• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Pendapat Wahbah Az-Zuhaili dan Quraish Syihab tentang

2. Pendapat Quraish Syihab tentang Hukum Seni Rupa

sebagainya. Tindakan mematenkan gambar seperti ini pada hakikatnya tidak dapat disebut sebagai tindakan menggambar. Sebab, cairan asam tadilah yang mencegah gambaryang ditangkap tersebut menjadi tetap dan tidak bergerak.75

tidak menghancurkan berhala yang terbesar pada saat berhala itu difungsikan untuk satu tujuan yang benar. Jika demikian, yang dipersoalkan bukan berhalanya, tetapi sikap terhadap berhala, serta peranan yang diharapkan darinya. 77

Selanjutnya di dalam tafsir al-Mishbah menjelaskan bahwa kata tamatsil pada ayat 13 surat As-Saba'

حيِثاََتََو َبحيِراََّمَّ حنِم ُءۤاَشَي اَم هَل َنحوُلَمحعَ ي َل

َف ِجَو َحلْاَك ٍنا ّٰ ر ٍرحوُدُقَو ِباَو

ٍتّٰيِس حوُلَمحعِا ۗ

ا ۗ

اًرحكُش َدواَد َلّٰا ُرحوُكَّشلا َيِداَبِع حنِّم ٌلحيِلَقَو ۗ

Artinya : ‘’Mereka (para jin itu) bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan apa yang dikehendakinya di antaranya (membuat) gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.’’ (QS. As-Saba’[34] : 13)

Dijelaskan bahwa sesuatu yang bersifat material, berbentuk dan bergambar. Ia bisa terbuat dari kayu, batu dan semacamnya yang dibentuk sedemikian rupa. Konon singgasana Nabi Sulaiman dibuat sedemikian rupa bertingkat enam. Dua belas patung singa berdiri di atas keenam tingkat itu. Ayat di atas dijadikan dasar oleh sementara ulama tentang bolehnya membuat patung-patung selama ia tidak disembah atau dijadikan lambang keagamaan yang disucikan. Quraish Syihab mengutip Tafsir Al-Qurthubi disebutkan bahwa patung-patung itu terbuat dari kaca, marmer, dan tembaga, dan konon menampilkan para ulama dan nabi-nabi terdahulu. Di sini, patung-patung tersebut (karena tidak disembah atau diduga akan disembah) maka keterampilan membuatnya serta pemilikannya dinilai sebagai bagian dari anugerah Ilahi.78

77Ibid., hlm. 383-384.

78M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbah, (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2000), jld.

XI, hlm. 359.

Lebih lanjut Quraish Syihab menyebutkan bahwa dalam Al-Quran surat Ali Imran (3): 48-49 dan Al-Maidah (5): 110 diuraikan mukjizat Nabi Isa a.s. antara lain adalah menciptakan patung berbentuk burung dari tanah liat dan setelah ditiupnya, kreasinya itu menjadi burung yang sebenarnya atas izin Allah. 79

Aku membuat untuk kamu dari tanah (sesuatu) berbentuk seperti burung kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung seizin Allah (QS Ali Imran [3): 49).

Di sini, karena kekhawatiran kepada penyembahan berhala atau karena faktor syirik tidak ditemukan, maka Allah SWT membenarkan pembuatan patung burung oleh Nabi Isa as. Dengan demikian, penolakan Al-Quran bukan disebabkan oleh patungnya, melainkan karena kemusyrikan dan penyembahannya.80 Kaum Nabi Shaleh terkenal dengan keahlian mereka memahat, sehingga Allah berfirman:

Ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu penganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum Ad, dan memberikan tempat bagimu di bumi, Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanah yang datar, dan kamu pahat gunung-gunung untuk dijadikan rumah, maka ingatlah nikmat-nikmat Allah, dan janganlah kamu merajalela di bumi membuat kerusakan (QS Al-Araf [7]: 74).

