kepada sumber dari uang yang diperoleh dan bagaimana menggunakan uang itu kembali.

Dokumen terkait