• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISA AYAT 18 SURAT AL-FATH

B. Pendapat Para Ulama Tentang Bai’at

























Artinya :”Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu

Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah tangan Allah di atas tangan mereka. Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar”. (Q.S. al-Fath: 10)











































































Artinya: “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang

beriman untuk Mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat Dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Q.S. al-Mumtahanah: 12)

B. Pendapat Para Ulama Tentang Bai’at

Bai’at sebagaimana yang telah dijelaskan merupakan janji setia terhadap sistem politik Islam atau kekhalifahan, serta kesetian dan kepatuhan kepada pemimpin. Bai’at erat sekali hubungannya dengan imâmah (kepemimpinan) dalam menjaga agama untuk mengurusi urusan-urusan duniawi. Ada beberapa pendapat-pendapat ulama mengenai bai’at yang erat hubungannya dengan imâmah.

1. Pendapat Jumhur Ulama (Sunnah wal-Jama’ah)

Mereka para jumhur ulama (Sunnah wal-Jama’ah) mengambil kesimpulan bahwa urusan-urusan umat tidak akan berjalan dengan lancar dan mulus tanpa adanya seorang pemimpin atau imâmah. Dan tidak akan sah seorang menjadi imam (khalifah) kecuali melalui proses

ada bai’at kecuali setelah bermusyawarah dengan kaum muslimin. Jumhur ulama juga mensyaratkan pengangkatan khalifah, yaitu sebagai pengganti Rasulullah SAW harus berasal dari suku Quraisy yang bersifat adil dengan cara bai’at dan musyawarah dengan ada perselisihan dalam beberapa hal, seperti penentuan siapa orang yang sah dibai’at.3

2. Pendapat Ulama Syi’ah

Ulama syi’ah dengan berbagai aliran berpandangan bahwa mengangkat seorang imam hukumnya wajib. Tetapi pendapat mereka dengan imâmah bertolak belakang dengan pendapat Jumhur Ulama kaum muslimin.

Ulama sekte Zaidiyyah, berpendapat bahwa imâmah tidak diduduki kecuali oleh anak-anak keturunan Fatimah serta anak-anak keturunan Hasan dan Husen. Sebab mereka berpandangan keturunan Fatimah layak menjadi pemimpin dan membawa kepemimpinan yang wajib ditaati. Dan pengangkatan pemimpin ini melalui peroses bai’at seperti dilakukan ketika zaid bin Ali di masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik, golongan ini segera membai’atnya.4

Sedangkan menurut ulama sekte Ismailiyyah jabatan imâmah

adalah suatu jabatan “ketuhanan” yang dipilih oleh Allah swt. Menurut sekte ini bahwa yang berhak menjadi imâmah setelah wafatnya Rasulullah adalah Ali bukan Abu Bakar, Umar dan Ustman. Mereka

3

Ali Ahmad as-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syiah, Study Banding Aqidah dan Tafsir,

(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), jilid 1, cet. ke-1, hal. 17.

4

3. Pendapat Ulama Ahli Fiqih

Berbeda dengan ulam ahli fiqih dari mazhab apapun, yang meletakkan bai’at sebagai bagian hukum Islam yang prinsipil. Tidak terdapat dalam satu bab fiqih pun yang bernama bai’at misalnya. Ulama-ulama fiqih berpendapat bahhwa hukum bai’at tidak pernah ada dalam agama Islam. Bai’at merupakan sebuah tradisi Arab yang sifatnya tidak mengikat.6 Dengan demikian apapun bentuk bai’at yang diberikan kepada seorang imam atau pemimpin apa saja, maka bai’at itu tidak memiliki ikatan yang religius yang suci.

C. Analisa Terhadap Pemaknaan Bai’at Menurut LDII

Era hijrah Rasulullah merupakan pencerahan atau era baru dalam usaha beliau dalam mengefektifkan dakwah Islam, karena di kota Madinah itu Rasulullah Saw telah mendapatkan dukungan yang kuat dari kalangan umat Islam. Sebagaimana telah diterangkan pada bab sebelumnya bahwa rasulullah Saw untuk pertama kalinya mendapatkan pengakuan sebagai pemimpin dari kelompaok madinah pada bai’at Aqobah I (621 M) dan bai’at Aqobah II (622 M)7. Dengan bsahan (legitimasi) sebagai pemimpin masyarakat Madinah.

