• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

3. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pemilihan sisi penerimaaan sebagai indikator untuk mengukur desentralisasi fiskal dikarenakan keterbatasan data yang tersedia dari sisi pengeluaran.

3. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Menurut Mardiasmo (2002:132), ―pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengeloalaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah‖.

Menurut Guritno Mangkosubroto (1997) menyatakan bahwa pada umumnya penerimaan pemerintah diperlukan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Pada umumnya penerimaan pemerintah dapat dibedakan antara penerimaan pajak dan bukan pajak. Penerimaan bukan pajak, misalnya adalah penerimaan pemerintah yang berasal dari pinjaman pemerintah, baik pinjaman yang berasal dari dalam negeri maupun pinjaman pemerintah yang berasal dari luar negeri.

Salah satu tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yakni untuk menjadikan pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya sehingga pelayanan publik yang dilakukan dapat menjadi lebih efisien dan efektif (Kuncoro, 2006: 521). Dengan demikian setiap daerah memiliki peluang yang lebih besar untuk melaksanakan pembangunan sesuai dengan potensi yang

35 dimiliki dan memilih sektor ekonomi unggulan berdasarkan potensi sumber daya daerah masing.

Desentralisasi berarti penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah (Kuncoro, 2006:497). Semakin tinggi PAD yang diperoleh suatu daerah maka akan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Brata (2004) yang dikutip oleh Adi dan Harianto (2007) menyatakan bahwa terdapat dua komponen penerimaan daerah yang berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah yaitu PAD serta sumbangan dan bantuan.

Hal ini sejalan dengan pendapat Tambunan (2006:36) bahwa pertumbuhan PAD secara berkelanjutan akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah itu. Namun apabila eksploitasi PAD dilakukan secara berlebihan justru akan semakin membebani masyarakat, menjadi disinsentif bagi daerah dan mengancam perekonomian secara makro (Mardiasmo, 2002:87).

Di dalam TAP MPR No. IV/MPR/2000 ditegaskan bahwasanya ―kebijakan desentralisasi Daerah diarahkan untuk mencapai peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreativitas Pemda, keselarasan hubungan antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah itu sendiri dalam kewenangan dan keuangan untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan serta penciptaan ruang yang lebih luas bagi kemandirian Daerah”. Sebagai

36 konsekuensi dari pemberian otonomi yang luas maka sumber-sumber keuangan telah banyak bergeser ke Daerah baik melalui perluasan basis pajak (taxing power) maupun dana perimbangan. Hal ini sejalan dengan makna desentralisasi fiskal yang mengandung pengertian bahwa kepada Daerah diberikan:

(1) kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri yang dilakukan dalam wadah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sumber utamanya adalah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan tetap mendasarkan batas kewajaran.

(2) didukung dengan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah.

Sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai di dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi Daerah, tentang kemandirian Daerah bukan hal yang baru. Secara teoritis pengukuran kemandirian Daerah diukur dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).

4. Dana Alokasi Khusus

Dana alokasi khusus (DAK) adalah salah satu mekanisme transfer keuangan Pemerintah Pusat ke daerah yang bertujuan antara lain untuk meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana fisik daerah sesuai prioritas nasional serta mengurangi kesenjangan laju pertumbuhan antar daerah dan pelayanan antarbidang (Ahmad Subekan, 2012:88). DAK memainkan peran penting dalam dinamika pembangunan sarana dan prasarana pelayanan dasar di daerah karena–

37 sesuai dengan prinsip desentralisasi–tanggung jawab dan akuntabilitas bagi penyediaan pelayanan dasar masyarakat telah dialihkan kepada pemerintah daerah.

Dana alokasi khusus merupakan dana yang dialokasikan dari APBN ke Daerah tertentu untuk mendanai kebutuhan khusus yang merupakan urusan daerah dan juga prioritas nasional antara lain: kebutuhan kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi atau prasarana, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dll.