Kaum Tsamud amat gandrung melukis dan memahat, serta amat ahli dalam bidang ini sampai-sampai relief-relief yang mereka buat demikian indah bagaikan sesuatu yang hidup, menghiasi gunung-gunung tempat tinggal mereka. Kaum ini enggan beriman, maka kepada mereka disodorkan mukjizat yang sesuai dengan keahliannya itu, yakni keluarnya seekor unta yang benar-benar hidup dari sebuah batu karang. Mereka melihat unta itu makan dan minum (QS Al-Araf [7]: 73 dan QS Al-Syuara

79Ibid., hlm. 384.

80Ibid., hlm. 384-385.

[26]: 155-156), bahkan mereka meminum susunya. Ketika itu relief-relief yang mereka lukis tidak berarti sama sekali dibanding dengan unta yang menjadi mukjizat itu. Sayang mereka begitu keras kepala dan kesal sampai mereka tidak mendapat jalan lain kecuali menyembelih unta itu, sehingga Tuhan pun menjatuhkan palu godam terhadap mereka (Baca QS Al-Syams [91]: 13-15). Yang digaris bawahi di sini adalah bahwa pahat-memahat yang mereka tekuni itu merupakan nikmat Allah Swt. yang harus disyukuri, dan harus mengantar kepada pengakuan dan kesadaran akan kebesaran dan keesaan Allah Swt. Allah sendiri yang menantang kaum Tsamud dalam bidang keahlian mereka itu. 81

Mengenai perersoalan sikap Islam tentang seni pahat atau patung, Quraish Syihab mengutip pendapat Syaikh Muhammad Ath-Thahir bin Asyur yang menafsirkan ayat-ayat yang berbicara tentang patung-patung Nabi Sulaiman menegaskan, bahwa Islam mengharamkan patung karena agama ini sangat tegas dalam memberantas segala bentuk kemusyrikan yang demikian mendarah daging dalam jiwa orang-orang Arab serta orang-orang selain mereka ketika itu. Sebagian besar berhala adalah patung-patung, maka Islam mengharamkannya karena alasan tersebut;

bukan karena dalam patung terdapat keburukan, tetapi karena patung itu dijadikan sarana bagi kemusyrikan Atas dasar inilah, hendaknya dipahami hadis-hadis yang melarang menggambar atau melukis dan memahat makhluk-makhluk hidup. Apabila seni membawa manfaat bagi manusia, memperindah hidup dan hiasannya yang dibenarkan agama, mengabadikan nilai-nilai luhur dan menyucikannya, serta mengembangkan serta memperhalus rasa keindahan dalam jiwa manusia, maka sunnah Nabi mendukung, tidak menentangnya. Karena ketika itu ia telah menjadi salah satu nikmat Allah yang dilimpahkan kepada manusia. 82

81M. Quraish Shihab, Wawasan al-quran, (Bandung: Mizan, 2014), hlm. 385.

82Ibid., hlm. 386.

C. Sebab-sebab perbedaan pendapat Wahbah az-Zuhaili Dan Quraish Syihab tentang Hukum Membuat Seni Rupa Patung

Dari paparan pandangan Wahbah az-Zuhaili Dan Quraish Syihab tentang hukum membuat seni rupa terdapat beberapa perbedaan. Meski demikian, dalam mengartikan tamasil pada ayat 13 surat As-Saba', kedua ulama ini sama. Wahbah az-Zuhaili mengartikan tamasil setiap sesuatu yang diberi jisim dan dibentuk seperti bentuk binatang, baik itu yang terbuat dari tembaga, kaca, tanah liat maupun yang lainnya (patung).83 Sedangkan Quraish Syihab mengartikan tamatsil adalah sesuatu yang bersifat material, berbentuk dan bergambar. Ia bisa terbuat dari kayu, batu dan semacamnya yang dibentuk sedemikian rupa. 84

Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa membuat gambar dan patung di dalam surat As-Saba' adalah mubah dalam syariat Nabi Sulaiman, kemudian hal itu dinasakh dalam syariat Nabi Muhammad saw. Illat dan alasan penasakhan tersebut adalah sebagai bentuk saddudz dzaraa'i' (menutup celah-celah yang bisa menjadi pintu masuk perkara yang terlarang) serta memerangi kebiasaan masyarakat Arab waktu itu dalam menyembah berhala, arca dan patung-patung. 85 Sebagaimana pula, pengagungan dan pemujaan tidak boleh kepada selain Allah SWT.