Walaupun dalam bai’at Aqobah hanya hadir sekelompok orang-orang Arab Madinah, dan perjanjian tertulis hanya dikuti beberapa orang-orang pemimpin atau pemuka setiap suku dari kalangan orang-orang muslim dan non muslim yang

5

As-salus,Esiklopedi Sunnah-Syiah, h. 27. 6

Husein Shihab, al-Huda Jurnal kajian Ilmu-ilmu Islam; Bai’at dalam al-Qur’an dan Sunnah, (Jakarta: Pusat Penelitian Islam, 2002), h. 26.

7

J. Suyuti Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerinyahan dalam Piagam Madinah Di Tinjau

“kehendak rakyat”. Dalam negara demokratis sudah pasti ada, dan mungkin juga tidak dalam negara terbentuk apapun, pemerintah yang sedang berkuasa merupakan “pilihan semua warga negara” artinya, walaupun seluruh rakyat tidak terlibat langsung dalam proses pemilihan pemerintah yang berkuasa sering diklaim sebagai “kehendak rakyat”.

Dalam hal ini seluruh rakyat telah memberikan pengakuan terhadap keabsahan Rasulullah Saw sebagai pemimpin umat dalam membangun negara Islam dan mengembangkan kekuatan untuk menduduki kota Makkah yang dikuasai oleh orang-orang Quraisy.

Wacana sirah Nabi Saw yang menjelaskan bahwa ada 2 macam bai’at yaitu:

1. Bai’at wajib Ain (Bay’ah ayniyyah wajibah) atas setiap orang Islam lelaki dan perempuan. Bai’at wajib ain adalah meliputi aqidah dan akhlaq sosial Islam.

2. Bai’at wajib kifayah (Bay’ah kifayyah wajibah) atas sebagian orang tanpa melibatkan orang lain. Bai’at ini adalah yang berkaitan dengan perkara-perkara yang fardlu kifayah, sperti bai’at untuk melakukan jihad.

Melihat dari penjelasan ayat 18 surat al-Fath penulis mencoba untuk menyimpulkan, bahwa bai’at dalam ayat tersebut merupakan bai’at yang terjadi di bawah pohon kayu (Samurah) yang dinamai “Bai’atur Ridhwan”, yaitu bai’at yang telah dilakukan dengan suka rela, dengan kemauan tiap-tiap orang-orang dan dengan kebulatan tekad, sedia berperang dan sedia mati untuk membela Nabi Muhammad Saw dan memperjuangkan Islam. Ini disebabkan karena mendengar

perjanjian antara Nabi Saw dengan kaum musyrikiin Quraisy.

Umat adalah pemilik yang sah dalam memilih khalifah yang diangkat untuk menjadi pemimpin mereka. bentuk pemilihan dan pencalonan berbeda dan beragam. Dalam memilih pemimpin atau imam, umat kadang-kadang menggunakan haknya secara langsung dalam memilih pemimpin, atau m,emilih wakil-wakil mereka untuk diserahi imam dan membai’at kepadanya. Para wakil -wakil itu assalah oarang pilihan, tokoh pemikir, praktisi dan para pemuka yang diistilahkan dalam fiqih siyasah dengan a-hill wa al-aqd; atau dengan cara pencalonan seseorang yang diajukan oleh khalifah yang terdahulu untuk menjadi khalifah mendatangkan dan berdasarkan musyawarah dengan ahl a-hill wa al-„aqd terlebih daahulu. Sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar yang mana juga bermusyawarah dengan sejumlah ahl al-hill wa al-„aqd; atau dengan bentuk apapun dengan cara lain yang mungkin terjadi di masa mendatangdengan syarat berdasarkan pada musyawarah serta melibatkan umat.8

Dengan terpilihnya imam atau khalifah sebagai penerus Nabi maka terbentuklah pemerintahan Islam. Nabi Muhammmad Saw adalah seorang pemimpin pertama umat Islam, itu terbukti oleh sejarah dengan terjadinya bai’at terhadap beliau baik di Aqobah ataupun di bawah pohon Samurah. Langkah inilah yang membawa kepada terbentuknya komunitas atau negara Islam yang pertama kali. Pada saat itu unsur-unsur negara telah terpenuhi, yaitu ada teritorial (Madinah), kekuasaan (pemerintah), yang ditaati dan ada rakyat.9