Menurut UU yang baru (UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004), wilayah yang menerima DAK harus menyediakan dana penyesuaian paling tidak 10% dari DAK yang ditransfer ke wilayah, dan dana penyesuaian ini harus dianggarkan dalam anggaran daerah (APBD). Meskipun demikian, wilayah dengan pengeluaran lebih besar dari penerimaan tidak perlu menyediakan dana penyesuaian. Tetapi perlu diketahui bahwa tidak semua daerah menerima DAK karena DAK bertujuan untuk pemerataan dan untuk meningkatkan kondisi infrastruktur fisik yang dinilai sebagai prioritas nasional.

a) Kriteria umum Dana Alokasi Khusus

Prioritas pengalokasian DAK diutamakan untuk daerah-daerah yang memiliki kemampuan fiskal rendah atau di bawah rata-rata. Kemampuan fiskal daerah tersebut didasarkan atas selisih antara realisasi penerimaan daerah (pendapatan asli daerah, dana

38 perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah) tidak termasuk sisa anggaran lebih (SAL) dengan Belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah (fiskal netto) pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

b) Kriteria Khusus Dana Alokasi Khusus

Pengalokasian DAK juga harus memperhatikan daerah-daerah tertentu yang memiliki dan/atau berada di wilayah dengan kondisi dan kebutuhan khusus, seperti :

 ¨Provinsi Papua dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang merupakan Daerah otonomi khusus;

 ¨Kawasan Timur Indonesia, Pesisir dan Kepulauan, Perbatasan Darat, Tertinggal/Terpencil, Penampung Program Transmigrasi, Rawan Banjir dan Longsor.

 Provinsi Maluku dan Maluku Utara sebagai Daerah Pasca Konflik;

Pengalokasian DAK kepada daerah sepenuhnya menjadi wewenang Pemerintah Pusat berdasarkan kriteria tertentu. Dalam hal ini, peran satuan kerja perangkat daerah (SKPD) hanyalah menyediakan data bagi departemen teknis terkait. Peran pemda dalam pengalokasian DAK bersifat pasif. Contoh kasus dalam pengalokasian Dana Khusus ini adalah Dinas Kesehatan Kabupaten Kupang, misalnya, belum pernah secara khusus membuat perencanaan atau pengusulan DAK untuk membiayai

39 rencana kegiatannya. Walaupun pemda tidak melakukan langkah apapun, Pemerintah Pusat tetap memberikan DAK kepada daerah Pengalokasian dana dan sumber-sumbernya tergantung kepada kebijakan pemerintah Kabupaten .

5. Dana Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak

Dana Bagi Hasil adalah bagian daerah dari Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam. Dana Bagi Hasil merupakan alokasi yang pada dasarnya memperhatikan potensi daerah penghasil (Nurcholis, 2005).

Dalam pasal 11 UU No. 33 tahun 2004 Dana Bagi Hasil dibagi menjadi dua yaitu dana bagi hasil pajak (DBHP) dan dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam (DBHSDA). Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari : Kehutanan; Pertambangan umum; Perikanan; Pertambangan minyak bumi; Pertambangan gas bumi; dan Pertambangan panas bumi.

40 6. Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan

Dalam konteks negara kesatuan desentralisasi fiskal merupakan penyerahan kewenangan fiskal dari otoritas Negara kepada daerah otonom. Kewenangan fiskal paling tidak meliputi kewenangan untuk mengelola pendapatan/perpajakan, keleluasaan untuk menentukan anggaran dan mengalokasikan sumber daya yang dimiliki daerah untuk mebiayai pelayanan publik yang menjadi tugas daerah. Definisi desentralisasi fiskal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Davey (2003) bahwa:

Fiscal decentralisation is the division of public expenditure and revenue between levels of government, and the discretion given to regional and local government to determine their budgets by levying taxes and fees and allocating resources

Disisi belanja, diberikannya kewenangan fiskal kepada sebuah daerah otonom didasarkan kepada prinsip agar alokasi sumber daya lebih efisien dan efektif. Pemerintah Daerah yang lebih dekat ke masyarakat diasumsikan lebih tahu kebutuhan masyarakat dibandingkan dengan Pemerintah Pusat yang jauh.