Menurutnya banyak hadist dan isyarat dari Rasulullah saw menolak gambar ataupun patung yang memiliki fisik, serta patung dari segala makhluk yang bernyawa, baik berwujud manusia atau hewan. Akan tetapi, dibolehkan gambar-gambar pepohonan, pemandangan alam seperti Iangit, bumi, taman-taman, gunung, lautan, sungai, dan benda-benda mati lainnya

83Wahbah al-Zuhailī, Tafsir al-munir, Ter. Malik, Ibrahim, (Jakarta: Gema Insani, 2016) jld. XI, hlm. 475.

84M. Quraish Shihab, Tafsir al-misbah, (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2000), jld.

XI, hlm. 359.

85Wahbah al-Zuhailī, Tafsir al munir-Munir, Ter. Malik Ibrahim, (Jakarta:

GemaInsani, 2016) jld. XI, hlm. 475.

seperti pesawat, mobil, dan benda-benda lainnya yang dibuat oleh manusia dan tidak bernyawa. 86

Adapun Quraish Syihab sedikit lebih toleran terhadap patung. Beliau memandang bahwa Islam mengharamkan patung karena agama ini sangat tegas dalam memberantas segala bentuk kemusyrikan yang sebagian besar berhala adalah patung-patung, maka Islam mengharamkannya karena alasan tersebut; bukan karena dalam patung terdapat keburukan, tetapi karena patung itu dijadikan sarana bagi kemusyrikan atas dasar inilah, hendaknya dipahami hadis-hadis yang melarang menggambar atau melukis dan memahat makhluk-makhluk hidup. Apabila seni membawa manfaat bagi manusia, memperindah hidup dan hiasannya yang dibenarkan agama, mengabadikan nilai-nilai luhur dan menyucikannya, serta mengembangkan serta memperhalus rasa keindahan dalam jiwa manusia, maka sunnah Nabi mendukung, tidak menentangnya. Karena ketika itu ia telah menjadi salah satu nikmat Allah yang dilimpahkan kepada manusia. 87

Quraish Syihab seni adalah keindahan. Ia merupakan ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Ia lahir dari sisi terdalam manusia didorong oleh kecenderungan seniman kepada yang indah, apa pun jenis keindahan itu. Dorongan tersebut merupakan naluri manusia, atau fitrah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Menurutnya adalah merupakan satu hal yang mustahil, bila Allah yang menganugerahkan manusia potensi untuk menikmati dan mengekspresikan keindahan, kemudian Dia melarangnya. Quraish Syihab menegaskan bahwa Islam adalah agama fitrah. Segala yang bertentangan dengan fitrah ditolaknya, dan yang mendukung kesuciannya ditopangnya.

Kemampuan berseni merupakan salah satu perbedaan manusia dengan makhluk lain. Jika demikian. Islam yasti mendukung kesenian selama

86Ibid., hlm. 234.

87M. Quraish Shihab, Wawasan al-quran , (Bandung: Mirzan, 2014), hlm. 384.

penampilan lahirnya mendukung fitrah manusia yang suci itu, dan karena itu pula Islam bertemu dengan seni dalam jiwa manusia, sebagaimana seni ditemukan oleh jiwa manusia di dalam Islam. 88

D. Pandagan Penulis

Dari paparan pandangan Wahbah az-Zuhaili Dan Quraish Syihab tentang hukum membuat seni rupa, penulis lebih condong kepada pendapat Quraish Syihab. Hal ini berdasarkan dalil-dalil yang disampaikan oleh beliau dan perkembangan seni saat ini. Seni patung dahulu memang dilarang pada masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabat Nabi akibat dijadikan sarana ibadah kepada selain Allah. Di sisi lain, Quraish Shihab menjelaskan, hukum patung dalam Islam adalah boleh-boleh saja jika pahatan menjadi ekspresi keindahan dan tidak mengarah pada penyembahan kepada selain Allah. Quraish Shihab mengatakan, ulama juga mengingatkan bahwa Nabi Sulaiman pun memerintahkan jin untuk membuat patung-patung untuk dinikmati keindahannya, bukan untuk disembah, seperti tertuang dalam Al-Qur'an surat Saba' ayat ke-13.