8

M. Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, cet. ke-1, h. 159 9

Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman, (Bandung: Mizan, 1994), cet.

pendapat ahli pikir dan cendikiawan muslim, antara lain:

1. Imam Ath-Thabary dalam tafsirnya Jâm’iul Bayân menjelaskan bahwa ulil al-amri itu ialah para raja dan kepala pemerintahan, yang perintahnya untuk taat kepada Allah dan untuk kemaslahatan kaum muslimin.10

2. Imam Baidhawy dalam tafsirnya Anwârut Tanzil menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah para amir (pemimpin) kaum muslimin pada zaman Rasulullah Saw. Peninggalan para ulil amri itu dipindahkan kepada para khalifah, qâdi, dan kepala para pasukan tentara yang memerintahkan kepada orang banyak supaya menaati mereka. mereka wajib ditaati oleh kaum muslimin selama mereka itu di dalam kebenaran.11

3. Imam Ar-Razy dalam tafsirnya Mafhatihul ghaib menjelaskan bahwa ulil amri yang wajib ditaati oleh kaum muslimin itu ialah ahli ijmak menurut yang telah ditetapkan dalam ushul fiqh. Mereka itu adalah ahli ijtihad tentang hukum keagamaan pada masa itu. Ulil amri juga berarti segolongan umat ahlul halli wal aqdi (kelompok yang ahli dalam mengambil keputusan dan memberi pertimbangan yang sehat demi kepentingan umat). Jadi , yang dimaksud ulil amri itu ialah ahli ijmak dan ahlul halli wal aqdi.12

4. Al-Ashfani mengemukakan empat makna ulil amri, yakni (1) para Nabi yang mengatur kehidupan masyarakat; (2) para amir atau pejabat pemerintahan yang menguasai kehidupan lahiriyah masyarakat; (3) para

10

Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,

1995), h. 98.

11

Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, h. 98. 12

5. Muhammad Abduh juga bependapat bahwa ulil amri adalah sebuah lembaga yang terdiri dari para amir, hakim, ulama, kepala pasukan militer, serta seluruh ketua dan pemimpin masyarakat yang menjadi rujukan dalam masalah kebutuhan dan kemaslahatan umum.

Dari beberapa pendapat ini tampak jelas menghimpun unsur-unsur ketua, pemimpin, dan tokoh-tokoh yang memiliki keahlian khusus yang relevan dengan kehidupan ummat. Mereka ini apabila telah bersepakat dalam menetapkan sebuah urusan atau hukum, maka wajib ditaati.13

Para ulama tafsir dan fiqih siyasi membuat empat definisi ulil amri, yaitu: (1) raja dan kepala pemerintahan yang patuh dan taat kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw, (2) raja dan ulama, (3) amir di zaman Rasulullah Saw. Setelah Rasulullah wafat jabatan itu berpindah kepada qâdi (hakim), komandan militer, dan mereka yang meminta anggota masyarakat untuk taat atas dasar kebenaran, (4) mujahid atau yang dikenal dengan sebutan ahlul halli wal aqdi (yang memiliki otoritas dalam menetapkan hukum).14

Ketaatan kepada ulil amri secara pasti telah diperintahkan oleh Allah sebagai rangkaian ketaatan kepada dzat-Nya dan Rasulullah Saw, mereka itu meski terdiri dari orang-orang yang memiliki sifat terbebas dari semua kotoran kesalahan dan dosa, karena sifat mulia ini juga menjadi karekter Nabi sendiri.15

13

Sihabudin, Ensiklopedi al-Qur’an: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 1030.

14

Suplemen Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), jilid 2,h. 246.