Sehingga alokasi sumber daya yang dilakukan oleh Pemda akan lebih responsif dan menjawab kebutuhan masyarakat. Sedangkan disisi pendapatan, diberikannya kewenangan perpajakan kepada daerah dimaksudkan agar partisipasi masyarakat pada pemerintah keuntuk

41 mendanai pelayanan publik lebih tinggi karena masyarakat dapat merasakan langsung manfaat dari pembayaran pajak/retribusi tersebut.

Berdasarkan teori Tiebout Model yang menjadi landasan konsep desentralisasi fiskal, bahwa dengan adanya pelimpahan wewenang akan meningkatkan kemampuan daerah dalam melayani kebutuhan barang publik dengan lebih baik dan efisien. Penyebab mendasar dari peningkatan kemampuan tersebut adalah karena pemerintah daerah dipandang lebih mengetahui kebutuhan dan karakter masyarakat lokal, sehingga program-program dari kebijakan pemerintah akan lebih efektif untuk dijalankan, sekaligus dari sisi penganggaran publik akan muncul konsep efisiensi karena tepat guna dan berdaya guna.

Desentralisasi fiskal akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, karena pemerintah Kabupaten/Kota akan lebih efisien dalam produksi dan penyediaan barang-barang publik. Pengeluaran untuk infrastruktur dan sektor sosial yang merespon perbedaan-perbedaan regional dan lokal mungkin akan lebih efektif dalam mempertinggi pembangunan ekonomi daripada kebijakan-kebijakan sentralisai yang bisa jadi mengabaikan perbedaan-perbedaan antar daerah tersebut. Hal ini dapat dibenarkan sebab pemerintah Kabupaten/Kota mengetahui daerahnya lebih baik daripada yang diketahui oleh pemerintah pusat (Sumarsono dan Utomo, 2009).

42 Bank Dunia (1997) mengemukakan hubungan yang mungkin terjadi antara Desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi yaitu, desentralisasi akan meningkatkan efisiensi pengeluaran pemerintah sehingga berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, desentralisasi fiskal mempunyai dampak meningkatkan instabilisasi makro ekonomi sehingga berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi serta, desentralisasi fiskal untuk suatu daerah bisa berdampak positif maupun negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

B. Penelitian Terdahulu

Penelitian terkait dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi maupun ketimpangan antar wilayah telah banyak dilakukan oleh peneliti. Beberapa diantaranya dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Lintantia Fajar Apriesa, Miyasto (2013) yang melakukan penelitian di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah dengan judul Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah dan Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Tengah.Variabel independen yang digunakan adalah desentralisasi fiskal, pajak daerah, pertumbuhan populasi atau jumlah penduduk, tenaga kerja, ketimpangan pendapatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah OLS ( Ordinary Least Square ) data panel. Model analisis regresi menggunakan regresi biasa. Dari Tabel dapat dianalisis bahwa nilai Probabilitas

t-43 statistik kurang dari nila alpha 0,05 berarti signifikan atau Ho diterima ,variabel DF POP TK mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen EG ( Pertumbuhan ), sedangkan variabel TX nilai probabilitas t-statistik lebih dari 0,05 Ho ditolak berarti tidak signifikan. Pajak Daerah ( TX ) mempunyai hasil tidak signifikan terhadap pertumbuhan Ekonomi, tujuan awal pajak daerah adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah sehingga pajak akan mengurangi pertumbuhan ekonomi .

2. Mohammad. Rizal Mubaroq, Prof. Dr. Hj. Sutyastie S. Remi, SE., Dr. Ir. Bagdja Muljarijadi (2013) yang melakukan penelitian di Indonesia dengan judul ―Pengaruh Investasi Pemerintah, Tenaga Kerja dan Desentralisasi fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Indonesia 2007-2010‖. Variabel independen yang digunakan yaitu:Investasi pemerintah, rasio realisasi belanja modal terhadap PDRB nominal kabupaten , jumlah tenaga kerja,kemandirian daerah sebagai ukuran desentralisasi fiskal, berupa rasio realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap jumlah Total pendapatan daerah kabupaten PDRB riil Per Kapita kabupaten. Untuk mengestimasi parameter model dengan data panel ada tiga metode yang akan diangkat yaitu metode Ordinary Least Square (common effect), Fixed Effect dan Random Effect. Dari ketiga metode tersebut kemudian dipilih yang paling sesuai untuk digunakan dengan data yang ada. Berdasarkan hasil perhiungan menggunakan Eviews, ternyata terjadi perbaikan padamodel fixed effect yang digunakan

