SKRIPSI
Oleh:
Muamar NIM: 105034001247
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
i
Swt. atas segala rahmat, hidayah serta nikmat yang telah Allah berikan kepada
penulis sehingga dengan wasilah itu semua penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi yang berjudul “Bai’at Dalam Al-Qur’an “(Kajian Atas Pemaknaan LDII Terhadap Ayat 18 Surat Al-Fath)” Shalawat dan salam
semoga selalu tercurah keharibaan Nabi Agung, Muhammad Saw., keluarga,
sahabat dan orang-orang yang memelihara hadis dan mengikuti Sunnahnya.
Sebelumnya penulis ingin mengucapkan ribuan terima kasih kepada semua
yang telah membantu penyusunan skripsi ini. Penulis sadar skripsi ini tidak akan
bisa tuntas tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dukungan dan kontribusi dari
banyak pihak. Oleh Karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Faqih, M.A., selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Bustamin, M.Si., selaku ketua Jurusan Tafsir Hadis.
4. Dr. Lilik Umi Kultsum, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.
5. Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA., selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingannya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini berdasarkan
ii
7. Seluruh dosen dan staf pada program studi Tafsir Hadis (TH) atas segala
motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan, dan pengalaman yang
diberikan kepada penulis selama menempuh studi. Seluruh karyawan Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada orang tua
penulis Ayahanda Sa’ad Mursyid dan Ibunda Jannatun yang telah banyak
mengorbankan tenaga, pikiran dan materi, yang tiada pernah mengeluh
merawat, membimbing dan membiayai penulis sampai sekarang, terima kasih
atas apa yang sudah diberikan untuk penulis, semoga itu semua senantiasa
mendapat balasan dari Allah Swt.
9. Terima kasih juga kepada Kakak-kakakku, Siti Mujiyati, Nurhikmah,
Muhammad Aminuddin, Abdul Kholik(alm), Abdul Hopir, dan Abdul Hakim
atas dorongan semangatnya dan keponakan-keponakanku yang selalu bisa
membuat penulis tersenyum.
10. Terima kasih tak lupa pula penulis ucapkan kepada kekasih hati Adinda
Maria Ulvha yang selalu memberi dukungan kepada penulis agar tetap
semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Seluruh teman-teman jurusan tafsir hadits angkatan 2005, khususnya Th.C.
Haji Yasir, Bang Zulkarnaen, Ust.Suryadi, Habib Muchsin al-Khader, Syahid,
iii
Mujahadah angkatan ke-7), Ust.O-im, Geboy, Verus, Makin, Ucup-tile,
Hendy, Yitno, Acong, Ce-u, Toing, Arief, Tatang, Aip, Sundoyo, Rozikin,
Anis, Bibeh, Citra. Tieka, Isti dan Royan
13. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan
FUF UIN Syarif Hidayatullah dan Perpustakaan Umum Islam Iman Jama.
Akhirnya penulis pun menyadari dengan wawasan keilmuan penulis
yang masih sedikit, referensi dan rujukan-rujukan lain yang belum terbaca,
menjadikan penulisan skripsi ini jauh dari sempurna, Namun, penulis telah
berupaya menyelesaikan skripsi ini dengan semaksimal mungkin sesuai
dengan kemampuan penulis sebagai manusia. Oleh karena itu, penulis
meminta saran dan kritik yang membangun dari pembaca sebagai bahan
perbaikan penulisan ini. Penulis berharap semoga Allah Swt. memberikan balasan
yang lebih baik dari semua pihak pada umumnya.
Jakarta, 27 Desember 2010
iv
Aksara Arab dan Padanannya dalam Aksara Latin
Huruf Arab
Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan
B Be
T Te
Ts te dan es
J Je
H ha dengan garis di bawah
Kh ka dan ha
D De
Dz de dan zet
R Er
Z Zet
S Es
Sy es dan ye
S es dengan garis di bawah
D de dengan garis di bawah
T te dengan garis di bawah
Z zet dengan garis di bawah
Hamid Nasuhi dkk,
Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif
v
Q Ki
K Ka
L El
M Em
N En
W We
ﮬ
H Ha' Apostrof
Y Ye
Vokal
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin keterangan
A Fathah
I Kasrah
U Dammah
Vokal Rangkap
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin keterangan
Ai a dan i
vi Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
 a dengan topi di atas
Î i dengan topi di atas
Û u dengan topi di atas
Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau Tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya kata: tidak ditulis
“ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”, demikian seterusnya.
Kata Sandang
Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf ) (,
dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
huruf qamariyyah. Contoh al-rijâl, bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân. TaMarbūtah
No Kata Arab Alih Bahasa
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ... iv
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Tinjauan Kepustakaan ... 6
C. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ... 7
D. Tujuan Penelitian ... 8
E. Kegunaan Penelitian ... 8
F. Metodologi Penelitian ... 9
G. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II SEJARAH SINGKAT LDII DAN DOKTRIN-DOKTRIN AJARANNYA SERTA CATATAN PARA ULAMA TENTANG LDII A. Sejarah Singkat LDII ...12
B. Doktrin-doktrin Agama Dalam LDI ...18
1. Doktrin manqul ...18
2. Frase “Amal Shaleh” ...22
ix
3. Prof. Dr. H. Utang Ranuwidjaya ...31
4. Prof. Dr. KH. Said Agil Siradji ...33
5.DR. M. Syafi’i Mufid, MA ...36
6. DR. Adian Husaini, MA ...38
BAB III PENGERTIAN BAI’AT A. Pengertian Tentang Bai’at ...41
1. Pengertian Bai’atSecara Bahasa...42
2. Pengertian Bai’at Secara Istilah ...43
3. Pengertian Bai’at Secara Syar’i...44
B. Bai’at Dalam Lintas Sejarah ...45
1. Bai’at Di Masa Rasulullah ...45
2. Bai’at Pada Masa Khulafaur Rasyidin ...53
a. Pembai’atan Abu Bakar as-Shidiq ...54
b. Pembai’atan Umar Bin Khatab ...59
c. Pembai’atan Ustman Bin Affan ...61
d. Pembai’atan Ali Bin Abi Thalib ...62
C. Ayat-ayat Yang Terkait Tentang Bai’at ...64
BAB IV ANALISA AYAT 18 SURAT AL-FATH A. Pemaknaan Ayat 18 Surat al-Fath menurut LDII ...69
x
B. Saran-saran ...86
DAFTAR PUSTAKA ...90
1
A. Latar Belakang Masalah
Tidak dapat diragukan lagi bahwa bai’at merupakan salah satu aktivitas
politik yang paling menonjol. Bai’at identik dengan sebuah “perjanjian” dan
sebagaimana layaknya semua ragam perjanjian. Bai’at itu sendiri melibatkan dua
kelompok, disatu sisi pihak pemimpin dan masyarakat, disisi lain, tidak hanya
ulama yang berperan penting dalam proses konsultasi sebelum ba’ait terwujud,
tetapi semua pihak yang bersangkutan, berbakat, berpengaruh dan mempunyai
kekuasaan juga turut terlibat dalam proses itu.1
Bai’at merupakan perjanjian antara manusia yang melibatkan tiga unsur,
yaitu: pemimpin, orang-orang yang berbai’at atau umat, dan apa yang dinyatakan
dalam bai’at, yaitu syariat. Tanggung jawab umat tidak terhenti pada pelaksanaan
bai’at, tapi terus berlanjut dengan tugas yang diemban dalam menjaga agama,
melanggar batas serta menurunkannya dari jabatan jika diperlukan.2
Umat Islam di masa-masa sebelumnya hingga masa sekarang sangat
memerlukan teladan yang baik dalam usaha menghadapi tantangan zaman yang
seringkali menawarkan nilai-nilai yang bertentangan dengan akidah agamanya,
serta membutuhkan contoh akhlak mulia yang telah diajarkan dan diperaktekkan
1
Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam; Telaah Kritis Ibnu Taimiya Tentang
Pemerintahan Islam. Terj dari judul aslinya The Islamic Theory of Goverment According to Ibn
Taymiyyah (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), h.95
2
Asma’ Muhammad Ziyadah, Peran Politik Wanita Dalam Sejarah Islam. Terj dari judul
aslinnya, Daurul Mar’ah ash-Siyasi fi Ahdi an-Nbi wa al- Khulafa ar-Rasyidin (Jakarta: Pustaka
oleh Rasulullah SAW dan kemudian dikuti oleh para ulama dan pemimpin umat
dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Suatu organisasi pemerintahan yang ditegakkan disebuah negeri untuk
mengatur masalah-masalah masyarakat tidaklah berjalan secara otomatis. Selama
tidak ada individu-individu yang mampu bekerja untuk mengelolahnya, organisasi
tersebut tidak akan bisa hidup, dan masyarakat tidak akan menikmati buah
pemerintahan yang baik.