15

Sayid Mujtaba Musawi Lari, Imam Penerus Nabi Muhammad Saw Tinjauan Historis Teologis dan Filosofis, (Jakarta: Lentera, 2004), cet. pertama, h.146.

juga harus taat kepada ulama yang mana ketaatan tersebut harus dibarengi dengan penyembahan, adapun ketaatan kepada Rasulullah tidak disertai dengan penyembahan dan ketaatan kepada ulil amri itu tidak boleh disertai dengan penyembahan dan selama penafsirannya tidak ma’shiat (tidak ada ketaatan kepada makhluk yang bertentangan dengan sang Khaliq).16

Apakah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an dengan ulil amri. Bisakah orang yang menduduki jabatan kepala pemerintahan Islam dengan cara merebut kekuasaan dari masyarakat sebagai ulil amri, dengan pengertian bahwa rakyat diwajibkan untuk menaati siapa saja yang menetapkan bagi dirinya sendiri hak untuk berkuasa, sekalipun ia menghabiskan seluruh hidupnya dalam lumuran dosa dan tidak tahu akan kebodohannya? (Bisakah hal itu diterapkan pada orang ) yang sepenuhnya kosong dari kelebihan spritual; yang samasekali tidak menyadari hukum-hukum dan perintah-perintah kepada Allah, merampas hak-hak rakyat demi kepentingan tirani dan hawa nafsu, dan melindungi para penindas dan para pelaku korupsi untuk duduk dalam kekuasaan, sehingga tangisan orang-orang yang tertindas tak berdaya lagi dan mayoritas masyarakat Islam terpenjara dalam borgol kehinaan.17

Jika pernyataan ulil amri diinterpretasikan dengan pengertian seperti itu, maka hal itu akan jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam, karena jika penguasa melaksanakan perintah berbeda dengan hukum Allah dan hukum-hukum itu mesti diimplementasikan dan diprioritaskan dari pada hukum-hukum-hukum-hukum yang lain. Namun juga menyatakan bahwa perintah-perintah para pemegang

16

Wawancara Pribadi dengan Aceng karimullah.

17

Sayid Mujtaba Musawi Lari, Imam Penerus Nabi Muhammad Saw Tinjauan Historis Teologi dan Filosofis, cet. pertama

dan melarang sesuatu yang sama secara beriringan.18

Di samping itu, kearifan dan akal tidak bisa menerima ide bahwa wajib untuk tunduk kepada penguasa apa saja secara absolute, sekalipun ia melanggar hukum-hukum Allah dan berusaha untuk menghapuskan aturan-aturan Allah dari rnasyarakat. Akankah kebahagiaan dan keselamatan masyarakat bisa diraih dengan mengikuti pemerintahan seperti itu? Apakah pemerintahan seperti itu bisa mendorong kaum muslimin untuk meraih kekuasaan dan harga diri? Apakah orang bisa menisbahkan kepada Allah pandangan yang tidak berdasar dan bodoh sehingga penguasa seperti itu berhak untuk ditaati?

Tentu saja sangat dimungkinkan membatasi ketaatan kepada ulil amri

hanya kepada orang-orang yang maklumat dan perintahnya sesuai dengan kriteria hukum Allah dengan mewajibkan kepada kaum Muslim untuk menentang mereka kapan saja jika tindakan-tindakan mereka bertentangan dengannya (dengan hukum Allah).

Meskipun demikian, berkaitan dengan pandangan ini, ada beberapa kesulitan yang tidak bisa diabaikan atau dilupakan. Jelas bahwa tidak semua orang memahami detail hukum-hukum Allah sehingga ketika mereka menemui tindakan para penguasa bertentangan dengan agama, maka mereka akan menentangnya. Ketika masa tidak dilengkapi dengan prasyarat pengetahuan keagamaan, bagaimana mereka bisa mengambil sikap yang proporsional berhadapan dengan ketetapan-ketetapan penguasa, dengan

18

Sayid Mujtaba Musawi Lari, Imam Penerus Nabi Muhammad Saw Tinjauan Historis Teologi dan Filosofis, cet. pertama

ia bertentangan dengan aturan Allah.