44 dalam penelitian khususnya pada standard error dan tingkat signifikansi. Variabel W (tenaga kerja) dan KD (kemandirian daerah) yang semula signifikan pada level α=10% dan α=5%, setelah dikoreksi meningkat menjadi signifikan pada level α=1%. Oleh karena itu model fixed efect dengan prosedur koreksi White tersebut yang lebih tepat untuk digunakan. 3. Muhammad Zahir Faridi (2011) yang melakukan penelitian di Pakistan dengan judul Contribution of Fiscal Decentralization to Economic Growth: Evidence from Pakistan. Variabel independen yang digunakan pengeluaran pemerintah, desentralisai fiskal, sedangkan variabel dependennya yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi. Alat analisis yang digunakan yaitu Untuk mengestimasi parameter model yang akan diangkat yaitu metode Ordinary Least Square (common effect), Hasilnya bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien sebesar – 0,05.

4. Duc Hong Vo (2010) yang melakukan penelitian di Australia dengan judul The Economics of Fiscal Decentralization. Variabel yang digunakan adalah pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah, pajak, dan penerimaan pemerintah. Alat analisis yang digunakan yaitu Untuk mengestimasi parameter model yang akan diangkat yaitu OLS (Ordinary Least Square ) data panel. Hasilnya bahwa pengeluaran pemerintah, pajak, dan penerimaan pemerintah berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi sesuai dengan teori Tiebout Model.

45 5. Hadi Sasana (2009) yang melakukan penelitian pada kabupaten/kota di Jawa Tengah, dengan judul Analisis Dampak Pertumbuhan Ekonomi, Kesenjangan Antar Daerah dan Tenaga Kerja Terserap Terhadap Kesejahteraan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Dalam Era Desentralisasi Fiskal. Penelitian ini menggunakan data sekunder berbentuk time series dari tahun 2001 sampai dengan 2005, dan data cross section yang terdiri atas 35 kabupaten/kota, sehingga merupakan pooled data yaitu gabungan antara data time series (tahun 2001-2005: 5 tahun) dengan data cross section 35 kabupaten/kota. Variabel yang digunakan adalah Pertumbuhan Ekonomi (Y1), Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah (Y2), Tenaga Kerja Terserap (Y3), Kesejahteraan masyarakat (Y4) dan Desentralisasi Fiskal (X1). Hasil penelitian adalah Pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang positif terhadap kesejahteraan masyarakat di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, kesenjangan ekonomi antar daerah berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang negatif terhadap kesejahteraan masyarakat di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, tenaga kerja terserap berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang positif terhadap kesejahteraan masyarakat di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.

6. Amin Pujiati (2008) yang melakukan penelitian pada Karesidenan Semarang dengan judul ―Analisis Pertumbuhan Ekonomi di Karesidenan Semarang Era Desentralisasi Fiskal‖. Variabel independen

46 yang digunakan yaitu PAD, DAU, DBH dan tenaga kerja (TK), sedangkan variabel dependen yang digunakan yaitu pertumbuhan ekonomi yang di proksi dengan PDRB. Alat analisis yang digunakan yaitu regresi dengan model data panel menggunakan metode Generalized Least Squares (GLS) dengan pendekatan fixed effect. Hasil penelitian diperoleh bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja (TK) berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Keterkaitan antara Penelitian Terdahulu dengan Penelitian Sekarang adalah bahwa fokus perhatian akan dilakukan terhadap daerah kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah . Pertimbangan utamanya adalah bahwa daerah kabupaten/kota sesungguhnya merupakan ujung tombak pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia. Daerah kabupaten/kota secara langsung mengetahui preferensi masyarakat lokal dan potensi sumber daya daerah. Hal ini juga dapat disinyalir dari perkembangan jumlah daerah kabupaten/kota yang terus meningkat tajam, dibandingkan dengan perkembangan jumlah provinsi di Indonesia, menggunakan alat analisis yang berbeda, tahun dan tempat penelitian yang berbeda, hasil analisis yang berbeda sesuai dengan parameter yang ada.