Posisi kepemimpinan dalam masalah keagamaan dan kemasyarakatan
dalam masyarakat Islam yang dikenal sebagai Imâmah. atau khilãfah.3Seperti
yang dikatakan oleh As-Syarastani, perselisihan umat Islam yang terbesar adalah
perselisihan menyangkut Imâmah.4
Seiring perjalanan sejarah keberagamaan, perbedaan pemahaman dalam
teologi seringkali melahirkan berbagai macam bentuk benturan dan konflik
internal. Aqidah atau kenyakinan terhadap doktrin-doktrin agama yang dianut
memang sudah menjadi suatu hal yang paling “sakral”, bahkan bisa lebih sakral
dari agama itu sendiri. Ketika sebuah keyakinan itu diusik atau bahkan hanya
karena ada kelompok lain yang berbeda pandangan dan pemahaman dengan kita,
maka ego lantas muncul. Ironis memang, sebuah perbedaan selalu diselesaikan
dengan kekerasan, entah itu kekerasan dalam bentuk wacana atau stuktural,
bahkan fisik. Seolah-olah itu telah mendarah daging dalam tubuh masyarakat
3
Alamah Sayyid Muhammad Husain Tabataba’i, Inilah Islam, Upaya Memahami Seluruh
Konsep Islam Secara Mudah (Pntj) Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka Hidayah,1992),Cet.
Ke-1,h.116 4
Ali as-Salas, Imâmah dan Khilafah Dalam Tinjauan Syar’i, (Jakarta: Gema Insani Press,
Islam pada umumnya. Padahal ada satu sisi yang tidak bisa kita lupakan, bahwa
kita lahir di lingkungan dan menjadi bagian dari masyarakat Indonesia yang
plural.
Belakangan ini, umat Islam Indonesia disibukkan dengan fenomena
merebaknya aliran sesat, baik yang berkembang dalam batas-batas geografis
Indonesia maupun pada tingkat global. Fenomena ini menguras banyak energi dan
pikiran umat Islam, padahal sebenarnya energi itu sangat diperlukan untuk
menghadapi banyak masalah ; mulai dari bencana, kisruh politik, wabah penyakit,
pengembangan mutu pendidikan generasi Muslim, dan masalah-masalah lain yang
sangat kompleks.
Keterjebakan umat Islam dalam konflik internal menyebabkan yang
seharusnya dioptimalkan demi pengembangan umat, justru hampir terkuras habis,
dalam banyak kesempatan, umat Islam dalam hal ini ormas-ormasnya tidak
sempat merealisasikan rencana strategis organisasi yang telah dirumuskan dalam
berbagai perhelatan besar seperti kongres, muktamar, munas, atau yang
sejenisnya. Umat Islam seakan “jalan di tempat” pada saat umat lain telah meraih
capaian-capaian yang tinggi di bidang sosial, kesehatan, politik, teknologi, dan
peradaban.
Salah satu respon radikal terhadap kelompok-kelompok yang dituduh
aliran sesat adalah politik generalisasi yang cenderung dilakukan oleh sebagian
umat pada tingkat massa (grass roots) tanpa melalui proses tabayyun (klarifikasi)
(LDII), sepanjang pengamatan kami, buku-buku yang membahas LDII hanya
mengulas sisi negatifnya saja. Sementara sisi positifnya, nyaris tak tersentuh.
Seharusnya, masyarakat diberikan informasi yang lengkap dan seimbang, agar
mereka lebih bersifat objektif, sehingga tidak terjebak dalam mengkonsumsi
informasi yang tidak berimbang. Sikap tersebut akan memunculkan respon yang
salah, seperti tindakan anarkhis terhadap LDII yang sedang dalam tahap tabayyun.
Dalam menyikapi proses tabayyun ini, masyarakat terutama tokoh-tokohnya
semestinya mampu mengambil posisi yang tepat, sehingga tidak menjadi bagian
yang justru semakin memperparah keadaan.5 Polemik ini harus segera disikapi
dengan bijaksana, baik oleh pemimpin umat dan maupun oleh umat itu sendiri.
Terlepas dari kontroversi yang terjadi, timbul pertanyaan kenapa LDII
selalu mengalami tindak kekerasan secara wacana. Sehingga muncul pertanyaan,
apakah benar LDII mempunyai doktrin-doktrin atau ajaran agama yang berbeda
dan pemahaman yang berbeda dengan umat Islam pada umumnya? Sehingga
mereka sering terpojokkan.
Hal tersebut telah mendorong penulis untuk melakukan pengkajian dan
penelusuran secara mendalam tentang permasalahan yang diperdebatkan. Secara
umum penulis ingin membahas doktrin-doktrin keagamaan LDII, dan secara
khusus penulis ingin mengungkapkan seperti apa dan Bai’at dalam LDII yang
sebenarnya, dan bagaimana LDII mentafsirkan ayat 18 surat al-Fath. karena
memang masalah Bai’at banyak diperbicangkan khalayak ramai. Terutama isu
5 Habib Setiawan, dkk.,
After New Paradigm, Catatan Para Ulama Tentang LDII (
minor yang dialamatkan kepada LDII yang terletak pada otoritas mutlak yang
melekat pada imam yang dibai’atnya. Sistem Imâmah LDII tersebut, membuat
anggota LDII dilarang untuk menerima segala penafsiran yang tidak bersumber
dari penafsiran imamnya. Tetapi ketika penulis menemui salah seorang pengurus
LDII, LDII berbeda pandangan tentang konsep Imâmah dan Bai’at dengan apa
yang orang katakan diatas. Berkaitan dengan stigma yang dialamatkan kepada
LDII, umat Islam masih mendapatkan data yang simpang-siur. Selain itu, LDII
masih dalam proses memperoleh klarifikasi secara resmi dari MUI pusat. Dan
berkaitan dengan stigma tersebut tidak terlepas dari masalah taqiyah. Taqiyah ini
sebenarnya identik dengan konsep Syiah yaitu menyembunyikan sesuatu yang
bisa membahayakan diri sendiri, harta bendanya, dan berhati-hati dalam masalah
agama, karena adanya larangan-larangan atas kebebasan beragama dan beribadah
oleh rezim penguasa yang tiran dan dzalim. Menurut al-Thusi dalm kitab al-Tibyan, taqiyah adalah: “...menyatakan dengan lisan yang menyalahi hati karena takut kemudharatan diri walaupun yang disembunyikan itu perkara yang benar.”6
Konsep taqiyah ini disinyalir bersumber dari Q.s. Ali „Imran / 3 : 28 dan Q.s. an
-Nahl / 16 : 106.
6 Sebagaimana dikutip dari bahaya paham syiah: satu penjelasan, (Johor Bahru: Bahagian
Artinya; Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali, dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).(Q.S. Ali- Imran: 28)
Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (Q.S. an-Nahl: 106).
Pada saat ini klarifikasi tersebut masih dalam proses. Karena permasalahan
itulah maka penulis mencoba mengangkat dalam sebuah skripsi, dengan judul: “
BAI’AT DALAM AL-QUR’AN “(KAJIAN ATAS PEMAKNAAN LDII
TERHADAP AYAT 18 SURAT AL-FATH)”.
B. Tinjauan Kepustakaan
Pembahasan yang terkait tentang Bai’at sebagian memang telah dibahas
dalam bentuk tulisan-tulisan karena bahasan yang penulis angkat merupakan
kajian klasik yang sudah seringkali dibahas. Sebelumnya penulis telah melakukan
survey atau pengecekan terhadap judul-judul skripsi yang telah ada di
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, dan setelah penulis melakukan pengecekan
terhadap judul-judul skripsi yang telah ada, penulis setidaknya menemukan dua
judul yang membahas tentangBai’at. Yang pertama, skripsi dengan judul: Konsep
Bai’at dalam al-Qur’an “Studi analisa Surat al-Muntahana ayat: 12”. yang
Jurusan Tafsir Hadis 2002. Yang menurut penulis stressing penulisannya menitik
beratkan pada analisa surat al-Muntahana ayat: 12 Yang kedua, skripsi dengan
judul: Konsep Imâmah Menurut. Tabataba’i Yang ditulis oleh saudari Rahmah
mahasiswi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat 2005. Yang menurut penulis dalam
skripsi ini pula menitik beratkan pada penafsiran Tabataba’i tentang konsep
Imâmah.