Quraish Shihab mengatakan, sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW juga tidak menghancurkan patung-patung peninggalan dinasti-dinasti Fir'aun saat para sahabat menduduki Mesir. Ia menambahkan, patung-patung tersebut tidak disembah, tidak juga dikultuskan. Di sisi lain, peninggalan tersebut dipelihara dengan amat baik, di antaranya sebagai pelajaran dan renungan bagi yang melihatnya. Benar bahwa ada riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa "Malaikat tidak masuk ke satu rumah bila di dalamnya terdapat patung," tetapi itu bila patung tersebut disembah, atau melanggar sopan santun atau mengundang selera rendah. Menikmati keindahan adalah fitrah manusia secara universal, sedang Islam adalah agama universal yang bertujuan membangun peradaban. Quraish Shihab

88Ibid., hlm. 377.

mengatakan, kebenaran, kebaikan, dan keindahan adalah tiga unsur mutlak bagi satu peradaban. Mengekspresikan keindahan, lanjutnya, melahirkan seni. Mencari yang benar menghasilkan ilmu, menampilkan kebaikan mencerminkan moral, dan mengekspresikan keindahan melahirkan seni. Namun, ketiganya tidak berarti jika tidak ada yang menggali, menampilkan, dan mengekspresikannya.

Lebih lanjut menurut Quraish Shihab warna kesenian Islami tidak tampak dengan jelas pada masa Nabi Saw. dan para sahabatnya. Bahkan mengapa terasa atau terdengar adanya semacam pembatasan-pembatasan yang menghambat perkembangan kesenian. Quraish Shihab mengatakan boleh jadi sebabnya menurut Sayyid Quthb yang berbicara tentang masa Nabi dan para sahabatnya adalah karena seniman, baru berhasil dalam karyanya jika ia dapat berinteraksi dengan gagasan, menghayatinya secara sempurna sampai menyatu dengan jiwanya, lalu kemudian mencetuskannya dalam bentuk karya seni. Pada masa Nabi dan sahabat beliau, proses penghayatan nilai-nilai Islami baru dimulai, bahkan sebagian mereka baru dalam tahap upaya membersihkan gagasan-gagasan Jahiliah yang telah meresap selama ini dalam benak dan jiwa masyarakat, sehingga kehati-hatian amat diperlukan baik dari Nabi sendiri sebagai pembimbing maupun dari kaum Muslim lainnya. Atas dasar inilah kita harus memahami larangan-larangan yang ada, kalau kita menerima adanya larangan penampilan karya seni tertentu. Apalagi seperti dikemukakan di atas bahwa apresiasi Al-Quran terhadap seni sedemikian besar.

Adalah merupakan satu hal yang mustahil, bila Allah yang menganugerahkan manusia potensi untuk menikmati dan mengekspresikan keindahan, kemudian Dia melarangnya. Bukankah Islam adalah agama fitrah? Segala yang bertentangan dengan fitrah ditolaknya, dan yang mendukung kesuciannya ditopangnya. Kemampuan berseni merupakan salah satu perbedaan manusia dengan makhluk lain. Jika demikian. Islam

yasti mendukung kesenian selama penampilan lahirnya mendukung fitrah manusia yang suci itu, dan karena itu pula Islam bertemu dengan seni dalam jiwa manusia, sebagaimana seni ditemukan oleh jiwa manusia di dalam Islam. Tetapi mengapa selama ini ada kesan bahwa Islam menghambat perkembangan seni dan memusuhinya? Jawabannya boleh jadi tersirat dari informasi berikut. Diriwayatkan bahwa Umar Ibnul Khathab pernah berkata, Umat Islam meninggalkan dua pertiga dari transaksi ekonomi karena khawatir terjerumus ke dalam haram (riba).