Lebih jauh lagi, jika seorang muslim menerima hipotesis seperti itu, ketika menaati ketetapan-ketetapan penguasa yang sesuai dengan hukum Allah, maka pada kenyataannya sudah menaati perintah-perintah Allah (dan bukannya mematuhi penguasa itu), maka ketaatan kepada ulil amri berubah menjadi kategori ketaatan yang berbeda.19

Taat kepada penguasa muslim yang menerapkan hukum-hukum Islam di dalam pemerintahannya, sekalipun dzalim dan merampas hak-hak rakyat, selama tidak memerintah untuk melakukan kemaksiatan dan tidak menampakkan kekufuran yang nyata. hukumnya tetap fardhu bagi seluruh kaum muslimin. Sebagairnana Allah Swt berfirman dalarn surah an-Nisa ayat 59, dan juga Sabda Nabi Muhammad Saw:

"Siapa saja yang menaati aku, maka dia telah menaati Allah, dan barangsiapa yang berbuat maksiat kepadaku, maka dia telah berbuat maksiat kepada Allah. Dan siapa saja telah menaati pemimpinku, maka dia telah mena'ati aku. sedangkan siapa saja yang tidak taat pada pemimpinku, maka dia telah berbuat maksiat kepadakku." (H.R. Bukhari)20

Dalil tersebut menunjukkan dengan tegas, bahwa ketaatan tersebut hukumnya wajib. Karena Allah Swt telah memerintahkan ketaatan kepada penguasa, amir atau imam. Perintah itu disertai dengan sebuah indikasi yang menunjukan adanya suatu keharusan yaitu Rasulullah menjadikan ketidaktaatan kepada pemimpin itu sebagai sebuah kemaksiatan kepada Allah dan Rasul. Serta dengan adanya penegasan dalam perintah ketaatan tersebut, sekalipun yang menjadi penguasa adalah budak hitam legam, semuanya itu merupakan indikasi

19

Sayid Mujtaba Musawi Lari, Imam Penerus Nabi Muhammad Saw Tinjauan Historis Teologi dan Filosofis, cet. pertama, h. 142-144.

20

rmaka taat kepada seorang penguasa itu hukumnya fardhu.21

Kata ulil amri yang berarti orang yang memegang kekuasaan ini mempunyai arti yang luas, sehingga perkara apa saja yang bertalian dengan Kehidupan manusia, mempunyai ulil amri sendiri-sendiri. Hal inilah senada dengan yang LDII kemukakan bahwa Komandan militerpun harus dianggap sebagai ulil amri. Dalam urusan duniawi, para penguasa dunia harus ditaati, sedangkan penguasa dalam bidang agama harus ditaati dalam soal keagamaan. Peristiwa dalam keagamaan seringkali timbul perselisihan. Dalam hal ini, umat Islam wajib menyerahkan perkaranya kepada Allah dan utusan-Nya. Umat Islam harus mengembalikannya kepada al-Qur’an dan hadîts.22

Karena itu, ulil amri ditaati karena ia menaati Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa diantara ulil amri itu menyuruh dengan apa yang sesuai dengan yang diturunkan Allah atau Rasul-Nya, wajiblah umat menaatinya. Tetapi barangsiapa yang menyuruh (memerintah) dengan menyalahi apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw, perintah itu tidak boleh didengar dan ditaati. Sebab, ketentuan sunah telah mengatur tentang batas-batas ketaatan terhadap ulil amri dan melarang rakyat untuk menaatinya, jika ulil amri menyalahi hukum yang telah diatur oleh Allah dan Rasul-Nya.23

Berkenaan dengan masalah dan bai'at dan pengaturan masalah-masalah kaum muslimin setelah Nabi wafat, Rasulullah Saw tidak merasa puas dengan pembicaraan umum saja. Beliau langsung berbicara tentang masalah tersebut sejak hari pertama

21

Taqiyudin An-Nabani, Sistem Pemerintahan Islam Doktrin Sejarah dan Realitas

Empirik, (Bangil Jatim:Al-Izzah, 1997), h.335-336.

22

Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,

1995), h. 95-96.

23

yang dilakukan nabi pada saat itu adalah mengumumkan Ali as sebagai wali, masalah-masalah agama dan kemasyarakatan, dan pengganti beliau dalam mengurus masalah-masalah kaum muslimin. Menurut riwayat-riwayat yang diterima, pada hari ketika Rasulullah Saw. Mula-mula diperintah untuk berdakwah secara terbuka kepada masyarakat, beliau memanggil sanak keluarga serta mengumpulkannya. Dalam pertemuan itu beliau mengungkapkan, menegaskan dan mengukuhkan kedudukan Amirul mukminin Ali sebagai pengganti beliau. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Nabi Muhammad Saw: “Barang siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya juga.”