Terinspirasi dari dua skripsi di atas, penulis tertarik untuk menulis sebuah
skripsi yang berjudul: Bai’at Dalam Al-Qur’an (Kajian Atas Pemaknaan LDII Terhadap Ayat 18 Surat al-Fath)” Karena sejauh ini penulis belum menemukan
judul yang membahas secara khusus judul tersebut.
Oleh karena itu penulis rasa, judul tersebut penting untuk dibahas dan
penulis memfokuskan penelitian pada masalah Bai’at menurut LDII dan juga
doktrin-doktrin keagamaan yang diajarkan yang konon banyak dibicarakan
khalayak ramai bahwa LDII itu sesat bukan tanpa alasan, karena penulis merasa
bahwa penelitian ini sangat penting untuk dibahas guna memenuhi jawaban atas
signifikansi sosial yang penulis ajukan di atas, di samping untuk menambah
wawasan bagi penulis khususnya.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk menghindari kerancuan dalam pembahasan, maka dalam mengkaji
dan menganalisa suatu masalah (baik itu berupa data-data atau yang lainnya),
diperlukan adanya pembatasan dan perumusan masalah, agar lebih jelas dan
Dari permasalahan yang melatarbelakangi permasalahan ini, maka penulis
akan membatasi penelitian sebagai berikut: analisa Bai’at dalam perspektif LDII
terhadap ayat 18 surat Al-Fath.
Untuk lebih jelasnya lagi maka penulis merumuskan pokok masalah
skripsi ini, bagaimana penafsiran LDII terhadap term Bai’at sebagaimana yang di
fahami dari ayat 18 surat al-Fath?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian (penulisan) dari skripsi ini antara lain adalah
disamping menjawab atau menyelesaikan suatu persoalan dalam ilmu
pengetahuan juga guna menambah dan mengembangkan khazanah ke-ilmuan
penulis (khususnya) dalam memahami al-Qur’an. Dan memperkenalkan hakekat
Bai’at yang benar dalam Islam dengan pengertiannya yang benar, dan bagaimana
penafsiran LDII terhadap term Bai’at serta bertujuan untuk memenuhi persyaratan
mendapatkan gelar sarjana Theologi Islam (S. Th. I) pada Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Kegunaan Penelitian
Dalam menulis skripsi ini penulis berharap bahwa penelitian ini
mempunyai kegunaan:
1. Memberikan sumbangsih bagi kajian Islam terutama di bidang
tafsir al-Qur’an
2. Memberikan kemanfaaatan, khususnya bagi penulis dan
3. Berharap penelitian ini mampu memenuhi jawaban atas
signifikansi sosial yang penulis ajukan di atas.
F. Metodologi Penelitian
Metode penelitian adalah cara atau strategi menyeluruh untuk menemukan
atau memperoleh data yang diperlukan.7 Metode yang digunakan didalam
penelitian ini adalah kualitatif. Bagdan dan Taylor (1975: 5) mendefinisikan yaitu
cara menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang diamati.8 Dalam penelitian kualitatif peneliti terjun
langsung untuk melakukan observasi atau wawancara langsung dengan objek
yang diteliti (penelitian lapangan). Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif
adalah data yang bersifat langsung dan objek penelitian dalam skripsi ini, adalah
LDII dan doktrin-doktrin yang merupakan cara pandang hidupnya.
1 Jenis data
Adapun jenis data dalam penelitian ini adalah:
a. Data primer, yaitu data-data yang diperoleh langsung dari sumber
pertama. Dalam hal ini, sumber utamanya adalah pengurus dan
anggota LDII dan buku-buku yang ditulis langsung oleh mereka.
b. Data sekunder, yaitu data-data yang memberikan penjelasan mengenai
data primer dan menguatkan data primer yang mencakup, buku-buku,
dokumen resmi dan hasil penelitian yang berbentuk laporan.
2 Teknik pengumpulan data
7 Irawan Soebantono,
Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Rosda Karya, 1996). H.9
8 Lexy J, Moleong,
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah
sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang yang
melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari orang lain
dengan mengajukan pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu. Teknik ini
dilakukan dengan mengacu pada teknik pengumpulan data yang
berstuktur yaitu wawancara yang berbentuk pertanyaan yang terfokus
pada permasalahan yang ingin diteliti.
b. Penelitian kepustakaan
Penelitian kepustakaan yaitu sumber data yang dikumpulkan dari buku
kepustakaan yang berkaitan dengan objek yang diteliti.9 Dengan cara
membaca, memahami,dan menginterpretasikan buku-buku,
dokumen-dokumen yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.
c. Analisa data
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang
data-datanya diperoleh melalui interview (wawancara) dan studi
kepustakaan. Kemudian data yang terkumpul diolah,
disistematisasikan, dianalisis dan disajikan secara deskriptif.
Adapun penulisan skripsi ini menggunakan pedoman penulisan pada
buku “Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin Dan filsafat” yang
9 Kailan,
Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, ( Yogyakarta: Paradigma, 2005),
disusun oleh tim penyusun UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, tahun
2005.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penyusunan skripsi ini, penulis membagi
pembahasannya menjadi beberapa bab, dengan sistematika sebagai berikut:
Dalam bab pertama, adalah pendahuluan, dimana akan diuraikan latar
belakang masalah, tinjauan kepustakaan, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metodologi penelitian serta sistematika
penulisan.
Bab kedua, penulis akan memaparkan sekilas tentang sejarah berdirinya
organisasi LDII, doktrin agama LDII dalam paradigma baru,
doktrin-doktrin yang dianggap masyarakat luas doktin-doktrin-doktrin tersebut sesat atau pada
masa paradigma lama, dan catatan para ulama tentang LDII.
Bab ketiga,dalam bab ini penulis akan memaparkan pengertian Bai’at
menurut bahasa, istilah dan syar’i, sejarah Bai’at pada masa Rasulullah serta
ayat-ayat yang terkait dengan konsep Bai’at.
Bab keempat, pada bab ini penulis menjelaskan tentang pemaknaan LDII
terhadap ayat 18 surat Al-Fath dan pendapat ulama tentang Bai’at serta analisa
terhadap pemaknaan Bai’at menurut LDII.
Bab kelima, merupakan bab penutup yang meliputi kesimpulan dan
12 A. Sejarah singkat LDII
Sebelum menerangkan sejarah singkat LDII penulis akan menerangkan
apakah LDII itu? LDII adalah singkatan dari Lembaga Dakwah Islam Indonesia,
merupakan organisasi kemasyarakatan yang resmi dan legal yang mengikuti
ketentuan UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, serta
pelaksanaannya meliputi PP No. 18 tahun 1986. LDII memiliki Anggaran Dasar
(AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), program kerja dan pengurus mulai
dari tingkat pusat sampai dengan tingkat desa. LDII sudah tercatat di Badan
Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbang dan Linmas)
Departemen Dalam Negeri. 1
Nama Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) selalu dikaitkan dengan
Islam Jama’ah yang didirikan oleh Nurhasan Ubaidah Lubis. Pemilik nama kecil
Madkhal2 itu, merupakan keturunan asli pribumi Jawa Timur. Ayahnya bernama
Abdul Azis bin Thahir bin Irsyad. Madkhal lahir di Desa Bangi, Purwosari, Kediri
pada tahun 1915.
1 Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII),
Direktori LDII 2003 (Jakarta: LDII, 2003), h.
1
2 Dalam buku-buku yang ditulis oleh pihak luar LDII, nama madkhal sering ditulis
dengan ejaan Madekal atau Madigol. Tidak jelas kapan ejaan ini digunakan. Barang kalli ini
disebabkan karena lidah Jawa yang biasa”keseleo” ketika mengucapkan istilah-istilah Arab.