47 Tabel 2.1

Penelitian Terdahulu

Penulis Judul Penelitian Variabel Alat Analisis Kesimpulan Lintantia Fajar Apriesa, Miyasto (2013) Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah dan Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Tengah Desentralisasi Fiskal, Pajak Daerah, Pertumbuhan Populasi atau Jumlah Penduduk, Tenaga Kerja, Ketimpangan Pendapatan OLS ( Ordinary Least Square ) data panel. Nilai Probabilitas t-statistik kurang dari nila alpha 0,05 berarti signifikan atau Ho diterima ,variabel DF POP TK mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen EG ( Pertumbuhan ), sedangkan variabel TX nilai probabilitas t-statistik lebih dari 0,05 Ho ditolak berarti tidak signifikan. Pajak Daerah ( TX ) mempunyai hasil tidak signifikan terhadap ertumbuhan EkonomI. Mohammad. Rizal Mubaroq, Prof. Dr. Hj. Sutyastie S. Remi, SE., Dr. Ir. Bagdja Muljarijadi (2013) Pengaruh Investasi Pemerintah, Tenaga Kerja dan Desentralisasi fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Indonesia 2007-2010 Investasi Pemerintah, Belanja Modal PDRB, Tenaga Kerja ,Kemandirian Daerah, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Ordinary Least Square (common effect), Fixed Effect dan RandomEffect Variabel W (tenaga kerja) dan KD (kemandirian daerah) yang semula signifikan pada level α=10% dan α=5%, setelah dikoreksi meningkat menjadi signifikan pada level α=1%. Oleh karena itu model fixed efect dengan prosedur koreksi White tersebut yang lebih tepat untuk digunakan. Muhammad Zahir Faridi (2011) Contribution of Fiscal Decentralization to Economic Growth: Evidence from Pengerluaran Pemerintah, Desentralisasi Fiskal Ordinary Least Square (common effect), Fixed Effect Hasilnya bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan

48

Pakistan koefisien sebesar –

0,05 Duc Hong Vo (2010) The Economics of Fiscal Decentralization Pertumbuhan Ekonomi Pengeluaran Pemerintah, Pajak, Penerimaan Pemerintah OLS (Ordinary Least Square ) data panel. Hasilnya bahwa pengeluaran pemerintah, pajak, penerimaanpemerintah berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi sesuai dengan teori Tiebout Model Hadi Sasana (2009) Analisis Dampak Pertumbuhan Ekonomi, Kesenjangan Antar Daerah dan Tenaga Kerja Terserap Terhadap Kesejahteraan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Dalam Era Desentralisasi Fiskal Pertumbuhan Ekonomi (Y1), Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah (Y2), Tenaga Kerja Terserap (Y3), Kesejahteraan masyarakat (Y4) dan Desentralisasi Fiskal (X1). Analisis regresi dengan variabel yang dibakukan (standardise regression). Pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang positif terhadap kesejahteraan masyarakat di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, kesenjangan ekonomi

antar daerah

berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang negatif terhadap kesejahteraan masyarakat di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, tenaga kerja terserap berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang positif terhadap kesejahteraan masyarakat di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Amin Pujiati (2008) Analisis Pertumbuhan Ekonomi di Karesidenan Semarang Era Desentralisasi Fiskal PDRB, PAD, DBH, DAU, Tenaga Kerja Generalized Least Squares (GLS), dengan pendekatan fixed effect. 1. Pendapatan Asli Daerah mempunyai hubungan yang positif dan berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan

ekonomi di

49

2. Dana Alokasi Umum berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Karesidenan semarang

3. Peranan Dana Bagi Hasil terhadap pertumbuhan ekonomi adalah positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Karesidenan semarang 4. Peranan Tenaga Kerja terhadap pertumbuhan ekonomi adalah positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di karesidenan semarang 5.Ketimpangan regional maupun sektoral semakin meningkat setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal.

Dokumen terkait