84 A. Kesimpulan

Dari semua penjelasan tentang konsep imâmah dan bai‟at dalam al-Qur‟an

pemaknaan LDII terhadap ayat 18 surat Al-Fath yang penulis paparkan di atas yang terdiri darri bab terdahulu dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Bahwa implementasi dan bai‟at dalam kehidupan umat Islam sangatlah

dibutuhkan, sebagai wujud dari kesetian umat muslim dan kesetiaan itu bukan saja hanya patuh atau taat terhadap seorang pemimpin, akan tetapi

kesetiaan terhadap syari‟at Islam dan tuntutan-tuntutan moral dalam Islam yang ditekankan kepada seluruh kaum muslimin.

2. Dalam ajaran Islam, mengurusi umat itu tergolong kewajiban yang bernilai besar. Bahkan agama tidak bisa ditegakkan kecuali dengannya, oleh karena itu pengangkatan seorang pemimpin merupakan hal yang wajib dan harus dilakukan oleh kaum muslimin dalam setiap perkumpulan atau dalam mengurusi umat sebagaimana yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

3. Paparan diatas tidak menyimpulkan bagaimana wajah LDII yang sebenarnya pada masa kini. Paparan diatas juga mengajak kita untuk membandingkan antara permasalahan yang didakwakan kepada LDII dengan jawaban yang dikemukakan oleh LDII. Dari sekian banyak ajaran

yang dianggap berbeda dari kaum Salafi adalah tuduhan atas praktek konsep kejama'ahan dan keimâmahan LDII. Hal tersebut bermuara dari pernyataan (atsar) Sayidina Umar RA:

"Tidak ada Islam tanpa jama'ah, dan tidak ada jama'ah tanpa imarah, dan tidak ada imarah tanpa ketaatan."

Dalam kalangan umat Islam, atsar ini bukanlah suatu yang asing. Hal ini menjadi persoalan ketika orang yang tidak masuk ke dalam jama'ah itu dianggap bukan Islam, alias kafir. Ketika tuduhan kafir (takfir)

dimunculkan, resistensi muncul dari kalangan Islam lainnya. Ketika itu pula, kelompok lain melontarkan serangan balasan kepada LDII dengan menuduh bahwa organisasi tersebut merupakan reinkarnasi dari kelompok

Khawarij.

Namun, Syafii Mufid, peneliti yang pernah mengkaji LDII menegaskan bahwa “...sebenarnya kekhasan dalam berkonsep tidak hanya ada pada LDII, melainkan juga ada dalam kelompok-kelompok Islam lain di Indonesia, bahkan di dunia. Menurutnya, yang menjadi persoalan adalah apabila kelompok tersebut mengembangkan klaim kebenaran dalam konsepsi keber-Islam-annya, yang kemudian dapat memicu perpecahan...”

Dalam kerangka pikir Syafii Mufid itulah, LDII sebenarnya sedang menjadi bagian organisasi kemasyarakatan Islam di Indonesia, yang

kekhasannya dalam berkonsep telah memunculkan resistensi pihak luar terhadap LDII.

Dalam dinamikanya, LDII termasuk ormas yang cepat merespon resistensi tersebut. Organisasi yang berawal dari nama LEMKARI tersebut secara perlahan telah berusaha melakukan perubahan. Kemudian pada tahun 1990, terjadi perubahan artifisial dari LEMKARI ke LDII. Perubahan radikal dari sisi mindset terjadi pada saat Munas VI LDII tahun 2005. Tahun tersebut telah menjadi tonggak berdirinya "LDII Baru" dengan "Paradigma Barunya, yang membuat wajah LDII lebih toleran dan lebih inklusif. Namun demikian, khas "ke-Salafi-an" yang dipertahankan LDII dalam praktek keagamaannya, masih membuat ormas Islam yang satu ini, berada dalam posisi yang masih tercurigai. Dalam posisi konstelatif yang dilematis tersebut itulah, kajian atas berbagai permasalahan LDII yang masih tercurigai, memiliki signifikansi sosial yang tinggi.

B. Saran-saran

Melihat dari fenomena kehidupan manusia terutama umat Islam yang selalu berkembang dan mengalami perubahan-perubahan secara terus-menerus sesuai dengan perubahan zaman dan berusaha untuk mencapai kehidupan yang Islami,

Dokumen terkait