Keberadaan LDII selalu dikaitkan dengan nama Islam jama’ah atau Darul
Hadits yang didirikan pada tahun 1952, seiring dengan berdirinya pondok
pesantren (ponpes) Burengan di Kediri.3 Islam Jama’ah itu sendiri bukanlah
gerakan yang memproklamirkan diri, melainkan bahasa pengidentifikasian para
pihak.4 Sejak tahun 1963, Ponpes “tempat persemaian kader” tersebut telah
diserahkan kepimpinannya kepada Drs. Nurhasyim (alumni IAIN Sunan Kali
Jaga, Jogyakarta), dengan tetap menempatkan Ustadz Nurhasan sebagai guru
ngajinya. Pada masa pengelolaan pondok inilah, berbagai kekeliruan dalam
pengamalan ajaran Islam yang dikenal dengan Islam Jama’ah, didakwah banyak
terjadi kesalahan karena itulah, pada tahun 1971 Jaksa Agung Republik Indonesia
melarang Islam Jama’ah karena dianggap sebagai aliran sesat.5
Setelah pemilihan umum (pemilu) tahun 1971, Lembaga Karyawan Islam
(LEMKARI) didirikan pada tanggal 3 januari 1972 atas arahan pangdam VIII
Brawijaya, Mayjen TNI Wijoyo Suyono. Pendirian LEMKARI masih menuai
tuduhan sesat, sehubungan salah satu tujuan pendirian lembaga ini adalah untuk
menampung dan mengarahkan para alumni Pondok Burengan atau para pengikut
Islam Jama’ah. Merespon tuduhan tersebut, LEMKARI mengeluarkan surat
pernyataan No. 165/A-4/VI/1979 tertanggal 20 Juni 1979 yang melarang semua
anggotanya untuk mengajarkan ajaran Islam Jama’ah atau Darul Hadits. Terhadap
anggota LEMKARI yang masih mengikuti ajaran Islam Jama’ah, Direktorium
3 Penegasan tahun ini disebutkan dalam Riwayat singkat Pondok Burengan Kediri yang
ditullis oleh Abdul Rochman selaku pimpinan pondok pada tanggal 2 September 1979. Keterangan resmi ini membantah pernyataan banyak pihak yang menyebut pendiri Islam Jama’ah pada tahun 1951.
pusat LEMKARI pada tanggal 9 September 1979 menyatakan akan memecatnya
atau menganggap si pelanggar sebagai oknum.
Pada awalnya nama LEMKARI hanyalah lembaga yang menampung eks
pengikut Islam Jama’ah di Jawa Timur. Di daerah-daerah lain, lembaga yang
menampung eks pengikut Islam Jama’ah mempunyai nama yang berbeda. Di Jawa
Tengah lembaga penampung eks pengikut Islam Jama’ah dikenal dengan Yayasan
Karyawan Indonesia (YAKARI), di Jawa Barat dikenal dengan Lembaga
Karyawan Dakwah Islam (LKDI), sedangkan di Jakarta dikenal dengan nama
Karyawan Dakwah Islam (KADIM). Untuk menyeragamkan nama berbagai
lembaga tersebut, atas arahan Amir Murtono selaku Ketua Umum DPP Golkar,
maka pada tanggal 9-10 Februari 1975 diadakan Reuni Alumni Pondok Pesantren
Burengan Banjaran kediri. Berdasarkan arahan dan petunjuk Amir Murtono dan
kesepakatan peserta reuni, dihasilkan satu nama yaitu Lembaga Karyawan Islam
yang disingkat sebagai LEMKARI.
Pada tahun 1990, atas dasar pidato pengarahan Rudini selaku Menteri
Dalam Negeri, dan Sudharmono SH selaku wakil presiden, LEMKARI mengubah
namannya menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) dikarenakan nama
LEMKARI memiliki kesamaan singkatan dengan Lembaga Karatedo Indonesia.
Atas dasar yang arahan kedua pejabat pemerintah tersebut, dan berbagai masukan
yang terjadi baik pada sidang-sidang komisi, maupun sidang Paripurna dalam
Musyawarah Besar (MUBES) IV LEMKARI tahun 1990, terjadi perubahan nama
secara formal yang ditetapkan dalam keputusan MUBES IV LEMKARI
dari Lembaga Karyawan Dakwah Islam yang disingkat LEMKARI, menjadi
Lembaga Dakwah Islam Indonesia yang disingkat LDII.
Masa setelah ini, alumni Ponpes LDII mengalami perkembangan hingga
ke mancanegara. Lantaran jauh di negeri orang, untuk menjaga ukhuwah alumni
tersebut membentuk perwakilan di Singapura, Malaysia, Saudi Arabia (Makkah),
bahkan di Amerika Serikat, Australia, dan Eropa. Untuk mengukuhkan
akseptabilitas publik, LDII mengeluarkan konsep Paradigma Baru pada tahun
2005. Dalam Musyawarah Nasional (MUNAS)-nya pada tahun 2005, LDII
menegaskan secara mutlak untuk tidak berafiliasi dengan golongan ataupun partai
politik manapun. Konsep tersebut pula diterjemahkan sebagai sikap organisasi
yang lebih terbuka dengan pihak luar.6
Pengguliran paradigma baru, tonggak perubahan minsed LDII secara
formal terjadi pada tahun 2005,7 ketika Munas LDII pada tahun tersebut berhasil
mengeluarkan konsep paradigma baru. Konsep tersebut merupakan political will
LDII dalam merespon stigmatisasi yang menggiring LDII dalam dakwaan sebagai
aliran sesat. Menurut Aceng Karimullah, sebagai ketua departemen pendidikan
agama dan dakwah LDII, lahirrnya paradigma baru bermula pada masa
kepemimpinan pertama Prof. DR. Ir. KH Abdullah Syam, MSc. Pada tahun
1998-2005. Kemudian pada Munas VI LDII 2005, konsep ini diperkuat kembali ketika
Abdullah Syam terpilih kembali sebagai ketua Umum LDII untuk yang kedua
kalinya. Pada Munas VI LDII 2005 ini pula LDII menegaskan sikap politiknya
6 Wawancara pribadi dengan Aceng karimullah.
7 Menurut keterangan pengurus LDII, pada tahun 1986, LDII sebagai ormas tidak
yang sebelumnya berafiliasi ke Golkar menjadi menerapkan prinsip netral. Tidak
berafiliasinya LDII ke golongan dan partai politik mana pun membuat warga LDII
leluasa menyalurkan aspirasi politik sesuai dengan hati nurani masing-masing.
Aceng Karimullah mengakui, kelahiran paradigma baru juga dilatarbelakangi oleh
suasana kerukunan hidup bermasyarakat dan beragama yang semakin dinamis dan
bebas, selain juga dilatarbelakangi oleh kebebasan mengiringi Reformasi.
Salah satu persoalan yang dituduhkan kepada LDII adalah sikap
eklusifitasnya. Sikap tersebut menurut Aceng Karimullah disebabkan oleh
paradigma lama yang menerapkan prinsip “tangan kanan shodaqoh, tangan kiri
tidak mengetahui “ yang telah membuat berbagai kegiatan LDII terkesan tertutup
dan hanya untuk kalangan sendiri. Tetapi dengan paradigma baru yang
menerapkan prinsip “waamma bini’mati robbika fahaddits”8maka kegiatan yang
dilakukan oleh warga LDII menjadi lebih terbuka. Juga berdasarkan firman Allah
dalam al-Qur’an:
“ Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 271)
Tuduhan sebagian kelompok kepada LDII yang terjadi sejak pendirian
LEMKARI bukanlah sesuatu yang dinafikan keberadaannya. Hal ini mendorong
LDII untuk mengembangkan respon yang berangkat dari prinsip9 :
8 “Terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-menyebutnya (dengan
bersyukur).” (QS. Adh-Dhuha [93]: 11)
9 “ Tolaklah (balaslah) perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. “(QS. Al
Prinsip tersebut membuat LDII cenderung defensif kedalam tanpa
berusaha mencari penjelasan dari pihak yang menuduhnya, untuk menghindari
polemik. Termasuk dalam hal ini terhadap berbagai buku yang disebarkan ke
masyarakat umum yang isinya menyebarkan dakwaan-dakwaan negatif terhadap
LDII, sikap resmi LDII sementara ini masih menghindari polemik. Namun
demikian sebagai organisasi yang harus legal, LDII merupakan suatu lembaga
yang memiliki badan Hukum.10
Dalam paradigma baru, klarifikasi LDII dikembangkan lagi dengan
prinsip tabayyun, yang membuat LDII lebih terbuka pada saat diperlukan. Prinsip
LDII lebih aktif dalam mengekspos berbagai kegiatan ibadah sosialnya
dibandingkan sebelumnya. Misalnya, LDII telah peduli untuk membantu korban
bencana alam seperti bencana tsunami di Aceh, gempa bumi di Bengkulu,
Yogyakarta, Klaten, bencana banjir dan longsor di Surakarta, serta banjir di
Lamongan. Contoh lain adalah ibadah qurban. Pada tahun 2006 digelar secara
terbuka dalam kegiatan “Tebar Qurban LDII Jakarta” yang disaksikan oleh
sekretaris MUI provinsi DKI Jakarta. Begitu pula dengan kegiatan yang sama
pada tahun 2007 yang disaksikan oleh Ketua Umum MUI provinsi DKI Jakarta.