Ucapan ini benar adanya, dan agaknya ia juga dapat menjadi benar jika kalimat transaksi ekonomi diganti dengan kesenian. Boleh jadi problem yang paling menonjol dalam hubungan dengan seni budaya dan Islam, sekaligus kendala utama kemauannya adalah kekhawatiran tersebut.

Meskipun dibolehkan patung sebagai seni oleh Quraish Shihab, namun umat muslim harus berhati-hati dan tidak boleh memajangnya sembarangan di rumah atau di tempat manapun, karena hal ini merupakan hal sia-sia.

54 BAB EMPAT

PENUTUP

Berdasarkan keseluruhan uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan dan saran sebagai berikut:

A. Kesimpulan

1. Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa membuat patung adalah mubah dalam syariat Nabi Sulaiman, kemudian hal itu dinasakh dalam syariat Nabi Muhammad saw. Illat dan alasan penasakhan tersebut adalah sebagai bentuk saddudz dzaraa'i' (menutup celah-celah yang bisa menjadi pintu masuk perkara yang terlarang). Menurutnya banyak hadist dan isyarat dari Rasulullah saw menolak gambar ataupun patung yang berbentuk hewan dan manusia, atau makhluk yang bernyawa, namun membolehkan pepohonan atau benda-benda lainnya yang dibuat oleh manusia dan tidak bernyawa. Sedangkan Quraish shihab membolehkan membuat patung karena patung masa lalu mempunyai perbedaan dengan patung pada masa sekarang, meskipun hadis-hadis yang melarang membuat patung apalagi makhluk hidup. Di masa lalu patung dibuat untuk disembah sedangkan sekarang patung sebagai sebuah seni.

2.

Penyebab perbedaan pendapat antara Wahbah az-Zuhaili Dan Quraish Shihab tentang hukum membuat seni rupa patung adalah Wahbah az-Zuhailli melihat patung sebagai salah satu benda yang dibenci Rasulullah sebagaimana di dalam beragam hadist. Sedangkan Quraish shihab melihat patung sebagai sebuah benda seni dan konteks saat ini patung itu bukanlah untuk disembah.

B. Saran

1. Seni rupa patung bukanlah hal yang diharamkan mutlak oleh semua ulama, akan tetapi ada juga yang membolehkan membuat dan memajangnya namun kaum muslimin hendaknya senantiasa berhati-hati dalam membuat dan memilih mana yang dibolehkan dan mana yang dilarang.

2. Kaum muslimin dalam menyikapi suatu masalah hendaknya senantiasa merujuk kepada para ulama dalam memahami setiap persoalan agama agar terhindar dari keragu-raguan dan dapat mengetahui hukum yang benar.

56

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Ṣahih al-Bukhari, (Beirut: Dinul khatib, 1960).

Ahmad Muhammad Isa, Muslim dan Tashwir, dalam M. Abdul Jabar Beg, (ed), Seni di dalam Peradabam Islam, alih bahasa Yustiono dan Edy Sutriono, Cet. Ke-1 (Bandung Pustaka, 1988)

Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2009).

Eighteen Salasi, Seni Rupa Smp, (Malang: Ahli Media Press, 2020)

Fahd bin Mubarok bin Abdullah Al-Wahbi, Manhaj al-Istinbath min al-Quran al-Karim, (Jedah: Markaz ad-Dirasat wa al-Ma’lumat al-Qur’aniyyah, 2007).

Imam an-Nawawi, Sahih Muslim bi syarhi an-nawawi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972)

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Remaja Rosda Karya, 1995)

M. Quraish Shihab, Lentera alquran: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung:

Mizan Pustaka, 2014).

M. Quraish Shihab, Wawasan alquran,(Bandung: Mizan Pustaka, 1996).

Mohd Rumaizuddin Ghazali, 10 Tokoh Sarjana Islam Paling Berpengaruh Menyingkap Perjuangan Dan Kegemilangan Tokoh Abad 20 dan 21, (Selangor: Islamika, 2009).