Paradigma baru juga ditafsirkan melalui cara bersikap LDII dalam
berinteraksi dengan kelompok-kelompok Islam lain tentang “sofware” (perangkat
10
lunak) organisasi LDII. Sekarang, prinsip tersebut dikembangkan lagi secara lebih
proaktif dengan saling mengunjungi untuk bersilaturrahmi antara LDII dengan
tokoh masyarakat dan para ulama serta organisasi sosial kemasyarakatan lain.
Misalnya, menerima silahturrahmi dari MUI, MPU Aceh, Majelis Ugama Islam
Singapore (MUIS), NU, Muhammadiyyah, dan lain-lain untuk menyaksikan
berbagai kegiatan LDII.
B. Doktrin-Doktrin Agama LDII
Dari hasil peninjauan yang penulis lakukan penulis dapatkan pada
Anggaran Dasar Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) bab VI tentang
paradigma dakwah ayat 1 yang berbunyi “Lembaga Dakwah Islam Indonesia
memiliki paradigma dalam melaksanakan dakwahnya yang merupakan cara
pandang tentang diri dan lingkungan dalam kerangka pelaksanaan dakwah dalam
rangka mencapai tujuan nasional”11 dari Anggaran dasar ini ada beberapa doktrin
agama yang terdapat pada Lembaga Dakwah Islam Indonesia diantaranya sebagai
berikut:
1. Doktrin Manqul
Secara akademik tentang metode manqul mengundang pengujian dalam
dua hal. Pertama, boleh-tidaknya metode manqul diterapkan dalam pengajaran
suatu ilmu. Kedua, benar-tidaknya penerapan sistem manqul dilingkungan
internal LDII.
11 Lembaga Dakwah Islam Indonesia(LDII),
Himpunan Keputusan Munas VI LDII
Terhadap pengujian yang pertama, KH Alie Yafie dan KH Said Agil
Siradj membenarkan adanya penggunaan metode ini. Meski, menurut KH Alie
Yafie, lebih banyak digunakan dalam ilmu tasawuf Manqul berasal dari kata naqala (Bahasa Arab), yang artinya adalah ”pindah.” Manqul artinya belajar
secara langsung. Metode ini dikenal dalam pembelajaran ilmu hadîts, yang
menuntut perpindahan kalimat hadîts yang sempurna dari satu perawi ke perawi
lain.
Ilmu yang manqul adalah ilmu yang dipindahkan dari guru kepada
muridnya. Dalam pelajaran ilmu tafsir, dikenal istilah tafsir bi al-ma tsur yang
berarti menafsir suatu ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an yang lainnya, para
sahabat dan tabi’in.12 Dalam ilmu
hadîts , manqul berarti belajar hadîts dari guru
yang mempunyai isnad sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
12 Tafsir bi al-ma tsur adalah tafsir yang didasarkan pada riwayat
manqul dengan
urutan-urutan yang telah disebutkan dimuka dalam syarat-syarat mufasir yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau menafsirkan al-Qur’an dengan as-sunnah karena fungsinya sebagai penjelas bagi ayat-ayat al-Qur’an, atau menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat yang diriwayat dari para sahabat karena mereka adalah generasi yang paling memahami kitabullah, atau menafsirkan dengan pendapat kibar at-tabi’in karena pada umumnya mereka mendapatkan ilmunya langsung dari para sahabat. Untuk keterangan lebih lanjut, lihat manna’ al-Qathan, mabahits fi ulum al-Qur’an (Riyadh: maktabah al-Ma’arif, 1981), cet. Ke-8, hal.347 tentang fafsir bi al- ma’tsur; dan hal. 329-332 tentang syarat dan adab yang harus dimiliki seorang mufassir. Dalam defenisi di atas, al-Qhatan menyatakan bahwa tafsir bi al-ma’tsur harus didasarkan pada riwayat yang manqul ( yang pindah, dikutip langsung) dari Rasulullah SAW, sahabat, atau tabi’in.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mufassir sebagaimana disebutkan al-Qhatan adalah (1)memiliki aqidah yang shahi, (2) bersih dari hawa nafsu, sehingga pendapat-pendapatnya tidak digunakan untuk membela kelompoknya secara membabi buta, meski kelompoknya memiliki kesalahan dan kekurangan (3) memulai menafsirkan al-Qu’an dengan al-Qur’an, kemudian dengan sunnah, kemudian dengan pendapat para sahabat, kemudian dengan pendapat
kibarat-tabi’in. Tahap-tahap ini tidak boleh dilewatkan oleh mufassir, (4) menguasai Bahasa Arab dan
cabang-cabang ilmu yang berkaitan dengannya, (5) memiliki pengetahuan yang baik tentang dasar-dasar ilmu yang berkaitan dengan al-qur’an, (6) memiliki pemahaman yang mendalam dan komprehensif. Yang dimaksud manqul dalam konteks ini adalah bahwa menafsirkan al-Qur’an itu
harus didasarkan pada riwayat yang dimanqulkan (dipindahkan) dari rasulullah SAW. Riwayat
yang dimanqulkan dari rasulullah ini kemudian disampaikan oleh para sahabat kepada para
muridnya (tabi’in), dan seterusnya; dari guru kemuridnya. Namun demikian, manqul tidak bisa
Terhadap peraktek metode manqul ini, Syafi’i Mufid menyatakan bahwa
”...praktek manqul sebetulnya sudah ada dalam tradisi ulama-ulama Nusantara,
meskipun terminologi ini tidak pernah disebut demikian. Dengan bahasa
sederhana Syafi’i mencontohkan, “Saya pernah ngaji kepada seorang guru. Saya
membaca kitab Ihya’ Ulumiddin. Setelah tamat membaca Ihya’. Nah, saya bisa
membaca kitab Ihya’ seperti begini dari guru saya. Guru saya itu mendapatkan
kemampuannya itu dari gurunya. Itulah namanya silsilah. Manqul kalau dipahami
sebagai silsilah kayak begitu maka itu adalah hal yang biasa dan wajar. Persoalan
muncul jika metode manqul menyebabkan seseorang menganggap hadîts yang
diajarkan oleh gurunya itu sajalah yang benar, sementara hadîts yang lain
dianggap salah. Padahal jumlah hadîts itu kan ratusan ribu. Nah, bagaimana dia
bisa mengatakan hanya gurunya sajalah yang sah meriwayatkan hadîts ini Kan,
lagi-lagi ini namanya ekslusif dan disitu letak kekeliruannya...”
Pengujian yang kedua berkenaan dengan kebenaran penerapan metode ini
di LDII. Secara formal, LDII melalui “Direktorinya”-nya membenarkan adanya
praktek metode ini, meski tidak seperti yang dituduhkan oleh banyak pihak. Hal
itu dipertegas oleh Aceng Karimullah, beliau mengatakan “bahwa kesan ekslusif
dalam “berguru” ketika mengaji, lebih karena persoalan aksesibilitas
(kemampuan warga LDII untuk menjangkau guru-guru yang dapat mengajarkan
kepadanya). Menurutnya, warga LDII yang akan mengaji kepada guru lain harus
berpikir, karena sungkan atau karena sebab lain. Bebeda jika mereka mengaji
mazhab besar tidak membatasi sumber ilmu dari suatu mazhab tertentu, bahkan, misalnya, Imam
Syafi’i (pendiri Mazhab Syafi’i) berguru pada Imam Malik yang merupakan pendiri Mazhab
kepada ustadz dari LDII, hal ini bisa dilakukan dengan mudah, tanpa memikirkan
ongkos yang harus dikeluarkan. Hal ini sangat mepermudah bagi jama’ahnya.13
LDII juga menyusun himpunan hadîts yang ditulis lengkap dengan
sanad-sanadnya.14 Hal itu dilakukan warga LDII karena warga LDII belum semuanya
mampu memiliki kitab hadîts lengkap seperti kutubus sittah (kitab-kitab hadîts
riwayat Bukhori, Muslim, Abu Daud, Thirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Kurang intensnya pengajaran ilmu alat (Bahasa Arab) dilingkungan
Pesantren LDII, memungkinkan pelaksanaan metode manqul berjalan dengan
efektif, jika memang ada politic will dari pihak LDII untuk menerapkan metode
tersebut. Terkecuali apabila memang kran keterbukaan mengakses ilmu dari luar
juga dikembangkan. Sistem manqul juga diterapkan di Pesantren-pesantren lain
seperti NU dan mereka juga diberikan ijazah, namun kesan “menganggap
pendapat guru paling benar” jarang atau tidak mencuat di lapangan.
Sistem manqul sebenarnya memudahkan kalangan awam masyarakat
umum untuk secara praktis memahami isi kitab dengan makna gandul (sebagai
contoh: memaknai kitab kuning dalam bahasa yang dipahami pengkajinya).
Tetapi ketika sang guru mengatakan bahwa hanya pendapatnya yang paling
benar, sedangkan yang lain salah, di situlah muncul persoalan.
13
Wawancara pribadi dengan aceng Karimullah.
14
Dalam definisinya tentang hadîts shahih, Mahmud Thahhan menulis: sebuah hadîts
dikatakan sahih apabila memenuhi syarat sebagai berikut: (1) ittishal sanad, yaitu para perawinya
menukil hadîts secara langsung dari rawi di atasnya, dari awal hingga akhir sanad, (2) adalah
ar-ruwat (rawi yang adil), yaitu setiap rawi yang terrlibat dalam periwayatan hadîts haruslah seorang
muslim yang baligh, berakal, tidak fasik, dan tidak melanggar muru’ah, (3) dhabt ar-ruwah, yaitu
setiap rawi harus dhabit (teliti), baik dalam hafalan maupun tulisan, (4) hadîts tidak syadz, artinya
tidak bertentangan dengan riwayat lain yang lebih tsiqoh atau lebih kuat, (5) tidak adanya illah ,
yaitu hal-hal kecil yang tersembunyi yang “mencederai” kesahihan hadîts. Lihat Mahmud
Thahhan, taisir Mustalah al- hadîts,(Surabaya: syarikah Bengkulu Indah,t.th), cet.ke-1, hal.34-35;
lihat juga Muhammad Ajjaj al-khatib, ushul al- hadîts : Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar
2. Frasa ” Amal Shaleh ”
Pengalaman yang menggoda warga non- LDII pada saat berinteraksi dengan
kader LDII adalah frasa “amal shaleh”. Dalam bahasa percakapan, kita akan
mendengarnya dalam contoh sebagai berikut: “Amal shaleh, dampingi si fulan ke
bandara,” atau “Amal shaleh”, jemput si fulan yang mau menemui pak Aceng di
Jakarta,” penggunaan Frasa “amal shaleh” seakan telah menjadi frasa atau
identitas yang digunakan oleh para kader LDII. Dan siapaun yang pernah
merasakan tentang bagaimana frasa “amal shaleh” menjadi suatu identitas dalam
interaksi yang unik di tubuh organisasi LDII.
Tidak diketahui pasti, kapan frasa “amal shaleh” itu mulai dipergunakan,
apakah setelah menjadi LDII atau malah sejak sejak gerakan ini bernama
LEMKARI. Dalam prakteknya, penggunaan frasa “amal shaleh” sudah hampir
merata di seluruh ranah organisasi LDII atau oleh alumni Ponpes LDII, baik di
Indonesia maupun di beberapa negara di Asia Tenggara lainnya.
Frasa “amal shaleh” bukanlah suatu yang harus dipersoalkan, karena dari segi
subtansi, frasa” amal shaleh” sama sekali tidak melanggar pakem-pakem ajaran
Islam yang lazim. Malah dalam beberapa hal, frasa “amal shaleh” mencerminkan
implementasi dari nilai-nilai Islam yang luhur. Frasa “amal shaleh” inilah yang
membuat LDII masuk dalam kategori sebagai ormas Islam yang ihsan dari sisi
pengamalan ajaran Islam pada tataran organisatoris, yang relatif membedakannya
dengan ormas-ormas Islam lainnya. Frasa “amal shaleh” dalam LDII telah
menjadi fenomena baru, yang menambah khasanah terminmolog keshalehan,
sosial. Menurut Aceng Karimullah di LDII tidak dikenal kata “pembantu” seperti
dalam masyarakat umumnya. Mereka memanggil pembantu dengan sebutan
“tenaga amal shaleh” atau “tenaga amal shalehan” sebuah terminolog yang
menurut mereka, dimaksudkan untuk menghormati penyandang profesi ini.
3. Ibadah Ghairu Mahdha LDII
Salah satu kesan yang tidak bisa dinafikan atau diabaikan oleh para ulama
terhadap LDII adalah soal ibadah ghoiru mahdhanya.15 Kesan ini menjadi
menarik, karena pada saat yang sama, LDII masih didera isu eksklusifitasnya.
Bagaimana sebenarnya kegiatan warga LDII, pihak eksternal LDII secara terbatas
hanya dapat melihatnya di Majalah Nuansa yang menjadi “corong” LDII. Majalah
ini secara rutin memuat rubrik “Lintas Persada” yang menampilkan profil
kegiatan warga LDII di tengah-tengah masyarakat sekaligus menayangkan foto
kegiatannya.
Dari sampling kegiatan yang diambil sejak pebruari 2007 hingga Pebruari
2008, terdapat 507 kegiatan LDII di seluruh Indonesia termasuk di luar negeri
yang terpublikasikan di majalah Nuansa pada periode tersebut. Secara tematik,
kegiata LDII pada dua tahun tersebut dapat dilihat dalam lampiran tabel khusus
tentang kegiatan Inklusif LDII, (lihat lampiran dalam skripsi ini).
15
Ibadah ghairu mahdhoh disebut juga sebagai ibadah umum, yaitu semua perbuatan
yang oleh al-Qur’an dan atau hadîts dikategorikan sebagai perbuatan baik. Perbuatan baik tersebut
akan bernilai ibadah kalau dikerjakan dengan niat lillahi ta’ala. Ibadah ini lebih bersifat sosial dalam rangka membina hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Contohnya antara lain adalah: mencari ilmu (sekolah), mencari nafkah, berperilaku sopan, tidak merusak lingkungan, dan justru melestarikan lingkungan.
Sebaliknya, ibadah mahdhoh disebut juga ibadah khusus, yaitu ibadah yang ketentuan
pelaksanaanya secara rinci diterangkan dalam al-Qur’an dan hadîts . ibadah lebih bersifat ritual
Berbagai kegiatan LDII yang terekam dalam majalah tersebut
menegasikan LDII sebagai sebuah organisasi yang ekslusif dan menegaskan
bahwa LDII telah melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sifatnya inklusif. Tetapi
mengapa label ekslusif masih tetap menempel hingga sampai sekarang? Karena
mengingat belum tentu semua kegiatan LDII terpublikasikan dalam rubrik Nuansa
Persada, gambaran berikut dapat saja merupakan gambaran minimal kegiatan
inklusif LDII.
Bardasarkan mayoritas kegiatan yang direpresentasikan dalam rubrik
“Lintas Persada” yang diasumsikan sebagai sampel terkini. Ternyata kegiatan
LDII masih didominasi oleh kegiatan-kegiatan yang sifatnya hubungan vertikal,
baik baik dengan pemerintah dan aparat (Hankam 194 kegiatan [34%]) maupun
dengan MUI (124 kegiatan [22%]). Urutan berikutnya adalah kegiatan, internal
LDII (118 kegiatan [21%]). Sedangkan hubungan LDII dengan ormas Islam lain
(35 kegiatan [6%]) dan dengan tokoh masyarakat (Tomas; 12 kegiatan [2%]),
masih relatif sedikit. Bakti sosial (Baksos) sebagaimana tercantum dalam
mukadimah AD-ART LDII sebagai ibadah ghairu mahdhoh (ibadah sosial),
memperoleh porsi 14% (81 kegiatan). Angka presentase tersebut dapat menjadi
salah satu ukuran untuk menjelaskan masih perlunya meningkatkan hubungan
horizontal warga LDII dan pada saat yang sama hubungan vertikal yang sudah
baik perlu dipertahankan.16 Namun demikian, belum semua kegiatan LDII terpublikasikan di rubrik “Lintas Persada” sejumlah kegiatan inklusif LDII yang
16
tidak direpresentasikan dalam majalah Nuansa Persada juga telah disosialisasikan
melalui media website LDII (www.ldii-online.com dan www.ldii.or.id).
Adapun doktrin-doktrin atau paradigma lama yang dianut oleh LDII
antara lain:
a. Doktrin Manqul
Bahwa dalam sistem manqul ini, mengharuskan warga LDII untuk
menerima transfer ilmu hanya dari kalangan internal LDII17.
b. Doktrin Imâmah dan Bai'at
Bahwa dalam doktrin nurhasan (tokoh yang di anggap sebagai
pemimpin spiritual islam jama'ah) menganggap imam dalam
konsep imamah adalah pemimpin spiritual, dan keberadaannya
untuk mensahkanislam atau keislaman seseorang.