Muhammad ‘Umaroh, Ma’alim Al-Manhaj Al-Islami (Al-Azhar: Al Ma’had Al

‘Alami lil Fikr Al Islami/International Institute for Islamic Thought, 2005)

Muhammad ibn Shalih ibn Muhammad al-Usaimin, Syarah Riyadh al-Shalihin, No. Hadist 1678, (Riyadh: Dar al-Wathan, 2005(.

Muslim, al-Musnad al-Shahīh al-Mukhtasar bi Naqli al-‘Adlu ‘an al-‘Adli ila Rasulillah, No. Hadist 2107, (Bairut: Dār Ihya al-Turast al-‘Arabi, t.t.).

Mustafa, M. Quraish Shihab: Membumikan Kalam di Indonesia, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2010).

Sayyid Muhammad Ali Ayazi, Al-Mufassirun Hayatun wa Manhajuhum, (Kairo: Daar el-Makmur, 2005)

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2010).

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta:

Rineka Cipta, 2010).

Wahbah al-Zuhailī, Fiqih Islām wa Adillatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2011).

______________, Tafsir al-Munir, Terj. Malik Ibrahim, (Jakarta: Gema Insani, 2016).

______________, Al-Fiqh Al- Islam wa Adillatuhu, (Mesir : Dar Al-Fikri, 1985)

Yapiter Marpi, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, (Tasikmalaya:Yayasan tasik zona barokah, 2020).

Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa kontemporer, (Jakarta: Gemainsanipress, 1995) ______________, Islam Bicara Seni, (Solo: Era Adicitra Intermedia, 2019).

B. Jurnal

1Ilmi Solihat, Makna Dan Fungsi Patung-Patung Di Bundaran Citra Raya, Jurnal Membaca sastra dan Bahasa Indonesia, Vol. 2 No. 2 2017.165-174.

Moch Yunus, Kajian Tafsir Munir Karya Wahbah Az-Zuhayli, Jurnal Humanistika, Volume 4, Nomor 2, Juni 2018.

Salman Abdul Muthalib & Agil Anggia, Makna Lafaz Al-Ashnām, Al-Autsān, Al-Anshāb Dan Al-Tamātsīl Dalam Al-Qur’an, Tafser : Journal of Qur'anic Studies, Vol. 6, No. 1, January-June 2021.

C. Media Online

https://hma.poliupg.ac.id/index.php/2021/05/25/mengapa-agama-hindu-menyembah-patung/

https://hma.poliupg.ac.id/index.php/2021/05/25/mengapa-agama-hindu-menyembah-patung/

https://hma.poliupg.ac.id/index.php/2021/05/25/mengapa-agama-hindu-menyembah-patung/

https://kumparan.com/berita-hari-ini/tempat-ibadah-agama-konghucu-lengkap-dengan-filosofinya-1wREYOdxvAS

https://www.gramedia.com/literasi/sejarah-agama-kristen-di-indonesia/

https://www.jw.org/id/perpustakaan/seri/topik-menarik-lainnya/penggunaan-patung-dalam-alkitab/

https://www.kemenag.go.id/read/pengetahuan-dasar-agama-khonghucu-egoyv https://www.quipper.com/id/blog/tips-trick/your-life/apa-itu-seni-patung/

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama/ NIM : Arif Hidayatullah/180103052 Tempat / Tanggal Lahir : Kampong Baro, 30 Juli 2000 Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Mahasiswa

Kebangsaan/suku : Indonesia

Status : Belum Kawin

Agama : Islam

Alamat : Kampong Baro, Kec. Pidie, Kab. Pidie, Aceh.

Orang Tua :

Nama Ayah : Samsul Bahri

Nama Ibu : Ratnawati

Alamat : Kampong Baro, Kec. Pidie, Kab. Pidie, Aceh.

Pendidikan :

SD/MI : MIN Kota Sigli (2012)

SMP/MTs : MTsN Kota Sigli (2015)

SMA/MA : MAN 1 Pidie (2018)

PT : UIN Ar-Raniry Banda Aceh (2022)

Demikian riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Banda Aceh, 22 Oktober 2022.

Penulis,

Arif Hidayatullah

Dokumen terkait