Sitem imamah LDII tersebut membuat semua anggota LDII
dilarang untuk menerima segala penafsiran yang tidak bersumber
dari penafsiran imamnya. Sedangkan doktrin bai'atnya sebagai
beriku: bai'at merupakan janji setia dari kader LDII kepada imam,
dalam hal ini Nurhasan; keabsahan bai'at ditentukan oleh ketaatan
kader pada imamnya18.
c. Mengkafirkan dan Menajiskan Kelompok Lain
Doktrin ini adalah sikap sebagian kader LDII yang mudah
mengkafirkan dan menajiskan kelompok lain. Hal ini berkaitan
17 Muhamad Amin Jamaludin,
Kupas Tuntas Kesesatan Dan Kebohongan LDII Jawaban Atas Buku Direktori LDII, (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), 2007), h. 25
18
dengan kedudukan golongan lain yang berada diluar garis
keamiran LDII sehingga tidak berbai'at kepada imamnya.
Sedangkan yang berkaitan dengan menajiskan orang lain, dimana
kader LDII setiap kali bersalaman harus membersihkan tangannya
dan tidak bersedia bermakmum kepada golongan lain dan mengelap
(ngepel) masjid yang sudah digunakan oleh pihak lain.19 C. Catatan Para Ulama Tentang LDII
Berikut ini, penulis akan memaparkan beberapa catatan khusus dari para ulama
tentang LDII, diantaranya sebagai berikut:
1. KH Ma’ruf Amien
(Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia)
Kita bisa mentolelir perbedaan, tetapi tidak bisa mentolelir
penyimpangan. Penyimpangan ini harus diamputasi. Kita memberikan
kesempatan kepada orang yang menyimpang itu untuk rujuk ilal haq. Kita
mengeluarkan fatwa tentang sesatnya suatu kelompok jika kita telah
melakukan investigasi secara mendalam terhadap kelompok itu.
LDII adalah suatu lembaga yang fatwa terhadapnya terikat dengan
Islam Jama’ah, karena ada prinsip-prisip Islam Jama’ah yang dianggap
menyimpang. Adapun fatwa MUI khusus tentang LDII tidak ada, namun
jika ia menggunakan ajaran-ajaran Islam jama’ah yang prisip-prinsipnya
menyimpang itu, maka ia terkait juga dengan fatwa tentang kesesatan Islam
Jama’ah. Memang ada satu keputusan Munas MUI ada yang menyinggung
19
nama. Dalam suatu rekomendasi dinyatakan bahwa “Aliran sesat itu seperti
Ahmadiyyah, LDII....” Kalimatnya berbunyi seperti itu. Kenapa LDII
dijadikan bagian yang sesat? Karena LDII dianggap sebagai penjelmaan
Islam Jama’ah.
Sesudah itu, LDII berusaha meninggalkan hal-hal yang menyebabkan
kesesatannya itu. Mereka meminta audiensi ke MUI Pusat untuk
mensosialisasikan apa yang disebutnya sebagai paradigma baru. Paradigma baru
ini menegaskan bahwa LDII tidak menggunakan ajaran Islam Jama'ah sebagai
satu landasan, meski dalam beberapa ajaran ada yang sama, yang berkaitan
dengan amaliah, bukan I’tiqadiyah. Mereka meninggalkan ajaran Islam Jama'ah
seperti menganggap najis kelompok lain. Mereka tidak lagi mencuci bekas
tempat shalat orang lain, tidak mengkafirkan kelompok lain. Bahkan, mereka
bersumpah di hadapan MUI Pusat bahwa, itu bukanlah taqiyah. Sesudah itu
mereka membuat pernyataan tertulis untuk menegaskan perubahan itu.
Dalam memandang LDII, MUI Pusat terbagi dalam dua pendapat,
Pertama, kita menerima, kemudian kita lakukan penyesuaian ke daerah.
Klarifikasi secara nasional diberikan, sedangkan klarifikasi di daerah diberikan
secara parsial. Kedua, ada juga kelompok yang sangat mencurigai LDII, dan
meminta klarifikasi dilakukan dari tingkat bawah (bottom up), baru klarifikasi
nasional. Dengan demikian, ar-ruju’ ilal haq dilakukan secara qaulan wa fi Ian
Ketika LDII dianggap melakukan ar-ruju’ ilal haq, LDII dianggap sebagai
entitas yang pernah melakukan penyimpangan, karena LDII dikaitkan dengan
Islam Jama'ah. Dalam perjalanannya, LDII memiliki keinginan untuk kembali
kepada kebenaran. Namun, ada kelompok-kelompok yang sangat keras,
menentang, seolah-olah LDII tidak boleh bertaubat.
LDII sekarang dalam tahap verifikasi secara kelembagaan maupun secara
grass roots. Saya melihat, secara kelembagaan mereka tidak ada masalah, dari
pengurus pusat hingga pengurus daerah memiliki satu kata. Namun di tingkat
bawah, kemungkinan masih ada masalah, karena masih ada generasi LDII yang
berpegang pada Islam Jama'ah. Namun demikian, kondisi di bawah tidak
sepenuhnya bisa kita jadikan indikasi bahwa LDII belum berubah. Kita
meminta ketegasan dari pengurus LDII dalam menyikapi kadernya yang masih
meneruskan ajaran Islam Jama'ah. Kelompok-kelompok yang tidak patuh harus
dinyatakan bukan bagian dari LDII. Sehingga LDII tidak lagi terkontaminasi
oleh kelompok-kelompok itu.
Saya melihat mereka mempunyai i'tikad baik. Karena itu, saya berpesan
kepada ustadz-ustadz kita untuk memandang masalah ini dengan hati yang jernih.
MUI 'kan mengajak yang sesat-sesat itu, seperti Ahmadiyah, untuk ruju' ilal haq. LDII adalah organisasi lokal. Lain dengan Ahmadiyah yang merupakan
organisasi internasional. Mereka tidak mungkin melepaskan diri dengan
pimpinan tertinggi mereka. Dan, karena itu saya nyatakan bahwa pernyataan
LDII boleh saja mengamalkan beberapa ajaran Nurhasan, sepanjang
ajaran yang diamalkan itu tidak mengandung kesesatan. Mereka sudah tidak
memegang secara penuh ajaran Nurhasan. Mungkin masih ada ajaran yang
dipertahankan, tetapi yang sifatnya amaliyah saja. Saya melihat, sudah ada
perubahan. Kita harus terus mendorong agar perubahan itu menyentuh sampai
ke simpul-simpul paling bawah.
Kalau orang mau bertaubat, jangan dilihat masa lalunya, maa madha faata, itu sudah masa lalu. Yang jelas mereka telah berubah. Masa kita mau
membongkar Umar bin Khatab masa lalu. Sayyidina Umar masa lalunya kan
suka mabuk. Tetapi beliau menjadi sahabat utama Nabi.
Kalau anggota di simpul-simpul masih memakai pola lama, itu pasti
ada. Sekarang di dalam intern LDII ada pertarungan, antara yang ingin
berubah dengan kelompok yang ingin bertahan. Tetapi, kendali organisasi
dipegang oleh orang yang ingin berubah secara formal, dari pusat sampai ke
wilayah-wilayah. Secara formal, mereka adalah bagian yang sudah berubah.
Mereka adalah bagian yang ingin berada di lingkungan MUI. Jadi, menurut saya,
kita jangan bertumpu pada simpul-simpul. Simpul-simpul itu harus kita bina
supaya mereka berubah. Dan pada saatnya LDII harus berani membuat
tindakan terhadap jama'ahnya yang tidak mau melakukan perubahan itu. LDII
saatnya, LDII harus berani menindak anggotanya yang bandel, yang masih
dalam posisi paradigma lama.20
2. KH. Ali Yafie21
(Tokoh Ulama)
Saya ingin menyampaikan bahwa memang menarik mengkaji
perkembangan Islam di Indonesia. Bagian dari perkembangan tersebut, kit a
harus lihat LDII di situ. Jadi kita tidak boleh (menuding) sembarang, tanpa data
dan fakta dari hasil penelitian. Karena saya tidak punya data yang cukup, saya
tidak ingin memberikan vonis kepada LDII. Jadi saya anjurkan untuk melakukan
penelitian yang mendalam, secara kekerabatan, tidak seperti polisi atau jaksa yang
sedang menyelidik, Intinya secara ukuwah Islamiyah. Jadi tahu bagaimana
sejarahnya, apa faktor-faktor yang mempengaruhinya,dan lain sebagainya. Jadi,
sebagai ilmuwan, kita tidak boleh ngomong seperti orang awam. Itu harapan saya
Saya belum pernah melihat, belum pernah bersentuhan dengan tokoh
tokoh LDII. Saya berharap ada kajian yang terbuka tentang LDII, supaya ada
ruang untuk tabayyun
20
Habib Setiawan, dkk., After New Paradigm, Catatan Para Ulama Tentang LDII, h
73-78.
21
3. Prof. Dr. H. Utang Ranuwidjaya22
(Ketua Komisi Pengkajian dan Pengembangan MUI Pusat)
konsep paradigma baru LDII sudah bagus kalau dilihat dari paparan yang
mereka sampaikan. Hal itu saya kemukakan berdasarkan pemantauan saya di
beberapa tempat seperti di Jakarta, Surabaya, Lampung, dan Kediri. Sebenarnya,
dengan paradigma baru tersebut, mereka ingin meninggalkan paham-paham
yang dulu diwariskan oleh Islam Jama'ah. Bahkan sekarang, justru mereka
ingin membersihkan paham-paham Islam Jama’ah tersebut, jika memang
masih ada di dalam tubuh gerakan LDII. Paradigma baru LDII adalah suatu
cerminan bahwa mereka ingin kembali pangkuan Majelis Ulama Indonesia
untuk mendapatkan pembinaa, dan merupakan keinginan bersatu LDII
dengan segenap kekuatan Islam Indonesia.
Namun demikian, proses sosialisasi paradigma baru LDII yang mereka
lakukan baru sampai tingkat PAC, belum sampai ke grass roots. Kalau begitu
kenyataannya, sosialisasi tersebut harus terus ditingkatkan dan diupayakan
secara cepat dan maksimal. Selama ini, memang kita masih melihat dan
mendengar laporan dari para pengurus atau pimpinan Majelis Ulama
Indonesia, baik di Provinsi, Kabupaten atau Kota maupun MUI Kecamatan di
mana di beberapa tempat masih ada pola-pola lama yang mereka terapkan Tapi
pada umumnya, informasi dari MUI Provinsi dan Kabupaten atau Kota
menyatakan bahwa sudah bagus pembinaan di internal LDII. Mereka (LDII) juga
22
sudah membuka komunikasi dengan MUI dan ormas-ormas yang lain, meski di
beberapa tempat masih terdapat kekakuan dari pihak LDII sendiri dalam berbaur
dan dalam meninggalkan kesan-kesan eksklusifnya. Inilah sosialisasi
paradigma baru LDII yang sedang dalam proses tersebut.
Pengurus LDII, baik pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten sudah
cukup tegas dalam menerapkan paradigma barunya. Bahkan, beberapa kali saya
mendengar ucapan dari para pimpinan LDII Provinsi yang mengatakan,
"Andaikata masih ada yang menerapkan pola lama dan menjalankan paham paham Islam Jama'ah, maka kepada mereka diminta untuk keluar dari LDII, dan dianggap itu bukan warga LDII. " Jadi, kalau melihat ketegasan semacam itu sih,
saya agak optimis bahwa paham-paham tentang Islam Jama'ah secara bertahap
akan ditinggalkan oleh organisasi LDII ini.
Sebenarnya, ajaran LDII itu perlu pendalaman dan penelitian lebih
lanjut, karena di lapangan yang saya temukan hanya di permukaan. Tentunya,
jawaban saya tidak begitu valid, karena belum mendalami apa yang terjadi di
lapangan. Sebatas yang saya dengar, sebatas apa yang saya lihat, dan
kesimpulan dari diskusi-diskusi dengan MUI di Provinsi dan Kabupaten,
dimana memang masih ditemukan masalah-masalah implementasi di lapangan
terkait dengan paradigma baru LDII. Ini harus terus dipantau sejauh mana
mereka jujur, ikhlas, terbuka dan bertanggungjawab untuk melaksanakan
paradigma barunya. Apakah itu menyangkut sesuatu yang sangat rahasia,
ataupun yang biasa mereka buka itu, mestinya dilakukan pemantauan dan
4. Prof. Dr. KH. Said Agil Siradj23
(Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama)
Aliran atau madzhab atau firaq Islamiah itu, sepanjang masa akan tetap ada.
Kajian mengenai al-Firaq al-Islamiah (firqah-firqah Islam) dan Firaq al-Kharijah anil Islam (firqah-firqah yang keluar dari Islam) adalah salah satu mata
kuliah wajib di Timur Tengah, baik itu di Ummul Qura Makkah maupun di
Al-Azhar Kairo. Yang termasuk firqah Islam adalah Mutazilah, Khawarij, Jabariah, Qadariah, Murji'ah, Jahamiah; Syi'ah, Syi’ah Itsna 'Asyariah, Imamiah,
dan Zaidiah. Sedangkan firqah yang keluar dari Islam yaitu Syiah Ismailiah, Bahaiyah, Qadianiyah, dan Iain-lain. Kelompok kedua ini dianggap keluar dari
Islam karena mereka mengingkari prinsip-prinsip ma’ulima minaddin bidhdharuri (prinsip yang sangat fundamental dalam Islam).
Orang atau kelompok yang mengingkari ma'ulima minaddin bidhdharurah24 bisa dikategorikan sesat. Sedangkan kelompok atau orang yang
mengingkari ma’ulima minaddin bitta" allum (hasil pemikiran/telaah/ijtihad)
tidaklah sesat. Sampai-sampai, golongan Khawarij pun masih dianggap
sebagai bagian dari kelompok Islam (firaq Islamiah), padahal mereka telah
membunuh Sayidina Ali Karramallahu Wajhah.
23
Habib setiawan, dkk., After New Paradigm, Catatan Para Ulama Tentang LDII, h.
89-92
24
Di dalam Islam terdapat beragam aliran dan golongan. Sebagian besar
golongan tersebut tidak bisa dianggap sesat, karena ada dua perbedaan, yaitu
perbedaan yang bersifat wacana dan perbedaan yang bersifat aksi/amal, Lha,
LDII ini perbedaannya amal. Mereka tidak kita anggap sesat, tetapi
mutanaththi’, tanaththu’, orang yang eksklusif, kelompok eksklusif. Namun
demikian, LDII masih dalam bagian firqah Islamiah, karena meyakini apa yang
disebut ma'ulima minaddin bidhdharurah, meski dalam beberapa hal LDII
(menurut beberapa kalangan yang mengamati organisasi ini) berbeda dengan
mayoritas ulama dalam menafsirkan ayat tertentu. Perbedaan penafsiran itu
sendiri dalam banyak kesempatan dibantah oleh pengurus LDII. Seandainya
dugaan para pengamat itu benar, perbedaan itu tidak menyebabkan LDII
menyandang label "sesat." Itu tidak sesat, hanya salah atau sempit. Itu
tanaththu, mutanatti, hatta Khawarij kita tidak mengatakan sesat. Padahal dia
yang membunuh Sayidina Ali, kita tidak mengatakan sesat, tetapi mutasyaddid, mutatharrif.
LDII tidak bisa disamakan dengan Ahmadiyah. Ahmadiyah itu sesat
karena mengingkari ma’ulima minaddin bidhdharurah, mengakui adanya Nabi
setelah Nabi Muhammad SAW Saya menanggapi perubahan paradigma LDII
secara positif. Paradigma Baru LDII harus disikapi dengan positif. Mereka
(LDII) mengakui kesalahan, dalam tanda petik: kesalahan ajarannya atau kesalahan
doktrinnya, bukan kesalahan aqidah. Aqidah nggak salah, dari awal nggak salah.
Aqidah dia rukun iman yang enam itu. Rukun Islamnya itu sama. Ya seperti
membolehkan. NU sendiri, pada Muktamar tahun 30-an Itu mengharamkan
pakai dasi atau pakai celana. (Sekarang, tidak).
Orang yang menganggap orang lain sesat itu, juga sesat. Man kaffara ahlal kitab (al-Qur'an) fahuwa kafir. Orang yang menganggap sesat orang lain,
yang tidak menolak hal-hal prinsip maka ia sesat juga, kecuali yang prinsip tadi.
Kita (NU), menghindari bahasa "sesat." Pleno NU di Cisalak Bogor,
menyatakan aliran Ahmadiyah adalah aliran yang ditolak oleh mayoritas umat
Islam, (tapi) tidak mengatakan sesa